Home » » Toleransi Ala Nabi Muhammad

Toleransi Ala Nabi Muhammad

Written By Amoe Hirata on Kamis, 20 November 2014 | 16.29

Toleransi Agama dalam Perspektif Sīrāh Nabawiah[1]
Oleh: Mahmud Budi Setiawan

Pendahuluan

            Walaupun Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M[2], sudah mengeluarkan fatwa haram terhadap paham pluralisme agama, namun pada kenyataannya, paham pluralisme agama tidaklah mati. Kalau dulu –para pembela pluralisme agama- hanya berkutat pada tataran wacana dan diskusi, namun kini sudah merambah ke berbagai lini kehidupan.  Fenomena ini begitu menyebar luas lantaran didukung oleh kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia yang merupakan komunitas yang heterogen atau majmuk. Keragaman budaya, bahasa, adat-istiadat, dan agama semakin membuat paham ini tumbuh subur. Apalagi, globalisasi dengan kompleksitasnya ketika membuka batas-batas interaksi manusia dari berbagai jenis keragamannya, semakin membutuhkan solusi ketika terjadi persoalan yang lahir dari keberagaman. Salah satu solusi yang kerap kali didengung-dengungkan adalah pluralisme agama.
Karena pluralisme dianggap sebagai solusi, maka dicarilah justifikasi untuk menguatkan argumentasi yang dibangun di atasnya. Salah satu argumen pembela pluralisme agama di Indonesia dalam menjustifikasi kebenaran konsep pluralisme agama ialah dengan mengangkat tema toleransi[3]. Dengan toleransi -menurut mereka-, kemajemukan atau heterogenitas keberagamaan,  bisa disinergikan sedemikian rupa untuk menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati,  -bahkan pada titik yang paling ekstrim merelatifkan kebenaran agama-agama- yang pada gilirannya dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian antarumat beragama. Tanpa adanya toleransi, maka pluralisme agama sangat sukar –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- untuk direalisasikan. Di sinilah rahasianya mengapa toleransi dijadikan sebagai basis untuk mengafirmasi konsep pluralisme agama.
Mengingat signifikansi dan urgensi toleransi dalam konsep pluralisme agama, para pembela konsep pluralisme agama acap kali menjustifikasinya dengan dalil-dalil normatif dari kitab suci agama-agama, atau dari khazanah historis yang mengiringi doktrin-doktrin agama. Terkhusus bagi pembela konsep pluralisme agama yang berasal dari kalangan Muslim di Indonesia, biasanya tanpa merasa canggung dan tabu mencari justifikasi konsep pluralisme agama dengan memelintir, dan mereduksi ayat-ayat suci al-Qur`an, Hadits-dadits Nabi, bahkan Sīrah Nabawiyah(perjalanan hidup Nabi) yang mengandung nilai toleransi untuk kepentingan pluralisme agama.
Di antara contoh singkat, bentuk justifikasi pembela pluralisme agama untuk melegitimasi toleransi ialah sebagai berikut. Pertama, Biasanya dari al-Qur`an diambil sepenggal ayat dari surat al-Baqarah ayat: 256 yang artinya, ‘Tidak ada paksaan dalam agama .....”; ada pula ayat lain dalam surat al-Kahfi ayat: 29 yang artinya, ‘....barangsiapa menghendaki (beriman), maka berimanlah, barang siapa menghendaki(kekufuran), maka kafirlah’. Kedua ayat itu dianggap sebagai dasar normatif dari al-Qur`an yang mengandung nilai toleransi yang begitu tinggi yang pada gilirannya bisa dijadikan dasar bagi konsep pluralisme agama. Yang dipaham dari kedua ayat itu, kalau memaksa orang beragama itu tidak dibenarkan, dan Allah sendiri telah memberi kebebasan untuk memeluk agama atau tidak, maka toleransi agama adalah keniscayaan.
Kedua, Hadits yang biasa dipakai dalam mengafirmasi toleransi untuk kepentingan pluralisme agama ialah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Bukhari yang artinya, ‘Agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran[4]. Secara eksplisit hadits ini menjelaskan posisi toleransi dalam Islam. Hadit ini juga sangat menganjurkan sikap toleransi dalam beragama. Ketiga, dari sejarah Nabi Muhammad ketika, biasanya diambil rujukan perjanjian Piagam Madinah sebagai cikal bakal justifikasi pluralisme agama. Dalam Piagam Madinah sangat sarat dengan nilai toleransi. Aspek pluralitas masyarakat seperti pluralisme agama, suku dan tradisi diletakkan secara egaliter[5]. Piagam Madinah –yang penuh toleransi keberagamaan- dijadikan acuan untuk membenarkan konsep pluralisme agama.
Bertolak dari alasan-alasan normatif-historis tersebut, penulis merasa perlu untuk membahas secara kritis terkait masalah toleransi beragama yang secara spesifik dalam perspektif sejarah Nabi Muhammad. Secara khusus dipilih pendekatan historis dari sīrāh nabawiah, karena di samping sudah banyaknya pembela konsep pluralisme agama yang  mengambil rujukan dari al-Qur`an dan Hadits, untuk menjustifikasi idenya atas nama toleransi, pendekatan historis dari sīrāh nabawiah sangat diperlukan untuk mengetahui obyektivitas mereka dalam mengambil rujukan dari sejarah. Di samping itu,  kita bisa memahami secara komprehensif mengenai sikap Nabi Muhammad SAW. terkait toleransi beragama.

Pengakuan Tokoh-tokoh Barat terhadap Toleransi Nabi Muhammad dan Islam

Namun, sebelum lebih jauh membahas toleransi agama dalam perspektif  sejarah Nabi di Madinah, ada baiknya disebutkan beberapa pendapat dari para tokoh Barat terkait toleransi Nabi Muhammad shallallāhu `alaihi wasallam. Laura Veccia Vaglieri seorang peneliti dari Italia pernah berujar: “Muhammad sangat toleran, khususnya pada para pemeluk agama lain”[6]. Sementara itu, Maxime Rodinson (Sejarawan Prancis) berkata: “Muhammad adalah seorang hakim yang toleran”[7]. Sedangkan Marxel (Peneliti dari Prancis) berkomentar: “Toleransi bagi Muhammad merupakan kewajiban agama dan perintah syari`at”[8]. Adapun filosof  Jerman, Johan Wolfgang von Goethe menandaskan: “Muhammad adalah orang yang memiliki toleransi sangat tinggi”[9].
Tak hanya itu, seorang pendeta dari Jerman yang bernama Maisson mengkomparasikan antara toleransi Islam dan Kristen[10]:

Inna al-islāma alladzi amara bi al-jihādi mutasāmihun nahwa atbā`i al-adyāni al-ukhra. Wa huwa alladzi a`fā al-bathārikata wa al-ruhbān wa khadamahum min al-dharāib, wa harrama qatla al-ruhbān -`ala al-khusūs- li `ukūfihi `alā al-`ibādāt wa lam yamassa `Umaru ibni al-Khatthāb al-nashāra bi sūin hīna fataha al-Qudsa...... wa qad dzabaha al-shalibiyyūn al-muslimīna wa harraqū al-yahūda `indama dakhalūhā.

Terjemahan bebasnya: Sesungguhnya Islam yang memerintahkan jihad, (begitu) toleran terhadap pemeluk agama lain. Islamlah yang melepaskan para pendeta, rahib dan pelayan mereka dari pajak. Islam juga mengharamkan membunuh para rahib –secara khusus- karena mereka menjalankan ibadah. Umar bin Khatab ketika membebaskan al-Quds juga tidak menyakiti sedikitpun penduduknya.....lain halnya dengan pasukan salib, ketika masuk mereka membunuh orang-orang Muslim dan membakar orang-orang Yahudi.

            Dari beberapa perkataan itu, sebagian tokoh Barat yang obyektif  mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang sangat toleran, dan Islam adalah agama yang toleran. Pernyataan-pernyataan tokoh Barat yang obyektif itu, merangsang kita untuk menggali lebih jauh melalui sīrāh nabawiah khususnya dalam kajian ini terkait masalah toleransi beragama.

Toleransi Agama dalam Perspektif Sīrāh Nabawiah

Terkait dengan masalah toleransi agama dalam perspektif sīrāh nabawiah, pembahasannya bisa diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu: akidah, ibadah, dan interaksi sosial. Pertama, dari aspek akidah toleransi agama yang dipraktikkan Nabi sangat jelas dan tegas. Sebagaiaman surah al-Bararah, 256, tidak ada paksaan sama sekali dalam memasuki agama[11]. Nabi pun ketika di Madinah sangat menghormati pemeluk lain dalam menjalankan agama. Namun yang perlu ditekankan di sini ialah, toleransi Nabi kepada pemeluk lain secara akidah, ialah menghormati dan tidak memaksa pemeluk lain untuk memeluk agama Islam. Toleransi agama yang dipraktikkan Nabi, tidak sampai mengarah pada relativitas kebenaran agama, sehingga menganggap semua agama benar. Kedua, dalam peribadatan pun beliau toleran dalam artian, menghormati pemeluk agama lain menjalankan agama masing-masing, bukan dalam pengertian mencari titik-temu, atau meyakini bahwa ibadah pemeluk agama lain juga benar.
Suatu saat, ketika Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam berada di depan Ka`bah, beliau didatangi oleh al-Aswad bin al-Muthallib, al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bi Khalaf dan al-`Āsh bin Wāil[12]. Mereka mencoba bernegoisasi dengan Muhammad terkait masalah akidah dan ibadah. Pada intinya, mereka menginginkan agar Muhammad mau bergantian dalam menjalankan agama masing-masing supaya terjadi kerukunan dan perdamaian. Namun bertepatan dengan itu, turunlah surat al-Kafirun, ayat satu sampai enam. Ayat itu secara tegas menyatakan bahwa dalam masalah akidah dan peribadatan tidak ada yang namanya toleransi. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ini membuktikan bahwa dalam masalah akidah dan ibadah tidak ada yang namanya toleransi. Kalau dalam ibadah saja tidak ada yang namanya toleransi, bagaimana mungkin pluralisme agama –dalam pengertian semua agama sama- bisa diterima bila ditinjau dari segi sejarah Nabi Muhammad.
Pada tahun ke sembilan hijriah, ketika utusan Kristen Najran, Yaman pergi ke Madinah[13], mereka disambut dan dihormati dengan baik oleh Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam meskipun pada akhirnya mereka tidak masuk Islam. Beliau malah mengirim surat kepada uskup mereka yang bernama Abu al-Harist, yang inti suratnya ialah mereka aman menjalankan ibadahnya. Toleransi ini tidak hanya berlaku kepada agama Nashrani saja, agama-agama lain pun mendapat perlakuan yang sama selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah[14]. Adapun Yahudi(bani Qainuqā`, Nadhīr dan Quraidhah[15]) yang diusir dan diperangi oleh Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam dan para sahabatnya, lantaran mereka menyalahi janji Piagam Madinah dan berusaha mengkudeta Islam dengan bersekongkol dengan musuh. Sehingga sangat wajar jika dalam sejarah, mereka diusir dari Madinah.
Ketiga, Dalam hal interaksi sosial, beliau sangat toleran(tentu saja selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari`ah). Terkait dengan masalah ini, ada kisah menarik yang perlu dipaparkan di sini. Nabi Muhammad menurut riwayat Anas bin Malik[16], suatu ketika anak orang Yahudi yang menjadi pelayan Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam sakit sehingga tidak bisa melayani Rasulullah seperti biasanya. Lalu Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam menjenguknya. Ia pun duduk di samping kepalanya. Lalu berkata padanya: “Masuk Islamlah!”. Lantas anak itu melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya pun berkata: “Taatilah Abu Qosim(Muhammad shallallāhu `alaihi wasallam)!. Lau anak itu masuk Islam. Nabi pun keluar seraya berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkannya dari api neraka”.
Kisah tersebut memberikan gambaran tentang begitu besarnya toleransi beliau dalam berinteraksi dengan orang non-muslim. Ia memperlakukan pelayannya yang beragama Yahudi seperti keluarganya sendiri. Ia tidak hanya ramah ketika anak itu berada di rumah membantunya. Ia juga menjenguknya ketika anak Yahudi itu sedang sakit. Yang menjadi catatan penting di sini ialah, meskipun beliau mempunyai toleransi tinggi dalam bidang sosial, beliau tetap punya prinsip bahwa agama Islam lah yang paling benar. Dakwah Islam tidak boleh berhenti. Dalam kasus anak Yahudi ini, atas nama toleransi tidak menghalangi beliau untuk mendakwahkan kebenaran Islam. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pembela pluralisme agama yang merelatifkan kebenaran. Merasa benar sendiri adalah suatu hal yang ironis bagi mereka. Pada kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa, sikap toleransi dalam interaksi sosial tidak menghalangi umat Muslim untuk mendakwahkan kebenaran Islam.
Di samping itu, ternyata dalam sīrāh nabawiah ada banyak sekali kisah berkaitan dengan interaksi sosial Rasulullah bersama orang non-muslim. Beliau pernah berdiri menghormati jenazah orang yahudi[17], ketika beliau meninggal baju besinya pun tergadai pada orang Yahudi[18]. Beliau pernah menyuruh Sa`ad bin Abi Waqash memanggil dokter non-muslim yang bernama al-Hārits bin al-Kaldah untuk mengobatinya[19]. Beliau juga pernah menggunakan sistem qōnūn ijāarah(suaka politik)[20] dari orang kafir ketika beliau masih di Makkah, beliau juga pernah mengizinkan ibu Asma` binti Abi Bakar untuk bertemu dengannya di Madinah padahal ibunya Asma` pada waktu itu musyrik[21]. Kisah-kisah itu semakin menegaskan bahwa toleransi beragama Rasulullah ialah dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari`ah.

Kesimpulan

            Dari pemaparan tadi bisa disimpulkan bahwa toleransi Nabi khususnya dan Islam pada umumnya tidak hanya diakui oleh orang Muslim tapi juga oleh tokoh-tokoh Barat. Toleransi agama dalam perspektif sīrāh nabawiah ternyata berbeda dengan toleransi yang dimaksud oleh pembela pluralisme agama. Toleransi menurut sīrāh nabawiah, hanya dalam tataran menghormati pemeluk agama lain untuk melaksanakan agamanya, adapun dalam agama dan akidah tidak ada kerja sama. Toleransi juga dalam ranah sosial yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Toleransi juga tidak menghalangi umat Islam untuk merasa agamanya paling benar. Rasulullah adalah orang yang sangat toleran, tapi juga tetap mendakwahkan agama Islam sepanjang hayatnya. Kalau toleransi agama dimaknai sebagai dasar dari pluralisme agama[22], maka buat apa Nabi Muhammad susah-susah berdakwah selama 23 tahun?  




[1] . Sīrāh Nabawiah, berarti kisah perjalanan hidup  Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Dalam pembahasan ini –mengingat terbatasnya waktu dan singkatnya tulisan- Sīrāh Nabawiah hanya dibatasi pada buku: Ibnu Katsir, Ragib al-Sirjani, Shallabi, dan Mus`id Yāqūt.
[2] . Hasil fatwa MUI tentang Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama, hasilusyawarah yang diketuai oleh K.H. Ma`ruf Amin, pdf.
[3] . Di antara mereka seperti: Zuhairi Misrawi(Al-Qur`an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme), Abd. Muqsith Ghazali(Argumen Pluralisme Agama), Musthafa Ali Ya`qub(Toleransi antar Umat Beragama), Mmedia Zainul Bahri(Satu Tuhan Banyak Agama).
[4] . Zuhairi Misrawi, al-Qur`an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Penerbit: Fitrah, Cet: Pertama, 2007, hal. 177
[5] . Aksin Wijaya, Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah, (STAIN Ponorogo Press), hal. 44
[6] . Dikutip oleh Dr. Rāgib al-Sirjāni (dalam kitabnya yang berjudul: al-Rahmah fī Hayāti al-Rasūl, hal. 236) dari kitab: “Difā` `Ani al-Islām”, Penerjemah: Munīr al-Baklabaki, Dāru al-`Ilmi, Bairut: 1981, hal.73.
[7] . Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu al-Rahmah, hal. 78) dari: “Qōlu `ani al-Islām” Karya, `Imāduddin Khalīl, hal. 112
[8] . Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu al-Rahmah, hal. 78) dari: “Humanism Islam” karya: Marxel, hal. 183
[9] . Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu al-Rahmah, hal. 78) dari: “Muhammad fi al-ādābi al-`Ālamiyyah al-Munshifah” karya: Muhammad Utsman Utsman, hal. 20
[10] . ibid, hal. 107
[11] . Dalam sebuah riwayat Ahmad(Juz: IV, hal. 461), Nabi melarang sahabatnya membunuh pemuka agama ketika berperang. Ini sebagai bukti betapa Islam adalah agama yang sangat toleran. Bunyi teks haditnya sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ جُيُوشَهُ قَالَ: " اخْرُجُوا بِسْمِ اللهِ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، لَا تَغْدِرُوا، وَلا تَغُلُّوا، وَلا تُمَثِّلُوا، وَلا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ، وَلا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ " (رواه أحمد)
[12] . Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Penerbit: Maktabah al-Ma`ārif, Bairut), Juz. III hal. 90
[13] . Muhammad Shallābi, al-Sīrah al-Nabawiyah `Ardhu Waqāi` wa Tahlīlu Ahdāts, hal. 248
[14] . Piagama Madinah yang berisi 47 pasal yang diklaim sebagai dasar normatif pembela pluralisme agama sama sekai tidak menunjukkan toleransi dalam pengertian pluralisme agama. Toleransi yang terkandung di dalamnya hanya sebatas pada menghormati pemeluk agama lain menjalankan ibadahnya masing-masing.
[15] . Bani Qainuqā` diusir dari Madinah gara-gara ada salah seorang dari mereka yang menggoda wanita muslimah hingga tersingkap auratnya. Bani Nadhīr diusir gara-gara akan tidak mau membantu kaum Muslim membayar tebusan, dan berusaha membunuh Nabi. Sedangkan bani Quraidhah, diusir dan dieksekusi gara-gara bersekongkol dengan musuh untuk memberangus umat Islam dari dalam.
[16] . Dikutip oleh Dr. Ragib al-Sirjāni (al-Rahmah fī Hayāti al-Rasūl, hal. 236 al-Rahmah fī Hayāti al-Rasūl, hal. 236) dari kitab Shahih Bukhari(1290), Sunan Tirmidzi(2247), Mustadrak Hakim(1342) dan Sunan Nasai(7500)
[17] . Bunyi artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya pernah lewat satu jenazah di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri. Dikatakan kepada beliau : ‘Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bukankah ia juga manusia” [Diriwayatkan oleh Bukhari no. 1313, Muslim no. 960, An-Nasaa’iy no. 1921, dan yang lainnya]
[18] .  “Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum.” [HR. al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha].
[19] . Dr. Ragib al-Sirjāni, Qishshatu al-`Ulūm al-Thibbiyah  fi al-Hadhārati al-Islāmiyati, (Penerbit: Muassasah Iqra` li al-Nasyri wa al-Tauzī` wa al-Tarjamah, Cet: I , 1430H/2009M) hal. 31
[20] . Sistem ini berlaku pada zaman jahiliyah hingga Islam datang. Inti dari sistem ini ialah meminta perlindungan kepada suku yang kuat dan disegani, orang yang mendapat suaka politik seperti ini maka dijamin keamanannanya. Rasulullah pernah menggunakan  perlindungan Abu Thalib dan al-Muth`im bin `Addi, Abu Bakar pun pernah menggunakan suaka politik Ibnu al-Dugunnah(kawannya yang musyrik), namun yang perlu digarisbawahi di sini ialah sistem ini digunakan selama tidak bertentangan dengan syariat, dan ketika Islam sudah kuat, Nabi tidak menggunakannya lagi.
[21] . Hr. Bukhari(3012), Muslim(1003), Abu Daud(1668), dan Ahmad(26960).
[22] . Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul: MISYKAT, Refleksi Tentang Westernisasi Liberalisasi dan Islam, (Penerbit: INSIST, Cet: II, 2012), hal: 144: “Prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang menangajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan