Toleransi Agama dalam Perspektif Sīrāh
Nabawiah[1]
Oleh: Mahmud
Budi Setiawan
Pendahuluan
Walaupun
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22
Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M[2], sudah
mengeluarkan fatwa haram terhadap paham pluralisme agama, namun pada
kenyataannya, paham pluralisme agama tidaklah mati. Kalau dulu –para pembela
pluralisme agama- hanya berkutat pada tataran wacana dan diskusi, namun kini
sudah merambah ke berbagai lini kehidupan.
Fenomena ini begitu menyebar luas lantaran didukung oleh kondisi
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang merupakan komunitas yang heterogen
atau majmuk. Keragaman budaya, bahasa, adat-istiadat, dan agama semakin membuat
paham ini tumbuh subur. Apalagi, globalisasi dengan kompleksitasnya ketika
membuka batas-batas interaksi manusia dari berbagai jenis keragamannya, semakin
membutuhkan solusi ketika terjadi persoalan yang lahir dari keberagaman. Salah
satu solusi yang kerap kali didengung-dengungkan adalah pluralisme agama.
Karena pluralisme dianggap sebagai solusi,
maka dicarilah justifikasi untuk menguatkan argumentasi yang dibangun di
atasnya. Salah satu argumen pembela pluralisme agama di Indonesia dalam
menjustifikasi kebenaran konsep pluralisme agama ialah dengan mengangkat tema
toleransi[3]. Dengan
toleransi -menurut mereka-, kemajemukan atau heterogenitas keberagamaan, bisa disinergikan sedemikian rupa untuk
menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati, -bahkan pada titik yang paling ekstrim
merelatifkan kebenaran agama-agama- yang pada gilirannya dimaksudkan untuk
menciptakan kerukunan dan perdamaian antarumat beragama. Tanpa adanya
toleransi, maka pluralisme agama sangat sukar –kalau tidak boleh dikatakan
mustahil- untuk direalisasikan. Di sinilah rahasianya mengapa toleransi
dijadikan sebagai basis untuk mengafirmasi konsep pluralisme agama.
Mengingat signifikansi dan urgensi toleransi
dalam konsep pluralisme agama, para pembela konsep pluralisme agama acap kali menjustifikasinya
dengan dalil-dalil normatif dari kitab suci agama-agama, atau dari khazanah
historis yang mengiringi doktrin-doktrin agama. Terkhusus bagi pembela konsep
pluralisme agama yang berasal dari kalangan Muslim di Indonesia, biasanya tanpa
merasa canggung dan tabu mencari justifikasi konsep pluralisme agama dengan
memelintir, dan mereduksi ayat-ayat suci al-Qur`an, Hadits-dadits Nabi, bahkan Sīrah
Nabawiyah(perjalanan hidup Nabi) yang mengandung nilai toleransi untuk
kepentingan pluralisme agama.
Di antara contoh singkat, bentuk justifikasi pembela
pluralisme agama untuk melegitimasi toleransi ialah sebagai berikut. Pertama,
Biasanya dari al-Qur`an diambil sepenggal ayat dari surat al-Baqarah ayat: 256
yang artinya, ‘Tidak ada paksaan dalam agama .....”; ada pula ayat lain
dalam surat al-Kahfi ayat: 29 yang artinya, ‘....barangsiapa menghendaki
(beriman), maka berimanlah, barang siapa menghendaki(kekufuran), maka
kafirlah’. Kedua ayat itu dianggap sebagai dasar normatif dari al-Qur`an
yang mengandung nilai toleransi yang begitu tinggi yang pada gilirannya bisa
dijadikan dasar bagi konsep pluralisme agama. Yang dipaham dari kedua ayat itu,
kalau memaksa orang beragama itu tidak dibenarkan, dan Allah sendiri telah
memberi kebebasan untuk memeluk agama atau tidak, maka toleransi agama adalah
keniscayaan.
Kedua, Hadits yang
biasa dipakai dalam mengafirmasi toleransi untuk kepentingan pluralisme agama
ialah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Bukhari yang artinya, ‘Agama yang
paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran’[4]. Secara
eksplisit hadits ini menjelaskan posisi toleransi dalam Islam. Hadit ini juga sangat
menganjurkan sikap toleransi dalam beragama. Ketiga, dari
sejarah Nabi Muhammad ketika, biasanya diambil rujukan perjanjian Piagam
Madinah sebagai cikal bakal justifikasi pluralisme agama. Dalam Piagam Madinah
sangat sarat dengan nilai toleransi. Aspek pluralitas masyarakat seperti
pluralisme agama, suku dan tradisi diletakkan secara egaliter[5]. Piagam
Madinah –yang penuh toleransi keberagamaan- dijadikan acuan untuk membenarkan
konsep pluralisme agama.
Bertolak dari alasan-alasan normatif-historis
tersebut, penulis merasa perlu untuk membahas secara kritis terkait masalah
toleransi beragama yang secara spesifik dalam perspektif sejarah Nabi Muhammad.
Secara khusus dipilih pendekatan historis dari sīrāh nabawiah, karena di
samping sudah banyaknya pembela konsep pluralisme agama yang mengambil rujukan dari al-Qur`an dan Hadits,
untuk menjustifikasi idenya atas nama toleransi, pendekatan historis dari sīrāh
nabawiah sangat diperlukan untuk mengetahui obyektivitas mereka dalam
mengambil rujukan dari sejarah. Di samping itu, kita bisa memahami secara komprehensif
mengenai sikap Nabi Muhammad SAW. terkait toleransi beragama.
Pengakuan Tokoh-tokoh Barat terhadap
Toleransi Nabi Muhammad dan Islam
Namun, sebelum lebih jauh membahas toleransi
agama dalam perspektif sejarah Nabi di
Madinah, ada baiknya disebutkan beberapa pendapat dari para tokoh Barat terkait
toleransi Nabi Muhammad shallallāhu `alaihi wasallam. Laura Veccia Vaglieri
seorang peneliti dari Italia pernah berujar: “Muhammad sangat toleran,
khususnya pada para pemeluk agama lain”[6].
Sementara itu, Maxime Rodinson (Sejarawan Prancis) berkata: “Muhammad adalah
seorang hakim yang toleran”[7].
Sedangkan Marxel (Peneliti dari Prancis) berkomentar: “Toleransi bagi Muhammad
merupakan kewajiban agama dan perintah syari`at”[8]. Adapun
filosof Jerman, Johan Wolfgang von
Goethe menandaskan: “Muhammad adalah orang yang memiliki toleransi sangat tinggi”[9].
Tak hanya itu,
seorang pendeta dari Jerman yang bernama Maisson mengkomparasikan antara
toleransi Islam dan Kristen[10]:
Inna al-islāma alladzi amara bi
al-jihādi mutasāmihun nahwa atbā`i al-adyāni al-ukhra. Wa huwa alladzi a`fā
al-bathārikata wa al-ruhbān wa khadamahum min al-dharāib, wa harrama qatla
al-ruhbān -`ala al-khusūs- li `ukūfihi `alā al-`ibādāt wa lam yamassa `Umaru
ibni al-Khatthāb al-nashāra bi sūin hīna fataha al-Qudsa...... wa qad dzabaha
al-shalibiyyūn al-muslimīna wa harraqū al-yahūda `indama dakhalūhā.
Terjemahan bebasnya: Sesungguhnya
Islam yang memerintahkan jihad, (begitu) toleran terhadap pemeluk agama lain.
Islamlah yang melepaskan para pendeta, rahib dan pelayan mereka dari pajak.
Islam juga mengharamkan membunuh para rahib –secara khusus- karena mereka
menjalankan ibadah. Umar bin Khatab ketika membebaskan al-Quds juga tidak
menyakiti sedikitpun penduduknya.....lain halnya dengan pasukan salib, ketika
masuk mereka membunuh orang-orang Muslim dan membakar orang-orang Yahudi.
Dari beberapa perkataan itu, sebagian tokoh Barat yang
obyektif mengakui bahwa Nabi Muhammad
adalah orang yang sangat toleran, dan Islam adalah agama yang toleran.
Pernyataan-pernyataan tokoh Barat yang obyektif itu, merangsang kita untuk
menggali lebih jauh melalui sīrāh nabawiah khususnya dalam kajian ini terkait masalah
toleransi beragama.
Toleransi Agama dalam Perspektif Sīrāh Nabawiah
Terkait dengan masalah
toleransi agama dalam perspektif sīrāh nabawiah, pembahasannya bisa
diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu: akidah, ibadah, dan interaksi
sosial. Pertama, dari aspek akidah toleransi agama yang
dipraktikkan Nabi sangat jelas dan tegas. Sebagaiaman surah al-Bararah, 256,
tidak ada paksaan sama sekali dalam memasuki agama[11]. Nabi
pun ketika di Madinah sangat menghormati pemeluk lain dalam menjalankan agama.
Namun yang perlu ditekankan di sini ialah, toleransi Nabi kepada pemeluk lain
secara akidah, ialah menghormati dan tidak memaksa pemeluk lain untuk memeluk
agama Islam. Toleransi agama yang dipraktikkan Nabi, tidak sampai mengarah pada
relativitas kebenaran agama, sehingga menganggap semua agama benar. Kedua,
dalam peribadatan pun beliau toleran dalam artian, menghormati pemeluk agama
lain menjalankan agama masing-masing, bukan dalam pengertian mencari
titik-temu, atau meyakini bahwa ibadah pemeluk agama lain juga benar.
Suatu saat, ketika
Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam berada di depan Ka`bah, beliau didatangi oleh
al-Aswad bin al-Muthallib, al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bi Khalaf dan al-`Āsh
bin Wāil[12].
Mereka mencoba bernegoisasi dengan Muhammad terkait masalah akidah dan ibadah.
Pada intinya, mereka menginginkan agar Muhammad mau bergantian dalam
menjalankan agama masing-masing supaya terjadi kerukunan dan perdamaian. Namun
bertepatan dengan itu, turunlah surat al-Kafirun, ayat satu sampai enam. Ayat
itu secara tegas menyatakan bahwa dalam masalah akidah dan peribadatan tidak
ada yang namanya toleransi. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ini membuktikan
bahwa dalam masalah akidah dan ibadah tidak ada yang namanya toleransi. Kalau
dalam ibadah saja tidak ada yang namanya toleransi, bagaimana mungkin
pluralisme agama –dalam pengertian semua agama sama- bisa diterima bila
ditinjau dari segi sejarah Nabi Muhammad.
Pada tahun ke sembilan hijriah, ketika utusan
Kristen Najran, Yaman pergi ke Madinah[13], mereka
disambut dan dihormati dengan baik oleh Rasulullah shallallāhu `alaihi
wasallam meskipun pada akhirnya mereka tidak masuk Islam. Beliau malah
mengirim surat kepada uskup mereka yang bernama Abu al-Harist, yang inti
suratnya ialah mereka aman menjalankan ibadahnya. Toleransi ini tidak hanya
berlaku kepada agama Nashrani saja, agama-agama lain pun mendapat perlakuan
yang sama selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah[14]. Adapun
Yahudi(bani Qainuqā`, Nadhīr dan Quraidhah[15]) yang
diusir dan diperangi oleh Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam dan
para sahabatnya, lantaran mereka menyalahi janji Piagam Madinah dan berusaha
mengkudeta Islam dengan bersekongkol dengan musuh. Sehingga sangat wajar jika
dalam sejarah, mereka diusir dari Madinah.
Ketiga, Dalam hal
interaksi sosial, beliau sangat toleran(tentu saja selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai syari`ah). Terkait dengan masalah ini, ada kisah menarik
yang perlu dipaparkan di sini. Nabi Muhammad menurut riwayat Anas bin Malik[16], suatu
ketika anak orang Yahudi yang menjadi pelayan Rasulullah shallallāhu `alaihi
wasallam sakit sehingga tidak bisa melayani Rasulullah seperti biasanya.
Lalu Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam menjenguknya. Ia pun duduk
di samping kepalanya. Lalu berkata padanya: “Masuk Islamlah!”. Lantas anak itu
melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya pun berkata:
“Taatilah Abu Qosim(Muhammad shallallāhu `alaihi wasallam)!. Lau anak
itu masuk Islam. Nabi pun keluar seraya berkata: “Segala puji bagi Allah, yang
telah menyelamatkannya dari api neraka”.
Kisah tersebut memberikan gambaran tentang
begitu besarnya toleransi beliau dalam berinteraksi dengan orang non-muslim. Ia
memperlakukan pelayannya yang beragama Yahudi seperti keluarganya sendiri. Ia
tidak hanya ramah ketika anak itu berada di rumah membantunya. Ia juga
menjenguknya ketika anak Yahudi itu sedang sakit. Yang menjadi catatan penting
di sini ialah, meskipun beliau mempunyai toleransi tinggi dalam bidang sosial,
beliau tetap punya prinsip bahwa agama Islam lah yang paling benar. Dakwah
Islam tidak boleh berhenti. Dalam kasus anak Yahudi ini, atas nama toleransi
tidak menghalangi beliau untuk mendakwahkan kebenaran Islam. Hal ini sangat
jauh berbeda dengan kebanyakan pembela pluralisme agama yang merelatifkan
kebenaran. Merasa benar sendiri adalah suatu hal yang ironis bagi mereka. Pada
kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa, sikap toleransi dalam interaksi
sosial tidak menghalangi umat Muslim untuk mendakwahkan kebenaran Islam.
Di samping itu, ternyata dalam sīrāh nabawiah
ada banyak sekali kisah berkaitan dengan interaksi sosial Rasulullah bersama
orang non-muslim. Beliau pernah berdiri menghormati jenazah orang yahudi[17], ketika
beliau meninggal baju besinya pun tergadai pada orang Yahudi[18]. Beliau
pernah menyuruh Sa`ad bin Abi Waqash memanggil dokter non-muslim yang bernama
al-Hārits bin al-Kaldah untuk mengobatinya[19]. Beliau
juga pernah menggunakan sistem qōnūn ijāarah(suaka politik)[20] dari
orang kafir ketika beliau masih di Makkah, beliau juga pernah mengizinkan ibu
Asma` binti Abi Bakar untuk bertemu dengannya di Madinah padahal ibunya Asma`
pada waktu itu musyrik[21].
Kisah-kisah itu semakin menegaskan bahwa toleransi beragama Rasulullah ialah
dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari`ah.
Kesimpulan
Dari pemaparan tadi
bisa disimpulkan bahwa toleransi Nabi khususnya dan Islam pada umumnya tidak
hanya diakui oleh orang Muslim tapi juga oleh tokoh-tokoh Barat. Toleransi
agama dalam perspektif sīrāh nabawiah ternyata berbeda dengan toleransi yang
dimaksud oleh pembela pluralisme agama. Toleransi menurut sīrāh nabawiah, hanya
dalam tataran menghormati pemeluk agama lain untuk melaksanakan agamanya,
adapun dalam agama dan akidah tidak ada kerja sama. Toleransi juga dalam ranah
sosial yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Toleransi juga tidak
menghalangi umat Islam untuk merasa agamanya paling benar. Rasulullah adalah
orang yang sangat toleran, tapi juga tetap mendakwahkan agama Islam sepanjang
hayatnya. Kalau toleransi agama dimaknai sebagai dasar dari pluralisme agama[22], maka buat
apa Nabi Muhammad susah-susah berdakwah selama 23 tahun?
[1]
. Sīrāh Nabawiah, berarti kisah
perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam. Dalam pembahasan ini –mengingat terbatasnya waktu dan
singkatnya tulisan- Sīrāh Nabawiah hanya dibatasi
pada buku: Ibnu Katsir, Ragib al-Sirjani, Shallabi, dan Mus`id Yāqūt.
[2]
. Hasil fatwa MUI tentang Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama,
hasilusyawarah yang diketuai oleh K.H. Ma`ruf Amin, pdf.
[3]
. Di antara mereka seperti: Zuhairi Misrawi(Al-Qur`an Kitab Toleransi,
Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme), Abd. Muqsith Ghazali(Argumen
Pluralisme Agama), Musthafa Ali Ya`qub(Toleransi antar Umat Beragama),
Mmedia Zainul Bahri(Satu Tuhan Banyak Agama).
[4]
. Zuhairi Misrawi, al-Qur`an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, Penerbit: Fitrah, Cet: Pertama, 2007, hal. 177
[5]
. Aksin Wijaya, Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah,
(STAIN Ponorogo Press), hal. 44
[6]
. Dikutip oleh Dr. Rāgib
al-Sirjāni (dalam kitabnya
yang berjudul: al-Rahmah fī
Hayāti al-Rasūl, hal.
236) dari kitab: “Difā` `Ani al-Islām”, Penerjemah: Munīr al-Baklabaki,
Dāru al-`Ilmi, Bairut: 1981, hal.73.
[7]
. Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu
al-Rahmah, hal. 78) dari: “Qōlu
`ani al-Islām”
Karya, `Imāduddin Khalīl, hal. 112
[8]
. Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu
al-Rahmah, hal. 78) dari: “Humanism Islam” karya: Marxel, hal. 183
[9]
. Dikutip oleh Muhammad Mus`id Yāqūt (dalam kitabnya yang berjudul: Nabiyyu
al-Rahmah, hal. 78) dari: “Muhammad fi al-ādābi
al-`Ālamiyyah
al-Munshifah” karya: Muhammad Utsman Utsman, hal. 20
[10]
. ibid, hal. 107
[11]
. Dalam sebuah riwayat Ahmad(Juz: IV, hal. 461), Nabi melarang sahabatnya
membunuh pemuka agama ketika berperang. Ini sebagai bukti betapa Islam adalah
agama yang sangat toleran. Bunyi teks haditnya sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
بَعَثَ جُيُوشَهُ قَالَ: " اخْرُجُوا بِسْمِ اللهِ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ
مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، لَا تَغْدِرُوا، وَلا تَغُلُّوا، وَلا تُمَثِّلُوا، وَلا تَقْتُلُوا
الْوِلْدَانَ، وَلا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ " (رواه أحمد)
[12]
. Ibnu Katsir, al-Bidāyah
wa al-Nihāyah, (Penerbit:
Maktabah al-Ma`ārif,
Bairut), Juz. III hal. 90
[14]
. Piagama Madinah yang berisi 47 pasal yang diklaim sebagai dasar normatif
pembela pluralisme agama sama sekai tidak menunjukkan toleransi dalam
pengertian pluralisme agama. Toleransi yang terkandung di dalamnya hanya
sebatas pada menghormati pemeluk agama lain menjalankan ibadahnya
masing-masing.
[15]
. Bani Qainuqā` diusir dari
Madinah gara-gara ada salah seorang dari mereka yang menggoda wanita muslimah
hingga tersingkap auratnya. Bani Nadhīr
diusir gara-gara akan tidak mau membantu kaum Muslim membayar tebusan, dan
berusaha membunuh Nabi. Sedangkan bani Quraidhah, diusir dan dieksekusi
gara-gara bersekongkol dengan musuh untuk memberangus umat Islam dari dalam.
[16]
. Dikutip oleh Dr. Ragib al-Sirjāni
(al-Rahmah fī Hayāti
al-Rasūl, hal. 236
al-Rahmah fī Hayāti
al-Rasūl, hal. 236)
dari kitab Shahih Bukhari(1290), Sunan Tirmidzi(2247), Mustadrak Hakim(1342)
dan Sunan Nasai(7500)
[17]
. Bunyi artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya pernah lewat satu jenazah di hadapan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri. Dikatakan kepada
beliau : ‘Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi’. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bukankah ia juga manusia” [Diriwayatkan oleh
Bukhari no. 1313, Muslim no. 960, An-Nasaa’iy no. 1921, dan yang lainnya]
[18]
. “Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang
Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum.” [HR. al-Bukhari dan Muslim
dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha].
[19]
. Dr. Ragib al-Sirjāni, Qishshatu
al-`Ulūm
al-Thibbiyah fi al-Hadhārati al-Islāmiyati, (Penerbit: Muassasah
Iqra` li al-Nasyri wa al-Tauzī`
wa al-Tarjamah, Cet: I , 1430H/2009M) hal. 31
[20]
. Sistem ini berlaku pada zaman jahiliyah hingga Islam datang. Inti dari sistem
ini ialah meminta perlindungan kepada suku yang kuat dan disegani, orang yang
mendapat suaka politik seperti ini maka dijamin keamanannanya. Rasulullah
pernah menggunakan perlindungan Abu
Thalib dan al-Muth`im bin `Addi, Abu Bakar pun pernah menggunakan suaka politik
Ibnu al-Dugunnah(kawannya yang musyrik), namun yang perlu digarisbawahi di sini
ialah sistem ini digunakan selama tidak bertentangan dengan syariat, dan ketika
Islam sudah kuat, Nabi tidak menggunakannya lagi.
[21]
. Hr. Bukhari(3012), Muslim(1003), Abu Daud(1668), dan Ahmad(26960).
[22]
. Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul: MISYKAT,
Refleksi Tentang Westernisasi Liberalisasi dan Islam, (Penerbit: INSIST,
Cet: II, 2012), hal: 144: “Prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana
L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan
Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi
relativisme kebenaran yang menangajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !