Home » » Pengembaraan Sarikhluk

Pengembaraan Sarikhluk

Written By Amoe Hirata on Jumat, 21 November 2014 | 09.44



1
Hari Kiamat Nasional

            Malam semakin larut.  Sarikhuluk - Sang PENYET(Pemuda Nyeleneh Tenan)- berniatan gabung dengan teman-teman yang sedang  jaga desa di poskamling. Malam itu terlihat lebih ramai dan tak seperti biasanya. Seakan-akan ada acara serius sedang  berlangsung. Setelah Sarikhuluk mendekat ternyata teman-temannya sedang mengadakan diskusi kecil-kecilan. Diantara temannya yang ikut ialah: Paijo, Paimen, Parman, Parno(yang biasa disingkat P3P), ada juga Karman, Bejo dan Si Lugu Margono. Tema yang diangkat ialah tentang: Hari Kebangkitan Nasional.
            Sesampainya di LTDB(Lokasi Tempat Diskusi Berlangsung) dengan sengiran khasnya Sarikhuluk menyapa teman-temannya. “Hei Assalamualaikum semuanya”. “Wa`alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh”. “Ngomong-ngomong ada apa nih?”. “Ooo gini Luk, kami sedang mengadakan diskusi kecil-kecilan temanya: Hari Kebangkitan Nasional. Kan sekarang tanggal 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional yang bertepatan dengan lahirnya organisasi Budhi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional”.
            “Kalau aku boleh mengusulkan, aku lebih sreg dengan judul: Hari Kiamat Nasional”. “Lho...lho...lho...ngawur kamu Luk emang negara ini mau hancur apa pake kiamat segala”(Sanggah Parman, yang memimpin diskusi). Margono menyahuti: “Lha  iya aku setuju banget Luk. Negara ini sudah berumur lebih dari setengah abad tapi kok mabni alas sukuun aliasa ga maju dan ga mundur.Yang berkembang di sana-sini malah perpecahan, kekacauan, korupsi, prostitusi, dan banyak hal lain yang bisa merusak kebangkitan nasional bangsa ini. Tonton saja yang dipajang media setiap hari, isinya mesti ada kekacauan demi kekacauan”.
            Sarikhluk mencoba menjelaskan, “ Pertimbanganku memakai kata kiamat bukan berarti ngawur dan tak diperhitungkan. Seingatku dulu waktu ngaji dilanggarnya Yai Satuman, kata “kiamat” itu berasal dari bahasa Arab”Qooma yaquumu qiyaaman” artinya berdiri. Lha namanya kebangkitan itu kan hari keberdirian, ketegakan seseorang dari situasi duduk jumudnya, sehingga mengalami perubahan yang lebih baik. Makanya aku lebih sreg menggunakan kata itu. Kalau kemudian kata kiamat di Indonesia pasti identik dengan kata kehancuran dan kebinasaan karena menganggap dunia telah hancur binasa ya oke oke saja silahkan. Bagiku kiamat yang ada di al-Qur`an itu meskipun secara wadak mengandung makna kehancuran alam, namun pada hakikatnya itu merupakan proses yang secara ilahiyah berarti kebangkitan supra dahsyat untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki dan sejati. Aku ga mau mendikotomi, misah-masahno ini dunia, ini akhirat wong semua kembali pada-Nya kok”.
            “Lantas solusi apa Luk, yang kamu tawarkan di kala kebangkitan nasional ini semakin tergerus oleh berbagai kepentingan dan tendensi”(Tukas Bejo). “Lha kamu ini lucu Jo, awak-awakan kan cuman orang biasa, siapa yang mau mandang kita? Sebrilian apapun kita ga bakal didengan apalagi melbu tive. Jadi ga usah memusingkan diri kesitu, terlalu adoh(jauh). Aku menggunakan kata Hari Kiamat Nasional itu sebenarnya sedikit usaha psikologis naratif sekaligus normatif untuk menghibur diri dan kalian semua agar tetap semangat tetap ada harapan di tengah kondisi Nasional yang semakan edan ga ketulungan”. “Adoh adoh Luk...luk...ngocak (ngomong)apa sampen dassar sok ilmiah, puyeng tang cetak(pusing kepala)”(timpal Karman, pendatang asal Sumenep, Madura).
            “Gini ya konco-konco sekalian yang budiman. Jangan terlalu bingung dengan kata kebangkitan atau apalah istilahnya berkaitan dengan bangsa dan nasionalisme kita. Kita ga akan dibebani hal yang di luar kemampuan kita kok. Kita mau ada kebangkitan nasional tapi diri kita terjajah oleh budaya asing dan kita menikmati; kita mau ada perubahan mendasar tapi diri kita diam-diam menyimpan kepentingan individu untuk gantian melakukan korupsi; kita mau ada perubahan-perubahan yang signifikan tapi ga gelem(ga mau) bangkit-bangkit dari kemalasan, kecerobohan, keegoisan, keserakahan yang bersemayam pada diri kita sendiri. Jangan mengharap kebangkitan bila atimu(hatimu) masih ditumbuhsuburi gejala dan sifat semacam itu. Orang kalah dan tak bangkit itu biasanya di samping sistem yang rusak juga karena hatinya sudah kalah dan terjajah. Makanya walaupun Kebangkitan Nasional ga bangkit-bangkit hati kita harus tetap bangkit. Dengan kata Hari Kiamat Nasional, mudah-mudahan Allah turun tangan membangkitkan, membangunkan anak-anak bangsa yang terus-menerus asyik dalam tidur panjangnya”. Sarikhuluk ngomong dengan penuh semangat dan sok ilmiah. Tapi di luar kesadarannya yang ada di siskamling hanya P3P sedang terlelap tidur, sedang yang lain ada yang pulang juga ada yang ronda. Kuluk berkata: “Diancuk ngomong panjang-panjang malah ga diperhatikan. Gitu mau menginginkan kebangkitan nasional, wong sebenarnya awake suka tidur, dak serius dan suka dininabobokkan orang, makanya rada susah kita mau bangkit. Wes ah moleh wae(pulang saja). Allaohumma kiamatno wongsoku, kiamatno wongsoku, supaya kebangkitan kami bukan kebangkitan semu yang malah manipu, kami sudah tak mampu menanggung kenyenyakan tidur nasional”. Aaamiiin. “Lho wes Shubuh ternyata”.
           

2
‘Media Dajjal’

            Malam selepas shalat Tarawih, Sarikhuluk beserta teman jagongannya menyempatkan tadarus Qur`an, tapi dengan caranya sendiri. Sarikhuluk menjelaskan: namanya tadaarus itu ya melibatkan orang lebih dari satu, karena kalau melihat timbangan ilmu Sharaf, menunjukkan musyaarakah(bersekutu antara dua pihak). Dalam sudut pandang ini kata Sarikhuluk menilai kebanyakan tadarus yang ada di desanya terhitung benar. Tapi di sisi lain yang membuat Sarikhuluk prihatin ialah penyempitan makna tadaarus. Kebanyakan masyarakat hanya memaknainya sekadar membaca Al-Qur          `an dan saling menyimak. Padahal tadaarus adalah kegiatan untuk saling mencari dars(pelajaran). Bagaimana mungkin manusia bisa mengambil pelajaran, kalau hanya sekadar dibaca. Mau tak mau namanya tadaarus biar tidak menyimpang jauh dari artinya harus didekati dengan olah pikir dan akal, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an. Sarikhuluk bertanya pada teman-temennya: “mungkinkah kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an kalau kita hanya membacanya saja, tanpa melibatkan akal dan pikiran kita?”. Paijo menjawab: “tapi kan tetap ada manfaatnya secara spritual dan psikologis?”. “Iya memang, tapi apa kita bisa paham dan mengambil pelajaran jika cuman membacanya, pelajaran ini ranahnya akal dan pikir, tanpa itu maka mustahil akan mengambil pelajaran”(tambah Sarikhuluk). “Jadi maksudmu kita sekarang tadarus Al-Quran dengan model baru ala kamu?”(tanya Paimen). “Ya tepat sekali. Aku pikir kalau membaca perhuruf Al-Qur`an pahalanya begitu besar, apalagi mengambil pelajaran dan mengamalkannya”(lanjut Sarikhuluk).
            “Oke saiki(sekarang) tak serahkan pada kalian saja, enaknya bahas apa”(tawaran Sarikhuluk pada teman-temannya). “Anu saja kita bahas tema: Dajjal. Dari dulu aku pingin tahu, opo bener dajjal ada”(Ushul Brudin). “Gimana teman-teman setuju ga?”(tanya Sarikhuluk). “Setujuuuuuuuuuuu”(jawab mereka serentak). “Kalau setuju, tak kasih dasaran dulu, biar kita benar-benar darus Qur`an sebagaimana metode tadi. Dajjal nek secara tegas iku ga ada. Tapi meksi ga ada bukan berarti secara implisit ga ada. Sebab sebagaimana arti secara bahasa yaitu: banyak dusta, secara tersurat ada disebut dalam AL-Qur`an. Sebagian ulama` onok yang nyebut dajjal tersirat dalam surat Al-An`am ayat 158. Kalau di hadist sangat banyak sekali. Tapi supoyo kalian tidak sekedar membaca sejarahnya, saiki kalian tak ajak mikir lebih kontekstual. Ayo tema dajjal iki dikaitkan dengan kebanyakan media yang sekarang ini lagi berkembang”. “Maksudnya gimana Luk. Aku ndak ngerti”(timpal Paidi). “Gini lho rek, tak kasih dasaran secara global mengenai dajjal, kemudian nanti kita kaitkan dengan kondisi media di sekitar kita saat ini”. “Oke kalau gitu, mana dasaran yang kamu jelaskan”(pinta Margimen). “Dajjal iku artine secara bahasa: kakean mbujuk(banyak bohong) menipu. Pintar memutar balikkan fakta(surga bisa dibalik jadi neraka, neraka bisa dibalik jani surga di hadapan semua orang). Motone(matanya) cuman satu yang berfungsi. Di kepalanya ada tanda kaf fa ra alias kafir, dan hanya bisa dilihat oleh orang mukmin. Memiliki kecepatan yang luar biasa. Semua bumi didatanginya kecuali Makkah dan Madinah. Dajjal akan diikuti orang Yahudi dari Asbahan. Dajjal merupakan fitnah terbesar sepanjang sejarah manusia. Nabi selalu memperingatkan akan kedatangannya. Makanya saking besarnya fitnahnya, sampai-sampai dalam shalat ada doa khusus untuk meminta perlindungan darinya. Nah iki mau cuman dasaran saja. Masalah dajjal iku ono opo ga secara biologis, itu jangan terlalu diperdebatkan. Pokoke kalau iman ya hsrud yakin kalau dajjal benar-benar ada”(papar Sarikhuluk).
            “Terus sekarang kalau dibandingkan dengan kebanyakan media sekarang ini gimana Luk?(tanya Paidi)”. “Coba renungkan bareng-bareng, kebanyakan media kita saat ini sangat mirip dengan sifat-sifat dajjal yang tak gambarkan tadi. Kebanyakan media, baik elektronik maupun cetak itu berisi kebohongan-kebohongan. Ironisnya kebanyakan orang seolah tersihir menikmati kebohongan-kebohongan itu. Iklan-iklan media di TV kebanyakan mengajak orang kepada yang bukan dirinya. TV menjadi tuntunan, agama menjadi tontonan. Orientasi media kebanyakan hanya satu: dunia oriented. Yang menang ialah yang punya modal besar. Peran media sangat besar dalam membalikkan fakta. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Sekarang ini kan abad informasi, siapa saja yang menguasai media, maka berpeluang besar menggiring opini masyarakat. Dibanding dengan dajjal tadi, media sama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau dulu komunikasi jarak jauh dibutuhkan waktu sekian lama, sekarang hanya beberapa detik sudah bisa komunikasi. Ada tanda kaf fa ra juga di kebanyakan media, dan itu hanya bisa dilihat oleh orang yang beriman. Kafir asala artinya menutupi, kamu lihat media kebanyakan menutup-nutupi sesuatu yang seharusnya tak boleh ditutupi. Dajjal akan mendatangi semua dunia, demikian juga media, hampir ditiap wilayah media pasti masuk walau masih sangat sederhana. Dan agen-agen besar media di dunia ini kebanyakan melayani misi Yahudi. Nek kalian pingin selamat dari fitnahnya yo pertebal iman, ojo gumunan lan gampang melok(jangan gampang kaget dan ikut-ikutan), tetap kritis, trus gunakan media sebatas keperluan. Kalau tidak kalian pasti ikut mereka. Soale memang menggiurkan godaane. Lha kajian-kajian semacam ini salah satu upaya agar kita tidak ikut-ikutan pada kebanyakan ‘media dajjal’. Yang penting sekarang bukan mempermasalahkan kapan datang dajjal. Sejauh mana yang lebih penting  persiapan kita menghadapinya di tengah-tengak lingkungan yang kebanyakan dipenuhi dengan kebanyakan ‘media dajjal’(Sarikhuluk menjelaskan dengan sangat serius dan semangat. Tapi tanpa dinyana teman-temannya ada yang tidur dan ada yang mengalihkan perhatiannya ke TV, hand pone dan lain sebagainya) Jangkrek arek-arek iki belum sampai setengah jam sudah terkena ‘media dajjal’(tegur Sarikhuluk dengan sangat kesal).

3
Perusahaan NKRI

            Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sarikhlukuk beserta anaknya sedang asyik berdiskusi di teras depan rumah. Diskusi yang sedang berlangsung awalnya menyangkut masalah pribadi anaknya yang bernama, Satria Pinandita. Namun, di sela-sela diskusi, di embong (jalan depan rumah) ada tetangga rumah yang sedang berdiri -katanya sih cari angin-, namanya Adi Kusuma. Adi Kusuma berprofesi sebagai pekerja proyek, yang secara khusus mengemudikan alat-alat berat, untuk proyek pengurukan sawah yang akan dijadikan pabrik. Dilihat dari riwayat akademisnya, memang Adi Kusuma terlihat tidak begitu menonjol dan hanya tamatan SMK, namun malam itu sekat-sekat akademis seolah menjadi lebur. Adi seolah menjadi ‘sarjana kehidupan’, yang ditempa langsung dengan pendidikan alam nyata. Yang paling tinggi waktu itu secara titel akademis ya cuma Satria Pinandita yang sudah S1. Meski begitu dialog sangat cair dan mencerahkan, dari masalah yang sederhana berkaitan dengan proyek, watak masyarakat kampung hingga membahas rakyat dan negara. Sarikhuluk pun menyapa Adi: ‘Ad gimana kabar proyeknya? Lancar kan?’. “Al-hamdulillah pak. Meski sebenarnya bigonya cuma satu, tapi masih lancar”Jawab Adi sambil berdiri. “Aku jadi teringat ketika kerja di Kalimantan, borongan urukan tanah memang sangat menjajikan. Tapi tempat urukan dengan jalan raya memang jaraknya sangat jauh” sambung Sarikhuluk sekenanya. Akhirnya Adi Kusuma yang tadinya berdiri, ikut duduk di teras rumah bersama Sarikhuluk dan Satria untuk sekadar mengobrol atau mendiskusikan tema yang lagi trend dan sangat aktual.
            “Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa pintar dan hebat” kata Satria Pinandita membuka diskusi. “Lha kalau memang hebat kenapa rakyat Indonesia tidak maju-maju? Menurutku sih bagaimanapun juga yang pinter ya tetap orang luar negeri. Buktinya motor, HP, pesawat, dan masih banyak lagi itu buatan luar negeri. Undang-undang aja konon kabarnya yang namanya KUHP itu copy-paste (njiplak) dari hukum belanda. Lalu di mana letak kepintaran bangsa kita?” komentar Adi dengan nada tidak setuju. “ Apa yang aku bicarakan berkaitan dengan kepintaran dan kehebatan bangsa Indonesia itu dalam taraf potensi (kemampuan) sekaligus realita. Artinya secara kemampuan sebenarnya anak Indonesia tak kalah hebat dengan anak luar negeri. Buktinya dalam even-even perlombaan internasional masih bisa bersaing, dan tak sedikit yang bahkan menjuarainya. Cuma ya itu, ada karakter yang sulit dirubah dari rata-rata penduduk negara besar ini, yaitu karakter inferior(minder/rendah diri). Bisa jadi karena warisan nenek moyang yang dijajah begitu lama oleh Belanda, atau ada upaya serius, terukur, dan sistematis dari luar Indonesia untuk menghambat pertumbuhan potensi bangsa Indonesia. Ibarat tumbuhan, strategi yang mereka gunakan itu persis seperti membonsai tanaman. Tanaman yang seharusnya besar –karena tujuan tertentu- dibonsai sedemikian rupa sehingga menghambat laju kembangnya. Kita bisa melihat pada realitanya, kenapa orang-orang pintar yang sukses lebih suka kerja di luar negeri dari pada di Indonesia, itu karena di samping kurang dihargai dan difasilitasi, secara kesejahteraan juga tak begitu diperhatikan, jadi sangat wajar kalau mereka memilih di luar negeri. Kalaupun tetap memaksa diri di Indonesia, sudah barang tentu tidak akan berkembang” papar Satria sedikit berapologi.
            “Secara realita, bangsa Indonesia sampai sekarang kan tak bangikit-bangkit. Kalau diprosentasikan mungkin jadi paling buncit. Kebesaran masa lalu diungkit-ungkit, sedang untuk masa sekarang dan yang akan datang serasa sempit dan terhimpit.  Pontensi seperti yang kamu ucapkan itu kan bahasa gampangannya berarti kempampuan yang memungkinkan untuk dikembangkan. Lha kalau dibonsai terus, mana bisa bangkit dan berkembang Satria? Kemudian pernah kah diadakan penelitian secara serius mengenai berapa anak bangsa sendiri yang tergolong sukses dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 246,9 juta. Emang lebih banyak mana? Yang berpotensi apa yang tak berpontensi; banyak yang sukses apa yang ngenas?” tambah Sarikhuluk. “Wah kalau acuannya seperti itu, memang sangat sedikit sekali prosentasinya. Maksud saya Pak, lebih mendasar bahwa bangsa ini sangat potensial sekali untuk menjadi bangsa besar karena mempunyai kemampuan besar. Masalahnya di lapangan kan banyak yang menghalang-halanginya. Ada semacam karakter jegal menjegal; tidak senang melihat temannya bahagia; adu gengsi dan banyak lagi sifat yang turut menghambat perkembangannya” tambah Satria. “Mimpi orang Indonesia itu dari segenap strata dan levelnya satu, yaitu pingin menjadi kaya. Apapun profesinya rata-rata ujung-ujungnya pingin jadi kaya. Ga ulama`, ustadz, guru, dokter, dan lain sebagainya semua ingin kaya. Yang kaya sungguh dihormati, yang tak punya selalu disakiti dan ditinggal pergi” komentar Adi dengan mimik serius. “Itu benar. Jangankan orang kaya, anjingnya saja juga turut dihormati kalau si anjing milik orang kaya” ucap Sarikhuluk menguatkan.
            “Korupsi kian menjamur. Orang jujur semakin terkubur. Mereka sudah tak malu-malu lagi korupsi, karena sudah menganggapnya sebagai profesi. Aku nek ngarani(aku kalau mengistilahkan: red) Indonesia tak lagi bisa disebut negara. Ini bukan negara NKRI tapi Perusaan NKRI” celetuk Adi. “Wus jangan ngawur gitu Ad, bagaimanapun juga kan sebagai warga yang baik kita tetap menjaga etika kita” nasihat Satria. “Menurutku dari sudut pandang bisnis, sebagaimana pandangan Adi, memang sangat layak untuk dikatakan sebagai perusahaan. Lha gimana coba, yang banyak menentukan bukan lagi rakyat dalam menentukan presiden. Hanya orang-orang elit dan berduit yang mampu untuk menjadi presiden. Minimal walaupun tidak kaya, `kan yang mendukung dibelakangnya harus orang kaya. Kamu juga bisa melihat `kan di desa kita, untuk menjadi kepala desa saja harus mengeluarkan kocek 1 milyar lebih, lha bagaimana jika mau jadi bupati, gubernur hingga presiden. Kalau untuk menjadi saja harus mengeluarkan biaya banyak, nanti kalau sudah jadi pasti akan mencari laba, seperti orang kulak. Makanya, dalam prespektif realita sekarang ini, aku sangat setuju kalau negara ini lebih mirip perusahaan daripada negara kedaulatan” tambah Sarikhuluk menguatkan. “Ad, berapa gajimu perhari?” tanya Satria. “Sekitar 150 ribu” jawab Adi. “Wah lumayan ya ketimbang gajiku sebagai guru” komentar Satria. “Bagaimanapun juga sebesar-besar gaji guru, masih tak bisa mengalahkan gaji pebisnis. Sebenarnya kalau orang kerja di proyek dengan jujur, pasti hidupnya mujur. Tapi kebanyakan tidak jujur, jadinya meski banyak, uang cepat kabur tak jelas arahnya, entah untuk main judi, main cewek dan lain sebagainya” pungkas Adi. Karena Adi lapar, pas ada orang jualan Tahu Thek, akhirnya pamit undur diri. Selesailah diskusi malam ini. Satriapun , kembali menerukan curhat ke Sarikhuluk.

4
Orasi Akhir Tahun 2013: “Orde Kapal Pecah”.

            Pada akhir tahun 2013, Sarikhuluk diundang oleh Kepala Desa untuk menyampaikan orasi apa saja terkait dengan evaluasi akhir tahun. Ini bukan kali pertama Sarikhuluk disuruh menyampaikan orasi. Pada momen-memen tahunan, berkaitan dengan even-even acara kampung, Sarikhuluk selalu diamanahi untuk menyampaikan minimal sepatah dua patah kata untuk berpartisipasi menyampaikan semacam motivasi, kritikan atau ide-ide segar yang sangat mencerahkan bagi penduduk kampungnya. Sarikhuluk memang tidak berafiliasi pada ormas, aliran, golongan tertentu, namun kontribusinya pada masyarakat tidak bisa diragukan lagi. Benar dia tidak mengikat diri di mana-mana, tapi kontribusinya bisa dirasakan dimana-mana. Nah pada akhir tahun ini dia menyampaikan Orasi Akhir Tahun yang ia beri judul: “Orde Kapal Pecah”. Berikut teks dari Orasi Akhir Tahun 2013 Sarikhuluk:

Dinasti Kapal Pecah

Assalamu`laikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Yang saya hormati warga kampung Jumeneng.
Yang saya hormati para Alim Ulama` beserta Tokoh Masyarakat.
Yang saya hormati Bapak Kepala Desa beserta jajaran Pengurus Desa Jumeneng.

Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada anda sekalian. Sebenarnya saya tidak merasa cocok berdiri memberikan Orasi Akhir Tahun di hadapan anda sekalian. Apalah arti saya, wong SD saja tidak lulus. Tapi mengingat ini merupakan amanah, maka sedapat mungkin saya berusaha menjadi ‘manusia bermanfaat’ sesuai dengan anjuran Kanjeng Nabi yang mengajarkan pada umatnya untuk selalu berusaha bermanfaat bagi yang lainnya. Saya berdiri di hadapan anda sekalian ini sebagai manusia. Tidak sebagai Tokoh, Cendekiawan, Kiai, Ulama atau atribut apa saja yang menjadi jabatan manusia pada umumnya. Tolong bagi yang selain umat Islam jangan merasa kecil hati atau tersinggung ketika nanti dalam orasi saya ada disebutkan idiom-idiom Islam. Kalaupun ada, itu sama sekali tidak bermaksud memaksa atau membuat tidak aman bagi hati anda sekalian. Sebagai muslim dan mukmin saya mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha menciptakan keselamatan, kesejahteraan, keamanan dan suasana nyaman bagi sekitar.

Tema yang akan saya sampaikan pada Orasi Akhir Tahun kali ini ialah: “ Orde Kapal Pecah”. Mungkin pertama kali mendengarnya, anda sekalian merasa serem dan berkesan negatif. Saya sebenarnya mengangkat tema di atas tidak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Karena selama ini saya paling ‘buta huruf’ dengan yang namanya persiapan. Ide tema itu justru muncul ketika ada obrolan kecil-kecilan tadi malam bersama teman-teman kampung ketika bergotong-royong menyiapkan acara siang ini. “Dinasti Kapal Pecah” merupakan tema yang lahir dari kesadaran dan keprihatinan sosial menyikapi perkembangan masyarakat sekitar sebagai penduduk desa, juga rakyat Indonesia sebagai bangsa yang menempati organisasi besar bernama ‘Negara Indonesia’. Orde menggambarkan suatu kelompok atau  sistem yang menjadi dasar yang dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Sedangkan Kapal Pecah tidak perlu saya jelaskan karena saya yakin anda sekalian pasti mengerti semuanya. Tapi yang saya maksud dengan istilah ‘Orde Kapal Pecah’ pada kesempatan kali ini lebih banyak bersifat konotatif(mengandung makna tautan) daripada denotatif(makna sebenarnya).

Sebelum saya berbicara khusus mengenai Orasi Akhir Tahun 2013, terlebih dahulu saya akan membuat ‘dasar pikiran’ dengan memberikan analogi sederhana disertai pengamatan sejarah awal Negara Indonesia berdiri sampai yang kita rasakan sekarang ini, tentunya dengan pembahasan yang global dan yang teranggap urgen saja.  saya menganalogikan atau membuat tamsil sederhana berkaitan dengan masyarakat pada umumnya yang mendiami Desa Jumeneng, dan yang lebih luas sebagai bangsa yang mendiami Negara Indonesia, maka saya analogikan sebagai ‘Kapal Besar’ yang sedang mengarungi samudera. Di dalamnya banyak berisi penumpang yang memiliki anekaragam karakter, budaya, dan adat-istiadat. Mareka ada di satu kapal besar dengan memiliki cita-cita sama yaitu menuju ‘daratan subur’ untuk mencapai ‘kemakmuran bersama’. Perkumpulan para generasi pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang dirumuskan oleh Moehammad Yamin merupakan tonggak dasar eksistensi kita sebagai bangsa, atau kalau menurut tamsil tadi adalah sebagai “Penumpang Kapal” yang mempunyai kesamaan nasib dan cita-cita kolektif untuk mendapat kemerdekaan dan kemakmuran bersama. Perjuangan mendapat hak untuk membuat kapal secara mandiri atau yang kita katakan ‘merdeka’ itu baru bisa didapatkan pada 17 Agustus 1945.

Sejak mendapat kemerdekaan, kita sudah punya yang namanya “Kapal Besar” bernama Negara Indonesia. Pada Orde Pertama yang biasa disebut Orde Lama, kita mempunyai Nahkoda yang bernama Soekarno[17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 (21 tahun)]. Pada waktu itu kita sebagai bangsa sangat kagum dengan yang namanya Soekarno. Beliu adalah orator ulung dan pemimpin tegas yang tidak segan-segan lantang membela rakyatnya. Namun selama Orde Lama berjalan, meski hak secara politik dan kemerdekaan lumayan terpenuhi, tapi di sisi lain secar kesejahteraan masih belum dikatakan mumpuni, karena masih banyak rakyat yang tidak sejahtera.  Orde ini saya ibaratkan seperti ‘Kapal Besar’ yang tidak cukup memiliki bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Karena kesejahteraan kurang terpenuhi, banyak di antara penumpang yang resah sehingga ada yang berusaha keluar dari kapal, ada yang membuat keributan di sana-sini sehingga membuat retakan-retakan kecil pada ‘Kapal Besar’ yang sudah ditumpangi.

21 Tahun pasca kepemimpinan Soekarno sebagai Nahkoda, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Soeharto[12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 (31 tahun)], masanya biasa disebut dengan Orde Baru. Pada masanya yang begitu panjang sekitar 31 tahun, Soeharto sebagai Nahkoda, berusaha menambal keretakan-keretakan yang diakibatkan respon penumpang karena keminiman bekal yang dimiliki ‘Kapal Besar’ dengan memenuhi kesejahteraan penumpang. Keretakan-keratakan yang timbul pada masa Orde Lamapun bisa ditambal dengan baik oleh Soeharto. Namun, meski telah menambal keretakan-keretakan yang terjadi pada masa Orde Lama, ternyata pada masanya timbul keretakan baru. Kalau pada masa Soeharto, kesejahteraan memang terpenuhi, namun secara kebebasan dan hak-hak politik justru bersikap otoriter, sehingga menimbulkan keretakan-keretakan baru. Para penumpang ‘Kapal Besar’ bernama Indonesia pada Orde baru, kebebasan dipasung sedemikian rupa sehingga pada puncaknya ialah melakukan demonstrasi besar-besaran atas nama reformasi yang yang mengakibatkan tumbangnya ‘Nahkoda’ Orde Baru. Sebelum tumbang Soeharto berusah mengangkat Nahkoda baru bernama Habibi sebagai penggantinya untuk menambal keretakan-keretakan yang terjadi. Namun itu tak berjalan lama, Habibi[21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999] yang memimpin hanya 17 bulan.
Pasca kepemimpinan Orde baru tumbang, tiba saatnya orde yang menamakan dirinya sebagai Orde Reformasi. Uniknya orde ini, Nahkodanya setiap 5 tahun sekali diganti sebagai antisipasi atas kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan oleh Nahkoda Orde Lama beserta Jajaran Pejabatnya. Namunyang terjadi yang sampai 5 tahun benar hanya SBY. Niat awalnya, Orde Refromasi ialah untuk menambal keretakan yang terjadi pada masa Orde Lama. Namun, sejauh Nahkoda memimpin, dari masa Gusdur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudoyono. Niat awal yang sebelumnya ingin menambal keretakan-keretakan yang terjadi pada masa Orde Baru, tapi realitanya berkata lain. Dari sisi kesejahteraan tak kunjung sejahtera, sedangkan dari sisi kebebasan cendrung kebablasan dan melebihi batas sehingga para Nahkoda dengan sangat bebas dikritik sedemikian rupa atas nama kebebasan pers yang lahir dari rahim Orde Reformasi. Retakan-retakan yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak tertambal dengan baik malah menjadi semakin lebar, sehingga di tahun menjelang berakhirnya Nahkodah SBY saat ini, ‘Kapal Besar’ yang yang banyak retakan berupa Negara Indonesia ini sudah hampir pecah bahkan sudah pecah minimal secara maknawi meski secara fisik masi terus berlayar. Di era Orde Reformasi ternyata banyak menyumbangkan retakan-retakan baru yang lebih besar. Retakan itu bisa berwujud: korupsi, kebebasan yang berlebihan, ketimpangan sosial, dekadensi moral, konflik antar pejabat, terorisme, juga terjadi bencana besar-besaran di sana-sini, dari Sunami, gempa, banjir dan gunung meletus dan lain sebagainya yang turut serta membuat retakan-retakan baru yang membuat ‘Kapal Besar’ menjadi pecah.
Nah setelah saya menyampaikan sedikit ‘pikiran dasar’ dan analogi tadi, baiklah saya akan memulai Orasi Akhir Tahun 2013. Dari hasil obrolan sederhana tadi malam, saya mengibaratkan bahwa pada tahun 2013 merupakan masa “Kapal Besar” yang sudah pecah, minimal secara ruhaniyah. Pada tahun 2013 ini tingkat korupsi sudah menjalar hingga pada titik terendah dari Pejabat Negara. Saya selalu berdoa dan berharap semoga Desa Jumeneng ini tidak turut serta urun menambah keretakan “Kapal Besar” yang sudah pecah ini. Di tahun 2013 ini banyak orang-orang yang menjadi besar di media lantaran ‘sensasi’ bukan ‘prestasi’, sebut saja misalaka Aryo Wigunan yang semacamnya. Partai Politik saling sikut-sikutan dalam rangka ‘persaingan kekuasaan nahkoda` menuju tahun 2014. Banyak pemimpin-pemimpin Parpol yang tumbang lantaran kasus korupsi yang menjerat, di sana ada Anas Urbaningrum, Andi Malaranggeng, Luthfi Hasan Ishak dan lain sebagainya. KPK seakan menjadi pahlawan pada tahun 2013. Hampir setiap Instansi besar tak luput dari pengamatan KPK. Kalau para pemimpinnya seudah seperti itu, apa bisa diharapkan lagi melahirkan Nahkoda (Pemimpin Negara) dari Parpol. Di sisi lain media sebagai alat yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, kebanyakan menyajikan tayangan-tayangan yang latah dan tidak mendidik. Orang digiring sedemikian rupa untuk menjadi bukan diri sendiri. Hiburan-biburan yang ada sangat superfisial. Yang tenar ialah yang lucu, yang masyhur ialah yang punya ratting tinggi meski tak pendidik. Akibatnya hiburan tidak lagi menjadi media pendidik malah menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang subtansial. Sebut saja misalkan hiburan yang lagi eksis saat ini misalkan: YKS(Yuk Keep Smile), di situ masyarakat dihibur sedemikian rupa dengan hiburan yang mengobrak-ngabrik hal yang subtansial. Yang ditampilkan dari musik bukan lagi yang terutama adalah musiknya, tapi goyangannya. Sebenarnya masih banyak lagi yang berkaitan dengan peristiwa sepanjang tahun 2013. Tapi menurut saya subtansinya satu yaitu: menjadikan “Kapal Besar” yang sebelumnya retak menjadi pecah. Sebagai refleksi dari tahun 2013, sasaya berharap semoga penduduk desa Jumeneng, menjadi semakin baik, kritis, tidak ikut-ikutan, menciptakan kebaikan-kebaikan pada ranah dan kemampuan masing-masing, tidak turut serta dalam ‘acara peretakan kapal’ secara kolektif yang terjadi pada Orde Reformasi. Tahun depan adalah tahun penentuan. Jika “Kapal Besar” yang pecah ini tidak direkonstruksi kembali, dalam pengertian setiap individu berusaha membangun dan merekatkan kembali “Kapal Besar” yang sudah pecah, maka jangan sedih kalau pada gilirannya “Kapal Besar” bernama Negara Indonesia ini akan karam diterjang ombak, dan tentu saja penumpangnya akan tenggelam. Jadi mulailah dari sekarang menyiapkan sampan-sampan untuk mengantisipasi pecahnya “Kapal Besar” yang terjadi. Sampan-sampan itu bisa berupa selalu berbuat baik dimanapun berada, tidak usah ikut-ikutan orang yang berusaha meretakkan “Kapal Besar”. Kalau “Kapal Besar” ini masih tetap pecah, minimal kita punya sampan-sampan yang bisa mengantarkan kita pada ‘daratan subur’ menuju ‘negara makmur’ Negara Baru yang lebih adil, sejahtera dan makmur.
Mungkin cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Apa yang sampaikan tak harus anda percaya.  Minimal bisa dijadikan jendela untuk menatap tahun 2014. Ke depan mungkin apa yang akan kita hadapi jauh lebih berat dari pada tahun 2013. Jangan sampai kita salah pilih dalam menentuhkan “Nahkoda Kapal Besar” supaya anda sekalian tidak tenggelam.
Akhir kalam, kurang lebihnya mohon maaf. Billahit taufiq wal hidayah.
Wassalamu`alaikum warahmatullah wabarakaatuh.
[Bertepuk tanganlah semua masyarakat desa Jumeneng selepas Sarikhuluk berorasi. Dari tadi mereka terlihat tegang karena baru kali ini Sarikhuluk ngomong dari awal sampai akhir serius tanpa humor. Tidak diketahui secara pasti apa mereka benar-benar memahami orasi Sarikhuluk. Tapi yang jelas mereka terlihat tercerahkan dan tepuk tangan].


5
“Rokok Membunuhmu”

            Seusai mencangkul di sawah, Sarikhuluk dan para “pekerja sawah bayaran” lainnya duduk-duduk di gubuk kecil tempat para petani biasa beristirahat. Mereka sedang asyik menikmati makanan istirahat mereka. Meskipun sangat sederhana-hanya nasi jagung dan ikan asin plus sambal- rasanya begitu nikmat dan mencairkan suasana. Mereka terlihat riang bahagia. Ternyata keriangan dan kegembiraan tak selalu diperoleh dari hal-hal yang mahal. Seusai makan-makan, ada teman Sarikhuluk yang bernama Margono mengeluhkan iklan rokok yang baru-baru ini diganti. Margono sambat(di sela-sela menikmati rokok kretek): “Cak, kalau dulu iklan rokok cuman, ‘Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin’, tapi sekarang lebih sangar dan begitu to the point : ‘Rokok Membunuhmu’. Tambah-tambah aneh saja Cak. Secara hukum jelas-jelas masih debatable dan peringatan yang lama juga masih agak lucu, tambah sekarang dikeluarkan peringatan, yang menurutku cukup pekok seperti tadi. Hus....makin tak mudeng aja aku iki Cak...Cak”.
            “Iya Cak....Bener aku ga ngrokok.....tapi mendengar kalimat peringatan seperti tadi menurutku berlebihan. Kalimat, ‘Rokok Membunuhmu’ itu kan kalimat langsung. Kalau itu benar-benar dipercaya, seolah-olah rokok menjadi ‘Pesaing Pengeran(Tuhan)’. Kalau rokok bisa membunuh, apalagi pembuat rokok, malah tambah lebih sakti.  Lha piye wong rokok kok membunuh. Masih mending peringatan sebelumnya yang masih menggunakan kata, ‘menyebabkan’ lha yang ini langsung saja tanpa penjelas. Rokok itu cuma sebab atau faktor, faktor dan sebab tak ada hubungannya dengan ‘membunuh’ lha yang bikin rokok saja ndak mempunyai kemampuan secanggih itu kok yang dibuat malah secanggih itu. Ora mudeng aku” tambah Satuman memperjelas. “Rek.... rada cerdas dikik gitu lho. Maksude kalimat itu secara subtansi sebenarnya bukan mengatakan rokok punya kemampuan membunuh. Maksude dengan mengonsumsi rokok secara berlebihan, maka akibatnya bisa fatal. Akibat paling fatal ialah ketika sampai membuat orang mati. Ibarat Ilmu Tafsir nih yah, peringatan sebelumnya itu sebagai penjelas dari kalimat yang baru. Jadi menurutku sudah betul, dan sangat jelas supaya orang-orang takut sama rokok” sahut Wargimen dengan nada tak setuju.
            Kemudian giliran Sarikhuluk berkomentar: “Konco-konco ..... sebelum aku berkomentar terhadap isu terbaru perihal rokok mari kita jernihkan hati dan pikiran terlebih dahulu, supaya ketika memperbincangkan rokok, kita terhindar dari klaim-klaim keputusan yang irasional dan tak obyektif. Sekarang gini, kalau kita berbicara masalah rokok, kita tidak bisa memisah-misahkan satuan-satuan yang berkaitan erat dengan rokok. Rokok hanyalah produk. Di sana masih ada: Pengusaha Rokok, Pabrik Rokok, Pekerja/Karyawan Pabrik Rokok – yang kesemuanya bisa dimasukkan dalam kategori produsen-, kemudian ada yang namanya Penjual Rokok dan Konsumen Rokok. Jadi menurutku, kalau membicarakan rokok hanya berkutat pada rokoknya saja, maka sangat rawan menghasilkan kesimpulan yang prematur. Kalau kesimpulannya tidak begitu matang, yang ada nanti akan menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akhirnya menyulitkan pembuat kesimpulan”.
            Sarikhuluk melanjutkan, “Aku ga akan jawab secara instan, tapi aku ingin memancing kalian dengan pertanyaan-pertanyaan yang subtansial: Kalau memang rokok itu bahaya, kenapa masih dijual? Bukankah negara juga menikmati hasil dari pajak perusahaan rokok? Bukankan yang membahayakan bukan hanya rokok saja, kenapa hanya rokok yang mendapat label peringatan seperti itu? Kalian tahu mengapa terjadi perubahan secara drastis berkaitan dengan kalimat peringatan yang ada di rokok? Solusi apa yang akan kamu berikan, pada Pekerja Rokok dan Petani Tembakau, jika rokok memang harus ditiadakan? Bukankah banyak sekali realita yang samasekali menyalahi hasil dari peringatan yang ada dirokok? Adakah kemungkinan bahwa pelarangan rokok itu dikarenakan adanya persaingan antara perusahaan farmasi dan perusahaan tembakau? Tolong dipelajari lebih dalam lagi berbagaimacam hal yang berkaitan dengan rokok. Kemudian apa sudah diadakan penelitian secara ilmiah dan transparan mengenai dampak secara nyata berkaitan dengan dampak negatif rokok? Kalau kamu percaya sama media, aku tanya lagi, lha media itu punya siapa? Media adalah milik pemenang. Siapa yang menang dialah yang memiliki media. Nah, sekarang yang punya media, lebih cendrung pada pelarangan rokok apa sebaliknya? Atau ternyata larangan itu cuman basa-basi? Jadi menurutku untuk menjawab persoalan rokok tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan hukum-normatif, tapi juga perlu pendekatan lain yang sangat berkaitan dengan rokok. Menghukumi persoalan lebih gampang daripada mencari solusi dari persoalan. Makanya menurut hemat ku, tetap saja beraktivitas seperti biasa. Yang ngerokok ya ngroko`o, yang ndak ya ndak apa-apa. Cuman harus tahu diri. Kalau dengan rokok membuat kamu lemah dan sakit ya lereno(berhentilah) kalau ternyata sehat-sehat saja ya terus saja ndak apa-apa. Kalian tahu kan Pakde Sarijan yang sampai berusia 90 tahun, Perokok Sejati, masih sehat-sehat saja dan tak ada halangan kesehatan”. Bahkan ulama kawakan macam Buya Hamka pun juga Perokok.
            “Doh adoh..... Poseng tang cetak (Aduh-aduh pusing kepala saya) di rumah sudah banyak masalah, eh ditambah iklan yang ga memberi pencerahan. Wes lah ga usah diteruskan Cak. Paling-paling yang membuat aturan juga terpingkal-pingkal sendiri, gimana ga terpingkal takiye wong Rokok kok membunuh. Kalau rokok itu membunuh, pasti orang yang menghisap langsung mati seketika. Lha kalau begitu mati kabbih (semua) berjuta-juta orang di bumi yang merokok. Buktinya ndak tuh” sergah Matrawi, Pekerja Tani Bayaran asal Madura. “Iya Cak, masalah ini tidak akan ada ujung pangkalnya. Dari dulu sampai sekarang, meski diberi peringatan sedemikian rupa efeknya juga ga begitu signifikan. Sekarang lebih bahaya mana coba antara rokok dengan polusi udara yang diakibatkan oleh asap-asap dari knalpot. Kenapa knalpot tidak diberi tulisan: Knalpot dapat menyebabkan penyakit Paru-paru..... dan seterusnya/ Knalpot Membunuhmu. Hadehhhh......Masalah bangsa semakin kompleks, malah diperkeruh dengan masalah yang ndak ada ujung pangkalnya” tambah Sutaji. “Wes sekarang gini aja, kita lanjut aja nyangkulnya, masalah rokok ga usah dimasukin hati dan pikiran kalian....lagian itu juga bukan wewenang kita. Yang berwenangpun apa punya ketegasan? Yang tegaspun apa mau mengeluarkan ketegasannya? Terlalu banyak intrik dan konspirasi dalam hidup ini. Kita jangan sampai kalah dengan masalah rokok. Justru masalah rokok kita kelolah sedemikian rupa hingga menimbulkan output yang tidak mencederai masing-masing pihak. Caranya bagaimana? Sekali lagi itu bukan wewenang kita. Kita hanyalah obyek bukan subyek perubahan. Yang penting sedapat mungkin kita berusaha bermanfaat, minimal tidak membuak kerusakan. Ayo...Ayo kita nyangkul lagi” ajak Sarikhuluk.

6
Kiai Kampret

            Rerintikan hujan menemani kesendirian Sarikhuluk pada hari Rabu 25 Desember 2013. Bulan tak terlihat batang hidungnya. Ia diselimuti awan-awan hitam mengandung hujan. Sepi. Begitulah yang dirasa Sarikhuluk malam ini. Seharian penuh, tadi pagi ia telah menggarap sawahnya dengan penuh trengginas dan akas. Sekarang saatnya menikmati kopi luwak dan beberapa gorengan pisang. Semilir angin dan hawa dingin turut meramaikan keheningan malam yang dialaminya. Ia sedang nyantai dan mau merencanakan untuk tidur. Belum lagi sempat tidur, pintu rumahnya diketuk oleh Satuman, salah satu teman akrab Sarikhuluk sewaktu kecil. Satuman berprofesi sebagai guru tetap di salah satu Sekolah Negeri. Air mukanya begitu tak enak dipandang. Keningnya berkerut keatas seperti singa yang sedang kelaparan.
            “Assalamu`alaikum!” sapa Satuman. “Wa`alaikumussalam..... lho ada tamu istimewa rupanya. Monggo-monggo Man, silahkan-silahkan. Untung aku belum tidur. Ngomong-ngomong ada apa kok mukamu terlihat sangar gitu kaya Hulk tersengat tawon hehehehhe... guyon Man” sahut Sarikhuluk sekenanya.  “Gini Luk, aku muangkel tenan. Tadi aku habis baca di koran dan di salah satu media online, ada seorang Kiai yang turut merayakan Hari Natal, bahkan jadi penceramah di sana. Dasar “Kiai Kampret” tuh orang” cerocos Satuman meluapkan emosinya. “Hehehe... Kiai Kampret? Opo iku? Baru denger Aku”. “Itu singkatan Luk. Aku sendiri yang ngarang. Kampret akronim dari: Kiai yang “Kemanapun Mau yang Penting Rejeki Tercukupi”. “Ooo... giti toh. Lha apa hubungannya dengan Kia yang kamu mangkeli tadi?” tanya Sarikhuluk. “Gimana ga kampret cobak, Kiai kok ikut-ikutan ngerayain Hari Natal. Ya apa lagi kalau ga Kiai Kampret yang disuruh kemana-mana mau asal dapat duit” sambung Satuman.
            “Man, kendalikan emosimu dulu. Tenangkan hati, jernihkan pikiran. Minum dan nikmati dulu kopi luwak dan gorengan pisang ini biar kamu merasa agak tenang” pinta Sarikhuluk.  “O ya, suwon-suwon Luk. Maaf lho kalau ngrepotin kamu” sambut Satuman. “Halah Kamu Man, kayak sama siapa aja. Gini lho ya, kamu boleh marah pada sesuatu, tapi kamu harus mengerti dengan jelas kenapa kamu marah, efek kamu marah, dan seberapa tepat kamu marah. Kamu juga ngerti kalau agama melarang kita su`udzan(buruk sangka). Jadi tolong dipelajari lebih dulu mana yang fakta, mana yang opini, kemudian ketika informasi sudah di-tabayyun baru kamu nanti bisa mengambil keputusan yang tepat dan akurat. Sekarang kan zaman informasi, nah kebanyakan orang sukanya menelan informasi, ga mengunyahnya terlebih dahulu. Akibatnya bikin pikiran keruh, hati kotor dan menimbulkan emosi. Makanya Aku sarankan tolong kendalikan emosimu dulu, baru setelah kamu tenang kita lanjutkan pembicaraan” Saran Sarikhuluk pada Satuman. “Oya Luk, nyantai aja, aku sudah lebih tenang sekarang” sahut Satuman.
            “Gini Man, untuk menganalisis “Kiai Kampret” versi kamu itu bisa digunakan beberapa sudut pandang ilmu, diantaranya: Akidah, Akhlak dan Syari`at. Dari sisi Akidah Nabi, memang sangat tegas dan tak mau mencampur adukkan akidah Islam dengan Akidah yang lain. Secara akhlakpun Nabi Muhammad siapa yang meragukan dia, dia sangat halus dalam mengingatkan orang, tapi tetap tegas kalau bertentangan dengan syari`at. Secara syari`at tidak ada dalil yang tegas berkaitan dengan hukum mengenai ucapan Selamat Natal dan menghadiri bahkan berceramah di Hari Raya mereka. Jadi saranku begini: Kamu cek dulu kebenaran berita mengenai Kia yang kata kamu Kampret itu. Kalau itu memang benar, kaji dan pelajari secara mendalam dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah terkait dengan hal itu. Kalau sudah dikaji dengan matang, jangan gegabah dulu dalam memberi keputusan, karena bisa jadi yang kita anggap Kampret itu ternyata sangat zuhud dan bersahaja. Akku memang tak mau memberikanmu jawaban instan, karena kamu guru”.
“Terakhir saranku: apapun keputusanmu nanti, hendaknya mengandung: “Kebenaran, kebaikan dan keindahan”. Jika kamu benar bahwa Kiai itu benar-benar Kampret dengan bukti-bukti yang kamu kumpulkan. Kamu harus menyikapinya dengan kebaikan. Jangan grusah-grusuh mengklaim bahwasanya dia salah, cari cara terbaik. Kemudian tak cukup hanya baik tapi harus dilakukan dengan cara yang indah dan tak menyakiti hati. Betapa banyak orang yang membawa kebenaran dan kebaikan tetapi karena tidak disampaikan dengan indah, malah berujung penolakan dan pembangkangan. Maka dari itu tolong ingat pesenku baik-baik. Kalau memang nanti benar, tugasmu hanya mengingatkan dengan penuh hikmah, kamu tidak bertugas sebagai hakim atau pemaksa, kamu hanya menyampaikan” Saran Sarikhuluk panjang. “Ok Luk, suwon ya. Maaf lho ngrepotin. Nanti kalau aku sudah dapat info yang akurat dan tepat, aku kesini lagi. Aku pamit, Assalamu`alaikum” pamit Satuman. “Wwa`alaikumussalam...ojo sungkan-sungkan Man, ya tak tunggu, rumah ini selalu terbuka untuk apa dan siapa saja yang menghendaki KEBAIKAN” jawab Sarikhuluk.



7
Perdebatan Subur, Kebenaran Kabur

            Hati Sarikhuluk benar-benar dirundung pilu. Setiap kali melihat kondisi masyarakat di sekitarnya yang suka berdebat, suka adu unggul, suka mencari-cari kesalahan, suka menyalah-nyalahkan, semakin membuat pikiran dan hatinya mengharubiru. Apalagi ketika menonton acara-acara di televisi, kebanyakan isinya semakin membuatnya tak bisa tidur, alih-alih malah membuatnya semakin melantur. Di sisi lain ‘pesta demokrasi’ rakyat sebentar lagi akan digelar; keraguan dan kepiluan di hatinya semakin menjalar. Kebanyakan orang pada saat-saat yang ‘dianggap penting’ ini, mempromosikan kebenaran sendiri-sendiri, yang benar adalah diri sendiri, sedang yang lain kebenarannya menjadi basi. Yang sayang rakyat ialah partainya sendiri, sedang partai lain dianggap ‘pengeruk harta rakyat’ untuk kepentingan pribadi. Perdebatan ini sudah bukan lagi masalah individu, bahkan sudah menjadi karakter bangsa yang tak kunjung maju. Perdebatan ini sudah menggejala di tiap dimensi kehidupan, bahkan para jin dan setan pun mungkin ikut berpartisipasi menyemarakkan perdebatan yang semakin subur. Negara diperdebatkan, agama diperdebatkan, kesehatan diperdebatkan, pendidikan diperdebatkan, lembaga sosial diperdebatkan. Seolah-olah yang eksis ialah perdebatan itu sendiri, sedang kebenaran sejati disembunyikan pada ‘semak-semak belukar zaman’. Perdebatan semakin subur, kebenaran menjadi kabur.
            Di saat imajinasi Sarikhuluk terbang menembus ruang dan waktu, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara pengamen yang sedang bernyanyi dengan suara paraunya. Ia langsung tersadar dari imajinasinya, kemudian menyimak dengan baik lagu yang dinyanyikannya. Barangkali dengan mendengar lagu dari pengamen tersebut, hatinya akan menjadi lembut, syukur-syukur hatinya menjadi terhibur. Teks nyanyian pengamen yang kemudian namanya dikenal sebagai, ‘Sarwono’ itu sebagai berikut:

Indonesia negara kaya
Kaya alam, kaya orang dan budaya
Namun sayang
Oh sungguh sayang
Alam kaya
Kesejahteraan tak merata
Kebanyakan pemimpin merasa hebat
Kerjaannya suka berdebat
Janji-janji selalu diumbar
Kenyataan banyak rakyat yang lapar

            Belum lagi Sarwono menyelesaikan lagunya, tiba-tiba Sarikhuluk memintanya berhenti: “Sudah-sudah mas lagunya, maaf ini uangnya!”. Pengamen tersebut, sambil senyum-senyum menyatakan, “suwon(terima kasih) pak” langsung pergi. Kepiluan Sarikhuluk semakin bertambah parah. Ternyata apa yang dialaminya sudah menjadi rahasia umum, bahkan menjadi nyanyian para pengamen jalanan. Maunya mendengar supaya terhibur, malah hati serasa disambar guntur. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sawah, bercengkrama dengan alam. Yang ia rasakan dari alam selalu ketenangan. Setiap kali melihat alam, hatinya selalu sejuk. Alam selalu mengingatkan padanya tentang Tuhan. Alam selalu menginspirasi dirinya untuk tidak merasa susah dengan segala masalah yang menimpa. Alam mengajarkan padanya: “bahwa manusia lebih besar dari masalah, maka jangan sampai manusia kalah dengan masalah. Masalah itu untuk dikhalifahi, bukan untuk diperdebatkan. Belajarlah pada kesitiaan Alam terhadap titah Tuhan, titah Tuhan bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dipatuhi dan diamalkan”. Seketika itu juga Sarikhuluk jadi ingat ayat ketika ngaji di surau dulu: Wa kâna al-Insânu aktsara syain jadala (dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah)Q.s. Al-Kahfi: 54. Bacaan itu akhirnya menjadi dzikirnya seharian penuh. Biar hatinya tidak pilu lagi. Biar dia tidak sedih dengan orang yang banyak debat. Karena memang sudah menjadi watak. Yang penting jangan sampai ia terpengaruh. Daripada membuat debat semakin subur, kemudian kebenaran menjadi kabur, lebih baik beramal dan berbuat jujur, kemudian kebenaran pun akan menjadi jelas dan teranjur. Ketika kebenaran dijunjung tinggi, dan tak berhenti pada debat, maka Tuhan pun tak ‘segan’ mencurahkan rahmat.

Sumengko, 11 Maret 2014, 11: 25



8
Pendidikan Lahir Batin

            Lama tak muncul di Media Massa, Sarikhuluk sudah beberapa minggu berusaha membuat jarak serius dengan hiruk-pikuk media. Selama ini Ia terjun langsung ke dunia sosial yang sama sekali tak disorot media. Ada jarak yang serius antara apa yang diungkap media, dengan realita yang ada. Sehingga membuat jarak yang tepat dengan media merupakan hal yang niscaya bagi Sarikhuluk, untuk menjernihkan pikiran dan hati sehingga mendapat penilaian yang akurat dan tepat dalam menyikapi fenomena yang ada. Ketika sedang memberi makan ayam, Ia kedatangan tamu –yang sebenarnya salah satu teman akrabnya yang berprofesi sebagai guru- namanya Aiman Abdul Ghani. Hampir lima tahun Sarikhuluk tak berjumpa dengannya.  Feeling Sarikhuluk merasa ada sesuatu penting yang akan disampaikan sahabatnya mengenai dunia pendidikan. “Semoga kabar baik yang akan disampaikan sahabatku ini” harapan Sarikhuluk dalam hatinya.
            “Monggo monggo monggo silahkan duduk Gan” tutur Sarikhuluk mempersilahkan. “Oh ngge Prof. Ndak usah repot-repot hehehe(Sarikhuluk oleh Aiman Abdul Ghani dijuluki Prof, meski tak pernah mengenyam bangku sekolah karena kepiawaiannya dalam menganalisa fenomena sosial, sekaligus pintar dalam mencari solusi permasalahan)” sahut Aiman Abdul Ghani. “Halah kamu ini ada-ada aja pakai manggil aku Prof, wong orang ga jelas kayak gini. Oh ya lama ya kita ga berjumpa, nampaknya ada kabar baik nih yang bakal kamu beritahu?” tanya Sarikhuluk melanjutkan obrolan. “Gini Cak, sebenarnya aku kesini bukan mau memberi kabar gembira, tapi sebaliknya aku mau curhat sekaligus mencari solusi pada sampean, aku yakin pean bisa membantuku” jawab Aiman. “Ealah ternyata tebakanku salah, hehehe, baru kali ini tebakanku meleset, sebab biasanya kamu selalu membawa berita baik. Oke sekarang tenangkan pikiran, jernihkan hati kemudian silahkan cerita yang ingin kamu ceritakan” ucap Sarikhuluk mempersilahkan Aiman bercerita.
            “Aku kemarin keluar dari dunia pendidikan” Aiman membuka cerita. “Lho lho lho opo maksudnya?” Tanya Sarikhuluk penasaran(sebab bagi Sarikhuluk pendidikan itu bukan hanya dalam lembaga formal sekolah dan lain sebagainya, tapi kehidupan dan alam merupakan lembaga pendidikan juga meskipun non-formal. “Maksudku aku keluar dari sekolah, aku ga mau ngajar lagi di situ. Aku kecewa banget. Masa` gara-gara persoalan sepele, aku dimarahin sekeras-kerasnya, dihadapan forum rapat lagi, ah martabatku sebagai guru seolah terinjak-injak. Yang lebih menyakitkan lagi, dengan ungkapan yang kasar, aku dituduh tak serius mengajar, dan hanya mengejar urusan duniawi belaka. Keikhlasan dan kesabaran yang aku jaga bertahun-tahun ini seolah hilang gara-gara ungkapan Pemimpin Rapat itu” lanjut Aiman dengan semangat menggebu. “Kendalikan emosimu, kamu cerita masih belum lengkap, coba cerita dengan lengkap. Siapa yang memarahimu? Kenapa dimarahi?” tanya Sarikhuluk sembari menenangkan. “Ya Mr. Wagiman itu, pemilik sekolah yang semena-mena. Masalahnya gara-gara anak-anak shalat diluar area sekolah. Anak-anak kan diwajibkan shalat di dalam sekolah, tapi mau shalat gimana coba, wong airnya saja sedikit, itupun kotor, ya akhirnya aku ajak saja shalat di masjid di luar sekolah” jawab Aiman.
            “Sebenarnya Gan, permasalahan itu masih sederhana dan bisa diselesaikan, asal kedua belah pihak mau menginsafi dan memahami akar permasalahan. Aku melihat Mr. Wagiman sudah dirundung banyak masalah sehingga apa yang menimpamu sebagai pelampiasan untuk mengeluarkan masalah-masalah pribadi yang kian menumpuk. Apalagi karakternya memang sangat emosional, jadi dalam sudut pandang ini, sangat wajar jika Ia marah seperti itu. Tapi  di sisi lain, memang karena tak bisa mengontrol emosi, apa yang diucapkan Wagiman, memang sangat melukai hati siapa saja yang mendengarnya, aku saja secara pribadi mangkel juga kalau diomongi seperti itu. Sekarang gini ya Gan, kamu keluar atau tidak, itu hakmu. Tapi yang perlu kamu pikirkan lebih dalam ialah jangan sampai kamu keluar hanya karena marah atau tak terima atas perlakuan dari Mr. Wagiman, karena kamu ngajar, kamu mendidik itu kan bukan demi atau karena Mr. Wagiman, di sana masih ada para siswa yang kamu pertimbangkan, di sana juga ada rekan-rekan guru yang masih membutuhkanmu. Jadi kalaupun kamu harus keluar, usahakan dengan pemikiran matang dan dewasa” nasihat Sarikhuluk.
            “Aku sakit sebenarnya bukan hanya karena omongan Mr. Wagiman yang sungguh menyayat hati, aku juga merasa bahwa pendidikan di sekolahku sudah tidak sehat lagi. Yang dibesarkan hanya yang penting lulus, sistem tak terurus; yang diutamakan yang penting berjalan, meski pendidikan tak berkembang. Yang penting dari pendidikan bukan lagi pada hal-hal yang lebih subtansial, tetapi hanya berkutat pada hal-hal formal. Slogan dan idealismenya begitu tinggi namun hanya pada tataran formal. Sadar entah tidak di dunia lembaga pendidikan sekarang ini, kita sudah dididik bermental pencuri. Kebocoran bantuan, kebocoran dana BOS, kebocoran bantuan anak miskin dan kebocoran soal ujian, didalangi oleh pelaku lembaga pendidikan itu sendiri, sudah merupakan bukti nyata pencetakan anak didik bermental korup dan pengecut. Padahal motto sekolah sangatlah bagus yaitu Berakhlak Mulia dan Terdepan dalam Berprestasi. Apa itu bukan kebohongan namanya Cak” lanjut Aiman. “Gan, kalau memang benar apa yang kamu ceritakan padaku, aku juga setuju kalau kamu memilih keluar dari situ. Hanya saja, saranku, jangan sampai karena masalah itu, kamu menjeneralisirnya sehingga kamu tak mau lagi mengajar di lembaga formal. Tak semua lembaga seperti itu. Masih ada lembaga-lembaga formal yang masih tulus dan jujur. Kemudian kalau apa yang kamu ceritakan tadi fakta, maka tidak usah kamu sebarkan kemana-mana, bagaimanapun juga aib manusia bukan untuk diumbar. Jangan sampai rasa bencimu membuatmu tak adil dalam bersikap. Rajinlah mencari kebaikan orang lain, dan carilah sebanyak-banyaknya kejelekan diri sendiri, agar kamu bisa berendah hati dan mencintai manusia. Manusia selama masih hidup ada peluang untuk berubah, jadi kalau benci jangan terlalu, kalau cinta juga jangn terlalu” lanjut Sarikhuluk menasihati.
            “Astaghfirullah ...... Aku baru sadar cak, kalau yang menggerakkanku adalah emosi, terimakasih banyak atas nasihat dan sarannya. Bagaimanapun juga dunia pendidikan memang sangat berat dan susah. Bagi pendidik yang dibutuhkan memang bukan sekadar kata-kata ideal, tetapi suritauladan yang baik sehingga para siswa tidak nakal. Kita mendidik diri sendiri saja susah, apalagi mendidik anak orang. Tapi mengenai keputusanku untuk keluar sudah bulat Cak. Sebagaimana nasihat sampean, aku akan mencari sekolah yang menurutku lebih baik, tanpa harus kujelek-jelekkan sekolah tempat aku ngajar. Kalau belum menemukan sekolah yang tepat, aku akan mengembangkan bisnisku saja, sembari tetap mendidik meskipun bukan di lembaga formal. Daripada batin terus tertekan, lebih baik keluar sekalian” sambung Aiman. “Oke kalau itu memang keputusanmu. Jangan sampai kamu kalah dengan masalah. Kamu lebih besar dari masalah, masalah ada untuk mematangkan dan mendewasakan, kalau kamu menyerah, maka sama saja kamu merendahkan martabatmu sebagai manusia. Mengenai pendidikan saat ini, sebagaimana yang aku tahu sendiri di lapangan, memang cendrung mendidik para siswa sebatas urusan lahir saja atau hal yang nampak saja. Misalkan anak sekolah itu kebanyakan bukan karena kemauan sendiri, tapi karena kemauan orang tua yang mengharuskan anaknya menjadi seperti yang dimauinya, tentu saja supaya mendapat hal-hal yang sifatnya lahiriah berupa harta, kekayaan dan lain sebagainya. Meskipun lahiriah penting, tapi kalau pendidikan hanya difokuskan disitu maka akan mengalami kerusakan. Bagamanapun juga unsur batin juga harus tetap digarap, karena masalah pendidikan batin, terkait dengan pendidikan karakter dan akhlak, merupakan faktor penting untuk mengontrol pendidikan secara lahir. Kalau batinnya bagus, mencari yang lahir pun tak akan khawatir karena pasti akan ada kontrol batin. Demikianlah sejatinya pendidikan. Pendidikan lahir dan batin” pungkas Sarikhuluk. Setelah beberapa jam ngobrol, akhirnya Aiman pamit pulang dengan hati yang lapang dan tak bimbang.

9
Ikhlas Bagi Anda, Halal Bagi Kami

            Jam sudah menunjukkan pukul 07.00, saatnya Sarikhuluk berangkat menuju Pulau Garam, Madura. Ia mendapat kabar bahwa salah satu gurunya – yang bernama Imron Khozinudin -  sedang sakit. Ia ke Pulau Garam pergi sendiri dan lebih memilih untuk naik bus. Bagi Sarikhuluk, naik bus merupakan  suatu pengalaman yang tidak biasa. Ia bisa melihat langsung bagaimana sifat-sifat dasar manusia ketika di bus. Daripada melihat beberapa caleg yang terpampang di baliho-baliho, Ia lebih suka melakukakan ‘wisata hati’ di bus sembari mempelajari watak-watak manusia. Begitulah Sarikhuluk. Setiap kali bepergian Ia tak mau menyia-nyiakan sedetik pun apa yang dialaminya. Banyak sekali yang Ia alami di bus. Ia pernah dicopet, dimarahin orang, diajak berkelahi, berseteru dengan kondiktur, membantu ibu-ibu yang tiba-tiba pingsan, menggantikan supir yang mendadak sakit, mengantar wanita yang sedang darurat ingin melahirkan, sesekali Ia juga pernah mengamen ketika sedang kehabisan uang, dan masih banyak lagi pengalaman yang begitu memberikan pelajaran berharga baginya. Ia sangat menikmati perjalanan selama di bus. Di bus Ia mendapatkan pelajaran berharga, yang bisa jadi tidak akan pernah Ia dapatkan di bangku-bangku sekolah dan kuliah, meski sudah bertahun-tahun.
            Selama perjalanan di bus, ada satu hal yang kali ini menarik perhatiannya. Dari pertama kali berangkat hingga sampai tujuan, Ia sangat menikmati lagu-lagu yang dibawakan para pengamen. Yang terutama sebenarnya bukan karena suaranya-karena tak semua suara pengamen merdu, ada juga yang fales-, tapi biasanya lagu-lagu yang dibawakan itu bernuansa kemanusiaan, keserdehanaan, kritik sosial, . Lebih dari itu, selama di bus – ketika berangkat saja - ada sekitar 5 pengamen yang bergonta-ganti mengais rizki di bus yang Sarikhuluk tumpangi. Ada kalimat yang benar-benar Sarikhuluk amati betul-betul, yang biasanya kerap kali diucapkan oleh setiap pengamen baik sebelum atau sesudah menyanyikan lagu yaitu: “Ikhlas bagi anda, halal bagi kami”. Siapa saja yang pernah naik bus, terutama di Indonesia, pasti tak asing dengan para pengamen yang mengucamkan kalimat itu. Bagi Sarikhuluk, kalimat itu jangan sampai hanya menjadi ‘angin lewat’. Ia harus bisa menguak makna, menyibak pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Ia harus mampu menyelaminya, bukan hanya pada tataran makna yang dangkal, tetapi juga nuansa, semangat, keadaan yang dialami pengamen ketika mengeluarkan kata-kata itu. Inilah yang membedakan Sarikhuluk dengan penumpang-penumpang bus lainnya. Ia menganggap, setiap peristiwa yang dialami di bus merupakan ‘kado Tuhan’ untuk memberi pelajaran berharga baginya.
            Ia berusaha merenungi kalimat: “Ikhlas Bagi Anda, Halal Bagi Kami”. Kalau dicermati, kandungan maknanya begitu dalam. Kalimat itu menggambarkan perpaduan antara akhlak dan hukum; menggambarkan ‘pengawinan’ antara ‘kesadaran hukum’ dengan ‘kesadaran akhlak’; menggambarkan tentang penyatuan antara ‘tata hukum’ yang bersifat materil, dengan ‘tata krama’ yang bersifat non-materil. Akhlak diwakili dengan kata, ‘ikhlas’, sedangkan hukum diwakili dengan kata, ‘halal’. Walaupun tak menjamin bahwa setiap mereka pasti mengerti dan melakukan apa yang dikatakan, tapi paling tidak bagi Sarikhuluk mereka lebih jujur dalam mengamalkan kalimat itu, dibandingkan dengan pejabat-pejabat pemerintah yang koar-koar tentang hukum; dibanding dengan ustadz-ustadz di TV yang rajin menyerukan akhlak. Di Indonesia ini, yang ditegakkan baru supremasi hukum, sedangkan akhlak tak pernah menjadi supremasi. Makanya Sarikhuluk tak heran jika hukum di Indonesia ini gampang diperjualbelikan, lantaran ‘kesadaran hukum’ tidak berbanding lurus dengan ‘kesadaran akhlak’. Para pengamen ngerti betul bahwa sesulit apapun keadaan yang dialami, tetap harus dibangun kesadaran dalam batin untuk tetap taat hukum berupa: mencari rizki harus dengan cara yang halal, jangan sampai mendzalimi orang lain, jangan sampai meniru para pejabat yang menghalalkan segala cara untuk mengais rizki. Hukum saja tak cukup, supaya lebih bermakna suatu pemberian, maka Ia mengingatkan pada para penumpang untuk ‘sadar akhlak’ bahwa ‘ikhlas’ adalah kata kunci yang menjadikan pemberian tak terhenti pada makna wadag, jasmani tetapi lebih dari itu akan menjadikannya bermakna rohani, ukhrowi.
            Kalimat yang diucapkan setiap pengamen sebagaimana yang Sarikhuluk dengar sebenarnya juga bisa dijadikan kritik sosial. Mereka saja yang dianggap remeh, hina, marjinal, dan dipandang sebelah mata, berusaha sedemikian rupa untuk ‘taat hukum’ yang dibuat (hukumnya juga bukan sekadar hukum buatan manusia tetapi hukum buatan Tuan), dan ‘menjunjung tinggi nilai akhlak’, apalagi para pemimpin, para pejabat negara, yang notabene lebih terpelajar, berpendidikan, dan terpandang. Tetapi sekali lagi, kenyataan berkata lain. Terdapat kesenjangan yang sangat tajam diantara mereka. Apa yang terjadi di negeri tercinta ini malah sebaliknya. Betapa banyak orang yang mengerti hukum tapi tak mengindahkan dan tak sadar hukum. Hukum hanya ditegakkan jika menyangkut orang lain, tetapi ketika hukum mengenai pribadi dan keluarganya, maka hukum menjadi lunak. Betapa banyak orang yang paham nilai akhlak, tetapi akhlak hanya terbatas pada taraf teori dan tak benar-benar menjadi kesadaran diri pada masing-masing figur yang notabene dianggap sebagai tokoh yang mengerti betul tentang akhlak. Melihat fakta yang demikian memilukan, Sarikhuluk menjadi semakin prihatin sekaligus tertawa lucu. Ia sangat prihatin karena bila hukum sudah tak ditaati, lalu apakah bisa dijamin mengenai keamanan rakyat, padahal salah satu kebutuhan pokok rakyat ialah terwujudnya stabilitas keamanan. Apalah arti kesejahteraan jika tak beriring rasa aman sentausa. Ia sangat prihatin jika nilai akhlak ditanggalkan dari batin manusia, maka akan hilang ‘kontrol-kontrol batin’ sebagai penunjang dari ‘kontrol lahir’(berupa hukum). Kalau keduanya sudah tak ditegakkan maka apa yang diharapkan dari negara. Ia juga merasa sangat lucu melihat kondisi ini. Sampai-sampai saking lucunya sampai dia membayangkan bagaimana jika seandainya para pejabat yang ngamen, kira-kira apa yang akan di katakan sebelum dan sesudah ngamen. Sarikhuluk berusaha mengarangnya, dan hasilnya seperti ini: “Melas bagi anda, royal bagi kami”. Artinya: rakyat semakin susah dan melas karena hartanya dikeruk oleh ‘pengamen-pengamen negara’, ketika harta sudah didapat maka, difoya-foyakan dan diroyal-royalkan untuk kepentingan pribadi. Beginilah jika hukum diceraikan dari akhlak, atau keduanya dihilangkan dari kesadaran batin manusia.
(Tanpa sadar ternyata karena asyik merenung, Sarikhuluk kebablasan karena sebenarnya yang Ia tuju ialah Pamekasan, tapi ternyata dia sudah sampai Kali Anget, Sumenep. Haduuuuh, .... balik poleh ta` iyeh.... peseh poleh).
Sumengko, Rabu 5 Maret 2014, 06: 18.

10
AKHWAT HEBAT: Tetap Bermanfaat Meski Berbeda Pendapat

            Aku hidup dalam keluarga yang bisa dibilang ‘taat beragama’, bahkan pada taraf tertentu bisa juga dikatakan oleh kebanyakan orang sebagai sikap yang fanatik. Bapakku adalah seorang yang juga berprofesi sebagai pedagang sepatu. Meski bukan seorang Ustadz, beliau sangat rajin membaca dan mengaji, Ia juga mempunyai banyak teman yang sepaham dengannya. Ibuku merupakan ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai tukang jahit. Sejak kecil aku dididik sedemikian rupa mengenai pentingnya memegang teguh prinsip, pentingnya menjaga nilai-nilai agama di tengah masyarakat modern yang kian menjauh dari nilai-nilai agama. Sebagai muslimah tentu saja sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk berjilbab, taat dan patuh kepada kedua orang tua, dan yang sampai sekarang diwanti-wanti oleh kedua orangtuaku ialah mengenai hubungan lawan jenis, atau interaksi dengan cowok yang bukan mahram. Aku sendiri sangat patuh dan menikmati apa saja yang selama ini didoktrinkan orangtua kepadaku - aku sangat sayang dan patuh pada mereka berdua, bagiku setelah cinta Allah dan Rasul-Nya, cinta pada kedua orang tua adalah yang utama-. Dengan sikap keluargaku yang sangat ketat dalam memegang prinsip, tentunya banyak reaksi diantara masyarakat yang tinggal berdampingan dengan kami. Kadang malah banyak stigma-stigma negatif yang disematkan tetangga pada keluarga kami: dibilang kolot, fanatik, kurang ramah, tak toleran, keras kepala, dan yang paling menyakitkan kadang kami dibilang sebagai aliran sesat, bahkan beda agama.
            Apa yang aku rasakan saat di rumah dan di lingkungan desa, juga aku rasakan ketika aku di sekolah. Banyak di antara teman-teman yang memandang perilakuku ini terbilang kolot, puritan, eksklusif dan kurang gaul. Aku memang paling menjaga mengenai masalah busana, dan hubungan lawan jenis. Sesuai dengan apa yang aku dapat dan pahami dari kedua orangtuaku: bagi muslimah yang sudah baligh diwajibkan untuk menutup semua auratnya dengan jilbab kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan dengan masalah hubungan lawan jenis, jangankan bersalaman, wong pandang-memandang saja tidak boleh kok, apalagi kalau sampai ngobrol berduan, nge-date, makan bareng, berboncengan dan yang semisalnya. Untuk masalah bersalaman ada hadits yang seingatku intinya demikian: bahwa ditikam dengan besi itu lebih baik, daripada bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramnya. Sedangkan anjuran untuk mengandalikan pandangan itu seingatku terdapat dalam surat An-Nûr ayat: 32/33, yang diistilahkan oleh para ahli dengan ghaddhul bashar(mengendalikan pandangan). Dengan prinsip-prinsip inilah selama ini aku dan keluargaku berusaha menjaga betul-betul dengan rintangan yang tak sedikit. Tak jarang di berbagai kalangan, kami terkesan dikucilkan, dicuekin, dianggap aneh, dan disindir dengan sindiran yang tentunya membuat hati sakit.
            Anggota keluargaku semua berjumlah enam orang. Bapak, ibu, aku, dua adik cowok dan cewek, serta satu lagi adik cowok yang masih berusia enam bulan. Secara singkat namaku Aisyah Mutiara Qolbi,  Bapakku; Shohibul Khair, Ibuku; Syahidah, adikku; Ridho Muhammad, Sakinah Hilya Auliya, dan yang terkecil bernama Imran Aflah A`ili. Kami terhitung keluarga yang cukup mampu secara finansial, dan dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Tempat yang kami tinggali sekarang terhitung baru, karena kami baru menempatinya sekitar 3 bulanan. Sebelumnya kami tinggal di rumah peninggalan nenek, karena faktor profesi pekerjaan Bapak, akhirnya bapak dan ibu memutuskan untuk pindah membeli rumah baru di lokasi yang lebih prospek untuk berjualan dan tak jauh dari tempat kulakan. Di tempat inilah untuk pertama kali kami bersinggungan dengan suasana, kondisi, tempat, tradisi, komunikasi, yang berbeda dengan yang sebelumnya kami rasakan. Di lingkungan kami ini bisa dikatakan sangat kaya corak, karakter dan tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Rata-rata memang muslim, meski juga ada yang Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen. Meski rata-rata muslim, masyarakat muslim dilingkunganku juga terdiri dari berbagai macam aliran pemahaman. Ada yang mengaku muslim, tapi tak begitu mengaindahkan nilai-nilai Islam, ada yang berjilbab, ada yang tak berjilbab, ada yang pakai kerudung tapi hanya kerudung gaul, dan masih banyak keanekaragaman lain yang tak mungkin disebut semua dalam tulisan ini. Intinya, lingkungan kami sangat heterogen. Di lingkungan yang baru inilah kami merasakan banyak rintangan dan stigma yang negatif, terutama dalam hal komunikasi sosial. Di sisi lain perlu diakui juga, secara umum meskipun beterogen, penduduk sini pada umumnya sangat toleran, baik dan supel.
            Di lingkungan yang baru kami mengalami kendala-kendala yang sangat serius terutama tentang masalah komunikasi sosial. Awalnya mereka sebenarnya sangat terbuka menyambut kehadiran kami, tapi lama-lama mereka mencueki dan menjauhi kami. Bahkan ketika sampai kami tinggal tiga bulan di sini hubungan kami dengan masyarakat sekitar semakin parah. Aku terkadang menyempatkan diri untuk berpikir dan merenung, kenapa ya kok hubungan keluargaku dan masyarakat tak begitu harmonis? Apa karena kegigihan keluargaku yang begitu ketat memegang ajaran agama? Memang keluargaku sangat anti dengan yang namanya acara adat yang berbau agama seperti kenduren, diba`an, tahlilan, mauludan, istighasah, bancaan, ruwatan dan lain sebagainya, karena bagi bapak, semua itu tidak ada tuntunannya dari Nabi. Makanya, setiap kali diundang di acara-acara ritual seperti itu, sudah dipastikan bapak dan keluarga pasti tidak hadir. Kadang kalau kami dikirim makanan-makanan dari masyarakat yang telah melakukan acara-acara misalkan tahlilan, bapak selalu menyuruh untuk membuang karena dinilai haram. Kami juga sangat ketat dalam menjaga hubungan lawan jenis. Keluargaku tidak akan menyalami atau menjabat tangan orang yang bukan mahram. Kalau ibu dari pasar, misalkan ada orang yang mau memberi bantuan mengantar ke rumah selalu tak mau kalau yang menawarkan bukan mahramnya. Keteguhan prinsip seperti inilah yang mungkin barangkali membuat kerenggangan antara keluarga kami dengan masyarakat sekitar. Padahal sebenarnya kami sebagai manusia juga ingin bertegursapa, saling membantu, bersosialisasi, namun terdapat jurang pemahaman yang sedimikian dalam sehingga membuat berat untuk menjalin komunikasi.
            Suatu ketika, ibu di rumah hanya bersama adik terkecil, Imran. Waktu itu ibu mau membuang sampah ke belakang rumah, waktu itu suasana masih mendung, dan baru saja hujan reda. Sewaktu membuang sampah, ibu terpeleset jatuh ke tempat pembuangan sampah yang cukup dalam. Kaki ibu pun patah. Ia menjerit kesakitan, sembari meminta tolong pada orang sekitar. Karena mendengar teriakan minta tolong, akhirnya datang juga tetangga yang menolong. Waktu itu yang mau nolong ibu ialah Pak Jumali, selaku Kepala Rt. Sewaktu mau ditolong, Ibu jelas menolak karena yang akan menolong, mengangkatnya, bukanlah mahramnya, Ia akan meras berdosa jika bersentuhan dengan orang yang bukan mahramnya. Ia sangat mengharap, kalau yang menolongnya itu ialah ibu-ibu, namun mana kuat ibu-ibu mengangkat badannya yang lumayan besar. Hatinya berkecamuk. Sesaat tertahan dalam pikiran yang bimbang – kalau menerima tawaran pertolongan, merasa dosa karena yang nolong bukan mahram, kalau ga diterima siapa lagi yang akan nolong, wong kakinya patah dan membutuhkan segera pertolongan supaya tidak terlalu parah – belum sempat berfikir panjang akhirnya dengan sigap dan lekas, Pak Jumali langsung mengangkatnya –tanpa persetujuannya- sembari berkomentar kesal: ‘Bu, meski bukan mahram, saya tidak akan ngapa-ngapain, saya ini murni menolong, lagian kalau terpaksa kan ga apa-apa’. Ibu terdiam, Ia tidak bisa membalasnya. Al-Hamdulillah, karena waktunya tepat, kaki ibu bisa diselamatkan, dan segera dioperasi.
            Yang senada dengan kejadian itu, suatu saat sewaktu aku mau kuliah, waktu itu di kampus akan diadakan UTS, dalam perjalanan aku menjumpai satu keluarga jatuh dari sepeda dan masuk sawah –aku sendiri tidak tau penyebabnya, apa karena ngantuk atau sebab lainnya-, anak dan istrinya tidak apa-apa hanya wajah dan bajunya dipenuhi lumpur sawah; tapi suaminya sebelum jatuh ke sawah, kepalanya sempat tertabrak pohon asam, sehingga kepalanya luka berdarah dan lumayan parah. Melihat kejadian itu aku secara spontan berhenti membantu ibu dan anak bangkit dari sawah –kebetulan waktu itu masih sangat pagi dan sepi belum terlihat orang lalu-lalang-, alhamdulillah tidak apa-apa, yang membuat aku bingung ialah bagaimana harus menolong suaminya, suaminya masih muda, dia bukan mahramku, sedang waktu itu tidak ada orang yang, kalau ga segera ditolong orang itu bisa meninggal lantaran luka kepalanya sangat parah. Kejadian itu begitu dilematis. Istrinya dengan sangat memohon meminta bantuan aku untuk mengangkat suaminya ke mobilku dan segera di bawa ke rumah sakit terdekat. “Maaf mbak, bukannya aku tak mau menolong, tapi suami mbak mukan mahram saya” jawabku sekenanya. “Aduh tolong mbak, ini darurat, kalau tidak suami saya bisa meninggal, sampean tega kalau gara-gara bukan mahram kemudian tak menolong, lantas suami saya meninggal dunia. Penting mana nyawa orang dengan menjaga diri dari yang bukan mahram” sahut istri lelaki yang sedang kecelakaan. Serasa ditampar kesadaran hatiku, akhirnya dengan lekas aku segera membopongnya dengan bantuan istrinya, sampai aku antarkan ke rumah sakit terdekat. Waktu itu aku merasa dosa, telah bersentuan dengan orang yang bukan mahram, tapi sekaligus merasa bermanfaat pada orang lain karena telah membantunya pergi ke rumah sakit, meski akhirnya aku tidak bisa mengikuti UTS di kampus karena terlambat.
            Aku juga punya teman cewek di kampus yang sepaham dan sealiran dengan pemahaman yang aku pegang teguh dengan keluargaku, namanya Amel –bukan nama sebenarnya-, di sudah bertunangan; sekitar tiga bulan lagi dia akan menikah. Apa yang dialaminya sebenarnya juga masih bertalian erat dengan beberapa kisah yang baru saja aku ceritakan tadi. Amel memang sangat anti dengan yang namanya pacaran, ia membatasi pergaulan hanya sesama teman perempuan, dan cendrung menjauh kalau ada laki-laki yang bukan mahramnya. Amel adalah mahasiswi yang sangat pandai  dalam bidang studi Matematika. Waktu itu ada teman cowok yang minta bantuan untuk diberikan penjelasan mengenai bab-bab tertentu mengenai matematika. Bukannya Ia tak mau membantu, tapi karena teman cowok yang bernama Bagus itu bukan mahramnya, maka ia merasa berdosa kalau dia membantunya, karena jelas nanti akan berhadap-hadapan dan terjadi saling pandang memandang di antara keduanya. Di sisi lain, kalau Bagus tidak dibantu maka resikonya kalau sampai tahun ini gagal lagi dalam ujian, pasti Ia akan terkena DO dari kampus, karena sudah beberapa kali gagal, lantaran ada kesibukan sosial di luar kampus. Akhirnya amel tetap menolak membantu, tentunya dengan alasan bukan mahram. Tapi yang membuat Amel tersentak ialah ketika ia mendengar teguran dari sahabatnya ,Rindi Antika(cewek ini meski belum berjilbab tapi secara pakaian sangat sopan dan baik, Ia termasuk dari sahabat Amel, bahkan sering curhat sama dia-, ‘Mel, maaf sebelumnya. Bukannya aku ikut campur. Kenapa kamu ga mau bantu orang yang sedang kesusahan? Meski bukan mahram dia kan ga bakal ngapa-ngapain. Sekarang aku tanya, tunangan itu mahram apa bukan? Kalau bukan kenapa kamu sering telponan sama dia, chatting-ngan, fb-an, tweeter-ran, dan kadang kalau ada perlu kalian juga bertatap muka meski tak berjabat tangan, bukankah itu lebih parah? Bukankah kedudukannya sama-sama bukan mahram? Kenapa kamu membeda-bedakannya, padahal Bagus itu benar-benar membutuhkan bantuanmu’. Amel sangat tersentak dengan teguran sahabatnya itu. Dalam hati Amel membatin, ‘betul juga kata Rindi, astaghfirullâh...selama ini aku telah berbuat salah, meski sama tunangan kan belum halal’. Dengan pikiran yang berkecamuk dan penuh dilema, akhirnya Amel mau bantu dengan syarat teman-teman ceweknya mendampinginya.
            Beberapa kejadian itu membuat aku bingung. Mungkin gak ya, kita tetap berpegang teguh dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan orang? Saling membantu, saling menolong, dengan tetap menjaga prinsip. Berbulan-bulan aku berpikir serius mengenai jawaban pertanyaanku itu. Pernah aku bertanya pada bapakku langsung, tentang pertanyaanku tadi tentu saja aku iringi dengan kasus-kasus nyata yang bertentangan dengan prinsip misalkan: “pak bagaimana ketika ada orang yang sedang mengadakan tahlilan, kemudian terjadi kebakaran di rumah itu, apa kita perlu membantu, mereka kan melakukan bid`ah, apa perlu ditolong? Bagaimana kalau ada orang yang bukan mahram mengalami kecelakaan lantas butuh bantuan kita, dan waktu itu yang ada hanya kita, apa harus kita tolong? Apakan menolong orang itu tidak boleh jika orang yang kita tolong tak sejalan dengan pemahaman dan pemikiran kita? Apakah ada pertentangan antara agama dan menolong orang yang tak seagama?” masih banyak lagi sebenarnya yang aku tanyakan ke bapak, tapi jawabannya sama yaitu: “yang berhak ditolong adalah yang tidak melanggar syari`at, kalau kamu menolong orang yang melanggar syari`at, sama saja kamu menolong orang berbuat salah. Kemungkaran itu jangan malah ditolong, tapi kewajiban kita adalah mencegahnya”. Sebagai anak tentunya aku nurut dan takzim pada beliau, dan aku sama sekali tak membantahnya. Tapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hati, penjelasan bapak memang benar, kemungkaran memang harus dicegah, tapi kok kurang pas dengan pertanyaannya.
            Berbulan-bulan aku dirundung bingung, sembari berusaha mencari jawaban yang pas dan tepat mengenai pertanyaan-pertanyaan tadi. Selama ini aku dan keluargaku memang sangat memegang teguh prinsip, tapi mengapa kehidupan sosial kami dengan masyarakat kok tak kunjung harmonis, semakin hari semakin senjang. Sampai akhirnya sewaktu ada kegiatan kampus berupa penelitian ke kampung-kampung mengenai kesadaran kesehatan masyarakat, di salah satu kampung aku diperjumpakan dengan seorang yang bernama Sarikhuluk. Sarikhuluk bukan guru, yai, dosen, pakar, kiai, ustadz atau sebutan formal lainnya. Ia mengaku bukan siapa-siapa dan merasa seperti manusia biasa sebagaimana manusia yang lainnya. Ia hanya mengenyam bangku sekolah formal sampai SD saja, namun yang membuat aku heran, dia bukan siapa-siapa dan tak mempunya profesi dan title apa-apa, tapi kenapa dia begitu bisa berpengaruh di kampungnya. Kampungnya termasuk kampung sang sangat sigap dalam hal kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya. Di kampungnya pula, konflik-konflik aliran sangat bisa diminimalisir, meskipun di kampungnya jauh lebih plural daripada kampungku. Aku sangat penasaran dan ingin sekali bertanya-tanya tentang resep apa saja yang bisa membuat desa ini begitu rukun, damai dan toleran. Al-hamdulillah akhirnya, aku bisa mewancarianya bersama teman-temanku sewaktu dia lagi sibuk di kebun pisangnya. “Pak maaf menganggu, apa bisa kami meminta waktunya sebentar. Ada teman saya yang mau mewawanzarai bapak?” tanya Irma, temanku. “Ya monggo-monggo, tapi di sini aja ga apa-apa kan mbak?” jawab Sarikhuluk. “Ya pak, ga papa, terimakasih sebelumnya”.
            Aku mulai menyapanya: “Pak, perkenalkan nama saya Aisyah Mutiara Qolbi, panggil saja Tiara. Jujur saya sangat kagum dengan kondisi di kampung bapak ini. Warganya begitu heterogen dan plural, tapi kok bisa ya rukun dan damai dan tetap saling tolong menolong. Lebih kagum lagi, bapak bukan siapa-siapa disini dan tak mempunyai title dan kedudukan apa-apa tapi kok perannya sangat besar di sini, bahkan tak sedikit orang yang meminta bantuan ke jenengan? Pertanyaan saya sebenarnya singkat saja: Mungkin gak pak, kita tetap berpegang teguh dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan orang?” pertanyaanku singkat.
 “Wah mbok jangan-jangan dibesar-besarkan gitu mbak, sebenarnya kampung di sini juga sama saja dengan kampung yang lain, saya juga perannya biasa-biasa saja. Memang saya tak peduli dengan status dan tak memiliki status apa-apa, kunci hidup itu satu mbak, yaitu apa kita bisa bermanfaat dengan orang lain apa tidak. Walau jabatan tinggi, title juga banyak, tapi kalau sedikit manfaat, bahkan banyak menyusahkan orang itu nonsense(omong kosong) mbak. Kata ar-rahmân dan ar-rahîm sebenarnya memberikan pelajaran berharga pada kita. Kalau ar-rahmân skalanya horisontal dan sesama mahluk, artinya kita dalam berbuat baik tidak memandang apakah yang kita tolong itu orang yang seagama sama kita, orang yang sepaham dengan kita atau tidak, sebagaimana Tuhan yang tak membeda-bedakan dalam memberikan sinar mentari kepada seluruh ciptaannya di bumi, baik itu muslim maupun kafir. Kalau ar-rahîm skalanya itu vertikal dan transenden, maksudnya hubungan dan manfaat khusus kita dengan Tuhan, artinya masing-masing dari kitanmeski secara sosial dituntut baik, tapi kita tetap mempunyai ruang privasi untuk mendekatkan atau mengintensifkan hubungan dengan Tuhan. Gampanganya manfaat kedua ini memang lebih pribadi, dan khusus. Apakah keduanya bisa dipadukan? Ya jelas bisa mbak. Buktinya Allah memadukannya gitu. Bismillahirrahmânirrahîm. Sampean juga bisa melihat kerukunan yang terbina di kampung ini. Bukannya mereka sepaham, seia, dan sekata, tapi mereka sama-sama sadar bahwa masalah keyakinan itu memang masalah privasi dan tidak bisa dipaksakan ke orang lain, namun sebagai manusia, apapun perbedaannya harus tetap bisa bermanfaat pada orang lain. Dalam konsep Islam `kan ada konsep: rahmatan lil `âlamîn, jadi kalau kedatangan agama Islam hanya membuat laknat bagi alam maka batallah kehadiran agama. Agama ada itu untuk mencerahkan, bukan mengelamkan. Kebanyakan konflik-konflik yang terjadi saat ini, khususnya umat Islam ialah ketika perbedaan yang sifatnya tanawwu`(fariativ/cabang berkaitan dengan hukum) dianggap sebagai keyakinan, sehingga yang tidak sepaham dengannya dibenci, dijauhi bahkan diserang baik melalui lisan atau tulis. Padahal secara prinsip(akidah) Tuhannya sama-sama Allah, Nabinya sama-sama Muhammad, Shalat, Zakat, Puasanya juga sama. Yang menyebabkan konflik meluas ialah ketika perbedaan cabang itu dibesar-besarkan sehingga berimplikasi negatif berupa tidak menolong kalau bukan golongannya. Menolong kok dibeda-bedakan. Siapa saja yang butuh pertolongan, asalkan memang benar-benar butuh dan tentunya bukan dalam rangka maksiat maka harus ditolong. Mungkin juga mbak sudah hafal mengenai hadits yang menurut saya bernilai universal yaitu intinya: tingkatan iman yang paling rendah ialah membuang gangguan(duri atau yang lainnya) dari jalan. Coba perhatikan di situ kata kuncinya ialah berusaha bermanfaat dengan menyingkirkan gangguan dari jalan, padahal yang lewat jalan itu `kan bukan hanya orang Islam saja. Makanya kami tidak pernah membeda-bedakan dalam hal menolong asal pertolongannya tepat, dan tidak menggadaikan keyakinan masing-masing. Saya sangat tau betul dengan pemahaman mbak, atau yang semisal dengan sampean, karena saya juga banyak teman yang seperti mbak, bahkan di kampung ini tak sedikit yang berpaham seperti mbak, tapi toh rukun-rukun aja. Kuncinya mereka selalu menjalin komunikasi yang baik. Masalah keyakinan, itu memanga sangat privat, kita tidak bisa memaksa orang untuk sepaham dengan kita, dan masing-masing dari kita akan mempertanggunjawabkannya kelak di hadapan Allah; tapi bahwa kita sebagai manusia harus tetap bermanfaat itu tidak bisa ditawar lagi. Ada yang bilang: Allah butuh akidahmu, sedangkan manusia butuh akhlakmu. Intinya maksudnya, kalau kita ‘dianggap baik’ dalam beragama tapi kok jelek hubungan secara sosial, berarti ada yang tidak beres dengan pemahaman kita. Bedakan antara ‘pemahaman’ kita mengenai al-Qur`an dan hadits dengan al-Qur`an dan hadits itu sendiri” jawab Bapak. Sarikhuluk dengan mengalir tanpa henti, seakan-akan yang sedang berbicara di hadapanku adalah Ustadz, kiai, dosen, pakar sosial dan berbagai title yang lain. Setelah mendapat jawaban dari Pak Sarikhuluk, akhirnya aku lumayan tercerahkan. Kita boleh saja memegang teguh prinsip kita, tapi jangan sampai secara sosial kita menjadi tak bermanfaat gara-gara pemahaman yang beda. Masalah keyakinan masing-masing akan mempertanggungjawabkan sendiri di hadapan Tuhan. Manusia yang tak mau berbuat baik pada orang lain, tak mau menolong orang yang tak sepaham dengannya, adalah manusia yang belum lulus kemanusiannya. Thanks very much Bapak Sarikhuluk, semoga pencerahan ini bisa aku bawa ke lingkungan keluarga dan masyarakatku. Sumengko, Kamis 01 Mei 2014/ 15:25

11
To The All Facebooker Don`t Keblinger!

            Paijo Ngalamudin, Paiman Badrudin, Pardi Mandala Putra, dan Paimo Sukmogomo, malam ini berencana ke rumah Sarikhuluk. Kalau keempat teman yang disingkat P3P ini kumpul jadi satu, maka sudah pasti akan sowan ke rumah teman karib mereka yaitu Sarikhuluk. Biasanya kalau ga cangkruan(kumpul-kumpul sambil ngobrol dengan duduk), temu kangen, main catur, pasti melekan(begadang) untuk membicarakan masalah  yang menurut mereka penting, meski kata orang atau media masa tak penting. Ukuran penting tidaknya sesuatu menurut mereka bukan yang terutama yang paling disorot media, atau yang lagi santer dibicarakan, tapi yang menurut mereka penting ialah segala sesuatu yang luput dari pandangan orang banyak. Tema yang dibicarakan pun kadang bukan saja masalah fisik  tapi sekaligus metafisik; bukan saja masalah dzahir tapi sekaligus batin; bukan hanya masalah tekstual tapi sekaligus kontekstual. Karena seringnya mengadakan pertemuan, suatu saat ada ide dari Paijo Ngalamudin mengusulkan untuk memberi nama pada forum diskusi yang mereka adakan setiap malam minggu dengan nama, ‘DAMAR’ singkatan dari Diskusi Asyik Mencerahkan Anyar dan Rutin. Tanpa ba bi bu, mereka pun setuju kalau forum diskusi mereka dinamakan forum DAMAR. Damar sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Jawa yang artinya lampu. Dengan nama ini mereka mempunyai obsesi besar bahwa nanti mereka bisa memberi pencerahan pada diri sendiri dan keluarga, syukur-syukur hingga sampai pada masyarakat apalagi bangsa. Kunci hidup menurut forum DAMAR ialah meluaskan, melebarkan, mendalamkan, dan meninggikan skala kemanfaatan bagi lingkungan. Mereka punya prinsip: kalau kita tak bisa bermanfaat untuk lingkungan, minimal kita menahan diri untuk tidak ikut urun membuat kerusakan supaya lingkungan terjaga.
            Malam ini mereka sudah menyiapkan tema yang diambil dari fenomena yang sangat tenar dan mendunia yaitu, ‘facebook’. Yang menjadi sorotan mereka sebenarnya bukan facebook itu sendiri, tapi sesuatu di dalam atau di belakang facebook. Kira-kira faktor determinan apa yang membuat facebook begitu menggejala dan mendunia hingga anak-anak, remaja, orang tua, dan manula pun tak ketinggalan aktif menggunakannya. Berangkatlah mereka ke rumah Sarikhuluk dengan jalan kaki - maklum, rumah Sarikhuluk tak begitu jauh dari rumah mereka-. Sesampainya di rumah Sarikhuluk, dari samping rumah Sarikhuluk sudah terlihat siap di pendopo samping rumahnya. Di situ sudah disiapkan kopi hangat, teh hangat, ketela rebus, kacang rebus, rokok, dan ubi bakar. “Assalamu`alaikum Luk” sapa mereka serentak pada Sarikhuluk. “Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Monggo-monggo dolor, silahkan duduk. Kali ini lumayan banyak sajianya, soalnya aku tadi habis panen ubi, kacang dan ketela. Silahkan duduk dan menikmati” jawab Sarikhuluk mempersilahkan. “Ealah Luk, gitu aja repot-repot, wong biasanya kopi angat dan rokok saja sudah cukup. Tapi ya ga papa kita kan ga boleh nolak rejeki. Maknyus tenan malam ini” sambung Paimo dengan semangat 45. “O ya rek, malam ini kita akan bahas apa?” tanya Sarikhuluk. “Gini Luk, di kampung kita ini facebook makin hari makin menggejala. Semua level masyarakat kita hampir semua menggenal dan menggunakannya. Yang perlu kita diskusikan ialah kenapa facebook kok bisa begitu menyihir masyarakat, bahkan hanya masyarakat kita lho Luk, hampir seluruh dunia yang melek teknologi dan informasi pasti tahu facebook” jawab Paijo mewakili P3P.
            “Iya Luk. Facebook meskipun sudah menjadi sesuatu yang biasa pada era globalisasi dan ‘gombalisasi’ saat ini, minimal yang perlu kita waspadai ialah dampak dari facebook ini begitu besar. Berkat facebook, banyak anak-anak di kampung kita yang menjadi semakin pintar. Pintar bergaul, pintar membangun jaringan, pintar memanfaatkan informasi dan teknologi, pintar membangun komunikasi dengan baik dan pintar-pintar positif yang lain. Tapi juga ndak sedikit Luk yang keblinger(sesat dan keliru) dalam menggunakan facebook. Ada yang menggunakannya untuk menipu orang, untuk sekadar main game seharian, untuk pacaran, bisnis narkoba dan lain sebagainya. Banyak anak-anak yang lupa waktu. Facebook seolah-olah tanpa sadar telah menjadi ‘Tuhan Kecil’ bagi mereka. Lha gimana coba, mereka tak merasa tabu untuk buka-bukaan masalah pribadi, ngomong yang tidak perlu, doa lewat facebook, narsis-narsisan, pamer photo, dan lain sebagainya. Pokoke eksistensi mereka terletak pada facebook. Tiada hari tanpa facebook.  Bahkan anak-anak facebooker maniak di kampung kita pernah berseloroh: “ga facebookan sedino rasane koyo tibo gedebuk soko nduwur truk”(tak facebookan sehari saja  rasanya seperti jatuh berbunyi gedebuk dari truk). Banyak pula para remaja yang menyalahgunakan facebook untuk main game buat judi. Kemaren aku juga dapat kabar kalau anak perempuannya bu Malikah sempat hilang beberapa hari karena janjian ketemuan dengan orang lewat facebook. Untung saja segera dilaporkan ke polisi, sehingga bisa segera ditemukan dan tak jadi dijual ke tempat prostitusi. Tak sedikit pula Luk, para bapak-bapak dan ibu-ibu yang menggunakan facebook sebagai media untuk selingkuh. Lha kalau orangtua sebagai contoh buat anak-anaknya saja sudah seperti itu, terus apa lagi coba yang bisa diharapkan bagi generasi mendatang” ungkap Paiman nyrocos tanpa henti.
            “Gini ya Man, apa yang kamu bicarakan barusan `kan masih berkisar mengenai dampak. Biar tak terlalu melebar pembahasan kita, maka kita fokuskan dulu ke tema awal, yaitu mengapa facebook itu digandrungi kebanyakan orang. Kalau berkaitan dengan dampak sih kita ga bisa nyalahkan facebook. Wong facebook itu skadar alat komunikasi jejaring sosial. Ibarat pisau `kan baik tidaknya bukan terletak pada pisau, tapi terletak pada siapa yang menggunakan pisau, dan digunakan untuk apa. Facebook jelek bukan semata karena facebooknya, tapi karena facebooker(pengguna facebook)-nya” sergah Sarikhuluk mengingatkan. “Oke Luk, suwon(terimakasih). Sampai lupa aku hehehe” komentar Paiman. “Menurutku, yang membuat facebook digandrungi kebanyakan orang karena facebook menyediakan sesuatu yang inovatif yang tidak dimiliki oleh yang lain dalam hal komunikasi. Maksudku begini,  inovatif karena menyediakan program yang sangat memudahkan seseorang untuk berkomunikasi baik dengan teman lama atau teman baru. Kalau dulu yang namanya komunikasi harus melalui surat, bertatap muka, dan dengan cara manual lainnya, maka facebook menyediakan inovasi baru dalam komunikasi. Bisa berkomunikasi lewat chatting-an, berbicara, komen-komenan melalui pesan singkat atau dari status atau juga bisa menggunaka handycame jika ingin tahu wajahnya. Fungsi-fungsi dari handpone jaman dulu sudah ter-cover di dalamnya. Jadi kesimpulannya menurut pendapatku, yang membuat facebook terkenal karena memiliki ‘daya inovasi’ dan ‘semangat kreativitas’ tinggi. Pembuatnya sejak awal mungkin sadar bahwa abad modern adalah abad komunikasi dan teknologi, bagi siapa saja yang mampu menciptakan inovasi dalam dunia komunikasi, maka dia bisa menguasai komunikasi” pendapat Paijo.
            “Kalau menurutku, yang membuat facebook begitu diminati dan digandrungi ialah karena faktor ‘gratisan’ dan mudah alias tak ribet. Sudah menjadi fenomena umum bahwa semakin kita bisa memberikan sesuatu pada orang secara gratis -khususnya dalam manfaat yang bersekala sosial-, maka kita akan mendapatkan hati mereka. Nah pembuat facebook mampu menangkap gejala itu pada masyarakat di era informasi-teknologi saat ini. Letak manfaat sosialnya ialah kemudahan komunikasi secara gratis, dan ditambah lagi dengan pendaftaran dan penggunaannya yang begitu simpel. Jadi, kata kunci facebook bisa mendua ialah di samping gratis, ia juga sangat mudah digunakan” tutur Pardi. Kemudian giliran Paimo sekarang berpendapat: “Menurutku yang membuat facebook menarik ialah karena dilengkapi dengan fitur-fitur yang di samping simpel tapi juga menarik. Simpel saja tidak cukup untuk membuat sesuatu menjadi menarik untuk khalayak umum. Antara kemudahan dengan dayatarik terkadang tidak sebangun. Main kelereng itu simpel, tapi dayatariknya mungkin sangat regional dan tak seluas facebook. Dengan fitur-fitur facebook yang sangat mudah dan menarik, orang bisa mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Jangan lupa juga bahwa budaya narsisme yang sangat menggejala belakangan ini itu juga sangat didukung oleh fitur-fitur dalam facebook. Facebook juga memungkinkan bagi orang-orang yang kurang percaya diri dalam komunikasi sosial, untuk tetap bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Karena itu banyak kita jumpai anak yang kalau di dunia nyata terlihat pendiam dan kurang gaul, tapi kalau di dunia facebook sangat gaul dan terkadang ekspresinya over.
            “Kalau menurutku sih simpel saja sebenarnya. Facebook sangat digemari yang terutama karena ‘bebas nilai’. Di facebook orang bebas berekspresi, bebas berimajinasi, bebas berkeluhkesah, bebas memilih rekan komunikasi, bebas membeberkan aib sendiri dan orang lain, bebas berjualan, bebas meluapkan emosi dan bebas-bebas yang lainnya. Facebook juga bebas digunakan oleh siapa saja dari anak-anak sampai orang dewasa. Pada dasarnya manusia tidak begitu menyukai ikatan-ikatan. Semakin manusia terikat, di waktu yang sama ia berusaha segera lepas dari ikatan itu. Ini menurut asumsiku dari bacaanku terhadap realitas. Kalian boleh setuju atau tidak. Yang jelas apa yang di dunia nyata dianggap tabu, dan tak layak untuk disampaikan, itu bisa menjadi tak tabu lagi dalam dunia facebook. Facebook menurutku, kalau kita ibaratka manusia, seperti gadis yang telanjang. Pria mana  coba yang tak tertarik pada gadis telanjang, kalau masih normal. Jadi menurutku, kata kunci facebook begitu dinikmati karena mengandung unsur fundamental berupa ‘kebebasan’ dalam makna yang seluas-luasnya” menurut Paiman. “Oke, lumayan ada pencerahan. Diantara yang membuat facebook menarik seperti kata kalian tadi ialah karena beberapa hal, yaitu: daya inovasi, gratis, simpel(mudah), menarik, dan bebas. Inovasi, simpel, menarik dan bebas memang faktor-faktor yang sangat menentukan dalam menarik minat massa. Pada dasarnya manusia sangat suka dan penasaran pada hal yang baru, gratis, simpel menarik dan bebas. Inovasi membuat orang penasaran; gratis membuat orang ringan tanpa beban menggunakan; simpel membuat orang gampang menggunakan; sedangkan bebas membuat orang leluasa dalam mengekspresikan dan menggunakannya” komentar Sarikhuluk menyimpulkan.
            Sarikhuluk melanjutkan: “aku pernah membuat angket kecil-kecilan yang pernah aku sebar di beberapa desa yang gemar facebookan. Secara umum pada intinya tidak jauh beda dari pendapat yang kalian kemukakan. Tapi ada beberapa hal yang belum kalian tangkap secara mendalam melebihi keempat unsur tadi yang telah kalian kemukakan. Misalkan komunikasi facebook menjadi menarik karena membicarakan sesuatu yang hangat dan anyar, atau meski tema lama tapi dibungkus dengan hal baru. Manusia suka mengonsumsi yang baru-baru. Komunikasi facebook disukai karena cepat dan instan. Kalau dahulu kala untuk ke rumah kerabat harus kerumah, maka dengan facebook tanpa ke rumah dan dengan waktu yang sangat cepat maka komunikasi bisa terjalin dengan lekas dan menarik. Facebook memudahkan orang untuk sharing hal-hal baru. Kemudian facebook juga memiliki fitur yang membuat orang kecanduan atau ketagihan. Bagi yang suka mengekspresikan diri, baik melalui kata-kata dalam status, melalui fhoto yang narsis dan indah, melalui karya tulis di note, melalui permainan pada fasilitas game online, yang membuat mereka ketagihan ialah tanggapan, like(pengakuan suka), dan kritikan dari orang lain yang kalau kita simpelkan bisa dibahasakan dengan kata, ‘respon’. Facebook menarik karena mengandung unsur responsif. Respon menggambarkan kepedulian. Siapa coba manusia yang tak suka dipedulikan dan diperhatikan? Terlepas dari dampak negatif maupun positif, kepedulian merupakan kata kunci yang merangkum unsur-unsur lain yang membuat facebook digandrungi. Hanya saja kepedulian itu masih bisa diurai menjadi kepedulian yang sekalanya sekadar individu atau sosial. Pembuat facebook mampu menangkap kata kepedulian dengan bingkai alat komunikasi yang inovativ, cepat, gratis, simpel, menarik dan bebas. Sebagai penutup sementara, sekali lagi terlapas dari baik-buruknya facebook, sekali lagi itu hanyalah sarana atau alat. Jangan sampai menjadikannya lebih dari sekadar alat. Kerusakan terjadi jika orang menjadikan faceebok sebagai tujuan sehari-hari. Akhirnya memang betul manusia semakin luas jaringannya, tapi ingat hanya dalam dunia maya. Supaya pengguna facebook tidak keblinger dengan kebebasan yang terkandung di dalamnya, maka kendali yang berasal dari agama atau kearifan lokal harus tetap dijaga sebagai kontrol sosial dalam penggunaan facebook. Jika tidak facebook hanya akan menjadi bencana. Akhirnya facebook membuat orang ngiler(tertarik) meski tanpa sadar bahwa ia telah keblinger(sesat, keliru). Tentu saja kalau digunakan bukan pada tempatnya dan dalam koridor negatif. Jadi saranku: to the all facebooker don`t keblinger(red: javanglish) hehehe” pungkas Sarikhuluk menyudahi diskusi forum DAMAR.
Sumengko Sabtu malam, 17 Mei 2014/22:10

12
“Buruk Muka, Cermin Dibelah”

            Pagi hari saat lagi enak-enaknya nyruput kopi luwak di teras rumah, Sarikhuluk kedatangan teman lama, namanya Ammar Khozinudin, yang biasa dipanggil Markoden. Kedatangan Markoden samasekali tak diperhitungkan sebelumnya. Biasanya, setiap kali mau main ke rumah Sarikhuluk, ia terlebih dahulu mengabarinya, minimal dengan sms(short message service), lha kali ini sama sekali tidak ngasih kabar. Apa lagi raut mukanya terlihat sangat serius seakan memendam masalah yang sangat besar. “Assalamualaikum......Cak” sapa Markoden. “Wa`alaikumussalam” jawab Sarikhuluk. “Lho tumben Mar, ga woro-woro dulu, biasanya kan kamu bilang dulu kalau mau datang, apalagi mukamu terlihat sepet gitu” tanya Sarikhuluk. “Anu Cak, sebenarnya aku juga ga enak ga ngabari dulu, cuman mau gimana lagi aku ada masalah, dan sudah merasa buntu, makanya aku ga sempat ngabari dulu. Yang ada di pirikranku ialah ingin segera ketemu sampean, ya minimal curhat lah, syukur-syukur bisa mendapat solusi”. Tukas Markoden.
 “Emang kamu lagi kena masalah apa sampai segitunya, biasanya kamu kalau ke sini malah guyoni dan menghibur aku, lha sekarang malah aneh gini”. “Aku serius iki Cak, aku benar-benar pingin mencari solusi terbaik. Masalahku ialah: Aku kan jelek-jelek gini punya perguruan silat kecil-kecilan. Sebenarnya sih bukan aku yang mendirikan. Cuman aku diberi amanah guruku untuk mengurusi perguruan silat itu. Beberapa tahun aku memegang amanah, kok aku merasa perguruan yang kupimpin semakin menurun. Aku paling sebel kalau temen-temen seperguruanku ngrecoki atau menjadi sok pintar ketika mengingatkanku, padahal yang mendapat amanah kan aku”. “Tunggu dulu. Emang mereka ngrecoki gimana?”. “Anu Cak, aku berusaha mati-matian mengembangkan jurus-jurus yang diajarkan guru, kok ada murid yang tingkatannya baru seusia jagung mengingatkan aku bahwa apa yang kusampaikan salah, padahal aku hafal betul apa yang disampaikan Guru”.
            “Minum dulu kopi Luwaknya Mar! Ni baru dibikinkan sama istriku, wenak tenan lho” . “O suwon(terima kasih) Cak, iya dari tadi aku begitu tegang. Padahal biasanya aku sering guyon”. “Gini ya Mar, aku bukannya sok tahu atau ingin mengajari kamu, wong kamu bisa mendayagunakan pikiranmu kok. Kalau masalahnya itu adalah mengenai jurus yang diajarkan gurumu, kan kamu tinggal tabayyun, nge-cek, atau musyawarah sama teman-teman seperguruanmu. Setiap manusia berpeluang salah. Kamu pun demikian. Kalau ternyata setelah musyawarah kamu benar sesuai dengan yang diajarkan guru, ya sampaikan dengan baik dan bijak. Kalau ternyata memang salah, ya kamu harus berlapang dada, untuk mengakui kesalahanmu. Aku dengar bahwa gurumu yang bernama Padhang Serngege itu orangnya sangat jembar hati, dan berlapang dada” saran Sarikhuluk kepada Markoden.
 “Aku sudah kroscek sama temen-temen seperguruan, tapi mereka terbelah dua, ada yang mendukungku dan ada juga yang setuju dengan pandangan murid yang seusia jagung itu. Kan aku menjadi semakin bingung. Padahal aku sudah haqqul yaqin(benar-benar yakin) bahwa jurusku sudah pasti benar. Sebenarnya aku juga agak gengsi kalau ternyata murid seusia jagung itu yang benar. Mau ditaruh mana nanti mukaku” tukas Markoden. “Mar sebelum aku melanjutkan omongan, tolong tenangkan dirimu dulu, jangan sampai ‘dikejar-kejar emosi’ bicaramu begitu meluap-luap sampai ngatain murid yang bersebrangan denganmu dengan istilah ‘seusia jagung’. Ingat Mar, kebenaran bukan terletak pada senioritas, walaupun masih junior kalau yang disampaikan itu benar, ya tetap benar adanya. Tapi memang sangat sulit jika sifat gengsi sudah menguasai hati”. “Iya sih Cak, coba sampean kasih aku pencerahan dari kisah kanjeng Nabi mengenai hal yang serupa dengan apa yang aku alami biar hatiku adem dan bisa bercermin darinya’ pinta Markoden.
            “Baiklah kalau kamu memang menginginkan itu. Sebenarnya kisah ini tidak sama persis tapi kamu bisa mengambil pelajaran betapa Nabi itu sangat berlapang dada, dan menghormati pendapat sahabat-sahabatnya. Dengan mendengar kisah ini minimal kamu nanti bisa menyikapi permasalahanmu dengan sikap yang lebih dingin dan bijak. Ada sahabat Nabi yang bernama Al-Hubaab bin Al-Mundzir, sewaktu perang Badar, Nabi Muhammad memutuskan untuk bermukim di tempat yang jauh dari lembah Badar. Namun Al-Hubaab bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apa ini murni pendapatmu, apa langsung turun dari Allah, sehingga aku sama sekali tak boleh berpendapat?” Nabi menjawab: “Ini hanya pendapatku, kamu boleh berpendapat”. “Kalau demikian, aku berpendapat lain, aku lebih setuju untuk bermukim di dekat Badar, kita kuras dan simpan airnya untuk kita, sehingga musuh nanti mengalami kelangkaan air”. Dengan senang hati Nabi menyetujui sara Al-Hubab dan pada akhirnya memang pendapat Al-Hubaab sangat brilian dan berguna dalam perang Badar”.
“Lihat Mar, orang sekelas Nabi saja tidak semena-mena dalam berpendapat, beliau masih mau Musyawarah selama itu bukan Allah yang memerintahkan, dan Beliau tidak ragu-ragu menerima pendapat sahabatnya jika memang pendapat sahabatnya itu sangat bijak. Bahkan pada perang Uhud sebenarnya Beliau punya pendapat lebih baik perang di dalam Madinah, tapi ada sahabat yang tak ikut serta perang Badar merasa antusias untuk jihad perang di Uhud bertemu langsung dengan Musuh, Rasul pun menyetujui pendapat mereka. Pikirkan sekali lagi Mar, katanya kamu ngaku ngimani Rasul serta ajarannya, rasa-rasanya seharusnya kamu bisa ngambil pelajaran dari kisah Rasul yang kuceritakan tadi. Kalau kamu memang benar dalam hal yang kamu ceritakan ke aku, ya selesaikan dengan baik dan bijak, jangan meremehkan orang sedikitpun walaupun itu lebih rendah keilmuannya, atau meskipun kamu lebih senior dari dia. Lha kalau yang salah kamu, ya kamu harus berlapang dada menerimanya, bukannya kamu sering mengingatkanku untuk watawashau bilhaq, watawashau bis shabri(Saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran), buang jauh-jauh gengsimu, kamu ini kan pemimpin perguruan silat seharusnya kamu terdepan dalam memberikan contoh. Kalau salah yang kamu harus mau diindatkan”.
“Jangan sampai kamu masuk seperti ungkapan peribahasa: Buruk muka cermin dibelah( karena aib sendiri, menyalahkan orang lain) orang seperti ini sudah jelas salah, tak mau diingatkan, malah nyalahin orang lain. Aku rasa orang sepertimu yang punya selera humor tinggi bisa mengatasinya dengan baik. Atau lebih parah lagi aku ingatkan kamu, jangan sampai masuk pada peribahasa: Anak yang tak pandai berdandan dikatakan cermin yang kabur(Orang yang menyalahkan orang lain, padahal dirinya sendiri yang mencontoh perilaku orang tersebut). Menghancurkan itu lebih gampang daripada membangun dan menjaga keharmonisan Mar, jangan sampai gara-gara gengsi kamu menjadi naik pitam sehingga menutupi potensi kebanaran yang ada dalam jiwamu” cerocos Sarikhuluk, laksana Penasihat Kawakan. “Astaghfirullah Cak, suwon ge sampean sudah mengingatkan aku. Kadang-kadang memang ketika mengurusi perguruan silat aku lebih cendrung mementingkan ke-akuanku daripada orang lain. Sehingga ketika memandang orang lain, selalu aku pandang dengan sudut pandang subyektifku, tanpa mempedulikan orang lain secara obyektif, meski sekecil apa pun orangnya. Sekali lagi terima kasih cak”. Dialog antara keduanya terus berlanjut dengan guyonan-guyonan segar hingga menjelang Dzuhur, Markoden pun berpamitan pulang, di hatinya ia berujar: “Al-Hamdulillah sedikit banyak aku sudah tercerahkan, ga rugi aku datang pada sahabatku yang rada aneh tapi nyata itu...heee”.
Sumengko, Selasa 10 September 2013.

13
Gunung Cita & Cinta
20 Maret 2014 pukul 6:18

Ketika berjalan menuju pasar, Sarikhuluk menemukan sobekan kertas yang bertuliskan demikian:

Gunung Cita & Cinta

Bagai mendaki gunung
Maka aku akan tetap menatap ke atas
Hati-hati, pelan-pelan,
Tidak akan menoleh ke kiri dan ke kanan
Sampai puncak ditempuh.
Melirik kiri-kanan,
atau melihat kebawah
Hanya akan menambah resah
Bahkan takut tak terarah
Kamu adalah 'gunung cita & cinta'ku
Aku akan terus mendaki
Sampai menuju puncak
Di puncak nanti
Ketika kita sudah bertemu,
Panorama indah
Akan bisa dinikmati bersama
Betapa indah
Ketika dua hati
Bertaut meniti
Jalan Ridha Ilahi

Setelah membaca tulisan itu, Ia berkomentar dalam hati: "Benar. Menggapai cinta atau cita itu laksana menempuh puncak gunung. Bisa jadi orang memilih dan terhenti di tengah jalan, lantaran terpengaruh pada yang di sekitarnya. Tapi keindahan sesungguhnya tetap saja ketika di puncak. Di puncak pemandangan begitu Indah, kaya cakrawala, dada menjadi lapang, hati menjadi terang. Bahkan di puncak akan bisa merasakan betapa dahsyatnya kekuasaan Allah" Sarikhuluk berdoa semoga yang menulis di sobekan kertas itu bisa menggapai puncak cita dan cintanya. Membaca itu, Sarikhuluk jadi kangen pada petualangan pribadinya bersama teman-temannya dalam mendaki gunung. Sungguh indah terkenang, selalu terpendam dalam bayang-bayang hati.




14
Prajoko Wibowo

            Selagi tanggal merah (berkaitan dengan kenaikan Yesus Kristus), Badarudin dan kawan-kawan berkunjung ke kediaman Sarikhuluk. Biasanya mereka sehari-hari disibukkan oleh kerja  di pabrik, serta lemburan-lemburan yang tak pernah sepi. Nah, sekarang saatnya ada waktu luang untuk bersilaturahim ke rumah Prof. Dr. Kh. Kanjeng. Raden. Ngabehi. Maulana.  Syaikh. Mangkubumi. Pakubuwono. Sultan. Sarikhuluk S.Pd, MM, MS, M.Pd, Phd(untuk gelar Sarikhuluk, sebenarnya hanya bikinan Badarudin yang iseng). Badarudin mengajak teman-teman pabriknya, di antaranya: Muhammad Januari, Ahmad Februari, Hamid Maret, Hammad April, dan yang terakhir Humaid Mei(kelima teman Badarudin ini merupakan saudara kandung yang yang selisih umurnya satu tahun. Sebenarnya kelahiran mereka bukan pada bulan yang urut seperti nama mereka. Hanya saja, orang tua mereka percaya urutan bulan itu disandingkan dengan nama anaknya agar menjadi keberkahan bagi kelima anaknya secara berurutan). Pergilah mereka ke rumah Sharikhuluk dengan mengendarai sepeda motor. Sesampainya di rumahnya, ternyata mereka mendapat informasi kalau Sarikhuluk sedang diundang di kampung sebelah untuk mengisi penyuluhan politik kecil-kecilan untuk warganya. Akhirnya Badarudin langsung pergi ke lokasi.
            Tak disangka acaranya diselenggarakan di lapangan kampung dengan masyarakat yang melingkari Sarikhuluk. Mereka berenam selepas markir sepeda, langsung ikut melingkar bersama masyarakat yang lain. “Bapak-bapak ibu-ibu yang saya cintai. Sebenarnya anda sekalian keliru besar kalau mengundang saya untuk acara penyuluhan politik. Lha saya ini siapa kok disuruh mengisi tema seberat itu. Hanya karena yang ngundang ini adalah ketua Rt, yang kebetulan teman akrab saya, di samping itu juga karena rasa cinta saya kepada anda sekalian, maka saya tak tega untuk menolaknya. Tapi jangan dikira saya saya akan menyampaikan paparan ilmiah atau apa, saya kesini hanya membawa beberapa pertanyaan yang nanti bisa anda jawab sebisanya di rumah. Menurut saya lebih penting memberi anda pertanyaan-pertanyaan yang mencerdaskan anda, daripada jawaban-jawaban yang membuat anda malas berpikir. Baru kemudian nanti kalau sudah tak sanggup lagi menjawab, anda boleh nanya saya”. Demikian paparan pembuka Sarikhuluk sebelum menyampaikan orasi politiknya. “Untung ya kita datang tepat pada waktunya. Kebetulan judulnya pas dengan apa yang mau kita tanyakan padanya” komentar Badarudin bersama teman-temannya serentak.
            “Bapak-bapak ibu-ibu dan para hadirin yang saya cintai, saya akan memulai beberapa pertanyaan. Sebenarnya sebagai rakyat –yang menurut sistem demokrasi sebagai pimpinan tertinggi- benar-benar bisa memilih sendiri untuk capres dan cawapres atau kita malah dipilihkan? Kalau ternyata pada kenyataannya kita dipilihkan, apakah kedua pasangan calon itu benar-benar bisa dijamin akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Kenapa bangsa yang begitu besar ini hanya memilih dua pasangan capres dan cawapres, apa sudah tidak ada lagi orang yang baik dan istimewa di negeri ini? Apakah anda sekalian benar-benar tahu mengenai riwayat hidup, latar belakang dari masing-masing calon? Kalaupun tahu, anda tahu informasi tentang mereka dari mana? Bisakah anda menjamin kalau informasi yang anda dapat itu benar 100 %, atau malah hanya racikan media? Reformasi sudah berjalan sekitar enam belas tahun, apa yang dihasilkan reformasi untuk rakyat? Menurut anda sekalian pemimpin itu diajukan apa manguju-ajukan diri? Apa yang anda saksikan sekarang kedua pasangan, saling berendah hati apa menonjol-nonjolkan prestasi-prestasi yang dicapai sendiri? Demokrasi katanya berdasarkan musyawarah untuk mencapa mufakat, lha sekarang lihat ungkapan media, para tim sukses apakah mereka benar-benar mewakili inti demokrasi atau justru mereka sedang berperang, beradu kekuatan, cari menang, atau saling menjatuhkan? Kemudian yang terakhir kedua passangan yang mau anda pilih itu mempunyai karakter prajoko apa wibowo?” Demikian Sarikhuluk memungkasi pertanyannya.
            Para peserta penyuluhan politik mulai mencerna, berusaha menjawabnya dalam hati. Ada yang mendiskusikannya dengan teman-teman di sampingnya. Ada pula yang tambah bingung. Ada juga yang bisa menjawabnya dengan mudah, bahkan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Hanya saja mereka sepakat pada satu hal yaitu sama-sama merasa bingung dan tidak paham mengenai pertanyaan yang disampaikan Sarikhuluk terakhir kali, yaitu mengenai karakter prajoko dan wibowo. Akhirnya Badarudin memberanikan diri untuk menanyakan langsung kepada Sarikhuluk. “Cak aku mewakili para pesaerta sekalian, mau menanyakan tentang maksuda pertanyaan terakhir yang sampean lontarkan. Apa yang dimaksud dengan karakter prajoko dan wibowo? Setahu kami kedua kata itu tak ada dalam kamus besar bahasa Indonesia. Bingung kami mencernanya”. “Sudah aku duga sebelumnya, pasti para peserta akan akan menanyakan kata itu. Tapi itu sebenarnya kata-kata inti yang mau aku jelaskan. Sebelumnya dengan jujur aku akui bahwa kedua kata itu sebenarnya karanganku sendiri. Jadi anda sekalian tak bakal menemukannya dalam kamus besar bahasa Indonesia. Kedua kata itu sebenarnya lahir dari pengamatanku tentang kedua calon presiden yang akan beradu di bulan Juli mendatang. Yang dimaksud dengan prajoko ialah berasal dari kata pra yang artinya sebelum dan joko yang dalam bahasa Indonesia dilafalkan dengan kata jaka yang berarti anak laki-laki yang telah dewasa. Prajoko berarti sebelum menjadi laki-laki dewasa alias masih kanak-kanak. Sedangkan ‘wibowo’ sebenarnya bahasa Indonesianya ialah ‘wibawa’ yang berarti: ‘pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi; dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yg mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik’. Intinya menggambarkan pemimpin yang mempunyai daya tarik alamiah, dihormati oleh orang-orang, disegani, dan disukai banyak orang. Gampangannya gini pertanyaanku yang terakhir: kedua calon pasangan yang ada saat ini sikap dan perbuatan politiknya masih seperti anak-anak atau sudah benar-benar dewasa?”.
            “Oalah begitu toh maksudnya? Terus ciri-ciri karakter prajoko dan wibowo apa Cak?” tanya Badarudin mewakili. “Karena sejak awal aku sudah bilang tidak akan memberi jawaban instan maka pertanyaanmu akan aku jawab dengan pertanyaan-pertanyaan. Untuk karakter ‘prajoko’ dan ‘wibowo’, pertanyaan-pertanyaanya sebagai berikut: Para calon yang ada sekarang saling menjatuhkan apa tidak? Saling menunjukkan kelebihan sendiri-sendiri apa tidak? Saling mengobral janji-janji apa tidak? Saling mencari kesalahan serta aib lawan apa tidak? Benar-benar terlihat mandiri apa tidak? Benar-benar mempertimbangkan setiap ucapan dan langkah-langkahnya apa tidak? Dicalonkan apa mencalonkan diri? Suka memamerkan kehebatan diri apa tidak? Tiba-tiba peduli pada rakyat ketika momen pemilu apa tidak? Disegani oleh orang apa tidak? Bisa memutuskan sesuatu secara mandiri apa diputuskan oleh orang lain? Para calon sebenarnya mencari keuntungan pribadi apa keuntungan orang banyak? Benar-benar teruji kepemimpinannya atau sekadar merasa teruji? Berani apa pengecut? Melakukan sesuatu secara mandiri apa didikti? Bisa menyantuni apa masih disantuni? Masih suka main-main dan tak serius dalam menentukan sesuatu apa serius? Peduli rakyat apa peduli diri sendiri? Suka tebar pesona apa tidak? Suka ‘politik pencitraan’ apa tidak? Butuh media besar untuk mengukuhkan eksistensinya apa tidak? Merasa bisa mengatasi permasalahan Indonesia yang begitu rumit apa tidak? Suka sindir-menyindir apa tidak? Dan yang terakhir apa kedua calon memang sebelumnya benar-benar seorang pemimpin yang besar karena kontribusi dan sumbangsihnya, apa tiba-tiba menjadi besar karena media? Barangkali beberapa pertanyaan itu bisa untuk menjawab mana sebenarnya calon prsiden yang masih kekanak-kanakan dan yang sudah dewasa. Saya kira masing-masing dari kalian bisa mencari jawabannya baik melalu media atau penelitian kecil-kecilan” Jawab Sarikhuluk. “Ealah Cak, kalau pertanyaan-pertanyaannya seperti yang sampean lontarkan, rasa-rasanya kedua calon lebih banyak berkarakter ‘prajoko’ daripada ‘wibowo’?” tanya Badarudin. “Aku tidak menjawab iya atau tidak lho ya. Yang jelas kalian harus mandiri dalam menjawabnya. Sertakan hati yang jernih, pikiran yang orisinil, serta libatkan Tuhan dalam setiap jawaban. Insyaallah kalian tidak salah” pungkas Sarikhuluk.
Sumengko Kamis 09 Mei 2014/09:39.

15
Ada Tuhan Selain Allah?

            Ketika sedang asyik menjahit, Sarikhuluk didatangi tetangganya yang bernama Sariman. Kali ini Sariman terlihat sangat serius. Ia ingin menanyakan sesuatu pada Sarikhuluk. Mukanya terlihat masam dan menahan emosi. “Assalamu`alaikum Cak” sapa Sariman. “Wa`alaikumussalam Man, tumben datang sore-sore gini, dengan wajah kusut lagi, ada apa ya?” Sarikhuluk menimpali. “Gini Cak, Aku kan tadi pagi ke pasar, nah pas di sana Aku ketemu orang yang ga jelas agamanya apa, kelihatannya sih orangnya pinter banget” lanjut Sariman”. “Terus ada apa dengan orang itu, sekarang kan emang banyak orang yang ga jelas. Bahkan yang beragamapun kadang-kadang ga jelas juga. Terus masalahnya apa Man?” Sarikhuluk bertanya”.
“Tadi aku ditanya: ‘Kamu kan orang Islam. Salah satu bunyi syahadatmu ialah, ‘Laa ilaaha illallah’ itu artinya apa?’ tanya orang ga jelas itu. Aku jawab, ‘artinya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah’. Dia langsung menimpali, ‘Kalau begitu ada Tuhan dong selain Allah. Dari pernyataanmu itu hanya menafikan Tuhan yang tak pantas disembah. Tetapi tidak menafikan keberadaan Tuhan selain Allah. Jadi kamu mengakui kalau ada Tuhan selain Allah?’. ‘Ya ndak begitu. Menurutku Tuhan itu hanya Satu. Seperti dalam surat Al-Ikhlash bahwa: ‘katakanlah bahwa Allah itu Satu atau esa’ jawabku. ‘Jawabanmu masih belum bisa menafikan keberadaan Tuhan selain Allah. Surat Al-Ikhlas yang kamu baca barusan memang benar adanya. Allah itu cuman satu, sedangkan Ilah(Tuhan) itu banyak’. Kemudian karena aku kuwalahan menjawab akhirnya aku berapologi, ‘ maaf pak aku pulang dulu, kapan-kapan kalau ketemu dialog dilanjut lagi, belanjaanku banyak dan ditunggu istri di rumah’. Gitu Cak ceritanya”.
“Ooo ngunu toh. Kalau ada orang geje(ga jelas) seperti itu jangan diladeni. Apalagi kamu kurang menguasai ilmu. Akidah itu keyakinan yang sangat privat. Tak bisa didialogkan seperti itu. Ujung-ujungnya entar malah ga terima kemudian saling bermusuhan. Kecuali se-dari awalnya niatnya ditata untuk mencari kebenaran. Lha kebanyakan orang niatnya ngawur, malah pingin membuat akidah orang lain kacau. Agama itu ibaratnya urusan yang sangat privat ibarat istri. Masak kamu mau mendialogkan kecantikan, keseksian dan daleman istrimu dengan orang lain?. Kan konyol namanya. Tapi sebagai bekal untuk menghadapi orang seperti itu, kamu tak kasi beberapa dasaran sewaktu-waktu jika kepepet ketemu orang geje seperti itu. Kalau kamu ditanya lagi seperti itu, jawab saja dengan kembali bertanya” komentar Sarikhuluk panjang lebar. “Lho jawab dengan pertanyaan? Maksudnya apa cak?” tanya Sariman”.
“Singkatnya gini Man. Tanya padanya: ‘ Kalau menurutmu ada Tuhan selain Allah, coba buktikan padaku baik secara historis dan normatif ada yang mengaku jadi Tuhan seperti Allah! Kalau Allah kan sejak awal mengaku dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain aku. Ia juga menunjukkan bukti bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Kalau ada Tuhan selain Allah, apa buktinya? Bisakah mereka membuat langit dan bumi selain Allah. Jika mereka tidak bisa membikin, berarti mereka tak layak disebut Tuhan. Jika mereka menjawab mampu membuat langit dan bumi, tapi takut pada Allah maka mereka juga tidak layak jadi Tuhan, karena mustahil Tuhan itu takut. Jadi kemungkinannya hanya satu, kalau mereka tidak mampu membantah pengakuan Allah maka mereka tak layak disebut Tuhan. Secara logika juga, kalau Tuhan jumlahnya banyak, pasti setiap Tuhan punya aturan sendiri-sendiri dan jelas bertabrakan dengan Tuhan yang lain. Ini tak masuk akal dan pasti akan hancur. Jadi yang kata : la ilaaha illallah itu bukan sekadar menetapkan bahwa Allahlah yang berhak dan patut disembah, tapi sekaligus penegasan bahwa selain Allah tidak ada yang bisa disebut Tuhan. Tuhan bukan sekadar pengakuan, tapi butuh bukti yang terang. Jika tidak bisa membuktikan, maka benarlah bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah” jawab Sarikhuluk dengan mimik wajah serius. “Ooo gitu ya Cak .... suwon-suwon maaf lho cak kalau ngrepotin njenengan. Ini ada oleh-oleh sekadarnya, gorengan pisang masih hangat tadi baru dibuat istriku” timpal Sariman. “Alah Man ga usah repot-repot gitu, suwon lho ya. Kalau ada masalah jangan sungkan-sungkan bertanya entar biar ga kesasar” komentar Sarikhuluk. “Ge pon Cak saya pamit dulu. Assalamualaikum” pamit Sariman. “ Ya oke-oke Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh” Jawab Sarikhuluk sambil melanjutkan jahitannya yang belum kelar.

16
Revitalisasi Ramadhan

            Sholeh, Fajar, Salman, dan Ja`far pagi ini sedang asyik berdialog dengan Sarikhuluk perihal Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. Sebagai orang yang dituakan, Sarikhuluk berusaha memandu diskusi dengan baik, serta berusaha membantu beberapa informasi, ilmu, pengalaman yang ia ketahui.  Baginya, menemani diskusi kaum muda merupakan kebahagian tersendiri. Pemuda merupan potensi besar yang perlu dibina, diarahkan, dan dikawal hingga mampu berkontribusi besar terhadap lingkungan keluarga, masyarakat hingga bangsanya. Apalagi yang menjadi catatan menarik Sarikhuluk, saat ini Indonesia diuntungkan dengan faktor demografis (melambungnya jumlah penduduk) yang rata-rata usia yang mendominasi penduduk ialah antara delapan belas tahun sampai empat puluh tahun, ini bisa dikatakan sebagai usia produktif. Ia bersyukur melihat potensi besar ini, sehingga ia tak pernah bosan untuk menemani, membina, mengasuh, setiap pemuda yang ingin berdiskusi dengan fasilitas ala kadarnya, yaitu diantaranya pendopo Al-Ikhlas yang terletak di samping rumahnya. Di pendopo Al-Ikhlas ini lah, meskipun sederhana, Sarikhuluk banyak berdiskusi dengan manusia dari segenap lapisannya. Petani, pedagang, penganguran, pejabat, guru dan lain sebagainya seringkali berdiskusi dengan Sarikhuluk di pendopo Al-Ikhlas ini. Uniknya, Sarikhuluk tetaplah Sarikhuluk. Ia bukan siapa-siapa dan tak bergelar apa-apa namun bisa bermanfaat dengan seluas-luasnya. Karena itulah, Sholeh, Fajar, Salman dan Ja`far merasa sangat beruntung bisa berdialog dengan Sarikhuluk.
            “Cak, sebentar lagi kan Ramadhan akan tiba. Kira-kira menurut sampean apa tema diskusi yang pas untuk membahas Ramadhan?” tanya Fajar memulai. “Usahakan di setiap diskusi jangan merasa tergantung dengan saya, karena saya tidak mau kalian tergantung. Ketergantungan pada yang selain Allah adalah kelemahan. Baru setelah kalian mencoba dan tetap tak bisa, maka baru tugas saya untuk mencairkannya kembali” jawab Sarikhuluk dengan senyum khasnya. “Baik, gimana kalau tema kita sekarang ialah: ‘menyambut kedatangan Ramadhan dengan persiapan matang?. Mengapa Ramadhan perlu disambut? Ramadhan disambut karena diibaratkan sebagai tamu agung yang harus dimuliakan. Layaknya tamu agung, maka penyambutannya harus dipersiapkan sedimikian rupa agar tidak kecewa dan mengecewakan. Tuan rumah yang baik adalah tuan rumah yang menyambut tamunya dengan baik, dan sebaik-baik tamu yang perlu disambut ialah Ramadhan. Para ulama salaf, enam bulan sebelum Ramadhan sudah menyiapkannya dengan baik. Adapun yang perlu dipersiapkan untuk menyambutnya, menurut saya paling tidak ada empat hal: fisik, ilmu, iman, dan amal. Fisik prima akan membuat ibadah di bulan Ramadhan menjadi lancar; ilmu yang matang akan membuat terarah; iman yang kuat akan membuat hati mantap; sedangkan amal yang berkesinambungan membuat jiwa dan raga terbisaa sehingga bisa menyambutnya dengan seoptimal mungkin” pendapat Salman dengan mantap.
            “Saya pikir, tema yang pas untuk diskusi kali ini ialah: ‘menanamkan kesadaran Ramadhan di setiap kondisi’. Maksudnya, Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi kita semua dimanapun dan kapanpun saja. Kata kunci dari Ramadhan sebenarnya semangat, amal, dan pengendalian diri. Semangat menggambarkan stimulus yang perlu dimiliki oleh siapa saja yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan; amal sebagai gambaran produktifitas; sedangkan pengendalian diri adalah representasi dari ibadah puasa. Intinya, dengan makna seperti itu, mestinya Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi setiap muslim. Ramadhan tidak hanya dimaknai secara kuantitatif(berdasarkan waktu dan jumlah ibadah yang dilakukan), yang merupakan bulan terletak pada waktu tertentu yang datang dan pergi, tapi dimaknai secara kualitatif(berdasarkan kualitas dan semangat inti yang dimaksudkan di dalamnya). Jadi, kita harus menjadikan Ramadhan sebagai ‘kesadaran kualitatif’ yang membuat kita semangat di sepanjang waktu; membuat kita beramal secara kontinyu di sepanjang mampu; dan selalu mengendalikan diri dari apa dan siapapun. Pada akhirnya, kesadaran Ramadhan, akan membuat orang muslim sadar pada kapan dan dimanapun, jadi tak harus menunggu Ramadhan untuk semangat, beramal dan mengendalikan diri, karena kesadaran itu sudah jauh-jauh hari tertanam dalam hatinya” pendapat Ja`far meyakinkan
“Menurut hemat saya, mbok Ramadhan itu dianggap dan diperlakukan sebagai diri kita sendiri. Artinya: kita memperlakukannya sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Kita kan sangat perhatian pada diri sendiri. Kita pasti menyukai yang terbaik untuk diri kita sendiri. Bisaanya juga, kalau kita menginginkan sesuatu untuk diri sendiri, kita akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya. Begitu juga Ramadhan, kita rawat nilai-nilai, subtansi ajaran yang terkandung di dalamnya, dan semangat inti yang melingkupinya agar kita tetap dekat dan selalu online dengan Allah subhȃnahu wata`ȃla di manapun dan kapanpun kita berada. Jadi menurutku, judul yang tepat untuk kita bahas pada kesempetan kali ini ialah: ‘Ramadhan adalah diri kita sendiri’,” pendapat Sholeh singkat. “Oke, sekarang giliranku yang terakhir sebelum kita serahkan ke Cak Sarikhuluk. Aku pikir, judul yang pas ialah, ‘Ramadhan sebagai kekasih’. Mengapa Ramadhan dianalogikan sebagai ‘kekasih’? Sederhananya, bila seseorang memiliki kekasih, maka ia akan selalu mengingatnya, akan selalu merindukanya, ia tidak akan merasa penat dan payah demi kekasihnya. Coba bayangkan! Jika kalian mempunyai kekasih, yang sangat kalian cintai, kalian pasti akan mengingat, menjaga, melindungi, dan tidak mau sedetikpun ditinggal olehnya lantaran cinta. Kalau kita bisa memosisikan Ramadhan sebagai kekasih, maka kita akan selalu menjaganya, menyayanginya, memeliharanya, dan tak mau sedikitpun ditinggal olehnya. Artinya nilai-nilai dalam Ramadhan bisa kita praktikkan bukan hanya dalam bulan Ramadhan, tetapi juga pada bulan yang lain” pendapat Fajar.
“Baik. Aku sudah mendengar pendapat masing-masing dari kalian. Semuanya bagus dan patut diapresiasi. Hanya saja, sebagai penutup aku akan mengelaborasi dan mengritisi sedikit pendapat-pendapat yang kalian kemukakan. Pertama: Kalau Ramadhan diibaratkan sebagai tamu, itu bagus dan memang kita wajib memuliakan dan menghormati tamu. Sehingga kita mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk menyambutnya. Tapi yang luput dari pendapat ini ialah: ada jarak yang menganga antara Ramadhan dan diri manusia. Karena diibaratkan sebagai tamu, maka kita akan menyambutnya jika ia datang, kalau tidak kita akan melupakannya. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam Ramadhan `kan tak dimaksudkan untuk  momen Ramadhan saja, tapi agar manusia tetap terlatih di bulan-bulan setelahnya hingga datang lagi Ramadhan. Kedua: Sangat bagus juga pendapat kedua. Menjadikan Ramadhan sebagai kesadaran. Kesadaran yang tak terdingding oleh tempat dan waktu. Namun yang belum dijelaskan ialah bagaimana agar kita senantiasa sadar. Ketiga: Ramadahan sebagai diri kita sendiri. Ini sangat baik dan ideal, karena jarak antara manusia dan Ramadhan sudah teranggap tiada, sehingga, Ramadhan menjadi kesadaran dirinya secara utuh. Ia tidak lagi perlu menyambut Ramadhan, karena Ramadhan sudah menjadi dirinya sendiri yang selalu dirawat dan dijaga dimanapun dan kapanpun. Namun yang ketiga ini juga perlu dijelaskan cara pencapaiannya. Yang Keempat: Ramadhan sebagai kekasih. Ini juga sangat bagus dan menarik. Ada nilai romantisme antara Ramadhan dan manusia sehingga menciptakan kondisi penuh cinta di antara keduanya. Energi cinta ini, pada gilarannya akan melahirkan sikap dan usaha untuk senantiasa menjaga dan memelihara nilai-nilai Ramadahan dimanapun dan kapanpun ada” ungkap Sarikhuluk yang kemudian berhenti sejenak sambil minum kopi.
“Kalau kita urut, maka yang paling rendah ialah ketika Ramadhan diperlakukan sebagai tamu. Kemudian di atasnya, Ramadhan sebagai kekasasih. Kemudian Ramadhan sebagai kesadaran diri; dan yang paling atas ialah Ramadhan sebagai diri kita sendiri. Kesemuanya menyatu dalam satu simpul yaitu: bagaimana nilai-nilai Ramadhan tetap terjaga baik di luar maupun di dalam Ramadhan. Apa yang kalian kemukakan berkaitan dengan Ramadhan, sudah sangat bagus dan perlu diacungi jempol, tinggal kemudian kita cari bagaimana caranya kita bisa tetap meningkatkannya ke level yang setinggi-tinginya. Hal ini dilakukan supaya kita tidak mengapitalisasikan Ramadhan seperti kebanyakan orang. Ramadhan memang merupakan momen berharga, dan sarat nilai-nilai kebaikan. Ibadah di dalamnya pun akan dilipatgandakan sedemikian rupa. Tapi merupakan pandangan yang salah kaprah jika, Ramadhan hanya dijadikan kesempatan ‘aji mumpung’ untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya, untuk taubat sesungguh-sungguhnya, dan untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, tapi ketika keluar dari Ramadhan, akan kembali seperti sedia kala. Hali itu lah yang kita khawatirkan. Makanya, tujuan diskusi kita kali ini ialah mewujudkan kesadaran prima untuk mendajikan nilai-nilai Ramadhan tetap membekas dan kita pertahankan sepanjang kita hidup di dunia. Bila kita bisa mewujudkannya, maka kita bukan saja lulus sebagai manusia yang mampu tetap semangat, berbuat baik, dan mengontrol diri, tapi kita juga lulus sebagai orang-orang yang bertakwa” pungkas Sarikhuluk sambil mengakhiri diskusinya.  Diskusi kali ini memang sangat singkat karena Sarikhuluk mau menggarap sawahnya.
Camplong, Selasa 10 Juni 2014/12:38

17
Dolly Dholâli Dholâlunâ

            Sejak pagi rumah Sarikhuluk terlihat sepi. Suasana begitu lenggang. Tak ada kabar tak ada berita, tiba-tiba ia menghilang. Hari ini (Rabu, 18 Juni 2014) adalah hari bertepatan dengan penutupan wisma Dolly, yang merupakan tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Sebenarnya hari ini Sarikhuluk banyak kedatangan tamu. Ketiadaannya membuat orang-orang pada bertanya: “Mengapa Sarikhuluk menghilang di saat kita membutuhkan pencerahan?”. Tiba-tiba ada yang teriak memanggil dari arah samping dekat pendopo Al-Ikhlas, ‘Hai, kesini semuanya. Di Mading Al-Ikhlash ada tulisan yang ditinggal Sarikhuluk’. Akhirnya secara serentak mereka berbondong-bondong mendekati mading Al-Ikhlash. Tulisan itu hanya berbentuk sajak yang isinya membuat orang-orang semakin bingung:

Dolly Dholâli Dholâlunâ
By: Muhammad Sarikhuluk

Saat wisma Dolly ditutup
Pro dan kontra semakin hidup
Yang pro senang dan bangga
Surabaya bersih dari dosa
Yang kontra geram tak rela
Mata pencaharian terenggut paksa

Dolly Dholâli Dholâlunâ
Masalah Dolly tak sekadar norma
Hukum yang dipaksa
Tanpa solusi diupaya
Yang ada hanya sengsara
Masalah menebar kemana-mana

Dolly Dholâli Dholâlunâ
Urusannya ialah jual-beli wanita
Yang terjerumus dengan aneka
Masalah yang menerpa
Kenapa Cuma Surabaya
Di Indonesia berjuta-juta

Dolly Dholâli Dholâlunâ
Kemana ahli agama
Kemana para penguasa
Di saat awal Dolly dibuka?
Banyak yang mencela
Diam-diam hati suka cita

Dolly Dholâli Dholâlunâ
Ditutup oleh bu Risma
Teladan baik setiap wanita
Yang menjadi wali kota
Kemana para pria?
Dolly sudah bertahun-tahun ada

Dolly Dholâli Dholâlunâ
Kalau benar memang durjana
Kita sesat bersama
Diterpa gelap gulita
Yang buta tiada kira
Buta mata, buta hati, buta agama

            Setelah mereka membaca sajak Sarikhuluk, secara umum mereka bisa memahami maksud Sarikhuluk. Hanya saja, yang membuat mereka bingung ialah kata-kata, ‘Dolly Dholâli Dholâlunâ’. Mereka sama sekali tak mengerti maksudnya. Di antara mereka ada yang bertekad menunggu Sarikhuluk untuk menanyakan maknanya. Setelah lama menunggu, akhirnya Sarikhuluk datang juga. Ia datang di pertengahan malam. Saat Sarikhuluk datang ia agak kaget karena di Pendopo Al-Ikhlash ada orang-orang kumpul-kumpul. Sebagian tertidur pulas. Sebagian lagi masih bangun ngobrol-ngobrol. Perjumpaan mereka dengan Sarikhuluk pada akhirnya terpenuhi juga. Dengan sangat sederhana Sarikhuluk berkometar: “Aku sangat setuju kalau Wisma Dolly ditutup. Tapi aku berharap titik tolak dari penutupan itu bukan sekadar normatif belaka, tanpa dicari solusi yang setepat-tepatnya. Sebenarnya `kan di negeri ini masalah pelacuran –dalam pengertian denotatif- bukan saja  berada di wisma Dolly saja. Di Indonesia tempat seperti itu sangat banyak. Apalagi pelacuran-pelacuran dengan makna konotatif(spt: pelacuran jabatan, pelacuran kekuasaan, pelacuran agama, pelacuran pendidikan, pelacuran dll), begitu luas jangkauan dimensinya. Niat yang baik harus didukung dengan penanganan yang baik. Arti dari statemen Dolly Dholâli Dholâlunâ ialah bahwa urusan Dolly bukan sekadar urusan tersesatnya para pelacur yang selama ini menjalani dosa, tapi di waktu yang sama, sebenarnya itu juga kesesatanku, kesesatan kita bersama(diri desa hingga negara) yang selama ini diam saja. Kalau ada upaya baik untuk menutup, kita memang harus mendukung, asalkan disertai solusi yang tak tanggung-tanggung” demikian penuturan Sarikhuluk.

18
Investasi Kezaliman
            “Cak! aku ini sudah menjadi karyawan bertahun-tahun, aku juga sudah bekerja dengan keras, aku berusaha disiplin, tapi yang membuatku heran gajiku tak naik-naik. Jangankan naik, wong kadang-kadang telat sampai berbulan-bulan. Kalau aku perhatikan, bosku bukannya tak punya uang, tapi ya gitu ada saja alasan kepada seluruh karyawan jika sudah waktunya gajian. Aku ini melarat cak. Anakku lima, semua masih sekolah dan perlu biaya, lha mau dibayar pakai apa kalau gajiku telat-telat gini? Yang membuatku mangkel (marah) ialah kalau yang meminta uang adalah orang terdekatnya, atau yang masih ada pertalian kerabat dengannya, dengan ringan tangan ia pasti dengan mudah memberikan uang. Adapun yang tak disukai, dilirik saja tidak apalagi diberi kesejahteraan? Wes tah kalau seperti ini terus lebih baik aku keluar saja” demikian keluhan Pak Shodiqun (seorang karyawan di pabrik Nuansa Indah Adi Permata – salah satu perusahaan mebel-) kepada Sarikhuluk. Sarikhuluk yang mendengar brondongan keluhan, dengan santai menenangkan pak Shodiqun: “Monggo diminum dulu teh hangatnya! Tenangkan pikiran. Jernihkan hati. Jangan sampai hati sampean dikuasai kebencian sehingga merusak kebaikan yang sampean lakukan selama ini. Dalam Islam kita diajari untuk tabayyun( mengklarifikasi, memverifikasi, mengecek, meneliti) kebenaran berita terlebih dahulu ketika mendengar berita dari orang atau mengalami sesuatu yang belum begitu jelas masalahnya. Terkadang yang dirasakan orang, itu tak lebih dari prasangka buruk yang menghinggapi dirinya, sehingga mengurangi obyektivitasnya dalam menilai sesuatu. Jadi pertama yang ingin aku ingatkan, jangan sampai anda menetapkan sesuatu yang belum anda ketahui informasinya secara utuh”.
            “Cak! Apa yang ku bicarakan tadi itu benar-benar aku alami. Selama ini `kan njenengan tahu kalau kebohongan itu adalah pantangan ku, jadi mana mungkin aku bertindak gegabah dengan menuduh seseorang tanpa bukti. Yang mendapat perlakuan seperti itu bukan hanya aku saja cak. Iman, Ma`mun, Slamet, Handoko dan Sujatmiko juga mendapat perlakuan yang sama, gara-gara terlalu mengkritisi kinerja dan menejemen perusahaan yang kurang begitu transparan” cerocos Shodiqun dengan mantap membela diri. “Bukannya aku meragukan keamanahanmu Diq, sebagai sesama muslim aku hanya berusaha memagari setiap langkah, omongan dan perbuatan kita dengan ‘pagar husnudzan(prasangka baik)’ supaya bisa menyikapi masalah dengan penyikapan yang obyektif, orisinil dan terbebas dari kebencian dan ketidakadilan. Kalau kamu menghadapi kezaliman dengan cara-cara yang zalim pula, lalu apa bedanya kamu dengan dia? Jadi tolong niat ditata! Usahakan niatmu itu untuk kebaikan bersama, untuk keadilan bersama. Jangan sampai hanya mementingkan kepentingan sendiri, karena seperti pengakuanmu tadi, orang yang diperlakukan sepertimu itu banyak” saran Sarikhuluk. “Astaghfirullah.... ya cak semoga niat saya ini baik dan tulus untuk kepentingan bersama. Terus gini cak, aku juga mau tanya bagaimana pandangan Rasulullah berkaitan dengan apa yang aku alami saat ini?” jawab Shodiqun sambil menanyakan sesuatu.
            “Saranku tetap seperti pertama. Kamu klarifikasi dulu kebenaran beritanya dengan cara menjalin komunikasi yang baik dengan bosmu. Kemudian kalau masalah pandangan Rasulullah mengenai kepegawaian, paling tidak ada beberapa hadits yang pernah aku hafal. Pertama: “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan". (HR. Baihaqi). Ada juga yang semakna dengan itu: “Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Bayangkan! Bagaimana kasih sayang Rasulullah Shallalahu `alaihi wasallam kepada para pekerja. Beliau dengan keteladanan luar biasa kepada umatnya, mengharuskan setiap orang yang mempekerjakan orang untuk segera memberi upah sebelum keringatnya kering. Ini menggambarkan perhatian yang serius dan segera. Keringat belum kering berarti pekerjaan belum selesai, atau pekerja baru menyelesaikan tugasnya, dengan lekas harus diberi gajinya. Tapi kamu bisa menilai sendiri, pada kenyataannya apakah setiap pengusaha muslim mampu meneladani perintah Rasul tadi? Betapa banyak hak-hak pekerja yang tidak ditunaikan? Aku pikir masih banyak sekali yang menzalimi para buruh dan karyawan. Bahkan aku sering melihat sendiri.” Sambil jeda sebentar, Sarikhuluk meminum kopi hangat di sampingnya.
            “Hadits kedua yang pernah aku hafal artinya begini: ‘Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya’ (HR. Bukhari). Perhatikan kategori terakhir dari hadits yang aku bacakan baru saja! Diantara manusia yang kelak di akhirat akan dimusuhi oleh Allah, ialah mereka yang menyewa seorang upahan (pegawai, pesuruh, karyawan), menyuruhnya bekerja secara maksimal tetapi tidak membayar upahnya. Orang yang dimusuhi oleh Allah jelas-jelas tak akan mencium bau surga, apalagi dimasukkan ke dalamnya. Coba kamu bayangkan ketika di akhirat kelak kamu dimusuhi, dicueki Allah, bagaimana kira-kira rasanya? Inilah akibatnya jika hak-hak karyawan, pekerja, pesuruh tak dipenuhi dengan baik. Itulah beberapa hadits yang aku ingat. Kalau kamu menjumpai orang seperti itu berarti orang itu seperti berinvestasi kezaliman untuk kesengsaraannya kelak di akhirat” lanjut Sarikhuluk.
            “Lalu aku sekarang harus bagaimana cak?” tanya Shodiqun. “Usahakan dulu komunikasi yang baik dengan bosmu. Kalau ternyata masih buntu dan bosmu sewenang-wenang, maka mau tidak mau kamu harus memilih diantara dua keputusan: antara sabar dengan kondisi yang ada, disambi usaha lain sembari senantiasa berdoa kepada Allah, atau kamu keluar sekalian memilih tempat yang lebih layak dan adil. Tapi kamu juga harus ingat, semangat untuk menuntut hak harus berbanding lurus dengan semangat untuk menunaikan kewajiban. Aku dengar temanmu yang bernama Sujatmiko sukanya menuntut hak, tapi kewajibannya terabaikan, kalau seperti itu namanya kurang ajar. Wong kerjanya tak disiplin tapi hak ingin dipenuhi” nasihat Sarikhuluk. “Terus ada lagi ga cak pesan-pesan sebelum aku pergi?” tanya Shodiqun. “Dengar dan ingat baik-baik kata-kataku. Orang yang mencari keuntungan dengan menzalami orang lain, sama saja seperti orang yang menghancurkan masa depannya. Mungkin orang itu terlihat sehat-sehat saja dengan kekayaannya yang ada, tapi ada waktu dimana ia akan terjatuh. Hanya Allah yang tahu kapan ia akan jatuh. Dalam istilah al-Qur`an, orang yang dibiarkan sukses dengan kezalimannya tanpa teguran berupa cobaan atau ujian, maka namanya istidrâj(dibumbung, digugu, dibiarkan, dicuekin) hingga ketika ia terlena dengan nikmat yang melimpah, pada akhirnya Allah akan menimpakan kesengsaraan padanya. Kamu tenang saja menghadapi orang seperti itu. Investasi kezaliman yang sedang ia jalankan sejatinya malah menguntungkanmu. Ia rela berinvestasi untuk kebahagiaan sementara demi kesengsaraan abadi. Sedangkan kamu -kalau bersabar-, berarti rela menderita demi kebahagiaan sejati di akhirat. Ingatlah, kesudahan yang buruk akan dialami oleh mereka yang suka ‘investasi kezaliman’. Karena kesuksesan mereka diraih berdasarkan merenggut hak-hak orang. Semoga aku, kamu, dia, mereka dan siapa saja terhindar dari perbuatan buruk seperti itu. Wallahu a`lam bisshawab” pungkas Sarikhuluk.

19
Manajemen Bakul Klepon

            Sepulang dari acara seminar yang membahas tentang, ‘peluang dakwah di jagad media’, Sarikhuluk mendapatkan oleh-oleh menarik yang bisa diceritakan kepada teman-teman kampungnya di rumah. Ia sampai rumah ba`da Isya` dan langsung bergabung dengan Paijo, Paimen, Parman dan Paidi. “Arek-arek, tadi pas aku di seminar tentang ‘peluang dakwah di jagad media’ ada pernyataan menarik yang perlu aku bagikan pada kalian. Syukur-syukur nanti bisa dielaborasi dengan kondisi riil di kampung kita” dengan mantap Sarikhuluk memulai pembicaraan. “emang apa pernyataan menariknya?” tanya Paijo penasaran. “Di sela-sela pembicaraan, narasumber –wartawan senior Gatra( Harry Muhammad)- menyatakan tentang: Manajemen Bakul Klepon” jawab Sarikhuluk. “Kalau kata ‘manajemen’ aku mengerti, kata ‘klepon’ pun aku juga mengerti. Tapi apa Luk maksud dari ‘manajemen bakul klepon’” tanya Paimen keheranan. “Manajemen Bakul Klepon, adalah istilah yang didapat oleh narasumber dari salah satu bakul klepon yang ia kenal. Bakul klepon mempunyai manajemen seperti ini: bangun dini hari, kerja sendiri, kalau sudah jadi nanti dijual sendiri. Menjualnya harus sampai habis dan cepat, karena klepon merupakan kue yang ada taburan kelapa yang membuat tak tahan lama. Jika sampai malam tidak laku-laku, maka klepon akan mambu(busuk) tak layak dikonsumsi. Ini artinya: rugi waktu, rugi tenaga, dan rugi usaha. Suatu gambaran manajemen yang dikerjakan secara perorangan tanpa melibatkan orang lain. Manfaatnya kalaupun ada sangat terbatas tak sampai meluas, tapi resikonya kalau gagal dijual, pasti rugi waktu, tenaga dan usaha. Jadi, istilah ‘manajemen bakul klepon’ adalah manajemen yang dilakukan oleh individu tanpa melibatkan peran orang lain, sekup manfaatnya sangat terbatas dan kecil, dengan risiko kerugian yang tak kecil. Begitu kira-kira inti dari ‘manajemen bakul klepon’.
            “Lha kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’ apa Luk?” tanya Paidi. “O iya sampai lupa. Istilah itu diangkat oleh narasumber untuk menganalogikan orang-orang yang suka menulis di blogg internet. Ia nulis sendiri, dibaca sendiri, diamati sendiri, manfaatnya sangat sedikit, terbatas hanya untuk diri sendiri dan orang tertentu saja yang tahu bloggnya. Ia merasa puas dengan sekadar menulis dan menikmatinya sendiri. Sehingga manfaat tulisan yang ia buat tidak meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Karena tulisannya hanya dinikmati sendiri, lama-lama tulisan pun akan dilupakan dan tak bisa dimanfaatkan ibarat klepon yang mambu(sudah busuk). Penulis semacam ini  sangat menyia-nyiakan bakat, dan manfaat. Seharusnya bakatnya bisa dipertajam dengan menulis di media-media cetak untuk berdakwah yang sekaligus bernilai manfaat sosial, tetapi malah merasa cukup dengan hanya menulis di blogg saja. Demikian kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’” jawab Sarikhuluk. “Ealah Luk, gitu toh maksudnya. Kalau aku boleh mengelaborasi, istilah itu sebenarnya juga sangat relevan dengan kondisi kepala desa di kampung kita” sahut Paimen. “Maksudmu apa Men?” tanya Paijo. “Apa kamu tidak melihat gaya kepemimpinan Kepala Desa kita, Satuman? Dia itu sudah bertahun-tahun jadi kepala desa, tapi manfaat untuk masyarakat desa sangat kecil. Memang dia secara formal menjadi Kepala Desa, tetapi ia samasekali tak mempunyai kemampuan leadership yang cakap. Sehingga apa-apa dikerjakan sendiri, diatur sendiri, digagalkan sendiri. Siapa saja pengurus yang tak nurut pasti akan dipecat. Akhirnya para pengurus desa membiarkannya melakukan tindakan semaunya sendiri, yang penting tidak merusak kepentingan mereka. Dia semakin kaya, tapi masyarakat semakin sengsara. Merupakan gaya kepemimpinan semi-otoriter yang kadar manfaatnya sangat sedikit. Diri merasa hebat, padahal masyarakan tambah melarat.” Sahut Parman menjelaskan.
            “Kalau itu yang dimaksud ya bukan saja mencakup masalah dunia kepenulisan dan kepala desa saja. Secara subtansi, makna dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ bisa merambat ke ranah manajemen apapun. Bisa manajemen pendidikan, kesehatan, sosial, instansi agama, perusahaan, media massa dan apapun saja yang membutuhkan manajemen. Contoh konkrit misalkan dalam dunia pendidikan; betapa banyak Kepala Sekolah yang menjadi kepala sekolah yang individualis. Dia memimpin dengan gaya semaunya sendiri. Semua dikerjakan sendiri, Bila ada yang protes pasti akan dimarah-marahin. Demikian dalam ranah kesehatan. Dokter dengan semena-mena mengharuskan pasien untuk mengonsumsi obat dengan kemauannya sendiri tak melihat pada dosis-dosis yang seharusnya. Demikian juga dalam ranah perusahaan dimana manajer memberlakukan manajemen yang egoistis, sehingga membuat para pekerja sengsara dengan pekerjaannya. Media massa pun bisa terkena istilah tersebut ketika media massa yang harus netral menjadi tidak netral. Media massa dijadikan alat untuk meluluskan kepentingan pihat tertentu, tanpa mempertimbangakan manfaat sosial dan normo-hukum. Yang menguntungkan diri –meski salah- terus didukung, sedang yang merugikan diri –meski benar- pasti dipasung. Sekarang ini adalah masa dimana ‘manajeman bakul klepon’ menggejala di mana-mana. Kebanyakan orang sudah menjadi individualistik, egoistik dan memperjuangankan kepentingan golongan tertentu. Meskipun secara normatif-sosial, slogan-slogan yang disampaikan untuk kepentingan orang banyak, tapi pada kenyataannya hak sosial diinjak-injak. Berjuang untuk diri sendiri, mencari bahan-bahan untuk perjuangan diri, yang ditujukan untuk kepentingan sendiri. Aduh kalau yang semacam ini memang sudah banyak kita jumpai di negara kita.” Tambah Paijo.
            “Oke sekarang gini, kata kunci dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ `kan tadi sudah dielaborasi dengan realita yang ada. Nah sekarang yang penting kita pikirkan ialah apakah kita sebagai individu sudah steril dengan istilah itu? Jangan sampai kita itu hanya pandai mengungkap dan mengkritisi masalah, sedangkan diri sendiri melakukannya dan tak bisa mencari solusi. Diantara istilah berikut sebenarnya kita masuk yang mana: problem spiker(pembicara masalah), problem maker(pembuat masalah), atau problem solver(pemecah masalah)? Setelah kita diskusi nanti harus ada tindaklanjutnya atau followup-nya. Mungkin di desa kita banyak sekali fenomena seperti itu, tapi yang terlebih penting ialah kita introspeksi diri dulu, apakah kita masuk kategori itu apa tidak. Kalau memang sudah bersih, tentunya harus disikapi dengan sikap sebaik-baiknya. Banyak sekali orang tak mau berubah dari kesalahannya gara-gara disikapi dengan cara yang salah. Orang bersalah itu sebenarnya tak membutuhkan banyak petuah, tapi teladan yang bisa menarik hatinya. Ia sendiri sebenarnya tahu kalau salah, tetapi ia juga memerlukan dorongan keteladanan dari luar dirinya agar bisa bangkit dari kesalahannya. Forum diskusi di pendopo Al-Ikhlas ini sebenarnya aku buat untuk mangatalisatori perubahan-perubahan sosial dengan cara sebaik-baiknya melalui diskusi yang bebas, mencerahkan dan mencerdaskan. Kita juga bukan saja berhenti pada ranah diskusi saja, tetapi juga bergerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan. Aku berusaha memfasilitasi –meski dengan fasilitas skadarnya- setiap apa saja dan siapa saja yang mau berubah menjadi lebih baik dan mau bermanfaat dengan manfaat seluas-luasnya. Berkaca pada semangat islam yang ‘rahmatan lil `âlamin(rahmat bagi sekalian alam)’, maka seharusnya kita berusaha selalu di garda depan dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya” demikian Sarikhuluk memuncaki diskusi.

20
ISIS Vs SUMER

            Ketika sedang asyik membersihkan rumput di samping pendopo al-Ikhlash, Sarikhuluk kedatangan tamu istimewa. Bapak Kepala Desa Jumeneng, Bapak. Syahid Cokro Hadikusumo beserta rombongan perangkat desa bertamu ke rumah Sarikhuluk. Dalam hati Sarikhuluk agak merasa heran, tumben Kepala Desa lengkap dengan perangkatnya datang langsung ke rumah Sarikhuluk. Biasanya mereka mengirim utusan ke rumah Sarikhuluk. Dimulailah dialog diantara mereka dengan Sarikhuluk. “Assalamu`alaikum Cak! Sebelumnya saya mewakili perangkat desa mohon maaf jika menganggu aktivitas njenengan. Terus terang kami kemari ada keperluan yang sangat penting menyangkut stabilitas keamanan desa kita Cak. Bagi kami Cak Sarikhuluk adalah tokoh desa yang bisa diandalkan untuk meredam dan mengatasi permasalahan asyarakat. Kami butuh kerja sama njenengan” sapa Bapak Syahid Cokro Hadikusumo selaku Kepala Desa Jumeneng. “Wa`alaikumussalam. Ah sampean ini bisa saja. Saya ini tak lebih dan tak kurang sama saja seperti warga yang lainnya. Saya bukan tokoh, saya bukan siapa-siapa. Ada permasalahan apa pak yang sampai mengganggu stabilitas keamanan desa?” komentar Sarikhuluk.
            “Begini Cak. Sekarang `kan lagi santer berita tentang ISIS(Islamic State in Iraq and al-Shām) alias Negara Islam Irak dan Syam. Pemimpinnya ialah Abu Bakar al-Baghdadi. Ini sangat meresahkan Cak, mengingat cara-cara yang dilakukan adalah cara-cara represif dan cendrung menggunakan segala tindakan kekerasan. Meskipun gerakan Hizbu Tahrir adalah gerakan yang menjunjung tinggi dan memperjuangkan sistem khilafah, namun mereka jelas-jelas tidak setuju dengan berdirinya ISIS. Ormas-ormas Islam di Indonesia pun secara umum setuju untuk penolakannya” lanjut Bpak. KADES. “Lha terus masalahnya apa pak?”. “Masalahnya begini Cak, di beberapa daerah Indonesia `kan diberitakan sudah banyak yang diindikasi telah terpengaruh dengan ISIS, Pemerintah Indonesia pun juga banyak mengantisipasi dan mewaspadai bahaya ISIS, nah tujuan saya kemari ingin mengajak kerjasama dengan Cak Sarikhuluk yang sudah kami anggap sebagai tokoh masyarakat untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan serta penyadaran” tambah Kades menjelaskan. “Jujur saya sebenarnya kurang mengerti sebenarnya ISIS itu seperti apa. Yang saya ngerti, ‘isis’ dalam bahasa Jawa yang berarti sejuk, segar lawan dari kata ‘sumer’(panas, gerah)” timpal Sarikhuluk dengan senyum khasnya.
            “Saya sama sekali tidak keberatan untuk membantu memberi pencerahan dan penyadaran kepada penduduk desa Jumeneng. Masalahnya penduduk desa kita terlalu canggih untuk bisa dipengaruhi oleh gerakan semacam itu. Penduduk desa kita selalu menghargai toleransi. Penduduk kita bertahun-tahun telah mampu menciptakan kondisi yang aman, tentram dan nyaman. Mereka tidak gampang terpengaruh, namun mampu memberi pengaruh positif pada penduduk desa tetangganya. Kalau saya bertemu mereka tidak pernah memberikan ceramah, nasihat, atau petuah. Bukan berarti ceramah tidak baik, tapi mereka lebih suka diingatkan dengan cara dialog yang santun dan mencerahkan. Justru menurut saya, kita harus waspada terhadap isu-isu yang sedang digembor-gemborkan media mengenai ISIS dan lain sebagainya. Ingat sekarang konflik Palestina dan Israel belum juga reda. Sengketa suara PILPRES di Mahkamah Konstitusi juga masih berjalan. Jangan sampai kita termakan isu sehingga kita melupakan masalah Palestina dan gugatan sengketa suara PILPRES.” Penjelasan Sarikhuluk, kemudian ia berhenti sejenak mempersilahkan hidangan kopi yang sudah dihidangkan.
 “Ini bukan masalah pro atau tidak pro, tapi yang kita junjung tinggi adalah nilai keadilan dan hak manusia untuk bebas dari segala bentuk kolonial. ISIS juga tidak bisa kita klaim pasti buruk jika informasi yang kita terima belum begitu cukup dan akurat. Jangan sampai perhatian kita dialihkan dari perkara yang sebenarnya sangat subtansial menuju perkara-perkara yang remeh dan tak mendasar. Lebih baik sejenak kita ngISIS(mencari kesegaran, kesejukan: red Jawa), hati dan pikiran di tengah keSUMERan(kepanasan, kegerahan) masalah yang multidimensi di negara kita serta problematika internasiolal (dalam hal ini konflik Palestina dan di negara Arab) yang tak kunjung reda meski di sana ada PBB, serta Amerika yang katanya pembela demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Kalau dalam bahasa Jawa ‘ISIS’ itu bagus karena orang yang lagi ‘sumer’(gerah, panas) butuh kesegaran. Di negara kita ini kira-kira lebih membuat kita ‘isis’ atau ‘sumer’?” pungkas Sarikhuluk. Setelah mendapat penjelasan seperti itu akhirnya KADES beserta perangkat desa merasa cegek dan merasa tak bisa membantah Sarikhuluk. Akhirnya mereka pamit dengan tangan kosong.

Sumengko, Rabu 13 Agustus 2014/21:34

21
Satu Jam Bersama Mr. Borparus

            Desa Jumeneng tempat tinggal Sarikhuluk sedang diramaikan gosip yang lagi hangat. Sebentar lagi  di desa mereka ada kunjungan tamu istimewa. Mr. Borparus akan memberi penyuluhan sosial. Selama ini Mr. Borparus dikenal sebagai sosok yang memiliki perhatian yang besar terhadap bidang sosial. Jiwa sosialnya begitu tinggi sehingga bisa dikatakan diantara sekian banyak tokoh di kecamatan Adicolo, dia termasuk yang sangat menonjol namanya. Kepedulian sosialnya direalisasikan dengan mendirikan yayasan sosial untuk menampung anak yatim, fakir-miskin, serta siapa saja yang membutuhkan bantuan. Kabarnya kepeduliannya merambah ke dunia pendidikan, sehingga sekarang salah satu konsentrasinya ialah membangun lembaga pendidikan. Sebenarnya yang membuat warga Jumeneng heran dan asyik dalam nuansa gosip bukan karena kepedulian Mr. Borparus. Apa yang dilakukan oleh Mr. Borparus, sama sekali tidak membuat mereka heran. Lha kenapa kok heran? Wong kerjaan mereka sehari-hari seperti itu. Mengenai kepedulian sosial, desa Jumeneng tidak diragukan lagi. Di seluruh kecamatan Adicolo, yang paling menonjol kepedulian sosialnya ialah desa Jumeneng. Mereka heran karena kenapa wong asli Jawa seperti dia diberi nama yang agak kekulon-kulonan(kebarat-baratan) yaitu: Mr. Borparus. Kalaupun nanti jadi datang pastinya mereka akan menanyakan perihal namanya.
            Hari yang direncanakan pun tiba. Seluruh perangkat desa beserta Kepala Desa Jumeneng sudah hadir di tempat yang telah disediakan. Mr. Borparus disambut dengan baik. Setelah dipersilahkan maju ke podium, Mr. Borparus dengan gaya orasinya yang menarik dan lucu mulai menjelaskan banyak hal tentang urgensi kepedulian sosial. Tapi yang membuat mereka heran bukan terutama mengenai penjelasan dan pengalaman yang selama ini dialami oleh Mr. Borparus. Yang membuat mereka heran ialah ketika memperkanalkan diri, ia memberitahukan bahwa namanya ialah: Wargiman. Seisi ruangan –terutama penduduk desa Jumeneng- mulai ribut berbisik. Wargiman dengan percaya diri merasa bahwa gemuruh suara penduduk desa Jumeneng mungkin adalah salah satu bentuk kekaguman. Dirinya mengira mereka kagum lantaran kepiawaiannya berorasi, serta pengalamannya yang lulas dalam bidang sosial. Apa yang dipikirkan Wargiman sama sekali tidak tepat. Warga desa ribut bukan karena kagum, mereka ribut sekali lagi karena ketidaksesuaian nama yang diperkenalkan oleh Wargiman, yang mereka anggap sebagai Mr. Borparus. Yang lebih mengherankan ialah apa yang disampaikan memang betul berkaitan dengan dunia sosial, namun penjelasan yang disampaikan menggambarkan bahwa ia sama sekali tak cakap dalam urusan manajemen.
            Bagaimanapun juga yang namanya kepedulian sosial tanpa didasari dengan ilmu yang bagus serta manajemen yang mantap, maka malah akan menjadikan niat baik menjadi buruk. Memang sih obsesinya sangat ideal dan sangat banyak, namun caranya mengatur sangat tidak profesional dan tumpang tindih. Gimana tidak tumpang tindih, segalanya diurusi sendiri. Yang dilibatkan untuk mengatur bukan tenaga orang yang profesional. Salah satu contoh mengenai manajemen keuangan. Semua uang sosial yang masuk dijadikan satu dengan rekening pribadi. Sebenarnya kalau benar-benar profesional dan amanah mestinya dibedakan antara rekening pribadi dengan rekening khusus untuk amal sosial yang berasal dari bantuan donatur. Tapi itu tidak terjadi. Semua diurus sendiri, yang tidak nurut silahkan pergi. Satu hal lagi yang membuat penduduk desa heran ialah kenapa Bapak Wargiman tidak mencari arsitektur yang ahli dalam membangun lembaga yang dibangun. Dari satu jam ceramah bercerita tentang kegiatan yang dia jalani, secara garis besar dia sering mengajukan proposal untuk renovasi pembangunan gedung. Renovasi sih bagus, tapi kalau bongkar-pasang, bongkar-pasang terus kan kesannya ia membangun bukan karena peduli sosial, tetapi karena ingin bisnis  sosial.
Kalau memang niat bangun ya dicari arsitektur yang berpenagalaman untuk mendisain bangunan yang kuat dan tahan lama, bukan bangunan yang ‘rawan bongkar-pasang’, karena ini lebih mengirit dana, dana yang ada juga bisa dialokasikan kepada kebutuhan yang lebih layak dan pas. Terakhir yang membuat warga heran ialah kenapa Sarikhuluk sebagai ketua panitia tidak terlahat batang hidungnya. Bukankah dia yang menginisiasi acara. Jarang-jarang Sarikhuluk tidak menghadiri undangan, apalagi dia adalah ketua panitia acara. Ahirnya setelah satu jam menyampaikan orasi sosialnya, Bapak Wargiman memberi kesempatan untuk membuka pertanyaan seluas-luasnya. Anehnya tidak ada satu pun warga yang bertanya padanya. Hati warga dipenuhia dengan kekecewaan dan tanda tanya besar karena kebsenan Sarikhuluk dalam acara. Acara pun akhirnya ditutup. Malam hari perwakilan dari penduduk desa Jumeneng akhirnya bertamu ke kediaman Sarikhuluk. Mereka ingin meminta pertanggung jawaban Sarikhuluk. Sarikhuluk pun akhirnya menjelaskan dengan santai dan mantap: “Mengenai ketidakhadiran saya karena saya ada urusan penting membantu penduduk desa Pangurakan yang lagi butuh dana membangun jembatan. Kemudian yang datang ceramah satu jam yang telah kalian dengarkan tadi sore, memang benar dialah Mr. Borparus”. “Lho tadi dia mengenalkan diri dengan nama Wargiman kok” celetuk Paino salah satu perwakilan warga.
“Memang benar nama aslinya Wargiman. Tapi kalian dari tadi selama satu jam mendengarkan orasinya, ada gak yang membuat kalian kecewa?” tanya Sarikhuluk. “Ada si Cak, tapi hubungannya apa antara kekecewaan kami dengan nama Mr. Borparus?” tanya Sugeng keheranan. “Rupanya kalian masih belum nyambung. Coba sebutkan dulu kekecewaan kalian apa?” tanya Sarikhuluk. “Kami kecewa karena apa yang diceritakan mengenai orator tidak sesua dengan kecakapan dan keahliannya. Benar sih secara orasi sangat mengesankan dan membuat orang kagum, tapi dia sangat tidak ahli dalam urusan manajemen. Ilmunya juga tidak terlalu dalam. Yang lebih penting lagi dia mengurusi segelanya terkesan sendirian. Uang dicampur aduk. Bangunan sering bongkar-pasang.” jawab mereka serentak.  “Ya itu yang aku sebut sebagai Mr. Borparus. Borparus itu singkatan dari: Bongkar Pasang Terus. Sebagai gambaran orang yang menggunakan isu sosial untuk kepentingan pribadi, ditambah lagi dengan ketidakahlian dalam bidang manajemen. Makanya aku sebut sebagai Mr. Borparus. Sengaja aku mengundang dia supaya kalian bisa kritis dan tidak gampang heran dan kaget dengan pejuang sosial. Ternyata ada juga diantara pejuang sosial yang bergaya seperti dia. Kalian harus waspada dan jangan sampai meniru gayanya. Itu dulu penjelasanku.” Tutup Sarikhuluk. Perwakilan warga pun akhirnya pulang dengan sedikit menggerutu karena merasa tertipu. Ada pula yang merasa bersyukur karena mendapat pelajaran yang berharga dari Sarikhuluk, tentunya dengan cara yang tidak baku.

Sumengko, Kamis 14 Agustus 2014/20:40

22
Negara Setengah Merdeka

            Bersamaan dengan peringatan kemerdekaan negara Indonesia, ada suasana lain di desa Sarikhuluk. Kalau di desa-desa lain ramai diadakan lomba-lomba yang bersifat fisik seperti sepak bola, lari, bulu tangkis, balap kelereng dan lain sebagainya, lain halnya dengan yang diadakan Sarikhuluk dengan penduduk desa Jumeneng. Pada kesempatan HUT NKRI yang ke enam puluh sembilan, Sarikhuluk bersama warga sedang memberikan hadiah kepada para pemenang lomba karya tulis bebas yang diselenggarakan sejak seminggu sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia. Animo masyarakat terhadap lomba yang diadakan Sarikhuluk bersama warga lumayan tinggi. Lomba ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Dari kecil hingga dewasa, dari yang kaya sampai yang miskin, dari yang sekolah yang tidak sekolah sampai yang sekolah, semua berpartisipasi dan menyambut baik. Semua tulisan yang terkumpul di tangan panitia berjumlah 115 tulisan. Ragam tulisan yang ditulis beraneka ragam. Ada puisi, sajakk, artikel, cerpen, opini, kolom, bahkan yang awut-awutan pun ada. Tapi semuanya sangat menarik dan menggambarkan bahwa desa Jumeneng sangat antusias dalam peringatan kemerdekaan Indonesia.
            Dari kesekian banyak tulisan, ada tiga yang terpilih menjadi pemenang. Ketiga tulisan itu ialah: “Negara Setengah Merdeka”, “Merdeka Lahir Batin”, dan “Benarkah Kita Merdeka?”. Tulisan yang menjadi pemeneng ialah yang berjudul: “Negara Setengah Merdeka” karya Salamudin Margo Utomo. Salah satu pertimbangan panitia memenangkan karya Salamudin ialah disamping tulisannya yang unik, menggelitik, kritis, cerdas dan menarik, panitia juga melihat kepada personal Salamudin. Salamudin ini sejak kecil terkenal miskin dan yatim (ia kehilangan ibu dan ayahnya ketika berusia sepuluh tahun, ketika terjadi banjir bandang). Saudaranya banyak. Mau tidak mau karena dia adalah  saudara paling tua, akhirnya dia mengalah untuk tidak sekolah demi adek-adeknya. Dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang disiplin, mandiri, baik dan sopan. Ia punya prinsip: “Tidak mengapa aku tidak sekolah, yang penting aku bisa menghidupi dan menyekolahkan adik-adikku”. Meski sempat sekolah hanya tiga tahun di SD, namun semangatnya untuk mencari ilmu sangat tinggi. Baginya untuk mencari ilmu tak harus di sekolah.
            Tulisan Salamudin menurut keputusan panitia menjadi yang terbaik, bisa dianalisa sebagai berikut: Pertama: Judulnya sangat unik dan menarik. Siapa saja yang membacanya pasti bertanya-tanya: “Negara Indonesia ini `kan sudah 69 tahun merdeka, lha kok pakai setengah merdeka segala. Lalu selama ini apa kita tidak merdeka?”. Kedua: Isi tulisannya sangat kritis. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia yang sudah 69 tahun ini hanya pada tataran yang simbolik dan formalistis. Sebagai negara mungkin kita memang –secara formal- diakui telah merdeka, tetapi secara tidak sadar pada waktu yang sama kita masih terjajah. Dengan bahasa yang renyah, gampang dan menarik, Salamudin mampu mengungkap bentuk keterjajahan dari berbagai dimensi baik itu politik, budaya, kesehatan, agama, sosial, dan lain sebagainya. Penjajahan modern menurutnya bukan lagi menggunakan penjajahan fisik. Penjajahan model baru didesain dengan sangat halus dan sistematis. Karena sangat halus dan sistematisnya, orang yang terjajah sampai tidak merasa kalau sedang terjajah. Yang dijajah ialah pikiran dengan senjata ampuh yang bernama media masa. Ketika yang terjajah diingatkan bahwa dirinya sedang terjajah, malah si terjajah membela mati-matian bahwa yang dia lakukan adalah simbol kemajuan. Ia menyangka dengan menurut tren budaya asing, maka secara otomatis akan menjadi maju terbimbing.
            Selanjutnya, tulisan Salamudin juga menggunakan bahasa yang cerdas, lugas dan bernas. Para panitia –termasuk Sarikhuluk- dibuat kagum oleh gaya bahasanya. Tak hanya pandai memainkan kata-kata, tapi dia juga pandai menggunakan dalil-dalil normatif. “Dari mana dia belajar sampai bisa seperti itu. Wong selama ini dia sibuk bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya?” ungkap Parman (yang juga sebagai panitia) keheranan. Tulisan Salamudin juga tidak melulu berisi kritikan. Dalam tulisannya ia juga memberikan solusi-solusi untuk menghadapi penjajahan yang canggih dan tidak kentara. Ia mengatakan: “Bukan berarti kita menolak semua yang ada dari luar supaya kita bisa merdeka seutuhnya. Jangan sampai kita latah, gampang silau dengan yang kita dapat dari luar diri kita. Ibarat makanan perlu dikunyah terlebih dahulu supaya bisa menimbulkan metabolisme tubuh yang baik dan lancar. Cara mengunyah yang dengan pikiran. Jangan gampang kaget dan kagum. Yang mengagumkan belum tentu baik dan benar. Kita buka pikiran masyarakat dengan kegiatan budaya yang mencerahkan pikiran. Nilai-nilai agama juga tidak kalah pentingnya terus ditanamkan kepada masyarakat sebagai kontrol dari derasnya arus budaya asing yang mengontaminasi budaya nasional. Yang baik diambil, yang buruk dibuang”. Paino sebagai sekretaris panitia berkomentar: “Baru kali ini aku tau kalau Si Mudin(Salamudin) bisa nulis. Tau gitu tiap bulan bisa disuruh nulis di mading Sarikhuluk”.

Sumengko, Ahad 17 Agustus 2014/19:22

23
Ketika Fakultas Ushuluddin Menjadi ‘Uculuddin’

            Beberapa hari yang lalu, kampung Jumeneng diramaikan dengan isu yang cukup menghebohkan. Mereka dapat informasi dari anak mereka yang ikut orientasi mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat bahwa pada sepanduk orientasi ada tulisan demikian: “TUHAN MEMBUSUK Re-konstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan. ORIENTASI CINTA AKADEMIK DAN ALMAMATER 14. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. 28-30 Agustus 2014”. Para orang tua yang resah pun akhirnya pergi ke rumah Sarikhuluk malam-malam untuk diberi pencerahan. Kebetulan sewaktu meminta pencerahan, di pendopo Sarikhuluk ada beberapa teman akrabnya (Paijo, Paimen, Parman, dan Pardi) yang sedang mendiskusikan tema yang sama.
            “Zaman semakin rusak. Masak di universitas Islam masih ada saja kasus-kasus penistaan agama seperti itu. Dulu ada yang menyatakan: ‘Area Bebas Tuhan’, ‘Anjinghu Akbar’, dan sekarang, ‘Tuhan Membusuk’, edan tenan bocah-bocah itu. Lebih ironis lagi yang menulis sepanduk itu ialah mahasiswa fakultas Ushuluddin. Bayangkan! Ushuluddin itu `kan artinya dasar-dasar agama, puncak dari nilai agama `kan Tuhan, kalau Tuhan dibilang membusuk, berarti dasar-dasar agama dihancurkan sedemikian rupa. Gendeng arek-arek iku. Apa mereka ga mikir, coba misalkan bapak yang mereka sayang dibilang ‘Bapak Membusuk’(padahal masih hidup) apa mereka ga marah?” ungkap Parman dengan nada tinggi memulai diskusi.
            “Aku setuju banget dengan pendapatmu Man. Mereka harus segera ditindak. Emang kemana dekan dan rektornya? Kenapa hal itu dibiarkan? Ini harus dibawa ke ranah hukum, biar penistaan agama tidak terjadi lagi. Masak Florence Sihombing saja yang menghina Jogja sampai dibawa ke penjara, apalagi ini yang jelas-jelas menghina Tuhan. Apa kita tidak marah sebagai muslim bila Tuhan kita dicaci maki? Pecat saja dekan dan rektornya biar kejadian ini tidak terulang.” Tambah Pardi. “Tapi aku kemaren dapat informasi, penjelasan dekannya begini: sebenarnya kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menghina Tuhan. Maksud dari kata-kata itu ialah sebagai kritik atas tergerusnya nilai agama dikalangan umat Islam. Tuhan hanya dijadikan tambal butuh, mereka mungkin beragama tapi dalam waktu yang sama menginjak-injak nilai agama.” Tambahan inforasi dari Paimen.
            Paijo ga mau kalah. Ia pun berkomentar: “Menurutku apologi dari dekan Ushuluddin itu tidak bisa diterima dengan logis. Bahasanya sudah jelas dan tegas yaitu ‘Tuhan Membusuk’. Sesuatu yang jelas seperti itu sudah tidak bisa lagi dijelaskan maksudnya. Justru upaya untuk memaksa menjelaskan, bagiku tindakan yang fatal. Kenapa fatal? Coba kalau ada mahasiswa yang membuat sepanduk dengan judul: ‘Dosen Menggila’. Kira-kira apa dia tidak marah? Meski oleh muridnya dicarikan alasan yang seolah masuk akal, bahwa yang dimaksud menggila adalah bahwa saking bagusnya kinerja sang dosen sampai-sampai tidak bisa dinalar oleh kebanyakan orang. Jadi kata-kata yang sudah jelas secara denotatif jangan dicarikan makna konotatifnya yang justru merancukan makna”.
            Sarikhuluk pun akhirnya menengahi: “Sebelumnya begini teman-teman. Tolong dalam diskusi ini jangan sampai emosi mengalahkan kejernihan hati dan pikiran kita. Kita akui dulu bahwa ini adalah sebuah dakta yang memang perlu disikapi dengan lekas dan kritis, tapi kalau kita sampai salah langkah, yang ada hanya tambah memperkeru masalah. Aku setuju dengan pendapat kalian semua dari satu sisi, tapi aku tidak setuju pada sisi lain. Setujunya seperti ini: kata-kata itu jelas menistakan agama. Fakultasnya ga cocok lagi disebut Ushuluddin, seharusnya Uculuddin. Uculuddin itu berasal dari bahasa jawa ‘ucul’ yang artinya terlepas. Seharusnya Fakultas Ushuluddin adalah benteng untuk menjaga agama, malah dijadikan markas untuk menista agama. Tindakan mereka menggambarkan bahwa mereka telah terlepas(ucul) dari dasar-dasar agama. Lha ga terlepas gimana, wong Tuhan kok dikatakan membusuk. Ini menggambarkan universitas Islam telah terkontaminasi oleh paham-paham liberal. Paham-paham ini pada gilirannya akan melepaskan keyakinan seseorang terhadap sakralitas agama”.
            Sambil mempersilahkan para perwakilan penduduk desa Jumeneng yang hadir di tempat diskusi untuk menyantap hidangan yang ada, Sarikhuluk melanjutkan perkataannya: “Yang tidak aku setuju itu ialah cara menanganinya. Kalau menghadapi kasus seperti itu dengan cara kekerasan dan main hukum sendiri, maka bukan tambah menyelesaikan masalah. Kita harus bijak dalam menyikapi. Kita harus mengkritisi, jangan-jangan mereka hanya korban dari kurikulum atau para dosen yang mengajarkan ajaran yang liberal kepada mereka sehingga membuat mereka tidak merasa tabu ketika membuat kata-kata itu. Perlu ada usaha klarifikasi yang serius. Apa bisa kita menghujat dan menghukumi tikus kecil yang memakan makanan kita, sedangkan tikus-tikus besar enak-enak saja bersemayam di rumahnya tanpa ada teguran yang berarti. Kalau ada anak seperti itu seharusnya kita dekati, dan kemudian diberi pencerahan. Adapun sistem dan para dosen tidak cukup hanya kita hujat. Masalahnya kurikulum sudah ditetapkan, dan untuk membantah pemikiran yang tidak benar, seharusnya dengan pemikiran juga, baru kalau mereka masih ngeyel dan secara jelas menistakan agama, kita serahkan ke pihak yang berwenang. Intinya diklarifikasi terlebih dahulu, sebelum menghukumi sesuatu”.

24
Kabinet Transisi apa Transaksi?

            Ada seorang ibu paruh baya -ditemani oleh suaminya- sedang menuju ke rumah Sarikhuluk. Dandanannya terlihat rapi dan terkesan sebagai orang penting. Dari muka keduanya terlihat aura keriasauan dan kesedihan. Wanita itu bernama Siti Lasmini, sedangkan suaminya bernama Joko Sasmito. Sesampainya di rumah Sarikhuluk, keduanya hampir saja kecewa lantaran Sarikhuluk tidak ada di rumahnya. Biasanya jam tujuh pagi hingga menjelang Dzuhur, aktivitas Sarikhuluk ialah bercengkrama dengan sawah. Hampir saja kedua orang itu pulang dengan membawa kekecewaan, kalau saja tidak ada bu Ngatiyem(seorang nenek tetangga Sarikhuluk) yang menunjukkan keberadaan Sarikhuluk. Diantarlah mereka berdua ke sawah Sarikhuluk. Dari kejauhan Sarikhuluk terlihat sedang duduk istirahat di gubuk pinggir sawah buatannya.
            Betapa kagetnya Sarikhuluk-setelah diberi tahu-, ternyata yang datang adalah Si Mimin, kawan main kecilnya dulu. Masih segar dalam ingatan Sarikhuluk ketika dulu keduanya merupakan anak yang aktif dan kompak dalam menggerakkan teman-temannya, baik utuk urusan permainan maupun urusan sosial yang mungkin jarang didapati dari anak seusia mereka. Dulu Si Mimin(Lasmini) termasuk warga desa Jumeneng. Ketika lulus SD, ia harus keluar dari desa Jumeneng, lantaran ayah dan ibunya dipindahtugaskan ke ibu kota. Karuan saja sekarang Sarikhuluk merasa kaget dan aneh. Pasalnya anak ingusan yang dulu menjadi kawan akrabnya, sekarang sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, cantik, dan menjadi pejabat terkenal. Dengan gaya khasnya Sarikhuluk langsung bergurau: “Waduh Min, kamu `kan dulu pernah janji akan nunggu aku. Lha sekarang kok sudah membawa suami”.
            Lasmini pun ga mau kalah, ia menimpali: “Kamu sih kurang gentel. Bertahun-tahun aku menunggumu, tapi kamu tak berani ke orang tuaku”. Tertawa renyah akhirnya menghiasi obrolan perdana mereka, setelah 30 tahun tidak bertemu. “Luk, kedatanganku kesini disamping aku inging banget shilaturrahim sama kamu, ada hal penting yang ingin aku diskusikan sama kamu. Suamiku juga aku ajak, karena dia penasaran dengan sosok Sarikhuluk. Aku banyak sekali cerita tentang kamu ke dia. Sosok genuine(otentik) pembelajar sejati meskipun tidak mengenyam pendidikan formal. Saking kagumnya dia dengan kamu, dia sampai membuat Novel –kebetulan dia adalah penulis novel- tentang tokoh imaginer yang menceritakan tentang sosok dirimu. Memang kita sudah 30 tahun tidak bertemu, namun kisah bersamamu ketika masih kecil  masing aku ingat dengan baik. Sepurane ya kalau aku baru bisa bertemu kamu kali ini” ungkap Lasmini dengan gaya omong khasnya yang masih belum berubah sejak kecil.
            “Ah Min, kamu ada-ada saja. Orang ga jelas kaya` aku begini pakai ditulis segala. Nantinya malah jadi virus bagi para pembaca” tanggap Sarikhuluk sambil senyum. “O iya, kamu itu laksana virus bagiku. Tapi virus positif tentunya, hehehe... oya kenalkan ini suamiku. Namanya Joko Sasmito, guru bahasa Indonesia dan penulis sastra. Kalau aku sekarang jadi pengamat politik dan pemerhati sosial. Kalau pekerjaan rutinku sih menjadi dosen dan mengurusi yayasan yang aku dirikan bersama suamiku” timpal Lasmini. Berkenalanlah mereka berdua, dan langsung terlihat akrab, karena Sarikhuluk selalu mampu mencairkan suasana. “Alah Min, apapun profesimu bagiku kamu adalah seperti Mimin yang dulu, walaupun sudah lama tak bertemu, nilai kemanusiaanmu masih saja otentik. Kamu sekarang juga sudah berjilbab. Masyallah ga kebayang banget. Hee...dulu kamu terkenal tomboi, tapi sekarang....sumpah....berubah tenan.....hehehe”.
            “Kamu juga ga berubah Luk, gayamu dari dulu kayak gitu. Aku heran saja sampai sekarang, orang sejenius kamu kenapa kok ga mau sekolah. Eman sekali, teman-teman kita sudah menjadi orang semua” sahut Lasmini. “Ow syukurlah kalau begitu. Aku ga sekolah saja belum lulus-lulus jadi orang, apalagi sekolah Min. Nampaknya kamu agak terpengaruh dengan lingkungan perkotaan. Maqomku memang seperti ini Min, ga sekolah saja sudah bikin orang gusar, apalagi sekolah” komentar Sarikhuluk. “Ah lupakan masalah itu Luk, kamu selalu saja bisa ngeles dan rendah hati. Kampung kita ini begitu banyak berhutang budi sama kamu. Asal kamu tahu, anak lelaki pertama kunamakan Muhammad Sarikhuluk Alam Syah. O ya kembali ke pokok permasalahan. Semakin hari aku merasa semaki bingung hidup di kota Luk. Sebagai pemerhati dan aktivis sosial, aku acapkali berjumpa dengan pejabat-pejabat tak bermoral. Mereka pandai bersilat lidah. Ketika belum jadi pejabat, mereka seolah merakyat, tapi ketika sudah jadi pejabat, rakyat ditinggal minggat” sambung Lasmini.
            “Pertama terimakasih banyak telah menamakan anak lelaki pertamamu dengan namaku. Hehe jadi buat aku GR saja. Untuk masalah pejabat, ga usah terlalu dipikir berat-berat. Anggap saja mereka angin lalu. Aku dulu sudah pernah berorasi akhir tahun di depan penduduk desa Jumeneng. Dalam orasi yang berjudul “Orde Kapal Pecah” sudah kuterangkan secara implisit, bahwa negara ini sudah batal menjadi negara. Ga pantas lagi negara ini disebut negara yang berdaulat. Lha gimana coba, dikatakan negara sebagai organisasi besar untuk mensejahterakan rakyat, kok malah menyengsarakan rakyat. Sebelum pemilu dikampanyekan visi-misi begitu melangit, tapi setelah jadi,  rakyat seolah diinjak pakai tumit. Sebelum pemilu bilang “tidak ada transaksi politik dan jabatan” eh setelah jadi malah ada “transaksi terselubung” kalau begini rakyat semakin bingung, baru akhirnya menyesal karena salah mendukung. Kita tinggal menunggu ‘kenduri kesengsarasaan nasional’ jika kondisi ini terus berjalan.” tanggap Sarikhuluk.
            “Lha masa` kita diam saja Luk. Lalu bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil kalau kita diam saja. Aku, suamiku, dan beberpa komunitas sosial yang kubentuk merasa terenyuh sekaligus menderita melihat kondisi yang semakin hari semakin tak teratasi” sanggah Lasmini. “Diam di sini bukan berarti diam Min. Dalam setiap kehancuran pasti ada kebangkitan. Kita tidak akan dibebani oleh Allah di atas kemampuan kita. Negara ini terlalu besar untuk kita atasi. Kalau memang negara dengan para pejabatnya sudah tidak peduli dengan saran-saran kita, kita sudah tak ada tanggung jawab sedikit pun. Kalau pun akhirnya negara ini harus hancur, aku yakin dalam waktu yang sama ada kebangkitan. Kamu ingat kan kisah Nuh yang dulu sewaktu kecil pernah kita mainkan dalam drama di desa waktu acara agustusan? Artinya kita tetap berjuang, bergerak lebih intensif sesuai dengan kapasitas kita. Kalaulah manusia pada umumnya tidak mau dengan saranmu, ya minimal kamu membuat sampan-sampan kecil untuk bisa menyelamatkan dari ‘banjir besar peradaban’”.
            “Maksudmu sampan-sampan kecil apa Luk”.  “Maksudku, kamu harus tetap optimis. Sebagaimana optimisnya Nabi Nuh ketika hendak dilanda banjir besar. Dia kurang apa cobak? Berdakwah selama 950 tahun, yang beriman cuma sedikit. Ketika mau dihancurkan, Nabi Nuh `kan disuruh membuat kapal, meskipun banyak yang mengejek, tapi pada akhirnya Nuh dan pengikutnya lah yang menyongsong kebangkitan di tengah kehancuran kebanyakan kaumnya yang sombong dan pongah. Sampan di sini bisa berarti penyadaran sosial, pencerahan masyarakat, membina dan mendidik masyarakat, membuat kegiatan-kegiatan yang semakin membuat manusia dekat kepada Tuhan, intinya Min segala hal yang bermanfaat harus tetap kita lakukan. Syukur-syukur kalau ternyata kita nanti dipilih Tuhan menjadi faktor kebangkitan. Kalau ndak ya gapapa juga, barangkali nanti anak cucu kita yang akan menikmati kebangkitan”.
“Aku jadi ingat pesan kanjeng Nabi: “sebelum kiamat kalau kamu sempat menanam pohon, maka tanamlah”. Ini kan pesan yang sungguh dahsyat dan bersekala peradaban Min. Namanya orang berjuang ya berjuang Min sealam ada kesempatan, bisa jadi yang akan memanen perjuangan adalah generasi yang akan datang. Sejak tiga puluh tahun lalu, aku sudah tidak peduli dengan yang namanya negara. Karena menurutku tak layak disebut negara. Cocoknya ya disebut perusahan. Betapapun kecewanya aku, tapi aku ga pernah putus asa Min. Kamu lihat sendiri sekarang, desa kita yang dulu amat terbelakang dalam bidang pendidikan, sekarang mengalami perkembangan yang luar biasa. Menariknya tidak terkontaminasi dengan pengaruh dari luar. Di sini aku mencium aroma kebangkitan. Setiap kali aku melihat negara yang sudah diambang kehancuran ini, memang aku sungguh merasa sangat sedih. Namun setiap kali aku memandang mereka, aku yakin kebangkitan akan segera tiba. Kerjaanku sekarang hanya menanam, menanam dan menanam, masalah hasil kuserahkan Tuhan.” Tak terasa mereka telah ngobrol dua jam. Lasmini dan Joko seolah mendapat spirit baru. Mereka berdua berandai: “Jika ada sepuluh orang kayak Sarikhuluk di negara ini, pasti masalah negara ini akan selesai”.  Mereka berdua pun akhirnya pamit, karena esok hari ada kegiatan yang harus dikerjakan.

25
Disodori, Disadari, dan Didasari

            Setelah beberapa bulan absen dari DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh) yang terletak di desa Linueh, akhirnya siang ini Sarikhuluk bisa meluangkan waktu untuk menyambanginya. Desa Linueh adalah desa yang dulunya sangat terbelakang dalam segenap lininya. Mereka mulai banyak perubahan ketika ada salah satu penduduk kampungnya yang secara tidak sengaja pernah menjadi kuli bangunan bersama Sarikhuluk ketika masih muda. Penduduk tersebut bernama Darma Sakti. Perjumpaan dengan Sarikhuluk merupakan perjuampaan yang sangat berharga, mengingat banyak sekali pencerahan yang dia dapatkan darinya. Setelah pulang kampung akhirnya dia membuat perubahan besar. Ia menjadi penggerak sosial, dan memberikan pendidikan-pendidikan non-formal kepada warga di kampungnya. Hasilnya luar biasa, meskipun mereka pada umumnya tidak banyak sekolah, tapi wawasan mereka bisa diadu dengan orang-orang yang sekolah.
            Mungkin kita akan bertanya-tanya kenapa mereka bisa sampai mengalami perubahan sedahsyat itu. Ada banyak hal sebenarnya sarana yang dipergunakan oleh Darma Sakti untuk membuat perubahan sosial, di antaranya ialah ia mendirikan suatu forum diskusi yang ide awalnya ialah dengan mendatangkan Sarikhuluk. Forum diskusi itu diberi nama, ‘DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh)’. Dinamakan demikian karena kajian ini sifatnya kondisional dan pada awalnya menyesuaikan dengan kehadiran Sarikhuluk yang super padat. Kalau Sarikhuluk sedang banyak kosong, maka satu bulan ful mereka bisa mengadakan diskusi tersebut, sedangkan jika Sarikhuluk lagi padat, maka bisa berbulan-bulan dia tidak ke situ. Nah, baru kali ini –setelah empat bulan lamanya- Sarikhuluk bisa menyambangi desa Linueh. Rasa kangen penduduk Linueh tentu saja begitu membuncah terhadap pencerahan-pencerahan yang diberikan Sarikhuluk.
            Kedatangan Sarikhuluk di desa Linueh tentu saja dengan sekonyong-konyong. Tidak ada satupun yang tahu, sekalipun Darma Sakti. Ia tiba-tiba datang mengucap salam, ketika Darma Sakti lagi ngobrol-ngobrol di pendopo samping rumahnya yang diberi nama pendopo Kamukten. Sontak saja, mereka kaget campur senang. Waktunya pas sekali, karena mereka sedang butuh pencerahan. Mereka sedang dirundung kegalauan spiritual dan intelektual. Apalagi baru saja ada berita nasional yang menyatakan kenaikan BBM. Banyak sekali bapak-bapak dan ibu-ibu sambat akibat keputusan Orang Nomor Satu RI itu. Dengan sangat tenang, Sarikhuluk pun memulai diskusinya, “Sebelumnya nuwon sewu(minta maaf)kalau kedatanganku secara tiba-tiba, karena kalau aku datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, maka namanya nanti bukan diskusi dadakan.”tukas Sarikhuluk.
            “Kedatanganku kesini sebenarnya tidak sedang membicarakan yang muluk-muluk, apalagi soal negara yang sudah aku anggap batal sejak beberapa tahun lalu.  Kalian jangan sampai sedih hanya gara-gara masalah negara yang semakin tidak jelas jluntrungannya(orientasinya). Aku kesini bukan juga untuk mengajari kalian, aku hanya ingin berbagi dan tadārus(saling belajar) supaya kita tidak dibuat sedih oleh kehidupan, karena maqom(posisi) kita kan sebenarnya meng-khilafahi masalah, bukan dikhilafahi masalah. Semoga ini tidak membingungkan apalagi membuat tambah galau. Tema yang aku bawa kali ini ialah terkait dengan ‘falsafah hayāt(filsafat kehidupan)’. Sebenarnya inti dalam menjalani kehidupan itu apa. Tapi di sini aku mau memfokuskan pada kajian maqom insān fi mumārosah hayat(posisi manusia dalam menjalani kehidupan), bahasa jawanya, maqome manungso ing dalem nglampahipun kahuripan. Maqom manusia dalam menjalani kehidupannya.”tandas Sarikhuluk dengan begitu meyakinkan.
            “Ada tiga posisi manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia yang hidupnya disodori. Kedua, manusia yang hidupnya disadari. Ketiga, manusia yang hidupnya didasari.”lanjut Sarikhuluk. “Lho maksudnya apa Cak?” tannya bapak Ngaiman, salah satu anggota hansip kampung Linueh. “Oke. Tak jelaskan satu persatu. Yang dimaksud dengan maqom pertama ialah orang yang hidupnya itu selalu menjadi obyek penderiti. Hidup selalu didikte, disuapin, diberi, dan dituntun. Ia tidak mempunya kesanggupan untuk memahami dan mencerna setiap apa yang dia alami. Hidupnya selalu tergantung kepada orang, sehingga tidak mempunyai kemandirian baik secara individu maupun sosial. Sejatinya, maqom pertama ini cocoknya adalah untuk anak-anak kecil yang belum baligh. Karena masa-masa mereka adalah masa pendidikan yang bersifat doktrinal. Tapi, kenyataannya banyak sekali aku jumpai manusia-manusia yang sudah dianggap dewasa secara usia, namun perilaku dan sikapnya itu sangat mirip dengan maqom pertama. Ia tidak mempunyai prinsip hidup, baginya hidup yang penting untung, meskipun harus tergantung pada orang lain. Orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai orang yang berada pada maqom pertama.”
            “Posisi yang kedua adalah orang yang hidupnya itu disadari. Orang seperti ini sudah naik tingkat. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia tidak mau hidup hanya disodori, tapi ketika ia sadar bahwa usia sudah dewasa, maka ia berusaha mandiri atau tidak terlalu bergantung kepada orang lain dalam menjalani hidupnya sebagaimana orang yang pertama. Bukan berarti ia menolak disodori, tapi setiap ada yang menyodori sesuatu ia cerna dengan kritis. Posisi kedua ini –sebagaimana posisi pertama- tidak tergantung pada usia, karena pada kenyataannya, ada orang yang secara usia masih muda tetapi sudah menjalani hidup dengan penuh kesadaran, begitu juga sebaliknya. Adapun posisi ketiga atau yang paling atas ialah maqomnya orang yang menjalani hidup karena didasari. Ia hidup dalam kesadaran penuh, sekaligus mempunyai prinsip kehidupan. Tujuan hidupnya jelas, tidak mudah dibodohi orang, dan selalu berusaha meraih kehidupan yang lebih baik. Kalau orang Islam, maqom ketiga ini bisa dikatakan sebagai maqom orang yang mendasari kehidupannya dengan al-Qur`an dan Hadits. Ia ejawantahkan al-Qur`an dan Hadits dalam segenap lini kehidupan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Orang seperti ini tidak mengikuti arus, tapi mampu membuat arus perubahan sosial.  Tidak gampang termakan media, tatapi selalu mengkritisi media dengan akal sehat”.
            “Sekarang mari kita elaborasi dengan beberapa pertanyaan mendasar. Warga kampung Linueh, sebenarnya masuk maqom yang mana? Kalau kehidupannya itu tak mandiri, gampang diapusi(dibohongi), sangat bergantung pada orang lain, selalu menunggu untuk dicekoki sesuatu, maka maqom desa ini masuk pada yang pertama. Orang seperti ini gampang nggumunan (kagetan), kanginan, dan diperalat oleh orang-orang yang berkepentingan. Orang seperti ini gampang menerima gosip, tanpa diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Ada orang ke selatan, ikut ke selatan, ada orang ke utara, ikut ke utara, sehingga ga punya pendirian yang kuat. Orang seperti ini tidak punya kecanggihan mental, untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Ada BBM naik, misalkan, dia langsung resah dan seakan tidak ada jalan keluar lanta hanya bisa mencemooh dan meratapi nasib. Kalau orang kampung Linueh tidak kaget, selalu sadar dan waspada terhadap kehidupan, sehingga tidak diliputi jiwanya oleh masalah yang menimpa, maka masuk maqom kedua. Yang lebih keren ketika sudah memasuki maqom ketiga. Maqom ketiga ditandai dengan kemandirian, independensi, dan ketahanan hidup yang begitu tinggi. Tipe ketiga ini dalam menjalani masalah dalam kehidupan, tak mau dibawahi masalah, mereka malah mengatasi masalah. Sehingga walaupun BBM naik, atau masalah lainnya, mereka tetap tenang, karena mereka hidup tidak bergantung kepada nasib negara yang semakin tidak jelas”.
            “Aku sendiri yakin kalau kalian semua sudah sampai pada maqom ketiga. Hanya saja, ketika aku melihat ada yang sambat, kok kayaknya mau turun kelas saja. Jangan sampai terpengaruh. Kalian ini sedah bertahun-tahun bersama Darma Sakti untuk membangun ‘peradaban kecil’ di desa ini. Jangan sampai gampang termakan isu. Pertahankan posisi ketiga, kalau terpaksa tidak apa-apa yang turun ke yang kedua. Kalau sampai turun pada posisi pertama, maka kehidupan kalian akan celaka. Sekarang coba kalain sejenak menggunakan akal sehat untuk menganalisa, bangsa Indonesia ini kebanyakan masuk maqom yang ke berapa dalam menyikapi dan menjalani kehidupannya? Masing-masing dari anda tentunya akan bisa menjawabnya sesua dengan informasi yang didapatkan. Pesan terakhirku, sebelum aku sudahi –karena setelah ini aku harus pergi ke desa Mertani-: “Hidup jangan hanya mau disodori, sadarilah hidup ini dengan kesadaran penuh, kesadaran yang didasari dengan nilai-nilai agama, sehingga tetap bisa terarah dan bermanfaat dalam menjalani kehidupan dunia menuju akhirat. Cukup begini dulu, kita lanjutkan pada kesempatan dadakan lainnya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Pungkas Sarikhuluk. Setelah makan dan ngopi bareng, akhirnya ketika jam sepuluh malam, Sarikhuluk undur diri.

26
Menggali Ide Dengan ‘Menggila’

Suatu ketika Sarikhuluk ditanya oleh salah satu sahabatnya yang bernama Paijo: “Luk, gimana caranya menggali ide? Aku beberapa bulan ini latihan nulis dan lumaya bisa. Tapi setiap kali aku mulai menulis, selalu tersendat dan terasa kehabisan ide. Jadi bagaimana menurut kamu. Kamu `kan jago menulis, bahkan dulu sempat menjadi editor?”. Dengan santainya Sarikhuluk menjawab: “Kalau kamu mau menggali, maka kamu harus menggila”. “Lho kok begitu? Aku ini serius bertanya, malah disuruh jadi gila. Piye toh kamu itu Luk?” tanya Paijo keheranan. “Maksudku, ‘menggila’ itu bukan gila dalam artian negatif Jo. ‘Gila’ di sini bermakna mencari sesuatu dengan cara yang tidak seperti kebanyakan orang”.
            “Sebenarnya, yang namanya ide itu selalu mengalir dalam otak kita. Selama kita mau membuka mata, melihat fenomena, mengaktifkan hati dan akal pikiran. Kamu harus memandang realitas dengan angle yang berbeda dari orang lain. Kalau kebanyakan orang melihat sesuatu itu dengan cara linier, kamu harus dengan cara sklikal. Aku kasih contoh sederhana, misalkan kamu sedang buang air ke WC, dalam proses pembuangan itu kamu `kan bisa melihat berbagai barang di dalam WC. Ambil saja misalkan model WC-nya. Dari model WC saja, kamu bisa mendapatkan ide yang beraneka ragam. Kamu bisa membandingkannya dengan model WC ala Barat.  Bisa terkait dengan efisiensi, kenyamanan, ketuntasan, kebersihan dan lain sebagainya”.
            “Berarti menggali ide itu ga harus mencari sesuatu yang istimewa ya Luk?”. “Lho iya Jo, yang membuat sesuatu istimewa itu bukan sekadar terletak pada objek sesuatunya. Meski sederhana, kalau kita mampu mengupasnya dengan cara luar biasa dan proporsional, maka sesuatu yang sederhana itu akan menjadi luar biasa. Makanya, untuk menggali ide, kamu harus memperbaiki persepsimu terlebih dahulu apa yang dimaksud, ‘ide’. Ingat! Ide itu segala hal yang kamu lihat, rasa, cium, sentuh, dan pikirkan. Yang menjadi prioritas utama ialah cara mengolah ide, ini terkait dengan –meminjam istilah Kiai Mbeling- sudut pandang, cara pandang dan jarak pandang. Semakin kaya sudut pandangmu, maka semakin lihai kamu dalam mengolah ide. Kalau kamu sudah terbiasa seperti itu, kamu akan mempunyai cara pandang yang kaya. Tapi ingat dalam memandang setiap ide, kamu harus menemukan jarak pandang yang tepat, biar mampu mengolah ide dengan setepat-tepatnya”.
            “Aku kok tambah bingung ya dengan penjelasanmu?”. “Lho, kalau kamu bingung, berarti bagus. Kebingungan adalah langkah pertama dalam menggali ide. Orang yang hidupnya ga pernah merasa bingung, maka hidupnya akan statis. Dengan kamu merasa bingung, berarti kamu nanti akan mencari penjelasannya. Nah, dalam rangka mencari penjelasan itu kamu akan menemukan banyak ide. Ingat Jo, yang menjadikan penulis itu menarik, yang utama bukan sekadar dia bisa menulis dengan berbagai kaidahnya. Yang menjadikannya menarik ialah cara penulis memandang dan menyajikan ide. Ibarat orang masak, meskipun bahannya sama, kan rasanya bisa beda. Cara mengolah ide inilah, yang membuat penulis menjadi istimewa. Ingat sekali lagi pesanku, ‘kalau kamu mau menggali ide, kamu harus menggila’” pungkas Sarikhuluk sambil nyengir.

27
Perjodohan Surga Neraka

Shubuh-shubuh Sarikhuluk sudah diberondong beberapa pertanyaan oleh warga Sembodo. Ada yang bertanya tentang masalah politik, sosial, agama, ekonomi, sastra, dan urusan lainnya. Tapi yang paling menjadi sorotan sekaligus akan di-share dalam tulisan ini ialah khusus pertanyaan terkait masalah surga dan neraka. Ada warga yang mengaku bernama Paidin bertanya: “Cak, Surga `kan bahasa Arabnya ‘al-Jannah’, sedangkan neraka adalah ‘al-nār’, yang membuatku bingung, kenapa ‘jannah’ dipasangkan dengan ‘nār’?, padahal ‘jannah’ `kan artinya kebun, seharusnya kalau menurut penalaranku pasnya sih lawannya gurun pasir, atau tanah yang tandus. Sedangkan ‘nār’ yang berarti neraka, menurutku lebih lawan dari ‘mā`(air)”.
            Sebelum menjawab pertanyaan Paidin, dalam hati Sarikhuluk sedikit bergumam, ‘lho, lumayan kritis dan unik pemuda ini. Usia masih muda tapi jangkauan analisis pertanyaannya sudah sampai pada taraf yang kebanyakan tidak terpikirkan kebanyakan orang’. “Begini le(nak), sebagaimana kata ‘dunya wa akhirah’ yang dulu pernah aku bahas, kata ‘jannah wa nār’ juga memiliki keunikan tersendiri. Pertama, yang harus dicermati, al-Qur`an adalah bahasa wahyu, maka jangan sekali-kali mengukurnya dengan bandingan bahasa manusia yang sangat terbatas dan sempit. Kedua, kita analisa maknanya. ‘jannah’ kalau dalam bahasa Arab, bisa berarti kebun, taman, atau tempat yang dipenuhi pepohonan rindang sehingga yang berada di dalamnya tidak bisa dilihat sebelum kita memasukinya. Sedangkan ‘nār’ berarti, api”.
            “Adanya ‘jannah wa nār’ menurutku merupakan ‘perjodohan kata’ yang luar biasa. ‘Jannah’ kalau kita baca dalam al-Qur`an menggambarkan sesuatu yang diluar nalar dan pengalaman manusia, namun dibahasakan dengan bahasa yang mungkin dicerna manusia. ‘Jannah’ salah satu artinya ialah ‘satru(menutupi)’, dinamakan demikian karena tidak ada satu pun yang bisa melihatnya kecuali yang membuka dan datang langsung ke dalamnya. Dengan demikian, terlalu dangkal jika kata ‘jannah’ diartikan sebagai, kebun kemudian disandingkan dengan kata gurun atau tanah yang tandus. Gurun atau tanah yang tandus, masih memungkinkan didekati orang dengan beberapa perlengkapan yang ia miliki. Lain halnya dengan ‘nār(api)’, tidak ada yang berani masuk ke dalamnya. Siapa coba yang berani masuk dalam api? `Kan sama saja bunuh diri namanya. Kata kuncinya, ‘jannah’ membuat orang tertarik dan penasaran, sedangkan ‘nār’ membuat orang panik dan ketakutan”.
            “Ketiga, ‘jannah’ merupakan gambaran puncak keindahan yang tidak bisa diwakili oleh kata-kata lain. Arti surga saja sama sekali tidak mewakilinya. Coba kamu perhatikan ayat-ayat yang membicarakan ‘jannah’ dalam al-Qur`an. Surga hanya diibaratkan. Yang namanya ibarat, berarti bukan aslinya, yang asli tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi, tidak pernah dilihat, didengar, bahkan terlintas dalam benak manusia. Dalam al-Qur`an –sebagai contoh-, ‘jannah’ digambarkan dengan imaginasi yang luar biasa, diantaranya: ‘surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai’. Kata ‘mengalir di bawahnya sungai-sungai’ adalah kata yang luar biasa. Yang namanya sungai, itu di samping kebun, atau di pinggirnya. Lha kalau sungai dibawahnya, bagaimana manusia bisa menggambarkannya, apalagi pada ayat lain yang menggambarkan ada sungai susu, air jernih, madu, dan arak, malah semakin tidak terjangkau dalam akal manusia”.
            “Begitu juga ‘nār’ adalah gambaran puncak dari sesuatu yang mengerikan. Jangankan untuk dirasakan langsung, dibayangkan saja sudah sangat mengerikan. Sebagai contoh, ‘syajarah zaqqum(pohon Zaqqum)’, yang terdapat penjelasannya dalam surah As-Shaffat: 62-68. Zaqqum diibaratkan seperti kepala setan. Siapa yang pernah melihat wujud setan sebenarnya, padahal di setiap daerah gambaran setan itu berbeda-beda. Apalagi tumbuhnya dari dasar neraka Jahim, semakin misterius saja. Tapi ada satu kesepakatan bahwa, yang namany setan, ialah gambaran yang menakutkan dan mengerikan. Ketika al-Qur`an menggambarkan sesuatu yang mengerikan dengan sesuatu mengerikan yang tidak pernah dijumpai wujudnya, maka ini merupakan puncak dari suatu yang mengerikan. Kengerian yang di luar batas nalar kemanusiaan. Jadi, sangat tepat sekali bila kata ‘jannah’ dipasangkan dengan ‘nār’. Sebagai gambaran sesuatu yang sangat indah dan sangat mengerikan. ‘Jannah’ membuat orang sangat tertari, sedangkan ‘nār’ membuat orang sangat menjauhinya. Oke sementara itu dulu kamu nalar, karena aku masih harus ke sawah, nanti kalau belum jelas, kita diskusi lagi.” Pungkas Sarikhuluk. 



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan