1
Hari Kiamat Nasional
Malam semakin larut. Sarikhuluk - Sang PENYET(Pemuda Nyeleneh
Tenan)- berniatan gabung dengan teman-teman yang sedang jaga desa di poskamling. Malam itu terlihat
lebih ramai dan tak seperti biasanya. Seakan-akan ada acara serius sedang berlangsung. Setelah Sarikhuluk mendekat
ternyata teman-temannya sedang mengadakan diskusi kecil-kecilan. Diantara
temannya yang ikut ialah: Paijo, Paimen, Parman, Parno(yang biasa disingkat
P3P), ada juga Karman, Bejo dan Si Lugu Margono. Tema yang diangkat ialah
tentang: Hari Kebangkitan Nasional.
Sesampainya di LTDB(Lokasi Tempat
Diskusi Berlangsung) dengan sengiran khasnya Sarikhuluk menyapa
teman-temannya. “Hei Assalamualaikum semuanya”. “Wa`alaikumussalam Warahmatullahi
Wabarakaatuh”. “Ngomong-ngomong ada apa nih?”. “Ooo gini Luk, kami sedang
mengadakan diskusi kecil-kecilan temanya: Hari Kebangkitan Nasional. Kan
sekarang tanggal 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional yang bertepatan dengan
lahirnya organisasi Budhi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional”.
“Kalau aku boleh mengusulkan, aku
lebih sreg dengan judul: Hari Kiamat Nasional”.
“Lho...lho...lho...ngawur kamu Luk emang negara ini mau hancur apa pake kiamat
segala”(Sanggah Parman, yang memimpin diskusi). Margono menyahuti: “Lha iya aku setuju banget Luk. Negara ini sudah
berumur lebih dari setengah abad tapi kok mabni alas sukuun aliasa ga
maju dan ga mundur.Yang berkembang di sana-sini malah perpecahan, kekacauan,
korupsi, prostitusi, dan banyak hal lain yang bisa merusak kebangkitan nasional
bangsa ini. Tonton saja yang dipajang media setiap hari, isinya mesti ada
kekacauan demi kekacauan”.
Sarikhluk mencoba menjelaskan, “
Pertimbanganku memakai kata kiamat bukan berarti ngawur dan tak
diperhitungkan. Seingatku dulu waktu ngaji dilanggarnya Yai Satuman,
kata “kiamat” itu berasal dari bahasa Arab”Qooma yaquumu qiyaaman”
artinya berdiri. Lha namanya kebangkitan itu kan hari keberdirian, ketegakan
seseorang dari situasi duduk jumudnya, sehingga mengalami perubahan yang lebih
baik. Makanya aku lebih sreg menggunakan kata itu. Kalau kemudian kata
kiamat di Indonesia pasti identik dengan kata kehancuran dan kebinasaan karena
menganggap dunia telah hancur binasa ya oke oke saja silahkan. Bagiku kiamat
yang ada di al-Qur`an itu meskipun secara wadak mengandung makna kehancuran
alam, namun pada hakikatnya itu merupakan proses yang secara ilahiyah
berarti kebangkitan supra dahsyat untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki dan
sejati. Aku ga mau mendikotomi, misah-masahno ini dunia, ini akhirat wong
semua kembali pada-Nya kok”.
“Lantas solusi apa Luk, yang kamu
tawarkan di kala kebangkitan nasional ini semakin tergerus oleh berbagai
kepentingan dan tendensi”(Tukas Bejo). “Lha kamu ini lucu Jo,
awak-awakan kan cuman orang biasa, siapa yang mau mandang kita? Sebrilian
apapun kita ga bakal didengan apalagi melbu tive. Jadi ga usah
memusingkan diri kesitu, terlalu adoh(jauh). Aku menggunakan kata Hari
Kiamat Nasional itu sebenarnya sedikit usaha psikologis naratif sekaligus
normatif untuk menghibur diri dan kalian semua agar tetap semangat tetap ada
harapan di tengah kondisi Nasional yang semakan edan ga ketulungan”.
“Adoh adoh Luk...luk...ngocak (ngomong)apa sampen dassar sok
ilmiah, puyeng tang cetak(pusing kepala)”(timpal Karman,
pendatang asal Sumenep, Madura).
“Gini ya konco-konco sekalian yang
budiman. Jangan terlalu bingung dengan kata kebangkitan atau apalah istilahnya
berkaitan dengan bangsa dan nasionalisme kita. Kita ga akan dibebani hal yang
di luar kemampuan kita kok. Kita mau ada kebangkitan nasional tapi diri kita
terjajah oleh budaya asing dan kita menikmati; kita mau ada perubahan mendasar
tapi diri kita diam-diam menyimpan kepentingan individu untuk gantian melakukan
korupsi; kita mau ada perubahan-perubahan yang signifikan tapi ga gelem(ga
mau) bangkit-bangkit dari kemalasan, kecerobohan, keegoisan, keserakahan yang
bersemayam pada diri kita sendiri. Jangan mengharap kebangkitan bila atimu(hatimu)
masih ditumbuhsuburi gejala dan sifat semacam itu. Orang kalah dan tak bangkit
itu biasanya di samping sistem yang rusak juga karena hatinya sudah kalah dan
terjajah. Makanya walaupun Kebangkitan Nasional ga bangkit-bangkit hati
kita harus tetap bangkit. Dengan kata Hari Kiamat Nasional, mudah-mudahan Allah
turun tangan membangkitkan, membangunkan anak-anak bangsa yang terus-menerus
asyik dalam tidur panjangnya”. Sarikhuluk ngomong dengan penuh semangat dan sok
ilmiah. Tapi di luar kesadarannya yang ada di siskamling hanya P3P sedang
terlelap tidur, sedang yang lain ada yang pulang juga ada yang ronda. Kuluk
berkata: “Diancuk ngomong panjang-panjang malah ga diperhatikan. Gitu
mau menginginkan kebangkitan nasional, wong sebenarnya awake suka
tidur, dak serius dan suka dininabobokkan orang, makanya rada susah kita
mau bangkit. Wes ah moleh wae(pulang saja). Allaohumma
kiamatno wongsoku, kiamatno wongsoku, supaya kebangkitan kami bukan kebangkitan
semu yang malah manipu, kami sudah tak mampu menanggung kenyenyakan tidur
nasional”. Aaamiiin. “Lho wes Shubuh ternyata”.
2
‘Media
Dajjal’
Malam
selepas shalat Tarawih, Sarikhuluk beserta teman jagongannya
menyempatkan tadarus Qur`an, tapi dengan caranya sendiri. Sarikhuluk
menjelaskan: namanya tadaarus itu ya melibatkan orang lebih dari satu,
karena kalau melihat timbangan ilmu Sharaf, menunjukkan musyaarakah(bersekutu
antara dua pihak). Dalam sudut pandang ini kata Sarikhuluk menilai kebanyakan tadarus
yang ada di desanya terhitung benar. Tapi di sisi lain yang membuat Sarikhuluk
prihatin ialah penyempitan makna tadaarus. Kebanyakan masyarakat hanya
memaknainya sekadar membaca Al-Qur `an
dan saling menyimak. Padahal tadaarus adalah kegiatan untuk saling
mencari dars(pelajaran). Bagaimana mungkin manusia bisa mengambil
pelajaran, kalau hanya sekadar dibaca. Mau tak mau namanya tadaarus biar
tidak menyimpang jauh dari artinya harus didekati dengan olah pikir dan akal,
supaya kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an. Sarikhuluk bertanya pada
teman-temennya: “mungkinkah kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an kalau
kita hanya membacanya saja, tanpa melibatkan akal dan pikiran kita?”. Paijo
menjawab: “tapi kan tetap ada manfaatnya secara spritual dan psikologis?”. “Iya
memang, tapi apa kita bisa paham dan mengambil pelajaran jika cuman membacanya,
pelajaran ini ranahnya akal dan pikir, tanpa itu maka mustahil akan mengambil
pelajaran”(tambah Sarikhuluk). “Jadi maksudmu kita sekarang tadarus
Al-Quran dengan model baru ala kamu?”(tanya Paimen). “Ya tepat sekali. Aku
pikir kalau membaca perhuruf Al-Qur`an pahalanya begitu besar, apalagi
mengambil pelajaran dan mengamalkannya”(lanjut Sarikhuluk).
“Oke
saiki(sekarang) tak serahkan pada kalian saja, enaknya bahas
apa”(tawaran Sarikhuluk pada teman-temannya). “Anu saja kita bahas tema:
Dajjal. Dari dulu aku pingin tahu, opo bener dajjal ada”(Ushul Brudin). “Gimana
teman-teman setuju ga?”(tanya Sarikhuluk). “Setujuuuuuuuuuuu”(jawab mereka
serentak). “Kalau setuju, tak kasih dasaran dulu, biar kita benar-benar
darus Qur`an sebagaimana metode tadi. Dajjal nek secara tegas iku
ga ada. Tapi meksi ga ada bukan berarti secara implisit ga ada. Sebab
sebagaimana arti secara bahasa yaitu: banyak dusta, secara tersurat ada disebut
dalam AL-Qur`an. Sebagian ulama` onok yang nyebut dajjal tersirat dalam
surat Al-An`am ayat 158. Kalau di hadist sangat banyak sekali. Tapi supoyo
kalian tidak sekedar membaca sejarahnya, saiki kalian tak ajak mikir
lebih kontekstual. Ayo tema dajjal iki dikaitkan dengan kebanyakan media
yang sekarang ini lagi berkembang”. “Maksudnya gimana Luk. Aku ndak
ngerti”(timpal Paidi). “Gini lho rek, tak kasih dasaran secara global
mengenai dajjal, kemudian nanti kita kaitkan dengan kondisi media di sekitar
kita saat ini”. “Oke kalau gitu, mana dasaran yang kamu jelaskan”(pinta
Margimen). “Dajjal iku artine secara bahasa: kakean mbujuk(banyak
bohong) menipu. Pintar memutar balikkan fakta(surga bisa dibalik jadi neraka,
neraka bisa dibalik jani surga di hadapan semua orang). Motone(matanya)
cuman satu yang berfungsi. Di kepalanya ada tanda kaf fa ra alias kafir,
dan hanya bisa dilihat oleh orang mukmin. Memiliki kecepatan yang luar biasa.
Semua bumi didatanginya kecuali Makkah dan Madinah. Dajjal akan diikuti orang
Yahudi dari Asbahan. Dajjal merupakan fitnah terbesar sepanjang sejarah
manusia. Nabi selalu memperingatkan akan kedatangannya. Makanya saking
besarnya fitnahnya, sampai-sampai dalam shalat ada doa khusus untuk meminta
perlindungan darinya. Nah iki mau cuman dasaran saja. Masalah dajjal iku
ono opo ga secara biologis, itu jangan terlalu diperdebatkan. Pokoke
kalau iman ya hsrud yakin kalau dajjal benar-benar ada”(papar Sarikhuluk).
“Terus
sekarang kalau dibandingkan dengan kebanyakan media sekarang ini gimana
Luk?(tanya Paidi)”. “Coba renungkan bareng-bareng, kebanyakan media kita saat
ini sangat mirip dengan sifat-sifat dajjal yang tak gambarkan tadi. Kebanyakan
media, baik elektronik maupun cetak itu berisi kebohongan-kebohongan. Ironisnya
kebanyakan orang seolah tersihir menikmati kebohongan-kebohongan itu.
Iklan-iklan media di TV kebanyakan mengajak orang kepada yang bukan dirinya. TV
menjadi tuntunan, agama menjadi tontonan. Orientasi media kebanyakan hanya
satu: dunia oriented. Yang menang ialah yang punya modal besar. Peran
media sangat besar dalam membalikkan fakta. Yang benar jadi salah, yang salah
jadi benar. Sekarang ini kan abad informasi, siapa saja yang menguasai media,
maka berpeluang besar menggiring opini masyarakat. Dibanding dengan dajjal
tadi, media sama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau dulu komunikasi
jarak jauh dibutuhkan waktu sekian lama, sekarang hanya beberapa detik sudah
bisa komunikasi. Ada tanda kaf fa ra juga di kebanyakan media, dan itu
hanya bisa dilihat oleh orang yang beriman. Kafir asala artinya menutupi, kamu
lihat media kebanyakan menutup-nutupi sesuatu yang seharusnya tak boleh ditutupi.
Dajjal akan mendatangi semua dunia, demikian juga media, hampir ditiap wilayah
media pasti masuk walau masih sangat sederhana. Dan agen-agen besar media di
dunia ini kebanyakan melayani misi Yahudi. Nek kalian pingin selamat
dari fitnahnya yo pertebal iman, ojo gumunan lan gampang melok(jangan
gampang kaget dan ikut-ikutan), tetap kritis, trus gunakan media sebatas
keperluan. Kalau tidak kalian pasti ikut mereka. Soale memang menggiurkan godaane.
Lha kajian-kajian semacam ini salah satu upaya agar kita tidak
ikut-ikutan pada kebanyakan ‘media dajjal’. Yang penting sekarang bukan
mempermasalahkan kapan datang dajjal. Sejauh mana yang lebih penting persiapan kita menghadapinya di tengah-tengak
lingkungan yang kebanyakan dipenuhi dengan kebanyakan ‘media dajjal’(Sarikhuluk
menjelaskan dengan sangat serius dan semangat. Tapi tanpa dinyana
teman-temannya ada yang tidur dan ada yang mengalihkan perhatiannya ke TV, hand
pone dan lain sebagainya) Jangkrek arek-arek iki belum sampai
setengah jam sudah terkena ‘media dajjal’(tegur Sarikhuluk dengan sangat
kesal).
3
Perusahaan
NKRI
Jam
menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sarikhlukuk beserta anaknya sedang asyik
berdiskusi di teras depan rumah. Diskusi yang sedang berlangsung awalnya
menyangkut masalah pribadi anaknya yang bernama, Satria Pinandita. Namun, di
sela-sela diskusi, di embong (jalan depan rumah) ada tetangga rumah yang
sedang berdiri -katanya sih cari angin-, namanya Adi Kusuma. Adi Kusuma
berprofesi sebagai pekerja proyek, yang secara khusus mengemudikan alat-alat
berat, untuk proyek pengurukan sawah yang akan dijadikan pabrik. Dilihat dari
riwayat akademisnya, memang Adi Kusuma terlihat tidak begitu menonjol dan hanya
tamatan SMK, namun malam itu sekat-sekat akademis seolah menjadi lebur. Adi
seolah menjadi ‘sarjana kehidupan’, yang ditempa langsung dengan pendidikan
alam nyata. Yang paling tinggi waktu itu secara titel akademis ya cuma Satria
Pinandita yang sudah S1. Meski begitu dialog sangat cair dan mencerahkan, dari
masalah yang sederhana berkaitan dengan proyek, watak masyarakat kampung hingga
membahas rakyat dan negara. Sarikhuluk pun menyapa Adi: ‘Ad gimana kabar
proyeknya? Lancar kan?’. “Al-hamdulillah pak. Meski sebenarnya bigonya cuma
satu, tapi masih lancar”Jawab Adi sambil berdiri. “Aku jadi teringat ketika
kerja di Kalimantan, borongan urukan tanah memang sangat menjajikan. Tapi
tempat urukan dengan jalan raya memang jaraknya sangat jauh” sambung Sarikhuluk
sekenanya. Akhirnya Adi Kusuma yang tadinya berdiri, ikut duduk di teras rumah
bersama Sarikhuluk dan Satria untuk sekadar mengobrol atau mendiskusikan tema
yang lagi trend dan sangat aktual.
“Bangsa
Indonesia sebenarnya adalah bangsa pintar dan hebat” kata Satria Pinandita
membuka diskusi. “Lha kalau memang hebat kenapa rakyat Indonesia tidak maju-maju?
Menurutku sih bagaimanapun juga yang pinter ya tetap orang luar negeri.
Buktinya motor, HP, pesawat, dan masih banyak lagi itu buatan luar negeri.
Undang-undang aja konon kabarnya yang namanya KUHP itu copy-paste (njiplak)
dari hukum belanda. Lalu di mana letak kepintaran bangsa kita?” komentar Adi
dengan nada tidak setuju. “ Apa yang aku bicarakan berkaitan dengan kepintaran
dan kehebatan bangsa Indonesia itu dalam taraf potensi (kemampuan) sekaligus
realita. Artinya secara kemampuan sebenarnya anak Indonesia tak kalah hebat
dengan anak luar negeri. Buktinya dalam even-even perlombaan internasional
masih bisa bersaing, dan tak sedikit yang bahkan menjuarainya. Cuma ya itu, ada
karakter yang sulit dirubah dari rata-rata penduduk negara besar ini, yaitu
karakter inferior(minder/rendah diri). Bisa jadi karena warisan nenek
moyang yang dijajah begitu lama oleh Belanda, atau ada upaya serius, terukur,
dan sistematis dari luar Indonesia untuk menghambat pertumbuhan potensi bangsa
Indonesia. Ibarat tumbuhan, strategi yang mereka gunakan itu persis seperti
membonsai tanaman. Tanaman yang seharusnya besar –karena tujuan tertentu-
dibonsai sedemikian rupa sehingga menghambat laju kembangnya. Kita bisa melihat
pada realitanya, kenapa orang-orang pintar yang sukses lebih suka kerja di luar
negeri dari pada di Indonesia, itu karena di samping kurang dihargai dan
difasilitasi, secara kesejahteraan juga tak begitu diperhatikan, jadi sangat
wajar kalau mereka memilih di luar negeri. Kalaupun tetap memaksa diri di Indonesia,
sudah barang tentu tidak akan berkembang” papar Satria sedikit berapologi.
“Secara
realita, bangsa Indonesia sampai sekarang kan tak bangikit-bangkit. Kalau
diprosentasikan mungkin jadi paling buncit. Kebesaran masa lalu
diungkit-ungkit, sedang untuk masa sekarang dan yang akan datang serasa sempit
dan terhimpit. Pontensi seperti yang
kamu ucapkan itu kan bahasa gampangannya berarti kempampuan yang memungkinkan
untuk dikembangkan. Lha kalau dibonsai terus, mana bisa bangkit dan berkembang
Satria? Kemudian pernah kah diadakan penelitian secara serius mengenai berapa
anak bangsa sendiri yang tergolong sukses dibanding dengan jumlah penduduk
Indonesia yang berjumlah sekitar 246,9 juta. Emang lebih banyak mana? Yang
berpotensi apa yang tak berpontensi; banyak yang sukses apa yang ngenas?”
tambah Sarikhuluk. “Wah kalau acuannya seperti itu, memang sangat sedikit
sekali prosentasinya. Maksud saya Pak, lebih mendasar bahwa bangsa ini sangat
potensial sekali untuk menjadi bangsa besar karena mempunyai kemampuan besar.
Masalahnya di lapangan kan banyak yang menghalang-halanginya. Ada semacam
karakter jegal menjegal; tidak senang melihat temannya bahagia; adu gengsi dan
banyak lagi sifat yang turut menghambat perkembangannya” tambah Satria. “Mimpi
orang Indonesia itu dari segenap strata dan levelnya satu, yaitu pingin menjadi
kaya. Apapun profesinya rata-rata ujung-ujungnya pingin jadi kaya. Ga ulama`,
ustadz, guru, dokter, dan lain sebagainya semua ingin kaya. Yang kaya sungguh
dihormati, yang tak punya selalu disakiti dan ditinggal pergi” komentar Adi
dengan mimik serius. “Itu benar. Jangankan orang kaya, anjingnya saja juga
turut dihormati kalau si anjing milik orang kaya” ucap Sarikhuluk menguatkan.
“Korupsi
kian menjamur. Orang jujur semakin terkubur. Mereka sudah tak malu-malu lagi
korupsi, karena sudah menganggapnya sebagai profesi. Aku nek ngarani(aku
kalau mengistilahkan: red) Indonesia tak lagi bisa disebut negara. Ini bukan
negara NKRI tapi Perusaan NKRI” celetuk Adi. “Wus jangan ngawur gitu Ad,
bagaimanapun juga kan sebagai warga yang baik kita tetap menjaga etika kita”
nasihat Satria. “Menurutku dari sudut pandang bisnis, sebagaimana pandangan
Adi, memang sangat layak untuk dikatakan sebagai perusahaan. Lha gimana coba,
yang banyak menentukan bukan lagi rakyat dalam menentukan presiden. Hanya
orang-orang elit dan berduit yang mampu untuk menjadi presiden. Minimal
walaupun tidak kaya, `kan yang mendukung dibelakangnya harus orang kaya. Kamu
juga bisa melihat `kan di desa kita, untuk menjadi kepala desa saja harus
mengeluarkan kocek 1 milyar lebih, lha bagaimana jika mau jadi bupati, gubernur
hingga presiden. Kalau untuk menjadi saja harus mengeluarkan biaya banyak,
nanti kalau sudah jadi pasti akan mencari laba, seperti orang kulak. Makanya,
dalam prespektif realita sekarang ini, aku sangat setuju kalau negara ini lebih
mirip perusahaan daripada negara kedaulatan” tambah Sarikhuluk menguatkan. “Ad,
berapa gajimu perhari?” tanya Satria. “Sekitar 150 ribu” jawab Adi. “Wah
lumayan ya ketimbang gajiku sebagai guru” komentar Satria. “Bagaimanapun juga
sebesar-besar gaji guru, masih tak bisa mengalahkan gaji pebisnis. Sebenarnya
kalau orang kerja di proyek dengan jujur, pasti hidupnya mujur. Tapi kebanyakan
tidak jujur, jadinya meski banyak, uang cepat kabur tak jelas arahnya, entah
untuk main judi, main cewek dan lain sebagainya” pungkas Adi. Karena Adi lapar,
pas ada orang jualan Tahu Thek, akhirnya pamit undur diri. Selesailah diskusi
malam ini. Satriapun , kembali menerukan curhat ke Sarikhuluk.
4
Orasi
Akhir Tahun 2013: “Orde Kapal Pecah”.
Pada
akhir tahun 2013, Sarikhuluk diundang oleh Kepala Desa untuk menyampaikan orasi
apa saja terkait dengan evaluasi akhir tahun. Ini bukan kali pertama Sarikhuluk
disuruh menyampaikan orasi. Pada momen-memen tahunan, berkaitan dengan
even-even acara kampung, Sarikhuluk selalu diamanahi untuk menyampaikan minimal
sepatah dua patah kata untuk berpartisipasi menyampaikan semacam motivasi,
kritikan atau ide-ide segar yang sangat mencerahkan bagi penduduk kampungnya.
Sarikhuluk memang tidak berafiliasi pada ormas, aliran, golongan tertentu,
namun kontribusinya pada masyarakat tidak bisa diragukan lagi. Benar dia tidak
mengikat diri di mana-mana, tapi kontribusinya bisa dirasakan dimana-mana. Nah
pada akhir tahun ini dia menyampaikan Orasi Akhir Tahun yang ia beri judul:
“Orde Kapal Pecah”. Berikut teks dari Orasi Akhir Tahun 2013 Sarikhuluk:
Dinasti
Kapal Pecah
Assalamu`laikum warahmatullahi
wabarakaatuh.
Yang saya hormati warga kampung
Jumeneng.
Yang saya hormati para Alim Ulama`
beserta Tokoh Masyarakat.
Yang saya hormati Bapak Kepala Desa
beserta jajaran Pengurus Desa Jumeneng.
Sebelumnya saya mohon maaf
sebesar-besarnya kepada anda sekalian. Sebenarnya saya tidak merasa cocok
berdiri memberikan Orasi Akhir Tahun di hadapan anda sekalian. Apalah arti
saya, wong SD saja tidak lulus. Tapi mengingat ini merupakan amanah,
maka sedapat mungkin saya berusaha menjadi ‘manusia bermanfaat’ sesuai dengan
anjuran Kanjeng Nabi yang mengajarkan pada umatnya untuk selalu berusaha bermanfaat
bagi yang lainnya. Saya berdiri di hadapan anda sekalian ini sebagai manusia.
Tidak sebagai Tokoh, Cendekiawan, Kiai, Ulama atau atribut apa saja yang
menjadi jabatan manusia pada umumnya. Tolong bagi yang selain umat Islam jangan
merasa kecil hati atau tersinggung ketika nanti dalam orasi saya ada disebutkan
idiom-idiom Islam. Kalaupun ada, itu sama sekali tidak bermaksud memaksa atau
membuat tidak aman bagi hati anda sekalian. Sebagai muslim dan mukmin saya
mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha menciptakan keselamatan,
kesejahteraan, keamanan dan suasana nyaman bagi sekitar.
Tema yang akan saya
sampaikan pada Orasi Akhir Tahun kali ini ialah: “ Orde Kapal Pecah”. Mungkin
pertama kali mendengarnya, anda sekalian merasa serem dan berkesan negatif.
Saya sebenarnya mengangkat tema di atas tidak direncanakan jauh-jauh hari
sebelumnya. Karena selama ini saya paling ‘buta huruf’ dengan yang namanya
persiapan. Ide tema itu justru muncul ketika ada obrolan kecil-kecilan tadi
malam bersama teman-teman kampung ketika bergotong-royong menyiapkan acara
siang ini. “Dinasti Kapal Pecah” merupakan tema yang lahir dari kesadaran dan
keprihatinan sosial menyikapi perkembangan masyarakat sekitar sebagai penduduk
desa, juga rakyat Indonesia sebagai bangsa yang menempati organisasi besar
bernama ‘Negara Indonesia’. Orde menggambarkan suatu kelompok atau sistem yang menjadi dasar yang dipegang oleh
suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Sedangkan Kapal Pecah tidak perlu saya
jelaskan karena saya yakin anda sekalian pasti mengerti semuanya. Tapi yang
saya maksud dengan istilah ‘Orde Kapal Pecah’ pada kesempatan kali ini lebih
banyak bersifat konotatif(mengandung makna tautan) daripada denotatif(makna
sebenarnya).
Sebelum saya berbicara
khusus mengenai Orasi Akhir Tahun 2013, terlebih dahulu saya akan membuat
‘dasar pikiran’ dengan memberikan analogi sederhana disertai pengamatan sejarah
awal Negara Indonesia berdiri sampai yang kita rasakan sekarang ini, tentunya
dengan pembahasan yang global dan yang teranggap urgen saja. saya menganalogikan atau membuat tamsil
sederhana berkaitan dengan masyarakat pada umumnya yang mendiami Desa Jumeneng,
dan yang lebih luas sebagai bangsa yang mendiami Negara Indonesia, maka saya analogikan
sebagai ‘Kapal Besar’ yang sedang mengarungi samudera. Di dalamnya banyak
berisi penumpang yang memiliki anekaragam karakter, budaya, dan adat-istiadat.
Mareka ada di satu kapal besar dengan memiliki cita-cita sama yaitu menuju
‘daratan subur’ untuk mencapai ‘kemakmuran bersama’. Perkumpulan para generasi
pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang
dirumuskan oleh Moehammad Yamin merupakan tonggak dasar eksistensi kita sebagai
bangsa, atau kalau menurut tamsil tadi adalah sebagai “Penumpang Kapal” yang mempunyai
kesamaan nasib dan cita-cita kolektif untuk mendapat kemerdekaan dan kemakmuran
bersama. Perjuangan mendapat hak untuk membuat kapal secara mandiri atau yang
kita katakan ‘merdeka’ itu baru bisa didapatkan pada 17 Agustus 1945.
Sejak mendapat kemerdekaan,
kita sudah punya yang namanya “Kapal Besar” bernama Negara Indonesia. Pada Orde
Pertama yang biasa disebut Orde Lama, kita mempunyai Nahkoda yang bernama
Soekarno[17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 (21 tahun)]. Pada waktu itu kita
sebagai bangsa sangat kagum dengan yang namanya Soekarno. Beliu adalah orator
ulung dan pemimpin tegas yang tidak segan-segan lantang membela rakyatnya.
Namun selama Orde Lama berjalan, meski hak secara politik dan kemerdekaan
lumayan terpenuhi, tapi di sisi lain secar kesejahteraan masih belum dikatakan
mumpuni, karena masih banyak rakyat yang tidak sejahtera. Orde ini saya ibaratkan seperti ‘Kapal Besar’
yang tidak cukup memiliki bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Karena
kesejahteraan kurang terpenuhi, banyak di antara penumpang yang resah sehingga
ada yang berusaha keluar dari kapal, ada yang membuat keributan di sana-sini
sehingga membuat retakan-retakan kecil pada ‘Kapal Besar’ yang sudah
ditumpangi.
21 Tahun pasca
kepemimpinan Soekarno sebagai Nahkoda, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh
Soeharto[12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 (31 tahun)], masanya biasa disebut dengan
Orde Baru. Pada masanya yang begitu panjang sekitar 31 tahun, Soeharto sebagai
Nahkoda, berusaha menambal keretakan-keretakan yang diakibatkan respon penumpang
karena keminiman bekal yang dimiliki ‘Kapal Besar’ dengan memenuhi
kesejahteraan penumpang. Keretakan-keratakan yang timbul pada masa Orde Lamapun
bisa ditambal dengan baik oleh Soeharto. Namun, meski telah menambal
keretakan-keretakan yang terjadi pada masa Orde Lama, ternyata pada masanya
timbul keretakan baru. Kalau pada masa Soeharto, kesejahteraan memang
terpenuhi, namun secara kebebasan dan hak-hak politik justru bersikap otoriter,
sehingga menimbulkan keretakan-keretakan baru. Para penumpang ‘Kapal Besar’
bernama Indonesia pada Orde baru, kebebasan dipasung sedemikian rupa sehingga
pada puncaknya ialah melakukan demonstrasi besar-besaran atas nama reformasi
yang yang mengakibatkan tumbangnya ‘Nahkoda’ Orde Baru. Sebelum tumbang
Soeharto berusah mengangkat Nahkoda baru bernama Habibi sebagai penggantinya
untuk menambal keretakan-keretakan yang terjadi. Namun itu tak berjalan lama,
Habibi[21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999] yang memimpin hanya 17 bulan.
Pasca kepemimpinan Orde
baru tumbang, tiba saatnya orde yang menamakan dirinya sebagai Orde Reformasi.
Uniknya orde ini, Nahkodanya setiap 5 tahun sekali diganti sebagai antisipasi
atas kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan oleh Nahkoda Orde Lama beserta
Jajaran Pejabatnya. Namunyang terjadi yang sampai 5 tahun benar hanya SBY. Niat
awalnya, Orde Refromasi ialah untuk menambal keretakan yang terjadi pada masa
Orde Lama. Namun, sejauh Nahkoda memimpin, dari masa Gusdur, Megawati, hingga
Susilo Bambang Yudoyono. Niat awal yang sebelumnya ingin menambal keretakan-keretakan
yang terjadi pada masa Orde Baru, tapi realitanya berkata lain. Dari sisi
kesejahteraan tak kunjung sejahtera, sedangkan dari sisi kebebasan cendrung kebablasan
dan melebihi batas sehingga para Nahkoda dengan sangat bebas dikritik sedemikian
rupa atas nama kebebasan pers yang lahir dari rahim Orde Reformasi.
Retakan-retakan yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak tertambal
dengan baik malah menjadi semakin lebar, sehingga di tahun menjelang
berakhirnya Nahkodah SBY saat ini, ‘Kapal Besar’ yang yang banyak retakan
berupa Negara Indonesia ini sudah hampir pecah bahkan sudah pecah minimal
secara maknawi meski secara fisik masi terus berlayar. Di era Orde Reformasi
ternyata banyak menyumbangkan retakan-retakan baru yang lebih besar. Retakan
itu bisa berwujud: korupsi, kebebasan yang berlebihan, ketimpangan sosial,
dekadensi moral, konflik antar pejabat, terorisme, juga terjadi bencana
besar-besaran di sana-sini, dari Sunami, gempa, banjir dan gunung meletus dan
lain sebagainya yang turut serta membuat retakan-retakan baru yang membuat
‘Kapal Besar’ menjadi pecah.
Nah setelah saya
menyampaikan sedikit ‘pikiran dasar’ dan analogi tadi, baiklah saya akan
memulai Orasi Akhir Tahun 2013. Dari hasil obrolan sederhana tadi malam, saya
mengibaratkan bahwa pada tahun 2013 merupakan masa “Kapal Besar” yang sudah
pecah, minimal secara ruhaniyah. Pada tahun 2013 ini tingkat korupsi sudah
menjalar hingga pada titik terendah dari Pejabat Negara. Saya selalu berdoa dan
berharap semoga Desa Jumeneng ini tidak turut serta urun menambah
keretakan “Kapal Besar” yang sudah pecah ini. Di tahun 2013 ini banyak
orang-orang yang menjadi besar di media lantaran ‘sensasi’ bukan ‘prestasi’,
sebut saja misalaka Aryo Wigunan yang semacamnya. Partai Politik saling sikut-sikutan
dalam rangka ‘persaingan kekuasaan nahkoda` menuju tahun 2014. Banyak
pemimpin-pemimpin Parpol yang tumbang lantaran kasus korupsi yang menjerat, di
sana ada Anas Urbaningrum, Andi Malaranggeng, Luthfi Hasan Ishak dan lain
sebagainya. KPK seakan menjadi pahlawan pada tahun 2013. Hampir setiap Instansi
besar tak luput dari pengamatan KPK. Kalau para pemimpinnya seudah seperti itu,
apa bisa diharapkan lagi melahirkan Nahkoda (Pemimpin Negara) dari Parpol. Di
sisi lain media sebagai alat yang sangat berpengaruh dalam masyarakat,
kebanyakan menyajikan tayangan-tayangan yang latah dan tidak mendidik. Orang
digiring sedemikian rupa untuk menjadi bukan diri sendiri. Hiburan-biburan yang
ada sangat superfisial. Yang tenar ialah yang lucu, yang masyhur ialah yang
punya ratting tinggi meski tak pendidik. Akibatnya hiburan tidak lagi menjadi
media pendidik malah menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang subtansial. Sebut
saja misalkan hiburan yang lagi eksis saat ini misalkan: YKS(Yuk Keep
Smile), di situ masyarakat dihibur sedemikian rupa dengan hiburan yang
mengobrak-ngabrik hal yang subtansial. Yang ditampilkan dari musik bukan lagi
yang terutama adalah musiknya, tapi goyangannya. Sebenarnya masih banyak lagi
yang berkaitan dengan peristiwa sepanjang tahun 2013. Tapi menurut saya
subtansinya satu yaitu: menjadikan “Kapal Besar” yang sebelumnya retak menjadi
pecah. Sebagai refleksi dari tahun 2013, sasaya berharap semoga penduduk desa
Jumeneng, menjadi semakin baik, kritis, tidak ikut-ikutan, menciptakan kebaikan-kebaikan
pada ranah dan kemampuan masing-masing, tidak turut serta dalam ‘acara
peretakan kapal’ secara kolektif yang terjadi pada Orde Reformasi. Tahun depan
adalah tahun penentuan. Jika “Kapal Besar” yang pecah ini tidak direkonstruksi
kembali, dalam pengertian setiap individu berusaha membangun dan merekatkan
kembali “Kapal Besar” yang sudah pecah, maka jangan sedih kalau pada gilirannya
“Kapal Besar” bernama Negara Indonesia ini akan karam diterjang ombak, dan
tentu saja penumpangnya akan tenggelam. Jadi mulailah dari sekarang menyiapkan
sampan-sampan untuk mengantisipasi pecahnya “Kapal Besar” yang terjadi.
Sampan-sampan itu bisa berupa selalu berbuat baik dimanapun berada, tidak usah
ikut-ikutan orang yang berusaha meretakkan “Kapal Besar”. Kalau “Kapal Besar”
ini masih tetap pecah, minimal kita punya sampan-sampan yang bisa mengantarkan
kita pada ‘daratan subur’ menuju ‘negara makmur’ Negara Baru yang lebih adil,
sejahtera dan makmur.
Mungkin cukup sekian
yang dapat saya sampaikan. Apa yang sampaikan tak harus anda percaya. Minimal bisa dijadikan jendela untuk menatap
tahun 2014. Ke depan mungkin apa yang akan kita hadapi jauh lebih berat dari
pada tahun 2013. Jangan sampai kita salah pilih dalam menentuhkan “Nahkoda
Kapal Besar” supaya anda sekalian tidak tenggelam.
Akhir kalam, kurang
lebihnya mohon maaf. Billahit taufiq wal hidayah.
Wassalamu`alaikum warahmatullah
wabarakaatuh.
[Bertepuk tanganlah semua masyarakat
desa Jumeneng selepas Sarikhuluk berorasi. Dari tadi mereka terlihat tegang
karena baru kali ini Sarikhuluk ngomong dari awal sampai akhir serius tanpa
humor. Tidak diketahui secara pasti apa mereka benar-benar memahami orasi
Sarikhuluk. Tapi yang jelas mereka terlihat tercerahkan dan tepuk tangan].
5
“Rokok
Membunuhmu”
Seusai
mencangkul di sawah, Sarikhuluk dan para “pekerja sawah bayaran” lainnya
duduk-duduk di gubuk kecil tempat para petani biasa beristirahat. Mereka sedang
asyik menikmati makanan istirahat mereka. Meskipun sangat sederhana-hanya nasi
jagung dan ikan asin plus sambal- rasanya begitu nikmat dan mencairkan suasana.
Mereka terlihat riang bahagia. Ternyata keriangan dan kegembiraan tak selalu
diperoleh dari hal-hal yang mahal. Seusai makan-makan, ada teman Sarikhuluk
yang bernama Margono mengeluhkan iklan rokok yang baru-baru ini diganti.
Margono sambat(di sela-sela menikmati rokok kretek): “Cak, kalau dulu iklan
rokok cuman, ‘Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan
Gangguan Kehamilan dan Janin’, tapi sekarang lebih sangar dan begitu to the
point : ‘Rokok Membunuhmu’. Tambah-tambah aneh saja Cak. Secara hukum
jelas-jelas masih debatable dan peringatan yang lama juga masih agak
lucu, tambah sekarang dikeluarkan peringatan, yang menurutku cukup pekok
seperti tadi. Hus....makin tak mudeng aja aku iki Cak...Cak”.
“Iya
Cak....Bener aku ga ngrokok.....tapi mendengar kalimat peringatan seperti tadi
menurutku berlebihan. Kalimat, ‘Rokok Membunuhmu’ itu kan kalimat langsung.
Kalau itu benar-benar dipercaya, seolah-olah rokok menjadi ‘Pesaing Pengeran(Tuhan)’.
Kalau rokok bisa membunuh, apalagi pembuat rokok, malah tambah lebih
sakti. Lha piye wong rokok kok
membunuh. Masih mending peringatan sebelumnya yang masih menggunakan kata,
‘menyebabkan’ lha yang ini langsung saja tanpa penjelas. Rokok itu cuma
sebab atau faktor, faktor dan sebab tak ada hubungannya dengan ‘membunuh’ lha
yang bikin rokok saja ndak mempunyai kemampuan secanggih itu kok yang dibuat
malah secanggih itu. Ora mudeng aku” tambah Satuman memperjelas. “Rek....
rada cerdas dikik gitu lho. Maksude kalimat itu secara subtansi sebenarnya
bukan mengatakan rokok punya kemampuan membunuh. Maksude dengan
mengonsumsi rokok secara berlebihan, maka akibatnya bisa fatal. Akibat paling
fatal ialah ketika sampai membuat orang mati. Ibarat Ilmu Tafsir nih yah,
peringatan sebelumnya itu sebagai penjelas dari kalimat yang baru. Jadi
menurutku sudah betul, dan sangat jelas supaya orang-orang takut sama rokok”
sahut Wargimen dengan nada tak setuju.
Kemudian
giliran Sarikhuluk berkomentar: “Konco-konco ..... sebelum aku
berkomentar terhadap isu terbaru perihal rokok mari kita jernihkan hati dan
pikiran terlebih dahulu, supaya ketika memperbincangkan rokok, kita terhindar
dari klaim-klaim keputusan yang irasional dan tak obyektif. Sekarang gini,
kalau kita berbicara masalah rokok, kita tidak bisa memisah-misahkan
satuan-satuan yang berkaitan erat dengan rokok. Rokok hanyalah produk. Di sana
masih ada: Pengusaha Rokok, Pabrik Rokok, Pekerja/Karyawan Pabrik Rokok – yang
kesemuanya bisa dimasukkan dalam kategori produsen-, kemudian ada yang namanya
Penjual Rokok dan Konsumen Rokok. Jadi menurutku, kalau membicarakan rokok
hanya berkutat pada rokoknya saja, maka sangat rawan menghasilkan kesimpulan
yang prematur. Kalau kesimpulannya tidak begitu matang, yang ada nanti akan
menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akhirnya menyulitkan pembuat
kesimpulan”.
Sarikhuluk
melanjutkan, “Aku ga akan jawab secara instan, tapi aku ingin memancing kalian
dengan pertanyaan-pertanyaan yang subtansial: Kalau memang rokok itu bahaya,
kenapa masih dijual? Bukankah negara juga menikmati hasil dari pajak perusahaan
rokok? Bukankan yang membahayakan bukan hanya rokok saja, kenapa hanya rokok
yang mendapat label peringatan seperti itu? Kalian tahu mengapa terjadi
perubahan secara drastis berkaitan dengan kalimat peringatan yang ada di rokok?
Solusi apa yang akan kamu berikan, pada Pekerja Rokok dan Petani Tembakau, jika
rokok memang harus ditiadakan? Bukankah banyak sekali realita yang samasekali
menyalahi hasil dari peringatan yang ada dirokok? Adakah kemungkinan bahwa
pelarangan rokok itu dikarenakan adanya persaingan antara perusahaan farmasi
dan perusahaan tembakau? Tolong dipelajari lebih dalam lagi berbagaimacam hal
yang berkaitan dengan rokok. Kemudian apa sudah diadakan penelitian secara
ilmiah dan transparan mengenai dampak secara nyata berkaitan dengan dampak
negatif rokok? Kalau kamu percaya sama media, aku tanya lagi, lha media itu
punya siapa? Media adalah milik pemenang. Siapa yang menang dialah yang
memiliki media. Nah, sekarang yang punya media, lebih cendrung pada pelarangan
rokok apa sebaliknya? Atau ternyata larangan itu cuman basa-basi? Jadi
menurutku untuk menjawab persoalan rokok tidak cukup hanya didekati dengan
pendekatan hukum-normatif, tapi juga perlu pendekatan lain yang sangat
berkaitan dengan rokok. Menghukumi persoalan lebih gampang daripada mencari
solusi dari persoalan. Makanya menurut hemat ku, tetap saja beraktivitas
seperti biasa. Yang ngerokok ya ngroko`o, yang ndak ya ndak apa-apa. Cuman
harus tahu diri. Kalau dengan rokok membuat kamu lemah dan sakit ya lereno(berhentilah)
kalau ternyata sehat-sehat saja ya terus saja ndak apa-apa. Kalian tahu kan
Pakde Sarijan yang sampai berusia 90 tahun, Perokok Sejati, masih sehat-sehat
saja dan tak ada halangan kesehatan”. Bahkan ulama kawakan macam Buya Hamka pun
juga Perokok.
“Doh
adoh..... Poseng tang cetak (Aduh-aduh pusing kepala saya) di rumah sudah
banyak masalah, eh ditambah iklan yang ga memberi pencerahan. Wes lah ga usah
diteruskan Cak. Paling-paling yang membuat aturan juga terpingkal-pingkal
sendiri, gimana ga terpingkal takiye wong Rokok kok membunuh.
Kalau rokok itu membunuh, pasti orang yang menghisap langsung mati seketika. Lha
kalau begitu mati kabbih (semua) berjuta-juta orang di bumi yang
merokok. Buktinya ndak tuh” sergah Matrawi, Pekerja Tani Bayaran asal Madura.
“Iya Cak, masalah ini tidak akan ada ujung pangkalnya. Dari dulu sampai
sekarang, meski diberi peringatan sedemikian rupa efeknya juga ga begitu
signifikan. Sekarang lebih bahaya mana coba antara rokok dengan polusi udara
yang diakibatkan oleh asap-asap dari knalpot. Kenapa knalpot tidak diberi
tulisan: Knalpot dapat menyebabkan penyakit Paru-paru..... dan seterusnya/
Knalpot Membunuhmu. Hadehhhh......Masalah bangsa semakin kompleks, malah diperkeruh
dengan masalah yang ndak ada ujung pangkalnya” tambah Sutaji. “Wes sekarang
gini aja, kita lanjut aja nyangkulnya, masalah rokok ga usah dimasukin hati dan
pikiran kalian....lagian itu juga bukan wewenang kita. Yang berwenangpun apa
punya ketegasan? Yang tegaspun apa mau mengeluarkan ketegasannya? Terlalu
banyak intrik dan konspirasi dalam hidup ini. Kita jangan sampai kalah dengan
masalah rokok. Justru masalah rokok kita kelolah sedemikian rupa hingga
menimbulkan output yang tidak mencederai masing-masing pihak. Caranya
bagaimana? Sekali lagi itu bukan wewenang kita. Kita hanyalah obyek bukan
subyek perubahan. Yang penting sedapat mungkin kita berusaha bermanfaat,
minimal tidak membuak kerusakan. Ayo...Ayo kita nyangkul lagi” ajak Sarikhuluk.
6
Kiai
Kampret
Rerintikan
hujan menemani kesendirian Sarikhuluk pada hari Rabu 25 Desember 2013. Bulan
tak terlihat batang hidungnya. Ia diselimuti awan-awan hitam mengandung hujan.
Sepi. Begitulah yang dirasa Sarikhuluk malam ini. Seharian penuh, tadi pagi ia
telah menggarap sawahnya dengan penuh trengginas dan akas.
Sekarang saatnya menikmati kopi luwak dan beberapa gorengan pisang. Semilir
angin dan hawa dingin turut meramaikan keheningan malam yang dialaminya. Ia
sedang nyantai dan mau merencanakan untuk tidur. Belum lagi sempat
tidur, pintu rumahnya diketuk oleh Satuman, salah satu teman akrab Sarikhuluk
sewaktu kecil. Satuman berprofesi sebagai guru tetap di salah satu Sekolah
Negeri. Air mukanya begitu tak enak dipandang. Keningnya berkerut keatas seperti
singa yang sedang kelaparan.
“Assalamu`alaikum!”
sapa Satuman. “Wa`alaikumussalam..... lho ada tamu istimewa rupanya. Monggo-monggo
Man, silahkan-silahkan. Untung aku belum tidur. Ngomong-ngomong ada apa kok
mukamu terlihat sangar gitu kaya Hulk tersengat tawon hehehehhe... guyon Man”
sahut Sarikhuluk sekenanya. “Gini Luk,
aku muangkel tenan. Tadi aku habis baca di koran dan di salah satu media
online, ada seorang Kiai yang turut merayakan Hari Natal, bahkan jadi
penceramah di sana. Dasar “Kiai Kampret” tuh orang” cerocos Satuman meluapkan
emosinya. “Hehehe... Kiai Kampret? Opo iku? Baru denger Aku”. “Itu
singkatan Luk. Aku sendiri yang ngarang. Kampret akronim dari: Kiai yang
“Kemanapun Mau yang Penting Rejeki Tercukupi”. “Ooo... giti toh. Lha apa
hubungannya dengan Kia yang kamu mangkeli tadi?” tanya Sarikhuluk.
“Gimana ga kampret cobak, Kiai kok ikut-ikutan ngerayain Hari Natal. Ya apa
lagi kalau ga Kiai Kampret yang disuruh kemana-mana mau asal dapat duit”
sambung Satuman.
“Man,
kendalikan emosimu dulu. Tenangkan hati, jernihkan pikiran. Minum dan nikmati
dulu kopi luwak dan gorengan pisang ini biar kamu merasa agak tenang” pinta
Sarikhuluk. “O ya, suwon-suwon Luk.
Maaf lho kalau ngrepotin kamu” sambut Satuman. “Halah Kamu Man, kayak sama
siapa aja. Gini lho ya, kamu boleh marah pada sesuatu, tapi kamu harus mengerti
dengan jelas kenapa kamu marah, efek kamu marah, dan seberapa tepat kamu marah.
Kamu juga ngerti kalau agama melarang kita su`udzan(buruk sangka). Jadi
tolong dipelajari lebih dulu mana yang fakta, mana yang opini, kemudian ketika
informasi sudah di-tabayyun baru kamu nanti bisa mengambil keputusan
yang tepat dan akurat. Sekarang kan zaman informasi, nah kebanyakan orang
sukanya menelan informasi, ga mengunyahnya terlebih dahulu. Akibatnya bikin
pikiran keruh, hati kotor dan menimbulkan emosi. Makanya Aku sarankan tolong
kendalikan emosimu dulu, baru setelah kamu tenang kita lanjutkan pembicaraan”
Saran Sarikhuluk pada Satuman. “Oya Luk, nyantai aja, aku sudah lebih tenang
sekarang” sahut Satuman.
“Gini
Man, untuk menganalisis “Kiai Kampret” versi kamu itu bisa digunakan beberapa
sudut pandang ilmu, diantaranya: Akidah, Akhlak dan Syari`at. Dari sisi Akidah
Nabi, memang sangat tegas dan tak mau mencampur adukkan akidah Islam dengan Akidah
yang lain. Secara akhlakpun Nabi Muhammad siapa yang meragukan dia, dia sangat
halus dalam mengingatkan orang, tapi tetap tegas kalau bertentangan dengan
syari`at. Secara syari`at tidak ada dalil yang tegas berkaitan dengan hukum
mengenai ucapan Selamat Natal dan menghadiri bahkan berceramah di Hari Raya
mereka. Jadi saranku begini: Kamu cek dulu kebenaran berita mengenai Kia yang
kata kamu Kampret itu. Kalau itu memang benar, kaji dan pelajari secara
mendalam dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah terkait dengan hal itu. Kalau
sudah dikaji dengan matang, jangan gegabah dulu dalam memberi keputusan, karena
bisa jadi yang kita anggap Kampret itu ternyata sangat zuhud dan bersahaja.
Akku memang tak mau memberikanmu jawaban instan, karena kamu guru”.
“Terakhir saranku: apapun
keputusanmu nanti, hendaknya mengandung: “Kebenaran, kebaikan dan keindahan”.
Jika kamu benar bahwa Kiai itu benar-benar Kampret dengan bukti-bukti yang kamu
kumpulkan. Kamu harus menyikapinya dengan kebaikan. Jangan grusah-grusuh
mengklaim bahwasanya dia salah, cari cara terbaik. Kemudian tak cukup hanya
baik tapi harus dilakukan dengan cara yang indah dan tak menyakiti hati. Betapa
banyak orang yang membawa kebenaran dan kebaikan tetapi karena tidak
disampaikan dengan indah, malah berujung penolakan dan pembangkangan. Maka dari
itu tolong ingat pesenku baik-baik. Kalau memang nanti benar, tugasmu hanya
mengingatkan dengan penuh hikmah, kamu tidak bertugas sebagai hakim atau
pemaksa, kamu hanya menyampaikan” Saran Sarikhuluk panjang. “Ok Luk, suwon
ya. Maaf lho ngrepotin. Nanti kalau aku sudah dapat info yang akurat dan tepat,
aku kesini lagi. Aku pamit, Assalamu`alaikum” pamit Satuman.
“Wwa`alaikumussalam...ojo sungkan-sungkan Man, ya tak tunggu, rumah ini
selalu terbuka untuk apa dan siapa saja yang menghendaki KEBAIKAN” jawab
Sarikhuluk.
7
Perdebatan
Subur, Kebenaran Kabur
Hati
Sarikhuluk benar-benar dirundung pilu. Setiap kali melihat kondisi masyarakat
di sekitarnya yang suka berdebat, suka adu unggul, suka mencari-cari kesalahan,
suka menyalah-nyalahkan, semakin membuat pikiran dan hatinya mengharubiru.
Apalagi ketika menonton acara-acara di televisi, kebanyakan isinya semakin
membuatnya tak bisa tidur, alih-alih malah membuatnya semakin melantur. Di sisi
lain ‘pesta demokrasi’ rakyat sebentar lagi akan digelar; keraguan dan kepiluan
di hatinya semakin menjalar. Kebanyakan orang pada saat-saat yang ‘dianggap
penting’ ini, mempromosikan kebenaran sendiri-sendiri, yang benar adalah diri
sendiri, sedang yang lain kebenarannya menjadi basi. Yang sayang rakyat ialah
partainya sendiri, sedang partai lain dianggap ‘pengeruk harta rakyat’ untuk
kepentingan pribadi. Perdebatan ini sudah bukan lagi masalah individu, bahkan
sudah menjadi karakter bangsa yang tak kunjung maju. Perdebatan ini sudah
menggejala di tiap dimensi kehidupan, bahkan para jin dan setan pun mungkin
ikut berpartisipasi menyemarakkan perdebatan yang semakin subur. Negara
diperdebatkan, agama diperdebatkan, kesehatan diperdebatkan, pendidikan
diperdebatkan, lembaga sosial diperdebatkan. Seolah-olah yang eksis ialah
perdebatan itu sendiri, sedang kebenaran sejati disembunyikan pada ‘semak-semak
belukar zaman’. Perdebatan semakin subur, kebenaran menjadi kabur.
Di
saat imajinasi Sarikhuluk terbang menembus ruang dan waktu, tiba-tiba ia
dikagetkan dengan suara pengamen yang sedang bernyanyi dengan suara paraunya.
Ia langsung tersadar dari imajinasinya, kemudian menyimak dengan baik lagu yang
dinyanyikannya. Barangkali dengan mendengar lagu dari pengamen tersebut,
hatinya akan menjadi lembut, syukur-syukur hatinya menjadi terhibur. Teks
nyanyian pengamen yang kemudian namanya dikenal sebagai, ‘Sarwono’ itu sebagai
berikut:
Indonesia
negara kaya
Kaya
alam, kaya orang dan budaya
Namun
sayang
Oh
sungguh sayang
Alam
kaya
Kesejahteraan
tak merata
Kebanyakan
pemimpin merasa hebat
Kerjaannya
suka berdebat
Janji-janji
selalu diumbar
Kenyataan
banyak rakyat yang lapar
Belum
lagi Sarwono menyelesaikan lagunya, tiba-tiba Sarikhuluk memintanya berhenti:
“Sudah-sudah mas lagunya, maaf ini uangnya!”. Pengamen tersebut, sambil
senyum-senyum menyatakan, “suwon(terima kasih) pak” langsung pergi.
Kepiluan Sarikhuluk semakin bertambah parah. Ternyata apa yang dialaminya sudah
menjadi rahasia umum, bahkan menjadi nyanyian para pengamen jalanan. Maunya
mendengar supaya terhibur, malah hati serasa disambar guntur. Akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sawah, bercengkrama dengan alam. Yang ia rasakan dari
alam selalu ketenangan. Setiap kali melihat alam, hatinya selalu sejuk. Alam
selalu mengingatkan padanya tentang Tuhan. Alam selalu menginspirasi dirinya
untuk tidak merasa susah dengan segala masalah yang menimpa. Alam mengajarkan
padanya: “bahwa manusia lebih besar dari masalah, maka jangan sampai manusia
kalah dengan masalah. Masalah itu untuk dikhalifahi, bukan untuk diperdebatkan.
Belajarlah pada kesitiaan Alam terhadap titah Tuhan, titah Tuhan bukan untuk
diperdebatkan, tetapi untuk dipatuhi dan diamalkan”. Seketika itu juga
Sarikhuluk jadi ingat ayat ketika ngaji di surau dulu: Wa kâna al-Insânu
aktsara syain jadala (dan manusia adalah makhluk
yang paling banyak membantah)Q.s. Al-Kahfi: 54.
Bacaan itu akhirnya menjadi dzikirnya seharian penuh. Biar hatinya tidak pilu
lagi. Biar dia tidak sedih dengan orang yang banyak debat. Karena memang sudah
menjadi watak. Yang penting jangan sampai ia terpengaruh. Daripada membuat
debat semakin subur, kemudian kebenaran menjadi kabur, lebih baik beramal dan
berbuat jujur, kemudian kebenaran pun akan menjadi jelas dan teranjur. Ketika
kebenaran dijunjung tinggi, dan tak berhenti pada debat, maka Tuhan pun tak
‘segan’ mencurahkan rahmat.
Sumengko,
11 Maret 2014, 11: 25
8
Pendidikan
Lahir Batin
Lama
tak muncul di Media Massa, Sarikhuluk sudah beberapa minggu berusaha membuat
jarak serius dengan hiruk-pikuk media. Selama ini Ia terjun langsung ke dunia
sosial yang sama sekali tak disorot media. Ada jarak yang serius antara apa
yang diungkap media, dengan realita yang ada. Sehingga membuat jarak yang tepat
dengan media merupakan hal yang niscaya bagi Sarikhuluk, untuk menjernihkan
pikiran dan hati sehingga mendapat penilaian yang akurat dan tepat dalam
menyikapi fenomena yang ada. Ketika sedang memberi makan ayam, Ia kedatangan
tamu –yang sebenarnya salah satu teman akrabnya yang berprofesi sebagai guru-
namanya Aiman Abdul Ghani. Hampir lima tahun Sarikhuluk tak berjumpa
dengannya. Feeling Sarikhuluk
merasa ada sesuatu penting yang akan disampaikan sahabatnya mengenai dunia
pendidikan. “Semoga kabar baik yang akan disampaikan sahabatku ini” harapan
Sarikhuluk dalam hatinya.
“Monggo
monggo monggo silahkan duduk Gan” tutur Sarikhuluk mempersilahkan. “Oh ngge
Prof. Ndak usah repot-repot hehehe(Sarikhuluk oleh Aiman Abdul Ghani
dijuluki Prof, meski tak pernah mengenyam bangku sekolah karena kepiawaiannya
dalam menganalisa fenomena sosial, sekaligus pintar dalam mencari solusi
permasalahan)” sahut Aiman Abdul Ghani. “Halah kamu ini ada-ada aja pakai
manggil aku Prof, wong orang ga jelas kayak gini. Oh ya lama ya kita ga
berjumpa, nampaknya ada kabar baik nih yang bakal kamu beritahu?” tanya
Sarikhuluk melanjutkan obrolan. “Gini Cak, sebenarnya aku kesini bukan mau
memberi kabar gembira, tapi sebaliknya aku mau curhat sekaligus mencari solusi
pada sampean, aku yakin pean bisa membantuku” jawab Aiman. “Ealah
ternyata tebakanku salah, hehehe, baru kali ini tebakanku meleset, sebab
biasanya kamu selalu membawa berita baik. Oke sekarang tenangkan pikiran,
jernihkan hati kemudian silahkan cerita yang ingin kamu ceritakan” ucap
Sarikhuluk mempersilahkan Aiman bercerita.
“Aku
kemarin keluar dari dunia pendidikan” Aiman membuka cerita. “Lho lho lho
opo maksudnya?” Tanya Sarikhuluk penasaran(sebab bagi Sarikhuluk
pendidikan itu bukan hanya dalam lembaga formal sekolah dan lain sebagainya,
tapi kehidupan dan alam merupakan lembaga pendidikan juga meskipun non-formal.
“Maksudku aku keluar dari sekolah, aku ga mau ngajar lagi di situ. Aku kecewa
banget. Masa` gara-gara persoalan sepele, aku dimarahin sekeras-kerasnya,
dihadapan forum rapat lagi, ah martabatku sebagai guru seolah terinjak-injak.
Yang lebih menyakitkan lagi, dengan ungkapan yang kasar, aku dituduh tak serius
mengajar, dan hanya mengejar urusan duniawi belaka. Keikhlasan dan kesabaran
yang aku jaga bertahun-tahun ini seolah hilang gara-gara ungkapan Pemimpin
Rapat itu” lanjut Aiman dengan semangat menggebu. “Kendalikan emosimu, kamu
cerita masih belum lengkap, coba cerita dengan lengkap. Siapa yang memarahimu?
Kenapa dimarahi?” tanya Sarikhuluk sembari menenangkan. “Ya Mr. Wagiman itu,
pemilik sekolah yang semena-mena. Masalahnya gara-gara anak-anak shalat diluar
area sekolah. Anak-anak kan diwajibkan shalat di dalam sekolah, tapi mau shalat
gimana coba, wong airnya saja sedikit, itupun kotor, ya akhirnya aku
ajak saja shalat di masjid di luar sekolah” jawab Aiman.
“Sebenarnya
Gan, permasalahan itu masih sederhana dan bisa diselesaikan, asal kedua belah
pihak mau menginsafi dan memahami akar permasalahan. Aku melihat Mr. Wagiman
sudah dirundung banyak masalah sehingga apa yang menimpamu sebagai pelampiasan
untuk mengeluarkan masalah-masalah pribadi yang kian menumpuk. Apalagi
karakternya memang sangat emosional, jadi dalam sudut pandang ini, sangat wajar
jika Ia marah seperti itu. Tapi di sisi
lain, memang karena tak bisa mengontrol emosi, apa yang diucapkan Wagiman, memang
sangat melukai hati siapa saja yang mendengarnya, aku saja secara pribadi mangkel
juga kalau diomongi seperti itu. Sekarang gini ya Gan, kamu keluar atau
tidak, itu hakmu. Tapi yang perlu kamu pikirkan lebih dalam ialah jangan sampai
kamu keluar hanya karena marah atau tak terima atas perlakuan dari Mr. Wagiman,
karena kamu ngajar, kamu mendidik itu kan bukan demi atau karena Mr. Wagiman,
di sana masih ada para siswa yang kamu pertimbangkan, di sana juga ada
rekan-rekan guru yang masih membutuhkanmu. Jadi kalaupun kamu harus keluar,
usahakan dengan pemikiran matang dan dewasa” nasihat Sarikhuluk.
“Aku
sakit sebenarnya bukan hanya karena omongan Mr. Wagiman yang sungguh menyayat
hati, aku juga merasa bahwa pendidikan di sekolahku sudah tidak sehat lagi.
Yang dibesarkan hanya yang penting lulus, sistem tak terurus; yang diutamakan
yang penting berjalan, meski pendidikan tak berkembang. Yang penting dari
pendidikan bukan lagi pada hal-hal yang lebih subtansial, tetapi hanya berkutat
pada hal-hal formal. Slogan dan idealismenya begitu tinggi namun hanya pada
tataran formal. Sadar entah tidak di dunia lembaga pendidikan sekarang ini,
kita sudah dididik bermental pencuri. Kebocoran bantuan, kebocoran dana BOS,
kebocoran bantuan anak miskin dan kebocoran soal ujian, didalangi oleh pelaku
lembaga pendidikan itu sendiri, sudah merupakan bukti nyata pencetakan anak
didik bermental korup dan pengecut. Padahal motto sekolah sangatlah bagus
yaitu Berakhlak Mulia dan Terdepan dalam Berprestasi. Apa itu bukan kebohongan
namanya Cak” lanjut Aiman. “Gan, kalau memang benar apa yang kamu ceritakan
padaku, aku juga setuju kalau kamu memilih keluar dari situ. Hanya saja,
saranku, jangan sampai karena masalah itu, kamu menjeneralisirnya sehingga kamu
tak mau lagi mengajar di lembaga formal. Tak semua lembaga seperti itu. Masih
ada lembaga-lembaga formal yang masih tulus dan jujur. Kemudian kalau apa yang
kamu ceritakan tadi fakta, maka tidak usah kamu sebarkan kemana-mana,
bagaimanapun juga aib manusia bukan untuk diumbar. Jangan sampai rasa bencimu
membuatmu tak adil dalam bersikap. Rajinlah mencari kebaikan orang lain, dan
carilah sebanyak-banyaknya kejelekan diri sendiri, agar kamu bisa berendah hati
dan mencintai manusia. Manusia selama masih hidup ada peluang untuk berubah,
jadi kalau benci jangan terlalu, kalau cinta juga jangn terlalu” lanjut
Sarikhuluk menasihati.
“Astaghfirullah
...... Aku baru sadar cak, kalau yang menggerakkanku adalah emosi,
terimakasih banyak atas nasihat dan sarannya. Bagaimanapun juga dunia pendidikan
memang sangat berat dan susah. Bagi pendidik yang dibutuhkan memang bukan
sekadar kata-kata ideal, tetapi suritauladan yang baik sehingga para siswa
tidak nakal. Kita mendidik diri sendiri saja susah, apalagi mendidik anak
orang. Tapi mengenai keputusanku untuk keluar sudah bulat Cak. Sebagaimana
nasihat sampean, aku akan mencari sekolah yang menurutku lebih baik, tanpa
harus kujelek-jelekkan sekolah tempat aku ngajar. Kalau belum menemukan sekolah
yang tepat, aku akan mengembangkan bisnisku saja, sembari tetap mendidik
meskipun bukan di lembaga formal. Daripada batin terus tertekan, lebih baik
keluar sekalian” sambung Aiman. “Oke kalau itu memang keputusanmu. Jangan
sampai kamu kalah dengan masalah. Kamu lebih besar dari masalah, masalah ada
untuk mematangkan dan mendewasakan, kalau kamu menyerah, maka sama saja kamu
merendahkan martabatmu sebagai manusia. Mengenai pendidikan saat ini,
sebagaimana yang aku tahu sendiri di lapangan, memang cendrung mendidik para
siswa sebatas urusan lahir saja atau hal yang nampak saja. Misalkan anak
sekolah itu kebanyakan bukan karena kemauan sendiri, tapi karena kemauan orang
tua yang mengharuskan anaknya menjadi seperti yang dimauinya, tentu saja supaya
mendapat hal-hal yang sifatnya lahiriah berupa harta, kekayaan dan lain
sebagainya. Meskipun lahiriah penting, tapi kalau pendidikan hanya difokuskan
disitu maka akan mengalami kerusakan. Bagamanapun juga unsur batin juga harus
tetap digarap, karena masalah pendidikan batin, terkait dengan pendidikan
karakter dan akhlak, merupakan faktor penting untuk mengontrol pendidikan
secara lahir. Kalau batinnya bagus, mencari yang lahir pun tak akan khawatir
karena pasti akan ada kontrol batin. Demikianlah sejatinya pendidikan.
Pendidikan lahir dan batin” pungkas Sarikhuluk. Setelah beberapa jam
ngobrol, akhirnya Aiman pamit pulang dengan hati yang lapang dan tak bimbang.
9
Ikhlas
Bagi Anda, Halal Bagi Kami
Jam
sudah menunjukkan pukul 07.00, saatnya Sarikhuluk berangkat menuju Pulau Garam,
Madura. Ia mendapat kabar bahwa salah satu gurunya – yang bernama Imron
Khozinudin - sedang sakit. Ia ke Pulau
Garam pergi sendiri dan lebih memilih untuk naik bus. Bagi Sarikhuluk, naik bus
merupakan suatu pengalaman yang tidak
biasa. Ia bisa melihat langsung bagaimana sifat-sifat dasar manusia ketika di
bus. Daripada melihat beberapa caleg yang terpampang di baliho-baliho, Ia lebih
suka melakukakan ‘wisata hati’ di bus sembari mempelajari watak-watak manusia.
Begitulah Sarikhuluk. Setiap kali bepergian Ia tak mau menyia-nyiakan sedetik
pun apa yang dialaminya. Banyak sekali yang Ia alami di bus. Ia pernah dicopet,
dimarahin orang, diajak berkelahi, berseteru dengan kondiktur, membantu ibu-ibu
yang tiba-tiba pingsan, menggantikan supir yang mendadak sakit, mengantar
wanita yang sedang darurat ingin melahirkan, sesekali Ia juga pernah mengamen
ketika sedang kehabisan uang, dan masih banyak lagi pengalaman yang begitu
memberikan pelajaran berharga baginya. Ia sangat menikmati perjalanan selama di
bus. Di bus Ia mendapatkan pelajaran berharga, yang bisa jadi tidak akan pernah
Ia dapatkan di bangku-bangku sekolah dan kuliah, meski sudah bertahun-tahun.
Selama
perjalanan di bus, ada satu hal yang kali ini menarik perhatiannya. Dari
pertama kali berangkat hingga sampai tujuan, Ia sangat menikmati lagu-lagu yang
dibawakan para pengamen. Yang terutama sebenarnya bukan karena suaranya-karena
tak semua suara pengamen merdu, ada juga yang fales-, tapi biasanya lagu-lagu
yang dibawakan itu bernuansa kemanusiaan, keserdehanaan, kritik sosial, . Lebih
dari itu, selama di bus – ketika berangkat saja - ada sekitar 5 pengamen yang
bergonta-ganti mengais rizki di bus yang Sarikhuluk tumpangi. Ada kalimat yang
benar-benar Sarikhuluk amati betul-betul, yang biasanya kerap kali diucapkan
oleh setiap pengamen baik sebelum atau sesudah menyanyikan lagu yaitu: “Ikhlas
bagi anda, halal bagi kami”. Siapa saja yang pernah naik bus, terutama di
Indonesia, pasti tak asing dengan para pengamen yang mengucamkan kalimat itu.
Bagi Sarikhuluk, kalimat itu jangan sampai hanya menjadi ‘angin lewat’. Ia
harus bisa menguak makna, menyibak pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Ia
harus mampu menyelaminya, bukan hanya pada tataran makna yang dangkal, tetapi
juga nuansa, semangat, keadaan yang dialami pengamen ketika mengeluarkan kata-kata
itu. Inilah yang membedakan Sarikhuluk dengan penumpang-penumpang bus lainnya.
Ia menganggap, setiap peristiwa yang dialami di bus merupakan ‘kado Tuhan’
untuk memberi pelajaran berharga baginya.
Ia
berusaha merenungi kalimat: “Ikhlas Bagi Anda, Halal Bagi Kami”. Kalau
dicermati, kandungan maknanya begitu dalam. Kalimat itu menggambarkan perpaduan
antara akhlak dan hukum; menggambarkan ‘pengawinan’ antara ‘kesadaran hukum’
dengan ‘kesadaran akhlak’; menggambarkan tentang penyatuan antara ‘tata hukum’ yang
bersifat materil, dengan ‘tata krama’ yang bersifat non-materil. Akhlak
diwakili dengan kata, ‘ikhlas’, sedangkan hukum diwakili dengan kata, ‘halal’.
Walaupun tak menjamin bahwa setiap mereka pasti mengerti dan melakukan apa yang
dikatakan, tapi paling tidak bagi Sarikhuluk mereka lebih jujur dalam
mengamalkan kalimat itu, dibandingkan dengan pejabat-pejabat pemerintah yang
koar-koar tentang hukum; dibanding dengan ustadz-ustadz di TV yang rajin
menyerukan akhlak. Di Indonesia ini, yang ditegakkan baru supremasi hukum,
sedangkan akhlak tak pernah menjadi supremasi. Makanya Sarikhuluk tak heran
jika hukum di Indonesia ini gampang diperjualbelikan, lantaran ‘kesadaran
hukum’ tidak berbanding lurus dengan ‘kesadaran akhlak’. Para pengamen ngerti
betul bahwa sesulit apapun keadaan yang dialami, tetap harus dibangun kesadaran
dalam batin untuk tetap taat hukum berupa: mencari rizki harus dengan cara yang
halal, jangan sampai mendzalimi orang lain, jangan sampai meniru para pejabat
yang menghalalkan segala cara untuk mengais rizki. Hukum saja tak cukup, supaya
lebih bermakna suatu pemberian, maka Ia mengingatkan pada para penumpang untuk
‘sadar akhlak’ bahwa ‘ikhlas’ adalah kata kunci yang menjadikan pemberian tak
terhenti pada makna wadag, jasmani tetapi lebih dari itu akan menjadikannya
bermakna rohani, ukhrowi.
Kalimat
yang diucapkan setiap pengamen sebagaimana yang Sarikhuluk dengar sebenarnya
juga bisa dijadikan kritik sosial. Mereka saja yang dianggap remeh, hina,
marjinal, dan dipandang sebelah mata, berusaha sedemikian rupa untuk ‘taat
hukum’ yang dibuat (hukumnya juga bukan sekadar hukum buatan manusia tetapi
hukum buatan Tuan), dan ‘menjunjung tinggi nilai akhlak’, apalagi para
pemimpin, para pejabat negara, yang notabene lebih terpelajar, berpendidikan,
dan terpandang. Tetapi sekali lagi, kenyataan berkata lain. Terdapat
kesenjangan yang sangat tajam diantara mereka. Apa yang terjadi di negeri
tercinta ini malah sebaliknya. Betapa banyak orang yang mengerti hukum tapi tak
mengindahkan dan tak sadar hukum. Hukum hanya ditegakkan jika menyangkut orang
lain, tetapi ketika hukum mengenai pribadi dan keluarganya, maka hukum menjadi
lunak. Betapa banyak orang yang paham nilai akhlak, tetapi akhlak hanya
terbatas pada taraf teori dan tak benar-benar menjadi kesadaran diri pada
masing-masing figur yang notabene dianggap sebagai tokoh yang mengerti betul
tentang akhlak. Melihat fakta yang demikian memilukan, Sarikhuluk menjadi
semakin prihatin sekaligus tertawa lucu. Ia sangat prihatin karena bila hukum
sudah tak ditaati, lalu apakah bisa dijamin mengenai keamanan rakyat, padahal
salah satu kebutuhan pokok rakyat ialah terwujudnya stabilitas keamanan. Apalah
arti kesejahteraan jika tak beriring rasa aman sentausa. Ia sangat prihatin
jika nilai akhlak ditanggalkan dari batin manusia, maka akan hilang
‘kontrol-kontrol batin’ sebagai penunjang dari ‘kontrol lahir’(berupa hukum).
Kalau keduanya sudah tak ditegakkan maka apa yang diharapkan dari negara. Ia
juga merasa sangat lucu melihat kondisi ini. Sampai-sampai saking
lucunya sampai dia membayangkan bagaimana jika seandainya para pejabat yang
ngamen, kira-kira apa yang akan di katakan sebelum dan sesudah ngamen.
Sarikhuluk berusaha mengarangnya, dan hasilnya seperti ini: “Melas bagi anda,
royal bagi kami”. Artinya: rakyat semakin susah dan melas karena hartanya
dikeruk oleh ‘pengamen-pengamen negara’, ketika harta sudah didapat maka,
difoya-foyakan dan diroyal-royalkan untuk kepentingan pribadi. Beginilah jika
hukum diceraikan dari akhlak, atau keduanya dihilangkan dari kesadaran batin
manusia.
(Tanpa sadar ternyata karena asyik
merenung, Sarikhuluk kebablasan karena sebenarnya yang Ia tuju ialah Pamekasan,
tapi ternyata dia sudah sampai Kali Anget, Sumenep. Haduuuuh, .... balik
poleh ta` iyeh.... peseh poleh).
Sumengko, Rabu 5 Maret 2014, 06: 18.
10
AKHWAT
HEBAT: Tetap Bermanfaat Meski Berbeda Pendapat
Aku
hidup dalam keluarga yang bisa dibilang ‘taat beragama’, bahkan pada taraf
tertentu bisa juga dikatakan oleh kebanyakan orang sebagai sikap yang fanatik.
Bapakku adalah seorang yang juga berprofesi sebagai pedagang sepatu. Meski
bukan seorang Ustadz, beliau sangat rajin membaca dan mengaji, Ia juga
mempunyai banyak teman yang sepaham dengannya. Ibuku merupakan ibu rumah tangga
yang berprofesi sebagai tukang jahit. Sejak kecil aku dididik sedemikian rupa
mengenai pentingnya memegang teguh prinsip, pentingnya menjaga nilai-nilai
agama di tengah masyarakat modern yang kian menjauh dari nilai-nilai agama.
Sebagai muslimah tentu saja sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk berjilbab,
taat dan patuh kepada kedua orang tua, dan yang sampai sekarang diwanti-wanti
oleh kedua orangtuaku ialah mengenai hubungan lawan jenis, atau interaksi
dengan cowok yang bukan mahram. Aku sendiri sangat patuh dan menikmati apa saja
yang selama ini didoktrinkan orangtua kepadaku - aku sangat sayang dan patuh
pada mereka berdua, bagiku setelah cinta Allah dan Rasul-Nya, cinta pada kedua
orang tua adalah yang utama-. Dengan sikap keluargaku yang sangat ketat dalam
memegang prinsip, tentunya banyak reaksi diantara masyarakat yang tinggal
berdampingan dengan kami. Kadang malah banyak stigma-stigma negatif yang
disematkan tetangga pada keluarga kami: dibilang kolot, fanatik, kurang ramah,
tak toleran, keras kepala, dan yang paling menyakitkan kadang kami dibilang
sebagai aliran sesat, bahkan beda agama.
Apa
yang aku rasakan saat di rumah dan di lingkungan desa, juga aku rasakan ketika
aku di sekolah. Banyak di antara teman-teman yang memandang perilakuku ini
terbilang kolot, puritan, eksklusif dan kurang gaul. Aku memang paling menjaga
mengenai masalah busana, dan hubungan lawan jenis. Sesuai dengan apa yang aku
dapat dan pahami dari kedua orangtuaku: bagi muslimah yang sudah baligh
diwajibkan untuk menutup semua auratnya dengan jilbab kecuali muka dan telapak
tangan. Sedangkan dengan masalah hubungan lawan jenis, jangankan bersalaman, wong
pandang-memandang saja tidak boleh kok, apalagi kalau sampai ngobrol berduan, nge-date,
makan bareng, berboncengan dan yang semisalnya. Untuk masalah bersalaman ada hadits
yang seingatku intinya demikian: bahwa ditikam dengan besi itu lebih baik,
daripada bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramnya. Sedangkan anjuran
untuk mengandalikan pandangan itu seingatku terdapat dalam surat An-Nûr ayat:
32/33, yang diistilahkan oleh para ahli dengan ghaddhul bashar(mengendalikan
pandangan). Dengan prinsip-prinsip inilah selama ini aku dan keluargaku
berusaha menjaga betul-betul dengan rintangan yang tak sedikit. Tak jarang di
berbagai kalangan, kami terkesan dikucilkan, dicuekin, dianggap aneh, dan
disindir dengan sindiran yang tentunya membuat hati sakit.
Anggota
keluargaku semua berjumlah enam orang. Bapak, ibu, aku, dua adik cowok dan
cewek, serta satu lagi adik cowok yang masih berusia enam bulan. Secara singkat
namaku Aisyah Mutiara Qolbi, Bapakku;
Shohibul Khair, Ibuku; Syahidah, adikku; Ridho Muhammad, Sakinah Hilya Auliya,
dan yang terkecil bernama Imran Aflah A`ili. Kami terhitung keluarga yang cukup
mampu secara finansial, dan dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Tempat
yang kami tinggali sekarang terhitung baru, karena kami baru menempatinya
sekitar 3 bulanan. Sebelumnya kami tinggal di rumah peninggalan nenek, karena
faktor profesi pekerjaan Bapak, akhirnya bapak dan ibu memutuskan untuk pindah
membeli rumah baru di lokasi yang lebih prospek untuk berjualan dan tak jauh
dari tempat kulakan. Di tempat inilah untuk pertama kali kami bersinggungan
dengan suasana, kondisi, tempat, tradisi, komunikasi, yang berbeda dengan yang
sebelumnya kami rasakan. Di lingkungan kami ini bisa dikatakan sangat kaya
corak, karakter dan tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Rata-rata memang
muslim, meski juga ada yang Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen. Meski
rata-rata muslim, masyarakat muslim dilingkunganku juga terdiri dari berbagai
macam aliran pemahaman. Ada yang mengaku muslim, tapi tak begitu mengaindahkan
nilai-nilai Islam, ada yang berjilbab, ada yang tak berjilbab, ada yang pakai
kerudung tapi hanya kerudung gaul, dan masih banyak keanekaragaman lain yang
tak mungkin disebut semua dalam tulisan ini. Intinya, lingkungan kami sangat
heterogen. Di lingkungan yang baru inilah kami merasakan banyak rintangan dan
stigma yang negatif, terutama dalam hal komunikasi sosial. Di sisi lain perlu
diakui juga, secara umum meskipun beterogen, penduduk sini pada umumnya sangat
toleran, baik dan supel.
Di
lingkungan yang baru kami mengalami kendala-kendala yang sangat serius terutama
tentang masalah komunikasi sosial. Awalnya mereka sebenarnya sangat terbuka
menyambut kehadiran kami, tapi lama-lama mereka mencueki dan menjauhi kami.
Bahkan ketika sampai kami tinggal tiga bulan di sini hubungan kami dengan
masyarakat sekitar semakin parah. Aku terkadang menyempatkan diri untuk
berpikir dan merenung, kenapa ya kok hubungan keluargaku dan masyarakat tak
begitu harmonis? Apa karena kegigihan keluargaku yang begitu ketat memegang
ajaran agama? Memang keluargaku sangat anti dengan yang namanya acara adat yang
berbau agama seperti kenduren, diba`an, tahlilan, mauludan, istighasah, bancaan,
ruwatan dan lain sebagainya, karena bagi bapak, semua itu tidak ada tuntunannya
dari Nabi. Makanya, setiap kali diundang di acara-acara ritual seperti itu,
sudah dipastikan bapak dan keluarga pasti tidak hadir. Kadang kalau kami
dikirim makanan-makanan dari masyarakat yang telah melakukan acara-acara
misalkan tahlilan, bapak selalu menyuruh untuk membuang karena dinilai haram.
Kami juga sangat ketat dalam menjaga hubungan lawan jenis. Keluargaku tidak
akan menyalami atau menjabat tangan orang yang bukan mahram. Kalau ibu dari
pasar, misalkan ada orang yang mau memberi bantuan mengantar ke rumah selalu
tak mau kalau yang menawarkan bukan mahramnya. Keteguhan prinsip seperti inilah
yang mungkin barangkali membuat kerenggangan antara keluarga kami dengan masyarakat
sekitar. Padahal sebenarnya kami sebagai manusia juga ingin bertegursapa,
saling membantu, bersosialisasi, namun terdapat jurang pemahaman yang
sedimikian dalam sehingga membuat berat untuk menjalin komunikasi.
Suatu
ketika, ibu di rumah hanya bersama adik terkecil, Imran. Waktu itu ibu mau
membuang sampah ke belakang rumah, waktu itu suasana masih mendung, dan baru
saja hujan reda. Sewaktu membuang sampah, ibu terpeleset jatuh ke tempat
pembuangan sampah yang cukup dalam. Kaki ibu pun patah. Ia menjerit kesakitan,
sembari meminta tolong pada orang sekitar. Karena mendengar teriakan minta
tolong, akhirnya datang juga tetangga yang menolong. Waktu itu yang mau nolong
ibu ialah Pak Jumali, selaku Kepala Rt. Sewaktu mau ditolong, Ibu jelas menolak
karena yang akan menolong, mengangkatnya, bukanlah mahramnya, Ia akan meras
berdosa jika bersentuhan dengan orang yang bukan mahramnya. Ia sangat
mengharap, kalau yang menolongnya itu ialah ibu-ibu, namun mana kuat ibu-ibu
mengangkat badannya yang lumayan besar. Hatinya berkecamuk. Sesaat tertahan
dalam pikiran yang bimbang – kalau menerima tawaran pertolongan, merasa dosa
karena yang nolong bukan mahram, kalau ga diterima siapa lagi yang akan nolong,
wong kakinya patah dan membutuhkan segera pertolongan supaya tidak
terlalu parah – belum sempat berfikir panjang akhirnya dengan sigap dan lekas,
Pak Jumali langsung mengangkatnya –tanpa persetujuannya- sembari berkomentar
kesal: ‘Bu, meski bukan mahram, saya tidak akan ngapa-ngapain, saya ini murni
menolong, lagian kalau terpaksa kan ga apa-apa’. Ibu terdiam, Ia tidak bisa
membalasnya. Al-Hamdulillah, karena waktunya tepat, kaki ibu bisa diselamatkan,
dan segera dioperasi.
Yang
senada dengan kejadian itu, suatu saat sewaktu aku mau kuliah, waktu itu di
kampus akan diadakan UTS, dalam perjalanan aku menjumpai satu keluarga jatuh
dari sepeda dan masuk sawah –aku sendiri tidak tau penyebabnya, apa karena
ngantuk atau sebab lainnya-, anak dan istrinya tidak apa-apa hanya wajah dan
bajunya dipenuhi lumpur sawah; tapi suaminya sebelum jatuh ke sawah, kepalanya
sempat tertabrak pohon asam, sehingga kepalanya luka berdarah dan lumayan
parah. Melihat kejadian itu aku secara spontan berhenti membantu ibu dan anak
bangkit dari sawah –kebetulan waktu itu masih sangat pagi dan sepi belum
terlihat orang lalu-lalang-, alhamdulillah tidak apa-apa, yang membuat aku
bingung ialah bagaimana harus menolong suaminya, suaminya masih muda, dia bukan
mahramku, sedang waktu itu tidak ada orang yang, kalau ga segera ditolong orang
itu bisa meninggal lantaran luka kepalanya sangat parah. Kejadian itu begitu
dilematis. Istrinya dengan sangat memohon meminta bantuan aku untuk mengangkat
suaminya ke mobilku dan segera di bawa ke rumah sakit terdekat. “Maaf mbak,
bukannya aku tak mau menolong, tapi suami mbak mukan mahram saya” jawabku
sekenanya. “Aduh tolong mbak, ini darurat, kalau tidak suami saya bisa
meninggal, sampean tega kalau gara-gara bukan mahram kemudian tak menolong,
lantas suami saya meninggal dunia. Penting mana nyawa orang dengan menjaga diri
dari yang bukan mahram” sahut istri lelaki yang sedang kecelakaan. Serasa
ditampar kesadaran hatiku, akhirnya dengan lekas aku segera membopongnya dengan
bantuan istrinya, sampai aku antarkan ke rumah sakit terdekat. Waktu itu aku
merasa dosa, telah bersentuan dengan orang yang bukan mahram, tapi sekaligus
merasa bermanfaat pada orang lain karena telah membantunya pergi ke rumah
sakit, meski akhirnya aku tidak bisa mengikuti UTS di kampus karena terlambat.
Aku
juga punya teman cewek di kampus yang sepaham dan sealiran dengan pemahaman
yang aku pegang teguh dengan keluargaku, namanya Amel –bukan nama sebenarnya-,
di sudah bertunangan; sekitar tiga bulan lagi dia akan menikah. Apa yang
dialaminya sebenarnya juga masih bertalian erat dengan beberapa kisah yang baru
saja aku ceritakan tadi. Amel memang sangat anti dengan yang namanya pacaran,
ia membatasi pergaulan hanya sesama teman perempuan, dan cendrung menjauh kalau
ada laki-laki yang bukan mahramnya. Amel adalah mahasiswi yang sangat pandai dalam bidang studi Matematika. Waktu itu ada
teman cowok yang minta bantuan untuk diberikan penjelasan mengenai bab-bab
tertentu mengenai matematika. Bukannya Ia tak mau membantu, tapi karena teman
cowok yang bernama Bagus itu bukan mahramnya, maka ia merasa berdosa kalau dia
membantunya, karena jelas nanti akan berhadap-hadapan dan terjadi saling
pandang memandang di antara keduanya. Di sisi lain, kalau Bagus tidak dibantu
maka resikonya kalau sampai tahun ini gagal lagi dalam ujian, pasti Ia akan
terkena DO dari kampus, karena sudah beberapa kali gagal, lantaran ada
kesibukan sosial di luar kampus. Akhirnya amel tetap menolak membantu, tentunya
dengan alasan bukan mahram. Tapi yang membuat Amel tersentak ialah ketika ia
mendengar teguran dari sahabatnya ,Rindi Antika(cewek ini meski belum berjilbab
tapi secara pakaian sangat sopan dan baik, Ia termasuk dari sahabat Amel,
bahkan sering curhat sama dia-, ‘Mel, maaf sebelumnya. Bukannya aku ikut
campur. Kenapa kamu ga mau bantu orang yang sedang kesusahan? Meski bukan
mahram dia kan ga bakal ngapa-ngapain. Sekarang aku tanya, tunangan itu mahram
apa bukan? Kalau bukan kenapa kamu sering telponan sama dia, chatting-ngan,
fb-an, tweeter-ran, dan kadang kalau ada perlu kalian juga
bertatap muka meski tak berjabat tangan, bukankah itu lebih parah? Bukankah
kedudukannya sama-sama bukan mahram? Kenapa kamu membeda-bedakannya, padahal
Bagus itu benar-benar membutuhkan bantuanmu’. Amel sangat tersentak dengan
teguran sahabatnya itu. Dalam hati Amel membatin, ‘betul juga kata Rindi, astaghfirullâh...selama
ini aku telah berbuat salah, meski sama tunangan kan belum halal’. Dengan
pikiran yang berkecamuk dan penuh dilema, akhirnya Amel mau bantu dengan syarat
teman-teman ceweknya mendampinginya.
Beberapa
kejadian itu membuat aku bingung. Mungkin gak ya, kita tetap berpegang teguh
dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga hubungan
yang harmonis dengan orang? Saling membantu, saling menolong, dengan tetap
menjaga prinsip. Berbulan-bulan aku berpikir serius mengenai jawaban
pertanyaanku itu. Pernah aku bertanya pada bapakku langsung, tentang
pertanyaanku tadi tentu saja aku iringi dengan kasus-kasus nyata yang
bertentangan dengan prinsip misalkan: “pak bagaimana ketika ada orang yang
sedang mengadakan tahlilan, kemudian terjadi kebakaran di rumah itu, apa kita
perlu membantu, mereka kan melakukan bid`ah, apa perlu ditolong? Bagaimana
kalau ada orang yang bukan mahram mengalami kecelakaan lantas butuh bantuan
kita, dan waktu itu yang ada hanya kita, apa harus kita tolong? Apakan menolong
orang itu tidak boleh jika orang yang kita tolong tak sejalan dengan pemahaman
dan pemikiran kita? Apakah ada pertentangan antara agama dan menolong orang
yang tak seagama?” masih banyak lagi sebenarnya yang aku tanyakan ke bapak,
tapi jawabannya sama yaitu: “yang berhak ditolong adalah yang tidak melanggar
syari`at, kalau kamu menolong orang yang melanggar syari`at, sama saja kamu
menolong orang berbuat salah. Kemungkaran itu jangan malah ditolong, tapi
kewajiban kita adalah mencegahnya”. Sebagai anak tentunya aku nurut dan takzim
pada beliau, dan aku sama sekali tak membantahnya. Tapi tetap saja masih ada
yang mengganjal di hati, penjelasan bapak memang benar, kemungkaran memang
harus dicegah, tapi kok kurang pas dengan pertanyaannya.
Berbulan-bulan
aku dirundung bingung, sembari berusaha mencari jawaban yang pas dan tepat
mengenai pertanyaan-pertanyaan tadi. Selama ini aku dan keluargaku memang
sangat memegang teguh prinsip, tapi mengapa kehidupan sosial kami dengan
masyarakat kok tak kunjung harmonis, semakin hari semakin senjang. Sampai
akhirnya sewaktu ada kegiatan kampus berupa penelitian ke kampung-kampung
mengenai kesadaran kesehatan masyarakat, di salah satu kampung aku
diperjumpakan dengan seorang yang bernama Sarikhuluk. Sarikhuluk bukan guru,
yai, dosen, pakar, kiai, ustadz atau sebutan formal lainnya. Ia mengaku bukan
siapa-siapa dan merasa seperti manusia biasa sebagaimana manusia yang lainnya.
Ia hanya mengenyam bangku sekolah formal sampai SD saja, namun yang membuat aku
heran, dia bukan siapa-siapa dan tak mempunya profesi dan title apa-apa, tapi
kenapa dia begitu bisa berpengaruh di kampungnya. Kampungnya termasuk kampung
sang sangat sigap dalam hal kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya. Di
kampungnya pula, konflik-konflik aliran sangat bisa diminimalisir, meskipun di
kampungnya jauh lebih plural daripada kampungku. Aku sangat penasaran dan ingin
sekali bertanya-tanya tentang resep apa saja yang bisa membuat desa ini begitu
rukun, damai dan toleran. Al-hamdulillah akhirnya, aku bisa mewancarianya
bersama teman-temanku sewaktu dia lagi sibuk di kebun pisangnya. “Pak maaf
menganggu, apa bisa kami meminta waktunya sebentar. Ada teman saya yang mau
mewawanzarai bapak?” tanya Irma, temanku. “Ya monggo-monggo, tapi di sini
aja ga apa-apa kan mbak?” jawab Sarikhuluk. “Ya pak, ga papa, terimakasih
sebelumnya”.
Aku
mulai menyapanya: “Pak, perkenalkan nama saya Aisyah Mutiara Qolbi, panggil
saja Tiara. Jujur saya sangat kagum dengan kondisi di kampung bapak ini.
Warganya begitu heterogen dan plural, tapi kok bisa ya rukun dan damai dan
tetap saling tolong menolong. Lebih kagum lagi, bapak bukan siapa-siapa disini
dan tak mempunyai title dan kedudukan apa-apa tapi kok perannya sangat besar di
sini, bahkan tak sedikit orang yang meminta bantuan ke jenengan?
Pertanyaan saya sebenarnya singkat saja: Mungkin gak pak, kita tetap berpegang
teguh dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga
hubungan yang harmonis dengan orang?” pertanyaanku singkat.
“Wah mbok jangan-jangan
dibesar-besarkan gitu mbak, sebenarnya kampung di sini juga sama saja dengan
kampung yang lain, saya juga perannya biasa-biasa saja. Memang saya tak peduli
dengan status dan tak memiliki status apa-apa, kunci hidup itu satu mbak, yaitu
apa kita bisa bermanfaat dengan orang lain apa tidak. Walau jabatan tinggi,
title juga banyak, tapi kalau sedikit manfaat, bahkan banyak menyusahkan orang
itu nonsense(omong kosong) mbak. Kata ar-rahmân dan ar-rahîm
sebenarnya memberikan pelajaran berharga pada kita. Kalau ar-rahmân
skalanya horisontal dan sesama mahluk, artinya kita dalam berbuat baik tidak
memandang apakah yang kita tolong itu orang yang seagama sama kita, orang yang
sepaham dengan kita atau tidak, sebagaimana Tuhan yang tak membeda-bedakan dalam
memberikan sinar mentari kepada seluruh ciptaannya di bumi, baik itu muslim
maupun kafir. Kalau ar-rahîm skalanya itu vertikal dan transenden,
maksudnya hubungan dan manfaat khusus kita dengan Tuhan, artinya masing-masing
dari kitanmeski secara sosial dituntut baik, tapi kita tetap mempunyai ruang
privasi untuk mendekatkan atau mengintensifkan hubungan dengan Tuhan.
Gampanganya manfaat kedua ini memang lebih pribadi, dan khusus. Apakah keduanya
bisa dipadukan? Ya jelas bisa mbak. Buktinya Allah memadukannya gitu. Bismillahirrahmânirrahîm.
Sampean juga bisa melihat kerukunan yang terbina di kampung ini.
Bukannya mereka sepaham, seia, dan sekata, tapi mereka sama-sama sadar bahwa
masalah keyakinan itu memang masalah privasi dan tidak bisa dipaksakan ke orang
lain, namun sebagai manusia, apapun perbedaannya harus tetap bisa bermanfaat
pada orang lain. Dalam konsep Islam `kan ada konsep: rahmatan lil `âlamîn,
jadi kalau kedatangan agama Islam hanya membuat laknat bagi alam maka batallah
kehadiran agama. Agama ada itu untuk mencerahkan, bukan mengelamkan. Kebanyakan
konflik-konflik yang terjadi saat ini, khususnya umat Islam ialah ketika
perbedaan yang sifatnya tanawwu`(fariativ/cabang berkaitan dengan hukum)
dianggap sebagai keyakinan, sehingga yang tidak sepaham dengannya dibenci,
dijauhi bahkan diserang baik melalui lisan atau tulis. Padahal secara
prinsip(akidah) Tuhannya sama-sama Allah, Nabinya sama-sama Muhammad, Shalat,
Zakat, Puasanya juga sama. Yang menyebabkan konflik meluas ialah ketika
perbedaan cabang itu dibesar-besarkan sehingga berimplikasi negatif berupa
tidak menolong kalau bukan golongannya. Menolong kok dibeda-bedakan. Siapa saja
yang butuh pertolongan, asalkan memang benar-benar butuh dan tentunya bukan
dalam rangka maksiat maka harus ditolong. Mungkin juga mbak sudah hafal
mengenai hadits yang menurut saya bernilai universal yaitu intinya: tingkatan
iman yang paling rendah ialah membuang gangguan(duri atau yang lainnya) dari
jalan. Coba perhatikan di situ kata kuncinya ialah berusaha bermanfaat dengan
menyingkirkan gangguan dari jalan, padahal yang lewat jalan itu `kan bukan
hanya orang Islam saja. Makanya kami tidak pernah membeda-bedakan dalam hal
menolong asal pertolongannya tepat, dan tidak menggadaikan keyakinan
masing-masing. Saya sangat tau betul dengan pemahaman mbak, atau yang semisal
dengan sampean, karena saya juga banyak teman yang seperti mbak, bahkan di
kampung ini tak sedikit yang berpaham seperti mbak, tapi toh rukun-rukun aja.
Kuncinya mereka selalu menjalin komunikasi yang baik. Masalah keyakinan, itu
memanga sangat privat, kita tidak bisa memaksa orang untuk sepaham dengan kita,
dan masing-masing dari kita akan mempertanggunjawabkannya kelak di hadapan
Allah; tapi bahwa kita sebagai manusia harus tetap bermanfaat itu tidak bisa
ditawar lagi. Ada yang bilang: Allah butuh akidahmu, sedangkan manusia butuh
akhlakmu. Intinya maksudnya, kalau kita ‘dianggap baik’ dalam beragama tapi kok
jelek hubungan secara sosial, berarti ada yang tidak beres dengan pemahaman
kita. Bedakan antara ‘pemahaman’ kita mengenai al-Qur`an dan hadits dengan
al-Qur`an dan hadits itu sendiri” jawab Bapak. Sarikhuluk dengan mengalir tanpa
henti, seakan-akan yang sedang berbicara di hadapanku adalah Ustadz, kiai,
dosen, pakar sosial dan berbagai title yang lain. Setelah mendapat jawaban dari
Pak Sarikhuluk, akhirnya aku lumayan tercerahkan. Kita boleh saja memegang
teguh prinsip kita, tapi jangan sampai secara sosial kita menjadi tak
bermanfaat gara-gara pemahaman yang beda. Masalah keyakinan masing-masing akan
mempertanggungjawabkan sendiri di hadapan Tuhan. Manusia yang tak mau berbuat
baik pada orang lain, tak mau menolong orang yang tak sepaham dengannya, adalah
manusia yang belum lulus kemanusiannya. Thanks very much Bapak
Sarikhuluk, semoga pencerahan ini bisa aku bawa ke lingkungan keluarga dan
masyarakatku. Sumengko, Kamis 01 Mei 2014/ 15:25
11
To
The All Facebooker Don`t Keblinger!
Paijo Ngalamudin, Paiman Badrudin,
Pardi Mandala Putra, dan Paimo Sukmogomo, malam ini berencana ke rumah
Sarikhuluk. Kalau keempat teman yang disingkat P3P ini kumpul jadi satu, maka
sudah pasti akan sowan ke rumah teman karib mereka yaitu Sarikhuluk.
Biasanya kalau ga cangkruan(kumpul-kumpul sambil ngobrol dengan duduk),
temu kangen, main catur, pasti melekan(begadang) untuk membicarakan
masalah yang menurut mereka penting,
meski kata orang atau media masa tak penting. Ukuran penting tidaknya sesuatu
menurut mereka bukan yang terutama yang paling disorot media, atau yang lagi
santer dibicarakan, tapi yang menurut mereka penting ialah segala sesuatu yang
luput dari pandangan orang banyak. Tema yang dibicarakan pun kadang bukan saja
masalah fisik tapi sekaligus metafisik;
bukan saja masalah dzahir tapi sekaligus batin; bukan hanya masalah tekstual
tapi sekaligus kontekstual. Karena seringnya mengadakan pertemuan, suatu saat
ada ide dari Paijo Ngalamudin mengusulkan untuk memberi nama pada forum diskusi
yang mereka adakan setiap malam minggu dengan nama, ‘DAMAR’ singkatan dari
Diskusi Asyik Mencerahkan Anyar dan Rutin. Tanpa ba bi bu, mereka pun setuju
kalau forum diskusi mereka dinamakan forum DAMAR. Damar sendiri sebenarnya
berasal dari bahasa Jawa yang artinya lampu. Dengan nama ini mereka mempunyai
obsesi besar bahwa nanti mereka bisa memberi pencerahan pada diri sendiri dan
keluarga, syukur-syukur hingga sampai pada masyarakat apalagi bangsa. Kunci
hidup menurut forum DAMAR ialah meluaskan, melebarkan, mendalamkan, dan
meninggikan skala kemanfaatan bagi lingkungan. Mereka punya prinsip: kalau kita
tak bisa bermanfaat untuk lingkungan, minimal kita menahan diri untuk tidak
ikut urun membuat kerusakan supaya lingkungan terjaga.
Malam
ini mereka sudah menyiapkan tema yang diambil dari fenomena yang sangat tenar
dan mendunia yaitu, ‘facebook’. Yang menjadi sorotan mereka sebenarnya bukan
facebook itu sendiri, tapi sesuatu di dalam atau di belakang facebook.
Kira-kira faktor determinan apa yang membuat facebook begitu menggejala dan
mendunia hingga anak-anak, remaja, orang tua, dan manula pun tak ketinggalan
aktif menggunakannya. Berangkatlah mereka ke rumah Sarikhuluk dengan jalan kaki
- maklum, rumah Sarikhuluk tak begitu jauh dari rumah mereka-. Sesampainya di
rumah Sarikhuluk, dari samping rumah Sarikhuluk sudah terlihat siap di pendopo
samping rumahnya. Di situ sudah disiapkan kopi hangat, teh hangat, ketela
rebus, kacang rebus, rokok, dan ubi bakar. “Assalamu`alaikum Luk” sapa mereka
serentak pada Sarikhuluk. “Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Monggo-monggo
dolor, silahkan duduk. Kali ini lumayan banyak sajianya, soalnya aku tadi
habis panen ubi, kacang dan ketela. Silahkan duduk dan menikmati” jawab
Sarikhuluk mempersilahkan. “Ealah Luk, gitu aja repot-repot, wong
biasanya kopi angat dan rokok saja sudah cukup. Tapi ya ga papa kita kan ga
boleh nolak rejeki. Maknyus tenan malam ini” sambung Paimo dengan
semangat 45. “O ya rek, malam ini kita akan bahas apa?” tanya
Sarikhuluk. “Gini Luk, di kampung kita ini facebook makin hari makin
menggejala. Semua level masyarakat kita hampir semua menggenal dan
menggunakannya. Yang perlu kita diskusikan ialah kenapa facebook kok
bisa begitu menyihir masyarakat, bahkan hanya masyarakat kita lho Luk,
hampir seluruh dunia yang melek teknologi dan informasi pasti tahu
facebook” jawab Paijo mewakili P3P.
“Iya
Luk. Facebook meskipun sudah menjadi sesuatu yang biasa pada era globalisasi
dan ‘gombalisasi’ saat ini, minimal yang perlu kita waspadai ialah
dampak dari facebook ini begitu besar. Berkat facebook, banyak anak-anak di
kampung kita yang menjadi semakin pintar. Pintar bergaul, pintar membangun
jaringan, pintar memanfaatkan informasi dan teknologi, pintar membangun
komunikasi dengan baik dan pintar-pintar positif yang lain. Tapi juga ndak
sedikit Luk yang keblinger(sesat dan keliru) dalam menggunakan facebook.
Ada yang menggunakannya untuk menipu orang, untuk sekadar main game seharian,
untuk pacaran, bisnis narkoba dan lain sebagainya. Banyak anak-anak yang lupa
waktu. Facebook seolah-olah tanpa sadar telah menjadi ‘Tuhan Kecil’ bagi
mereka. Lha gimana coba, mereka tak merasa tabu untuk buka-bukaan
masalah pribadi, ngomong yang tidak perlu, doa lewat facebook,
narsis-narsisan, pamer photo, dan lain sebagainya. Pokoke eksistensi
mereka terletak pada facebook. Tiada hari tanpa facebook. Bahkan anak-anak facebooker maniak di kampung
kita pernah berseloroh: “ga facebookan sedino rasane koyo tibo gedebuk soko
nduwur truk”(tak facebookan sehari saja
rasanya seperti jatuh berbunyi gedebuk dari truk). Banyak pula
para remaja yang menyalahgunakan facebook untuk main game buat judi. Kemaren
aku juga dapat kabar kalau anak perempuannya bu Malikah sempat hilang beberapa
hari karena janjian ketemuan dengan orang lewat facebook. Untung saja segera
dilaporkan ke polisi, sehingga bisa segera ditemukan dan tak jadi dijual ke
tempat prostitusi. Tak sedikit pula Luk, para bapak-bapak dan ibu-ibu yang
menggunakan facebook sebagai media untuk selingkuh. Lha kalau orangtua
sebagai contoh buat anak-anaknya saja sudah seperti itu, terus apa lagi coba
yang bisa diharapkan bagi generasi mendatang” ungkap Paiman nyrocos
tanpa henti.
“Gini
ya Man, apa yang kamu bicarakan barusan `kan masih berkisar mengenai dampak.
Biar tak terlalu melebar pembahasan kita, maka kita fokuskan dulu ke tema awal,
yaitu mengapa facebook itu digandrungi kebanyakan orang. Kalau berkaitan dengan
dampak sih kita ga bisa nyalahkan facebook. Wong facebook itu
skadar alat komunikasi jejaring sosial. Ibarat pisau `kan baik tidaknya bukan
terletak pada pisau, tapi terletak pada siapa yang menggunakan pisau, dan
digunakan untuk apa. Facebook jelek bukan semata karena facebooknya, tapi
karena facebooker(pengguna facebook)-nya” sergah Sarikhuluk
mengingatkan. “Oke Luk, suwon(terimakasih). Sampai lupa aku hehehe”
komentar Paiman. “Menurutku, yang membuat facebook digandrungi kebanyakan orang
karena facebook menyediakan sesuatu yang inovatif yang tidak dimiliki oleh yang
lain dalam hal komunikasi. Maksudku begini,
inovatif karena menyediakan program yang sangat memudahkan seseorang
untuk berkomunikasi baik dengan teman lama atau teman baru. Kalau dulu yang
namanya komunikasi harus melalui surat, bertatap muka, dan dengan cara manual
lainnya, maka facebook menyediakan inovasi baru dalam komunikasi. Bisa
berkomunikasi lewat chatting-an, berbicara, komen-komenan melalui pesan
singkat atau dari status atau juga bisa menggunaka handycame jika ingin
tahu wajahnya. Fungsi-fungsi dari handpone jaman dulu sudah ter-cover
di dalamnya. Jadi kesimpulannya menurut pendapatku, yang membuat facebook
terkenal karena memiliki ‘daya inovasi’ dan ‘semangat kreativitas’ tinggi.
Pembuatnya sejak awal mungkin sadar bahwa abad modern adalah abad komunikasi
dan teknologi, bagi siapa saja yang mampu menciptakan inovasi dalam dunia
komunikasi, maka dia bisa menguasai komunikasi” pendapat Paijo.
“Kalau
menurutku, yang membuat facebook begitu diminati dan digandrungi ialah karena
faktor ‘gratisan’ dan mudah alias tak ribet. Sudah menjadi fenomena umum bahwa
semakin kita bisa memberikan sesuatu pada orang secara gratis -khususnya dalam
manfaat yang bersekala sosial-, maka kita akan mendapatkan hati mereka. Nah
pembuat facebook mampu menangkap gejala itu pada masyarakat di era
informasi-teknologi saat ini. Letak manfaat sosialnya ialah kemudahan
komunikasi secara gratis, dan ditambah lagi dengan pendaftaran dan
penggunaannya yang begitu simpel. Jadi, kata kunci facebook bisa mendua ialah
di samping gratis, ia juga sangat mudah digunakan” tutur Pardi. Kemudian
giliran Paimo sekarang berpendapat: “Menurutku yang membuat facebook menarik
ialah karena dilengkapi dengan fitur-fitur yang di samping simpel tapi juga
menarik. Simpel saja tidak cukup untuk membuat sesuatu menjadi menarik untuk
khalayak umum. Antara kemudahan dengan dayatarik terkadang tidak sebangun. Main
kelereng itu simpel, tapi dayatariknya mungkin sangat regional dan tak seluas
facebook. Dengan fitur-fitur facebook yang sangat mudah dan menarik, orang bisa
mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Jangan lupa
juga bahwa budaya narsisme yang sangat menggejala belakangan ini itu juga
sangat didukung oleh fitur-fitur dalam facebook. Facebook juga memungkinkan
bagi orang-orang yang kurang percaya diri dalam komunikasi sosial, untuk tetap
bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Karena itu banyak kita jumpai anak yang
kalau di dunia nyata terlihat pendiam dan kurang gaul, tapi kalau di dunia
facebook sangat gaul dan terkadang ekspresinya over.
“Kalau
menurutku sih simpel saja sebenarnya. Facebook sangat digemari yang terutama
karena ‘bebas nilai’. Di facebook orang bebas berekspresi, bebas berimajinasi,
bebas berkeluhkesah, bebas memilih rekan komunikasi, bebas membeberkan aib
sendiri dan orang lain, bebas berjualan, bebas meluapkan emosi dan bebas-bebas
yang lainnya. Facebook juga bebas digunakan oleh siapa saja dari anak-anak
sampai orang dewasa. Pada dasarnya manusia tidak begitu menyukai ikatan-ikatan.
Semakin manusia terikat, di waktu yang sama ia berusaha segera lepas dari
ikatan itu. Ini menurut asumsiku dari bacaanku terhadap realitas. Kalian boleh
setuju atau tidak. Yang jelas apa yang di dunia nyata dianggap tabu, dan tak
layak untuk disampaikan, itu bisa menjadi tak tabu lagi dalam dunia facebook.
Facebook menurutku, kalau kita ibaratka manusia, seperti gadis yang telanjang.
Pria mana coba yang tak tertarik pada
gadis telanjang, kalau masih normal. Jadi menurutku, kata kunci facebook begitu
dinikmati karena mengandung unsur fundamental berupa ‘kebebasan’ dalam makna
yang seluas-luasnya” menurut Paiman. “Oke, lumayan ada pencerahan. Diantara
yang membuat facebook menarik seperti kata kalian tadi ialah karena beberapa
hal, yaitu: daya inovasi, gratis, simpel(mudah), menarik, dan bebas. Inovasi,
simpel, menarik dan bebas memang faktor-faktor yang sangat menentukan dalam
menarik minat massa. Pada dasarnya manusia sangat suka dan penasaran pada hal
yang baru, gratis, simpel menarik dan bebas. Inovasi membuat orang penasaran;
gratis membuat orang ringan tanpa beban menggunakan; simpel membuat orang
gampang menggunakan; sedangkan bebas membuat orang leluasa dalam
mengekspresikan dan menggunakannya” komentar Sarikhuluk menyimpulkan.
Sarikhuluk
melanjutkan: “aku pernah membuat angket kecil-kecilan yang pernah aku sebar di
beberapa desa yang gemar facebookan. Secara umum pada intinya tidak jauh beda
dari pendapat yang kalian kemukakan. Tapi ada beberapa hal yang belum kalian
tangkap secara mendalam melebihi keempat unsur tadi yang telah kalian
kemukakan. Misalkan komunikasi facebook menjadi menarik karena membicarakan
sesuatu yang hangat dan anyar, atau meski tema lama tapi dibungkus dengan hal
baru. Manusia suka mengonsumsi yang baru-baru. Komunikasi facebook disukai
karena cepat dan instan. Kalau dahulu kala untuk ke rumah kerabat harus
kerumah, maka dengan facebook tanpa ke rumah dan dengan waktu yang sangat cepat
maka komunikasi bisa terjalin dengan lekas dan menarik. Facebook memudahkan
orang untuk sharing hal-hal baru. Kemudian facebook juga memiliki fitur
yang membuat orang kecanduan atau ketagihan. Bagi yang suka mengekspresikan
diri, baik melalui kata-kata dalam status, melalui fhoto yang narsis dan indah,
melalui karya tulis di note, melalui permainan pada fasilitas game online, yang
membuat mereka ketagihan ialah tanggapan, like(pengakuan suka), dan
kritikan dari orang lain yang kalau kita simpelkan bisa dibahasakan dengan
kata, ‘respon’. Facebook menarik karena mengandung unsur responsif. Respon
menggambarkan kepedulian. Siapa coba manusia yang tak suka dipedulikan dan
diperhatikan? Terlepas dari dampak negatif maupun positif, kepedulian merupakan
kata kunci yang merangkum unsur-unsur lain yang membuat facebook digandrungi.
Hanya saja kepedulian itu masih bisa diurai menjadi kepedulian yang sekalanya
sekadar individu atau sosial. Pembuat facebook mampu menangkap kata kepedulian
dengan bingkai alat komunikasi yang inovativ, cepat, gratis, simpel, menarik dan
bebas. Sebagai penutup sementara, sekali lagi terlapas dari baik-buruknya
facebook, sekali lagi itu hanyalah sarana atau alat. Jangan sampai
menjadikannya lebih dari sekadar alat. Kerusakan terjadi jika orang menjadikan
faceebok sebagai tujuan sehari-hari. Akhirnya memang betul manusia semakin luas
jaringannya, tapi ingat hanya dalam dunia maya. Supaya pengguna facebook tidak keblinger
dengan kebebasan yang terkandung di dalamnya, maka kendali yang berasal dari
agama atau kearifan lokal harus tetap dijaga sebagai kontrol sosial dalam
penggunaan facebook. Jika tidak facebook hanya akan menjadi bencana. Akhirnya
facebook membuat orang ngiler(tertarik) meski tanpa sadar bahwa ia telah
keblinger(sesat, keliru). Tentu saja kalau digunakan bukan pada
tempatnya dan dalam koridor negatif. Jadi saranku: to
the all facebooker don`t keblinger(red: javanglish) hehehe” pungkas Sarikhuluk menyudahi diskusi
forum DAMAR.
Sumengko Sabtu malam, 17 Mei
2014/22:10
12
“Buruk
Muka, Cermin Dibelah”
Pagi
hari saat lagi enak-enaknya nyruput kopi luwak di teras rumah,
Sarikhuluk kedatangan teman lama, namanya Ammar Khozinudin, yang biasa
dipanggil Markoden. Kedatangan Markoden samasekali tak diperhitungkan
sebelumnya. Biasanya, setiap kali mau main ke rumah Sarikhuluk, ia terlebih
dahulu mengabarinya, minimal dengan sms(short message service), lha
kali ini sama sekali tidak ngasih kabar. Apa lagi raut mukanya terlihat
sangat serius seakan memendam masalah yang sangat besar. “Assalamualaikum......Cak”
sapa Markoden. “Wa`alaikumussalam” jawab Sarikhuluk. “Lho tumben
Mar, ga woro-woro dulu, biasanya kan kamu bilang dulu kalau mau datang,
apalagi mukamu terlihat sepet gitu” tanya Sarikhuluk. “Anu Cak,
sebenarnya aku juga ga enak ga ngabari dulu, cuman mau gimana lagi aku ada
masalah, dan sudah merasa buntu, makanya aku ga sempat ngabari dulu. Yang ada
di pirikranku ialah ingin segera ketemu sampean, ya minimal curhat lah,
syukur-syukur bisa mendapat solusi”. Tukas Markoden.
“Emang kamu lagi kena masalah apa sampai
segitunya, biasanya kamu kalau ke sini malah guyoni dan menghibur aku, lha
sekarang malah aneh gini”. “Aku serius iki Cak, aku benar-benar
pingin mencari solusi terbaik. Masalahku ialah: Aku kan jelek-jelek gini punya
perguruan silat kecil-kecilan. Sebenarnya sih bukan aku yang mendirikan. Cuman
aku diberi amanah guruku untuk mengurusi perguruan silat itu. Beberapa tahun
aku memegang amanah, kok aku merasa perguruan yang kupimpin semakin
menurun. Aku paling sebel kalau temen-temen seperguruanku ngrecoki atau
menjadi sok pintar ketika mengingatkanku, padahal yang mendapat amanah
kan aku”. “Tunggu dulu. Emang mereka ngrecoki gimana?”. “Anu Cak, aku
berusaha mati-matian mengembangkan jurus-jurus yang diajarkan guru, kok ada
murid yang tingkatannya baru seusia jagung mengingatkan aku bahwa apa yang
kusampaikan salah, padahal aku hafal betul apa yang disampaikan Guru”.
“Minum
dulu kopi Luwaknya Mar! Ni baru dibikinkan sama istriku, wenak tenan lho”
. “O suwon(terima kasih) Cak, iya dari tadi aku begitu tegang. Padahal
biasanya aku sering guyon”. “Gini ya Mar, aku bukannya sok tahu atau
ingin mengajari kamu, wong kamu bisa mendayagunakan pikiranmu kok. Kalau
masalahnya itu adalah mengenai jurus yang diajarkan gurumu, kan kamu tinggal tabayyun,
nge-cek, atau musyawarah sama teman-teman seperguruanmu. Setiap manusia
berpeluang salah. Kamu pun demikian. Kalau ternyata setelah musyawarah kamu
benar sesuai dengan yang diajarkan guru, ya sampaikan dengan baik dan bijak.
Kalau ternyata memang salah, ya kamu harus berlapang dada, untuk mengakui
kesalahanmu. Aku dengar bahwa gurumu yang bernama Padhang Serngege itu orangnya
sangat jembar hati, dan berlapang dada” saran Sarikhuluk kepada
Markoden.
“Aku sudah kroscek sama temen-temen
seperguruan, tapi mereka terbelah dua, ada yang mendukungku dan ada juga yang
setuju dengan pandangan murid yang seusia jagung itu. Kan aku menjadi semakin
bingung. Padahal aku sudah haqqul yaqin(benar-benar yakin) bahwa jurusku
sudah pasti benar. Sebenarnya aku juga agak gengsi kalau ternyata murid seusia
jagung itu yang benar. Mau ditaruh mana nanti mukaku” tukas Markoden. “Mar
sebelum aku melanjutkan omongan, tolong tenangkan dirimu dulu, jangan sampai
‘dikejar-kejar emosi’ bicaramu begitu meluap-luap sampai ngatain murid
yang bersebrangan denganmu dengan istilah ‘seusia jagung’. Ingat Mar, kebenaran
bukan terletak pada senioritas, walaupun masih junior kalau yang disampaikan
itu benar, ya tetap benar adanya. Tapi memang sangat sulit jika sifat gengsi
sudah menguasai hati”. “Iya sih Cak, coba sampean kasih aku pencerahan dari
kisah kanjeng Nabi mengenai hal yang serupa dengan apa yang aku alami biar
hatiku adem dan bisa bercermin darinya’ pinta Markoden.
“Baiklah
kalau kamu memang menginginkan itu. Sebenarnya kisah ini tidak sama persis tapi
kamu bisa mengambil pelajaran betapa Nabi itu sangat berlapang dada, dan
menghormati pendapat sahabat-sahabatnya. Dengan mendengar kisah ini minimal
kamu nanti bisa menyikapi permasalahanmu dengan sikap yang lebih dingin dan
bijak. Ada sahabat Nabi yang bernama Al-Hubaab bin Al-Mundzir, sewaktu perang
Badar, Nabi Muhammad memutuskan untuk bermukim di tempat yang jauh dari lembah
Badar. Namun Al-Hubaab bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apa ini murni
pendapatmu, apa langsung turun dari Allah, sehingga aku sama sekali tak boleh
berpendapat?” Nabi menjawab: “Ini hanya pendapatku, kamu boleh berpendapat”.
“Kalau demikian, aku berpendapat lain, aku lebih setuju untuk bermukim di dekat
Badar, kita kuras dan simpan airnya untuk kita, sehingga musuh nanti mengalami
kelangkaan air”. Dengan senang hati Nabi menyetujui sara Al-Hubab dan pada
akhirnya memang pendapat Al-Hubaab sangat brilian dan berguna dalam perang
Badar”.
“Lihat Mar, orang sekelas
Nabi saja tidak semena-mena dalam berpendapat, beliau masih mau Musyawarah
selama itu bukan Allah yang memerintahkan, dan Beliau tidak ragu-ragu menerima
pendapat sahabatnya jika memang pendapat sahabatnya itu sangat bijak. Bahkan
pada perang Uhud sebenarnya Beliau punya pendapat lebih baik perang di dalam
Madinah, tapi ada sahabat yang tak ikut serta perang Badar merasa antusias
untuk jihad perang di Uhud bertemu langsung dengan Musuh, Rasul pun menyetujui
pendapat mereka. Pikirkan sekali lagi Mar, katanya kamu ngaku ngimani Rasul
serta ajarannya, rasa-rasanya seharusnya kamu bisa ngambil pelajaran dari kisah
Rasul yang kuceritakan tadi. Kalau kamu memang benar dalam hal yang kamu
ceritakan ke aku, ya selesaikan dengan baik dan bijak, jangan meremehkan orang
sedikitpun walaupun itu lebih rendah keilmuannya, atau meskipun kamu lebih
senior dari dia. Lha kalau yang salah kamu, ya kamu harus berlapang dada
menerimanya, bukannya kamu sering mengingatkanku untuk watawashau bilhaq,
watawashau bis shabri(Saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran),
buang jauh-jauh gengsimu, kamu ini kan pemimpin perguruan silat seharusnya kamu
terdepan dalam memberikan contoh. Kalau salah yang kamu harus mau diindatkan”.
“Jangan sampai kamu masuk
seperti ungkapan peribahasa: Buruk muka cermin dibelah( karena aib
sendiri, menyalahkan orang lain) orang seperti ini sudah jelas salah, tak mau
diingatkan, malah nyalahin orang lain. Aku rasa orang sepertimu yang punya
selera humor tinggi bisa mengatasinya dengan baik. Atau lebih parah lagi aku
ingatkan kamu, jangan sampai masuk pada peribahasa: Anak yang tak pandai berdandan
dikatakan cermin yang kabur(Orang yang menyalahkan orang lain, padahal
dirinya sendiri yang mencontoh perilaku orang tersebut). Menghancurkan itu
lebih gampang daripada membangun dan menjaga keharmonisan Mar, jangan sampai
gara-gara gengsi kamu menjadi naik pitam sehingga menutupi potensi kebanaran
yang ada dalam jiwamu” cerocos Sarikhuluk, laksana Penasihat Kawakan.
“Astaghfirullah Cak, suwon ge sampean sudah mengingatkan aku.
Kadang-kadang memang ketika mengurusi perguruan silat aku lebih cendrung
mementingkan ke-akuanku daripada orang lain. Sehingga ketika memandang orang
lain, selalu aku pandang dengan sudut pandang subyektifku, tanpa mempedulikan
orang lain secara obyektif, meski sekecil apa pun orangnya. Sekali lagi terima
kasih cak”. Dialog antara keduanya terus berlanjut dengan guyonan-guyonan segar
hingga menjelang Dzuhur, Markoden pun berpamitan pulang, di hatinya ia berujar:
“Al-Hamdulillah sedikit banyak aku sudah tercerahkan, ga rugi aku datang pada
sahabatku yang rada aneh tapi nyata itu...heee”.
Sumengko, Selasa 10 September 2013.
13
Gunung Cita & Cinta
20 Maret 2014 pukul 6:18
Ketika berjalan menuju pasar, Sarikhuluk menemukan
sobekan kertas yang bertuliskan demikian:
Gunung Cita & Cinta
Bagai mendaki gunung
Maka aku akan tetap menatap ke atas
Hati-hati, pelan-pelan,
Tidak akan menoleh ke kiri dan ke kanan
Sampai puncak ditempuh.
Melirik kiri-kanan,
atau melihat kebawah
Hanya akan menambah resah
Bahkan takut tak terarah
Kamu adalah 'gunung cita & cinta'ku
Aku akan terus mendaki
Sampai menuju puncak
Di puncak nanti
Ketika kita sudah bertemu,
Panorama indah
Akan bisa dinikmati bersama
Betapa indah
Ketika dua hati
Bertaut meniti
Jalan Ridha Ilahi
Setelah membaca tulisan itu, Ia berkomentar dalam
hati: "Benar. Menggapai cinta atau cita itu laksana menempuh puncak
gunung. Bisa jadi orang memilih dan terhenti di tengah jalan, lantaran
terpengaruh pada yang di sekitarnya. Tapi keindahan sesungguhnya tetap saja
ketika di puncak. Di puncak pemandangan begitu Indah, kaya cakrawala, dada menjadi
lapang, hati menjadi terang. Bahkan di puncak akan bisa merasakan betapa
dahsyatnya kekuasaan Allah" Sarikhuluk berdoa semoga yang menulis di
sobekan kertas itu bisa menggapai puncak cita dan cintanya. Membaca itu,
Sarikhuluk jadi kangen pada petualangan pribadinya bersama teman-temannya dalam
mendaki gunung. Sungguh indah terkenang, selalu terpendam dalam bayang-bayang
hati.
14
Prajoko
Wibowo
Selagi tanggal merah (berkaitan dengan
kenaikan Yesus Kristus), Badarudin dan kawan-kawan berkunjung ke kediaman
Sarikhuluk. Biasanya mereka sehari-hari disibukkan oleh kerja di pabrik, serta lemburan-lemburan yang tak
pernah sepi. Nah, sekarang saatnya ada waktu luang untuk bersilaturahim ke
rumah Prof. Dr. Kh. Kanjeng. Raden. Ngabehi. Maulana. Syaikh. Mangkubumi. Pakubuwono. Sultan.
Sarikhuluk S.Pd, MM, MS, M.Pd, Phd(untuk gelar Sarikhuluk, sebenarnya hanya
bikinan Badarudin yang iseng). Badarudin mengajak teman-teman pabriknya, di
antaranya: Muhammad Januari, Ahmad Februari, Hamid Maret, Hammad April, dan
yang terakhir Humaid Mei(kelima teman Badarudin ini merupakan saudara kandung
yang yang selisih umurnya satu tahun. Sebenarnya kelahiran mereka bukan pada
bulan yang urut seperti nama mereka. Hanya saja, orang tua mereka percaya
urutan bulan itu disandingkan dengan nama anaknya agar menjadi keberkahan bagi
kelima anaknya secara berurutan). Pergilah mereka ke rumah Sharikhuluk dengan
mengendarai sepeda motor. Sesampainya di rumahnya, ternyata mereka mendapat
informasi kalau Sarikhuluk sedang diundang di kampung sebelah untuk mengisi
penyuluhan politik kecil-kecilan untuk warganya. Akhirnya Badarudin langsung
pergi ke lokasi.
Tak
disangka acaranya diselenggarakan di lapangan kampung dengan masyarakat yang
melingkari Sarikhuluk. Mereka berenam selepas markir sepeda, langsung ikut
melingkar bersama masyarakat yang lain. “Bapak-bapak ibu-ibu yang saya cintai.
Sebenarnya anda sekalian keliru besar kalau mengundang saya untuk acara
penyuluhan politik. Lha saya ini siapa kok disuruh mengisi tema seberat itu.
Hanya karena yang ngundang ini adalah ketua Rt, yang kebetulan teman akrab
saya, di samping itu juga karena rasa cinta saya kepada anda sekalian, maka
saya tak tega untuk menolaknya. Tapi jangan dikira saya saya akan menyampaikan
paparan ilmiah atau apa, saya kesini hanya membawa beberapa pertanyaan yang
nanti bisa anda jawab sebisanya di rumah. Menurut saya lebih penting memberi
anda pertanyaan-pertanyaan yang mencerdaskan anda, daripada jawaban-jawaban
yang membuat anda malas berpikir. Baru kemudian nanti kalau sudah tak sanggup
lagi menjawab, anda boleh nanya saya”. Demikian paparan pembuka Sarikhuluk
sebelum menyampaikan orasi politiknya. “Untung ya kita datang tepat pada
waktunya. Kebetulan judulnya pas dengan apa yang mau kita tanyakan padanya”
komentar Badarudin bersama teman-temannya serentak.
“Bapak-bapak
ibu-ibu dan para hadirin yang saya cintai, saya akan memulai beberapa
pertanyaan. Sebenarnya sebagai rakyat –yang menurut sistem demokrasi sebagai
pimpinan tertinggi- benar-benar bisa memilih sendiri untuk capres dan cawapres
atau kita malah dipilihkan? Kalau ternyata pada kenyataannya kita dipilihkan,
apakah kedua pasangan calon itu benar-benar bisa dijamin akan memperjuangkan
kepentingan rakyat? Kenapa bangsa yang begitu besar ini hanya memilih dua pasangan
capres dan cawapres, apa sudah tidak ada lagi orang yang baik dan istimewa di
negeri ini? Apakah anda sekalian benar-benar tahu mengenai riwayat hidup, latar
belakang dari masing-masing calon? Kalaupun tahu, anda tahu informasi tentang
mereka dari mana? Bisakah anda menjamin kalau informasi yang anda dapat itu
benar 100 %, atau malah hanya racikan media? Reformasi sudah berjalan sekitar
enam belas tahun, apa yang dihasilkan reformasi untuk rakyat? Menurut anda
sekalian pemimpin itu diajukan apa manguju-ajukan diri? Apa yang anda saksikan
sekarang kedua pasangan, saling berendah hati apa menonjol-nonjolkan
prestasi-prestasi yang dicapai sendiri? Demokrasi katanya berdasarkan
musyawarah untuk mencapa mufakat, lha sekarang lihat ungkapan media, para tim sukses
apakah mereka benar-benar mewakili inti demokrasi atau justru mereka sedang
berperang, beradu kekuatan, cari menang, atau saling menjatuhkan? Kemudian yang
terakhir kedua passangan yang mau anda pilih itu mempunyai karakter prajoko apa
wibowo?” Demikian Sarikhuluk memungkasi pertanyannya.
Para
peserta penyuluhan politik mulai mencerna, berusaha menjawabnya dalam hati. Ada
yang mendiskusikannya dengan teman-teman di sampingnya. Ada pula yang tambah
bingung. Ada juga yang bisa menjawabnya dengan mudah, bahkan melahirkan
pertanyaan-pertanyaan baru. Hanya saja mereka sepakat pada satu hal yaitu
sama-sama merasa bingung dan tidak paham mengenai pertanyaan yang disampaikan
Sarikhuluk terakhir kali, yaitu mengenai karakter prajoko dan wibowo. Akhirnya
Badarudin memberanikan diri untuk menanyakan langsung kepada Sarikhuluk. “Cak
aku mewakili para pesaerta sekalian, mau menanyakan tentang maksuda pertanyaan
terakhir yang sampean lontarkan. Apa yang dimaksud dengan karakter prajoko dan
wibowo? Setahu kami kedua kata itu tak ada dalam kamus besar bahasa Indonesia.
Bingung kami mencernanya”. “Sudah aku duga sebelumnya, pasti para peserta akan
akan menanyakan kata itu. Tapi itu sebenarnya kata-kata inti yang mau aku
jelaskan. Sebelumnya dengan jujur aku akui bahwa kedua kata itu sebenarnya
karanganku sendiri. Jadi anda sekalian tak bakal menemukannya dalam kamus besar
bahasa Indonesia. Kedua kata itu sebenarnya lahir dari pengamatanku tentang
kedua calon presiden yang akan beradu di bulan Juli mendatang. Yang dimaksud
dengan prajoko ialah berasal dari kata pra yang artinya sebelum dan joko yang
dalam bahasa Indonesia dilafalkan dengan kata jaka yang berarti anak laki-laki
yang telah dewasa. Prajoko berarti sebelum menjadi laki-laki dewasa alias masih
kanak-kanak. Sedangkan ‘wibowo’ sebenarnya bahasa Indonesianya ialah ‘wibawa’
yang berarti: ‘pembawaan
untuk dapat menguasai dan mempengaruhi; dihormati orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yg mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik’. Intinya
menggambarkan pemimpin yang mempunyai daya tarik alamiah, dihormati oleh
orang-orang, disegani, dan disukai banyak orang. Gampangannya gini pertanyaanku
yang terakhir: kedua calon pasangan yang ada saat ini sikap dan perbuatan
politiknya masih seperti anak-anak atau sudah benar-benar dewasa?”.
“Oalah
begitu toh maksudnya? Terus ciri-ciri karakter prajoko dan wibowo apa Cak?”
tanya Badarudin mewakili. “Karena sejak awal aku sudah bilang tidak akan
memberi jawaban instan maka pertanyaanmu akan aku jawab dengan
pertanyaan-pertanyaan. Untuk karakter ‘prajoko’ dan ‘wibowo’,
pertanyaan-pertanyaanya sebagai berikut: Para calon yang ada sekarang saling
menjatuhkan apa tidak? Saling menunjukkan kelebihan sendiri-sendiri apa tidak?
Saling mengobral janji-janji apa tidak? Saling mencari kesalahan serta aib
lawan apa tidak? Benar-benar terlihat mandiri apa tidak? Benar-benar
mempertimbangkan setiap ucapan dan langkah-langkahnya apa tidak? Dicalonkan apa
mencalonkan diri? Suka memamerkan kehebatan diri apa tidak? Tiba-tiba peduli
pada rakyat ketika momen pemilu apa tidak? Disegani oleh orang apa tidak? Bisa
memutuskan sesuatu secara mandiri apa diputuskan oleh orang lain? Para calon
sebenarnya mencari keuntungan pribadi apa keuntungan orang banyak? Benar-benar
teruji kepemimpinannya atau sekadar merasa teruji? Berani apa pengecut?
Melakukan sesuatu secara mandiri apa didikti? Bisa menyantuni apa masih
disantuni? Masih suka main-main dan tak serius dalam menentukan sesuatu apa
serius? Peduli rakyat apa peduli diri sendiri? Suka tebar pesona apa tidak?
Suka ‘politik pencitraan’ apa tidak? Butuh media besar untuk mengukuhkan
eksistensinya apa tidak? Merasa bisa mengatasi permasalahan Indonesia yang
begitu rumit apa tidak? Suka sindir-menyindir apa tidak? Dan yang terakhir apa
kedua calon memang sebelumnya benar-benar seorang pemimpin yang besar karena
kontribusi dan sumbangsihnya, apa tiba-tiba menjadi besar karena media?
Barangkali beberapa pertanyaan itu bisa untuk menjawab mana sebenarnya calon
prsiden yang masih kekanak-kanakan dan yang sudah dewasa. Saya kira
masing-masing dari kalian bisa mencari jawabannya baik melalu media atau
penelitian kecil-kecilan” Jawab Sarikhuluk. “Ealah Cak, kalau
pertanyaan-pertanyaannya seperti yang sampean lontarkan, rasa-rasanya kedua
calon lebih banyak berkarakter ‘prajoko’ daripada ‘wibowo’?” tanya Badarudin.
“Aku tidak menjawab iya atau tidak lho ya. Yang jelas kalian harus mandiri
dalam menjawabnya. Sertakan hati yang jernih, pikiran yang orisinil, serta
libatkan Tuhan dalam setiap jawaban. Insyaallah kalian tidak salah”
pungkas Sarikhuluk.
Sumengko Kamis 09 Mei 2014/09:39.
15
Ada
Tuhan Selain Allah?
Ketika
sedang asyik menjahit, Sarikhuluk didatangi tetangganya yang bernama Sariman.
Kali ini Sariman terlihat sangat serius. Ia ingin menanyakan sesuatu pada Sarikhuluk.
Mukanya terlihat masam dan menahan emosi. “Assalamu`alaikum Cak” sapa Sariman.
“Wa`alaikumussalam Man, tumben datang sore-sore gini, dengan wajah kusut lagi,
ada apa ya?” Sarikhuluk menimpali. “Gini Cak, Aku kan tadi pagi ke pasar, nah
pas di sana Aku ketemu orang yang ga jelas agamanya apa, kelihatannya sih
orangnya pinter banget” lanjut Sariman”. “Terus ada apa dengan orang itu,
sekarang kan emang banyak orang yang ga jelas. Bahkan yang beragamapun
kadang-kadang ga jelas juga. Terus masalahnya apa Man?” Sarikhuluk bertanya”.
“Tadi aku ditanya: ‘Kamu
kan orang Islam. Salah satu bunyi syahadatmu ialah, ‘Laa ilaaha illallah’
itu artinya apa?’ tanya orang ga jelas itu. Aku jawab, ‘artinya tiada Tuhan
yang berhak disembah melainkan Allah’. Dia langsung menimpali, ‘Kalau begitu
ada Tuhan dong selain Allah. Dari pernyataanmu itu hanya menafikan Tuhan yang
tak pantas disembah. Tetapi tidak menafikan keberadaan Tuhan selain Allah. Jadi
kamu mengakui kalau ada Tuhan selain Allah?’. ‘Ya ndak begitu. Menurutku Tuhan
itu hanya Satu. Seperti dalam surat Al-Ikhlash bahwa: ‘katakanlah bahwa Allah
itu Satu atau esa’ jawabku. ‘Jawabanmu masih belum bisa menafikan keberadaan
Tuhan selain Allah. Surat Al-Ikhlas yang kamu baca barusan memang benar adanya.
Allah itu cuman satu, sedangkan Ilah(Tuhan) itu banyak’. Kemudian karena
aku kuwalahan menjawab akhirnya aku berapologi, ‘ maaf pak aku pulang dulu,
kapan-kapan kalau ketemu dialog dilanjut lagi, belanjaanku banyak dan ditunggu
istri di rumah’. Gitu Cak ceritanya”.
“Ooo ngunu toh. Kalau ada
orang geje(ga jelas) seperti itu jangan diladeni. Apalagi kamu kurang
menguasai ilmu. Akidah itu keyakinan yang sangat privat. Tak bisa didialogkan
seperti itu. Ujung-ujungnya entar malah ga terima kemudian saling bermusuhan.
Kecuali se-dari awalnya niatnya ditata untuk mencari kebenaran. Lha kebanyakan
orang niatnya ngawur, malah pingin membuat akidah orang lain kacau. Agama itu
ibaratnya urusan yang sangat privat ibarat istri. Masak kamu mau mendialogkan
kecantikan, keseksian dan daleman istrimu dengan orang lain?. Kan konyol
namanya. Tapi sebagai bekal untuk menghadapi orang seperti itu, kamu tak kasi
beberapa dasaran sewaktu-waktu jika kepepet ketemu orang geje
seperti itu. Kalau kamu ditanya lagi seperti itu, jawab saja dengan kembali
bertanya” komentar Sarikhuluk panjang lebar. “Lho jawab dengan
pertanyaan? Maksudnya apa cak?” tanya Sariman”.
“Singkatnya gini Man.
Tanya padanya: ‘ Kalau menurutmu ada Tuhan selain Allah, coba buktikan padaku
baik secara historis dan normatif ada yang mengaku jadi Tuhan seperti Allah!
Kalau Allah kan sejak awal mengaku dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain aku.
Ia juga menunjukkan bukti bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Kalau
ada Tuhan selain Allah, apa buktinya? Bisakah mereka membuat langit dan bumi
selain Allah. Jika mereka tidak bisa membikin, berarti mereka tak layak disebut
Tuhan. Jika mereka menjawab mampu membuat langit dan bumi, tapi takut pada
Allah maka mereka juga tidak layak jadi Tuhan, karena mustahil Tuhan itu takut.
Jadi kemungkinannya hanya satu, kalau mereka tidak mampu membantah pengakuan
Allah maka mereka tak layak disebut Tuhan. Secara logika juga, kalau Tuhan
jumlahnya banyak, pasti setiap Tuhan punya aturan sendiri-sendiri dan jelas
bertabrakan dengan Tuhan yang lain. Ini tak masuk akal dan pasti akan hancur.
Jadi yang kata : la ilaaha illallah itu bukan sekadar menetapkan bahwa
Allahlah yang berhak dan patut disembah, tapi sekaligus penegasan bahwa selain
Allah tidak ada yang bisa disebut Tuhan. Tuhan bukan sekadar pengakuan, tapi
butuh bukti yang terang. Jika tidak bisa membuktikan, maka benarlah bahwa Tuhan
hanya satu yaitu Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah” jawab Sarikhuluk dengan
mimik wajah serius. “Ooo gitu ya Cak .... suwon-suwon maaf lho cak kalau
ngrepotin njenengan. Ini ada oleh-oleh sekadarnya, gorengan pisang masih
hangat tadi baru dibuat istriku” timpal Sariman. “Alah Man ga usah
repot-repot gitu, suwon lho ya. Kalau ada masalah jangan sungkan-sungkan
bertanya entar biar ga kesasar” komentar Sarikhuluk. “Ge pon Cak
saya pamit dulu. Assalamualaikum” pamit Sariman. “ Ya oke-oke Wa`alaikumussalam
warahmatullahi wabarakaatuh” Jawab Sarikhuluk sambil melanjutkan jahitannya
yang belum kelar.
16
Revitalisasi Ramadhan
Sholeh, Fajar,
Salman, dan Ja`far pagi ini sedang asyik berdialog dengan Sarikhuluk perihal
Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. Sebagai orang yang dituakan, Sarikhuluk
berusaha memandu diskusi dengan baik, serta berusaha membantu beberapa
informasi, ilmu, pengalaman yang ia ketahui.
Baginya, menemani diskusi kaum muda merupakan kebahagian tersendiri.
Pemuda merupan potensi besar yang perlu dibina, diarahkan, dan dikawal hingga
mampu berkontribusi besar terhadap lingkungan keluarga, masyarakat hingga
bangsanya. Apalagi yang menjadi catatan menarik Sarikhuluk, saat ini Indonesia
diuntungkan dengan faktor demografis (melambungnya jumlah penduduk) yang
rata-rata usia yang mendominasi penduduk ialah antara delapan belas tahun
sampai empat puluh tahun, ini bisa dikatakan sebagai usia produktif. Ia
bersyukur melihat potensi besar ini, sehingga ia tak pernah bosan untuk
menemani, membina, mengasuh, setiap pemuda yang ingin berdiskusi dengan
fasilitas ala kadarnya, yaitu diantaranya pendopo Al-Ikhlas yang terletak di
samping rumahnya. Di pendopo Al-Ikhlas ini lah, meskipun sederhana, Sarikhuluk
banyak berdiskusi dengan manusia dari segenap lapisannya. Petani, pedagang,
penganguran, pejabat, guru dan lain sebagainya seringkali berdiskusi dengan
Sarikhuluk di pendopo Al-Ikhlas ini. Uniknya, Sarikhuluk tetaplah Sarikhuluk.
Ia bukan siapa-siapa dan tak bergelar apa-apa namun bisa bermanfaat dengan
seluas-luasnya. Karena itulah, Sholeh, Fajar, Salman dan Ja`far merasa sangat
beruntung bisa berdialog dengan Sarikhuluk.
“Cak, sebentar lagi kan Ramadhan
akan tiba. Kira-kira menurut sampean apa tema diskusi yang pas untuk membahas
Ramadhan?” tanya Fajar memulai. “Usahakan di setiap diskusi jangan merasa
tergantung dengan saya, karena saya tidak mau kalian tergantung. Ketergantungan
pada yang selain Allah adalah kelemahan. Baru setelah kalian mencoba dan tetap
tak bisa, maka baru tugas saya untuk mencairkannya kembali” jawab Sarikhuluk
dengan senyum khasnya. “Baik, gimana kalau tema kita sekarang ialah: ‘menyambut
kedatangan Ramadhan dengan persiapan matang?. Mengapa Ramadhan perlu disambut?
Ramadhan disambut karena diibaratkan sebagai tamu agung yang harus dimuliakan.
Layaknya tamu agung, maka penyambutannya harus dipersiapkan sedimikian rupa
agar tidak kecewa dan mengecewakan. Tuan rumah yang baik adalah tuan rumah yang
menyambut tamunya dengan baik, dan sebaik-baik tamu yang perlu disambut ialah
Ramadhan. Para ulama salaf, enam bulan sebelum Ramadhan sudah menyiapkannya
dengan baik. Adapun yang perlu dipersiapkan untuk menyambutnya, menurut saya
paling tidak ada empat hal: fisik, ilmu, iman, dan amal. Fisik prima akan
membuat ibadah di bulan Ramadhan menjadi lancar; ilmu yang matang akan membuat
terarah; iman yang kuat akan membuat hati mantap; sedangkan amal yang
berkesinambungan membuat jiwa dan raga terbisaa sehingga bisa menyambutnya
dengan seoptimal mungkin” pendapat Salman dengan mantap.
“Saya pikir, tema
yang pas untuk diskusi kali ini ialah: ‘menanamkan kesadaran Ramadhan di setiap
kondisi’. Maksudnya, Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi kita semua
dimanapun dan kapanpun saja. Kata kunci dari Ramadhan sebenarnya semangat,
amal, dan pengendalian diri. Semangat menggambarkan stimulus yang perlu
dimiliki oleh siapa saja yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan; amal
sebagai gambaran produktifitas; sedangkan pengendalian diri adalah representasi
dari ibadah puasa. Intinya, dengan makna seperti itu, mestinya Ramadhan harus
menjadi kesadaran serius bagi setiap muslim. Ramadhan tidak hanya dimaknai
secara kuantitatif(berdasarkan waktu dan jumlah ibadah yang dilakukan), yang
merupakan bulan terletak pada waktu tertentu yang datang dan pergi, tapi
dimaknai secara kualitatif(berdasarkan kualitas dan semangat inti yang
dimaksudkan di dalamnya). Jadi, kita harus menjadikan Ramadhan sebagai
‘kesadaran kualitatif’ yang membuat kita semangat di sepanjang waktu; membuat
kita beramal secara kontinyu di sepanjang mampu; dan selalu mengendalikan diri
dari apa dan siapapun. Pada akhirnya, kesadaran Ramadhan, akan membuat orang
muslim sadar pada kapan dan dimanapun, jadi tak harus menunggu Ramadhan untuk
semangat, beramal dan mengendalikan diri, karena kesadaran itu sudah jauh-jauh
hari tertanam dalam hatinya” pendapat Ja`far meyakinkan
“Menurut
hemat saya, mbok Ramadhan itu dianggap dan diperlakukan sebagai diri
kita sendiri. Artinya: kita memperlakukannya sebagaimana kita memperlakukan
diri sendiri. Kita kan sangat perhatian pada diri sendiri. Kita pasti menyukai
yang terbaik untuk diri kita sendiri. Bisaanya juga, kalau kita menginginkan
sesuatu untuk diri sendiri, kita akan berusaha sekeras mungkin untuk
mendapatkannya. Begitu juga Ramadhan, kita rawat nilai-nilai, subtansi ajaran
yang terkandung di dalamnya, dan semangat inti yang melingkupinya agar kita
tetap dekat dan selalu online dengan Allah subhȃnahu wata`ȃla di manapun
dan kapanpun kita berada. Jadi menurutku, judul yang tepat untuk kita bahas
pada kesempetan kali ini ialah: ‘Ramadhan adalah diri kita sendiri’,” pendapat
Sholeh singkat. “Oke, sekarang giliranku yang terakhir sebelum kita serahkan ke
Cak Sarikhuluk. Aku pikir, judul yang pas ialah, ‘Ramadhan sebagai kekasih’.
Mengapa Ramadhan dianalogikan sebagai ‘kekasih’? Sederhananya, bila seseorang
memiliki kekasih, maka ia akan selalu mengingatnya, akan selalu merindukanya,
ia tidak akan merasa penat dan payah demi kekasihnya. Coba bayangkan! Jika
kalian mempunyai kekasih, yang sangat kalian cintai, kalian pasti akan
mengingat, menjaga, melindungi, dan tidak mau sedetikpun ditinggal olehnya
lantaran cinta. Kalau kita bisa memosisikan Ramadhan sebagai kekasih, maka kita
akan selalu menjaganya, menyayanginya, memeliharanya, dan tak mau sedikitpun
ditinggal olehnya. Artinya nilai-nilai dalam Ramadhan bisa kita praktikkan
bukan hanya dalam bulan Ramadhan, tetapi juga pada bulan yang lain” pendapat
Fajar.
“Baik.
Aku sudah mendengar pendapat masing-masing dari kalian. Semuanya bagus dan
patut diapresiasi. Hanya saja, sebagai penutup aku akan mengelaborasi dan
mengritisi sedikit pendapat-pendapat yang kalian kemukakan. Pertama: Kalau
Ramadhan diibaratkan sebagai tamu, itu bagus dan memang kita wajib memuliakan
dan menghormati tamu. Sehingga kita mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk
menyambutnya. Tapi yang luput dari pendapat ini ialah: ada jarak yang menganga
antara Ramadhan dan diri manusia. Karena diibaratkan sebagai tamu, maka kita
akan menyambutnya jika ia datang, kalau tidak kita akan melupakannya. Padahal
nilai-nilai yang terkandung dalam Ramadhan `kan tak dimaksudkan untuk momen Ramadhan saja, tapi agar manusia tetap
terlatih di bulan-bulan setelahnya hingga datang lagi Ramadhan. Kedua: Sangat
bagus juga pendapat kedua. Menjadikan Ramadhan sebagai kesadaran. Kesadaran
yang tak terdingding oleh tempat dan waktu. Namun yang belum dijelaskan ialah
bagaimana agar kita senantiasa sadar. Ketiga: Ramadahan sebagai diri kita
sendiri. Ini sangat baik dan ideal, karena jarak antara manusia dan Ramadhan
sudah teranggap tiada, sehingga, Ramadhan menjadi kesadaran dirinya secara
utuh. Ia tidak lagi perlu menyambut Ramadhan, karena Ramadhan sudah menjadi
dirinya sendiri yang selalu dirawat dan dijaga dimanapun dan kapanpun. Namun
yang ketiga ini juga perlu dijelaskan cara pencapaiannya. Yang Keempat:
Ramadhan sebagai kekasih. Ini juga sangat bagus dan menarik. Ada nilai
romantisme antara Ramadhan dan manusia sehingga menciptakan kondisi penuh cinta
di antara keduanya. Energi cinta ini, pada gilarannya akan melahirkan sikap dan
usaha untuk senantiasa menjaga dan memelihara nilai-nilai Ramadahan dimanapun
dan kapanpun ada” ungkap Sarikhuluk yang kemudian berhenti sejenak sambil minum
kopi.
“Kalau
kita urut, maka yang paling rendah ialah ketika Ramadhan diperlakukan sebagai
tamu. Kemudian di atasnya, Ramadhan sebagai kekasasih. Kemudian Ramadhan
sebagai kesadaran diri; dan yang paling atas ialah Ramadhan sebagai diri kita
sendiri. Kesemuanya menyatu dalam satu simpul yaitu: bagaimana nilai-nilai
Ramadhan tetap terjaga baik di luar maupun di dalam Ramadhan. Apa yang kalian
kemukakan berkaitan dengan Ramadhan, sudah sangat bagus dan perlu diacungi
jempol, tinggal kemudian kita cari bagaimana caranya kita bisa tetap
meningkatkannya ke level yang setinggi-tinginya. Hal ini dilakukan supaya kita
tidak mengapitalisasikan Ramadhan seperti kebanyakan orang. Ramadhan memang
merupakan momen berharga, dan sarat nilai-nilai kebaikan. Ibadah di dalamnya
pun akan dilipatgandakan sedemikian rupa. Tapi merupakan pandangan yang salah
kaprah jika, Ramadhan hanya dijadikan kesempatan ‘aji mumpung’ untuk
meraup pahala sebanyak-banyaknya, untuk taubat sesungguh-sungguhnya, dan untuk
berbuat baik sebanyak-banyaknya, tapi ketika keluar dari Ramadhan, akan kembali
seperti sedia kala. Hali itu lah yang kita khawatirkan. Makanya, tujuan diskusi
kita kali ini ialah mewujudkan kesadaran prima untuk mendajikan nilai-nilai
Ramadhan tetap membekas dan kita pertahankan sepanjang kita hidup di dunia.
Bila kita bisa mewujudkannya, maka kita bukan saja lulus sebagai manusia yang
mampu tetap semangat, berbuat baik, dan mengontrol diri, tapi kita juga lulus
sebagai orang-orang yang bertakwa” pungkas Sarikhuluk sambil mengakhiri
diskusinya. Diskusi kali ini memang
sangat singkat karena Sarikhuluk mau menggarap sawahnya.
Camplong,
Selasa 10 Juni 2014/12:38
17
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Sejak
pagi rumah Sarikhuluk terlihat sepi. Suasana begitu lenggang. Tak ada kabar tak
ada berita, tiba-tiba ia menghilang. Hari ini (Rabu, 18 Juni 2014) adalah hari
bertepatan dengan penutupan wisma Dolly, yang merupakan tempat pelacuran
terbesar di Asia Tenggara. Sebenarnya hari ini Sarikhuluk banyak kedatangan
tamu. Ketiadaannya membuat orang-orang pada bertanya: “Mengapa Sarikhuluk
menghilang di saat kita membutuhkan pencerahan?”. Tiba-tiba ada yang teriak
memanggil dari arah samping dekat pendopo Al-Ikhlas, ‘Hai, kesini semuanya. Di
Mading Al-Ikhlash ada tulisan yang ditinggal Sarikhuluk’. Akhirnya secara
serentak mereka berbondong-bondong mendekati mading Al-Ikhlash. Tulisan itu
hanya berbentuk sajak yang isinya membuat orang-orang semakin bingung:
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
By: Muhammad Sarikhuluk
Saat
wisma Dolly ditutup
Pro
dan kontra semakin hidup
Yang
pro senang dan bangga
Surabaya
bersih dari dosa
Yang
kontra geram tak rela
Mata
pencaharian terenggut paksa
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Masalah
Dolly tak sekadar norma
Hukum
yang dipaksa
Tanpa
solusi diupaya
Yang
ada hanya sengsara
Masalah
menebar kemana-mana
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Urusannya
ialah jual-beli wanita
Yang
terjerumus dengan aneka
Masalah
yang menerpa
Kenapa
Cuma Surabaya
Di
Indonesia berjuta-juta
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Kemana
ahli agama
Kemana
para penguasa
Di
saat awal Dolly dibuka?
Banyak
yang mencela
Diam-diam
hati suka cita
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Ditutup
oleh bu Risma
Teladan
baik setiap wanita
Yang
menjadi wali kota
Kemana
para pria?
Dolly
sudah bertahun-tahun ada
Dolly
Dholâli Dholâlunâ
Kalau
benar memang durjana
Kita
sesat bersama
Diterpa
gelap gulita
Yang
buta tiada kira
Buta
mata, buta hati, buta agama
Setelah
mereka membaca sajak Sarikhuluk, secara umum mereka bisa memahami maksud
Sarikhuluk. Hanya saja, yang membuat mereka bingung ialah kata-kata, ‘Dolly
Dholâli Dholâlunâ’. Mereka sama sekali tak mengerti maksudnya. Di antara mereka
ada yang bertekad menunggu Sarikhuluk untuk menanyakan maknanya. Setelah lama
menunggu, akhirnya Sarikhuluk datang juga. Ia datang di pertengahan malam. Saat
Sarikhuluk datang ia agak kaget karena di Pendopo Al-Ikhlash ada orang-orang
kumpul-kumpul. Sebagian tertidur pulas. Sebagian lagi masih bangun
ngobrol-ngobrol. Perjumpaan mereka dengan Sarikhuluk pada akhirnya terpenuhi
juga. Dengan sangat sederhana Sarikhuluk berkometar: “Aku sangat setuju kalau
Wisma Dolly ditutup. Tapi aku berharap titik tolak dari penutupan itu bukan
sekadar normatif belaka, tanpa dicari solusi yang setepat-tepatnya. Sebenarnya
`kan di negeri ini masalah pelacuran –dalam pengertian denotatif- bukan saja berada di wisma Dolly saja. Di Indonesia
tempat seperti itu sangat banyak. Apalagi pelacuran-pelacuran dengan makna
konotatif(spt: pelacuran jabatan, pelacuran kekuasaan, pelacuran agama,
pelacuran pendidikan, pelacuran dll), begitu luas jangkauan dimensinya. Niat
yang baik harus didukung dengan penanganan yang baik. Arti dari statemen Dolly
Dholâli Dholâlunâ ialah bahwa urusan Dolly bukan sekadar urusan tersesatnya
para pelacur yang selama ini menjalani dosa, tapi di waktu yang sama,
sebenarnya itu juga kesesatanku, kesesatan kita bersama(diri desa hingga
negara) yang selama ini diam saja. Kalau ada upaya baik untuk menutup, kita
memang harus mendukung, asalkan disertai solusi yang tak tanggung-tanggung”
demikian penuturan Sarikhuluk.
18
Investasi
Kezaliman
“Cak! aku ini sudah menjadi karyawan bertahun-tahun, aku
juga sudah bekerja dengan keras, aku berusaha disiplin, tapi yang membuatku
heran gajiku tak naik-naik. Jangankan naik, wong kadang-kadang telat sampai
berbulan-bulan. Kalau aku perhatikan, bosku bukannya tak punya uang, tapi ya
gitu ada saja alasan kepada seluruh karyawan jika sudah waktunya gajian. Aku
ini melarat cak. Anakku lima, semua masih sekolah dan perlu biaya, lha mau dibayar pakai apa kalau gajiku
telat-telat gini? Yang membuatku mangkel (marah) ialah kalau yang meminta uang
adalah orang terdekatnya, atau yang masih ada pertalian kerabat dengannya,
dengan ringan tangan ia pasti dengan mudah memberikan uang. Adapun yang tak
disukai, dilirik saja tidak apalagi diberi kesejahteraan? Wes tah kalau seperti ini terus lebih baik aku
keluar saja” demikian keluhan Pak Shodiqun (seorang karyawan di pabrik Nuansa
Indah Adi Permata – salah satu perusahaan mebel-) kepada Sarikhuluk. Sarikhuluk
yang mendengar brondongan keluhan, dengan santai menenangkan pak Shodiqun: “Monggo diminum dulu teh hangatnya! Tenangkan
pikiran. Jernihkan hati. Jangan sampai hati sampean dikuasai kebencian sehingga merusak
kebaikan yang sampean lakukan selama ini. Dalam Islam kita
diajari untuk tabayyun(
mengklarifikasi, memverifikasi, mengecek, meneliti) kebenaran berita terlebih
dahulu ketika mendengar berita dari orang atau mengalami sesuatu yang belum
begitu jelas masalahnya. Terkadang yang dirasakan orang, itu tak lebih dari
prasangka buruk yang menghinggapi dirinya, sehingga mengurangi obyektivitasnya
dalam menilai sesuatu. Jadi pertama yang ingin aku ingatkan, jangan sampai anda
menetapkan sesuatu yang belum anda ketahui informasinya secara utuh”.
“Cak! Apa yang ku bicarakan tadi itu benar-benar aku alami. Selama ini `kan njenengan tahu kalau kebohongan itu adalah
pantangan ku, jadi mana mungkin aku bertindak gegabah dengan menuduh seseorang
tanpa bukti. Yang mendapat perlakuan seperti itu bukan hanya aku saja cak.
Iman, Ma`mun, Slamet, Handoko dan Sujatmiko juga mendapat perlakuan yang sama,
gara-gara terlalu mengkritisi kinerja dan menejemen perusahaan yang kurang
begitu transparan” cerocos Shodiqun dengan mantap membela diri. “Bukannya aku
meragukan keamanahanmu Diq, sebagai sesama muslim aku hanya berusaha memagari
setiap langkah, omongan dan perbuatan kita dengan ‘pagar husnudzan(prasangka baik)’
supaya bisa menyikapi masalah dengan penyikapan yang obyektif, orisinil dan
terbebas dari kebencian dan ketidakadilan. Kalau kamu menghadapi kezaliman
dengan cara-cara yang zalim pula, lalu apa bedanya kamu dengan dia? Jadi tolong
niat ditata! Usahakan niatmu itu untuk kebaikan bersama, untuk keadilan
bersama. Jangan sampai hanya mementingkan kepentingan sendiri, karena seperti
pengakuanmu tadi, orang yang diperlakukan sepertimu itu banyak” saran
Sarikhuluk. “Astaghfirullah.... ya cak semoga niat saya ini baik dan
tulus untuk kepentingan bersama. Terus gini cak, aku juga mau tanya bagaimana
pandangan Rasulullah berkaitan dengan apa yang aku alami saat ini?” jawab Shodiqun
sambil menanyakan sesuatu.
“Saranku tetap seperti pertama. Kamu klarifikasi dulu kebenaran beritanya
dengan cara menjalin komunikasi yang baik dengan bosmu. Kemudian kalau masalah
pandangan Rasulullah mengenai kepegawaian, paling tidak ada beberapa hadits
yang pernah aku hafal. Pertama: “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum
kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang
dikerjakan". (HR. Baihaqi). Ada juga yang semakna dengan itu: “Dari
Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang
upahan sebelum kering keringatnya“. (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Bayangkan! Bagaimana kasih sayang Rasulullah Shallalahu
`alaihi wasallam kepada para
pekerja. Beliau dengan keteladanan luar biasa kepada umatnya, mengharuskan
setiap orang yang mempekerjakan orang untuk segera memberi upah sebelum
keringatnya kering. Ini menggambarkan perhatian yang serius dan segera.
Keringat belum kering berarti pekerjaan belum selesai, atau pekerja baru
menyelesaikan tugasnya, dengan lekas harus diberi gajinya. Tapi kamu bisa
menilai sendiri, pada kenyataannya apakah setiap pengusaha muslim mampu
meneladani perintah Rasul tadi? Betapa banyak hak-hak pekerja yang tidak
ditunaikan? Aku pikir masih banyak sekali yang menzalimi para buruh dan
karyawan. Bahkan aku sering melihat sendiri.” Sambil jeda sebentar, Sarikhuluk
meminum kopi hangat di sampingnya.
“Hadits kedua yang pernah aku hafal artinya begini: ‘Diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada
tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat.
Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku
(bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang
menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga,
adalah orang yang menyewa
seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya’
(HR. Bukhari). Perhatikan kategori terakhir dari hadits yang aku bacakan baru
saja! Diantara manusia yang kelak di akhirat akan dimusuhi oleh Allah, ialah
mereka yang menyewa seorang upahan (pegawai, pesuruh, karyawan), menyuruhnya
bekerja secara maksimal tetapi tidak membayar upahnya. Orang yang dimusuhi oleh
Allah jelas-jelas tak akan mencium bau surga, apalagi dimasukkan ke dalamnya.
Coba kamu bayangkan ketika di akhirat kelak kamu dimusuhi, dicueki Allah,
bagaimana kira-kira rasanya? Inilah akibatnya jika hak-hak karyawan, pekerja,
pesuruh tak dipenuhi dengan baik. Itulah beberapa hadits yang aku ingat. Kalau
kamu menjumpai orang seperti itu berarti orang itu seperti berinvestasi
kezaliman untuk kesengsaraannya kelak di akhirat” lanjut Sarikhuluk.
“Lalu aku sekarang harus bagaimana cak?” tanya Shodiqun. “Usahakan dulu
komunikasi yang baik dengan bosmu. Kalau ternyata masih buntu dan bosmu
sewenang-wenang, maka mau tidak mau kamu harus memilih diantara dua keputusan:
antara sabar dengan kondisi yang ada, disambi usaha lain sembari senantiasa
berdoa kepada Allah, atau kamu keluar sekalian memilih tempat yang lebih layak
dan adil. Tapi kamu juga harus ingat, semangat untuk menuntut hak harus
berbanding lurus dengan semangat untuk menunaikan kewajiban. Aku dengar temanmu
yang bernama Sujatmiko sukanya menuntut hak, tapi kewajibannya terabaikan,
kalau seperti itu namanya kurang ajar. Wong kerjanya tak disiplin tapi hak ingin
dipenuhi” nasihat Sarikhuluk. “Terus ada lagi ga cak pesan-pesan sebelum aku
pergi?” tanya Shodiqun. “Dengar dan ingat baik-baik kata-kataku. Orang yang
mencari keuntungan dengan menzalami orang lain, sama saja seperti orang yang
menghancurkan masa depannya. Mungkin orang itu terlihat sehat-sehat saja dengan
kekayaannya yang ada, tapi ada waktu dimana ia akan terjatuh. Hanya Allah yang
tahu kapan ia akan jatuh. Dalam istilah al-Qur`an, orang yang dibiarkan sukses
dengan kezalimannya tanpa teguran berupa cobaan atau ujian, maka namanya istidrâj(dibumbung, digugu,
dibiarkan, dicuekin) hingga ketika ia terlena dengan nikmat yang melimpah, pada
akhirnya Allah akan menimpakan kesengsaraan padanya. Kamu tenang saja
menghadapi orang seperti itu. Investasi kezaliman yang sedang ia jalankan
sejatinya malah menguntungkanmu. Ia rela berinvestasi untuk kebahagiaan
sementara demi kesengsaraan abadi. Sedangkan kamu -kalau bersabar-, berarti
rela menderita demi kebahagiaan sejati di akhirat. Ingatlah, kesudahan yang
buruk akan dialami oleh mereka yang suka ‘investasi kezaliman’. Karena
kesuksesan mereka diraih berdasarkan merenggut hak-hak orang. Semoga aku, kamu,
dia, mereka dan siapa saja terhindar dari perbuatan buruk seperti itu. Wallahu a`lam bisshawab”
pungkas Sarikhuluk.
19
Manajemen
Bakul Klepon
Sepulang
dari acara seminar yang membahas tentang, ‘peluang dakwah di jagad media’,
Sarikhuluk mendapatkan oleh-oleh menarik yang bisa diceritakan kepada
teman-teman kampungnya di rumah. Ia sampai rumah ba`da Isya` dan langsung
bergabung dengan Paijo, Paimen, Parman dan Paidi. “Arek-arek, tadi pas aku di
seminar tentang ‘peluang dakwah di jagad media’ ada pernyataan menarik yang
perlu aku bagikan pada kalian. Syukur-syukur nanti bisa dielaborasi dengan
kondisi riil di kampung kita” dengan mantap Sarikhuluk memulai pembicaraan.
“emang apa pernyataan menariknya?” tanya Paijo penasaran. “Di sela-sela
pembicaraan, narasumber –wartawan senior Gatra( Harry Muhammad)- menyatakan
tentang: Manajemen Bakul Klepon” jawab Sarikhuluk. “Kalau kata ‘manajemen’ aku
mengerti, kata ‘klepon’ pun aku juga mengerti. Tapi apa Luk maksud dari
‘manajemen bakul klepon’” tanya Paimen keheranan. “Manajemen Bakul Klepon,
adalah istilah yang didapat oleh narasumber dari salah satu bakul klepon yang
ia kenal. Bakul klepon mempunyai manajemen seperti ini: bangun dini hari, kerja
sendiri, kalau sudah jadi nanti dijual sendiri. Menjualnya harus sampai habis
dan cepat, karena klepon merupakan kue yang ada taburan kelapa yang membuat tak
tahan lama. Jika sampai malam tidak laku-laku, maka klepon akan mambu(busuk)
tak layak dikonsumsi. Ini artinya: rugi waktu, rugi tenaga, dan rugi usaha.
Suatu gambaran manajemen yang dikerjakan secara perorangan tanpa melibatkan
orang lain. Manfaatnya kalaupun ada sangat terbatas tak sampai meluas, tapi
resikonya kalau gagal dijual, pasti rugi waktu, tenaga dan usaha. Jadi, istilah
‘manajemen bakul klepon’ adalah manajemen yang dilakukan oleh individu tanpa
melibatkan peran orang lain, sekup manfaatnya sangat terbatas dan kecil, dengan
risiko kerugian yang tak kecil. Begitu kira-kira inti dari ‘manajemen bakul
klepon’.
“Lha
kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’ apa Luk?” tanya Paidi. “O iya
sampai lupa. Istilah itu diangkat oleh narasumber untuk menganalogikan
orang-orang yang suka menulis di blogg internet. Ia nulis sendiri, dibaca
sendiri, diamati sendiri, manfaatnya sangat sedikit, terbatas hanya untuk diri
sendiri dan orang tertentu saja yang tahu bloggnya. Ia merasa puas dengan
sekadar menulis dan menikmatinya sendiri. Sehingga manfaat tulisan yang ia buat
tidak meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Karena tulisannya hanya dinikmati
sendiri, lama-lama tulisan pun akan dilupakan dan tak bisa dimanfaatkan ibarat
klepon yang mambu(sudah busuk). Penulis semacam ini sangat menyia-nyiakan bakat, dan manfaat.
Seharusnya bakatnya bisa dipertajam dengan menulis di media-media cetak untuk
berdakwah yang sekaligus bernilai manfaat sosial, tetapi malah merasa cukup
dengan hanya menulis di blogg saja. Demikian kaitannya dengan ‘peluang dakwah
di jagad media’” jawab Sarikhuluk. “Ealah Luk, gitu toh maksudnya. Kalau aku
boleh mengelaborasi, istilah itu sebenarnya juga sangat relevan dengan kondisi
kepala desa di kampung kita” sahut Paimen. “Maksudmu apa Men?” tanya Paijo.
“Apa kamu tidak melihat gaya kepemimpinan Kepala Desa kita, Satuman? Dia itu
sudah bertahun-tahun jadi kepala desa, tapi manfaat untuk masyarakat desa
sangat kecil. Memang dia secara formal menjadi Kepala Desa, tetapi ia
samasekali tak mempunyai kemampuan leadership yang cakap. Sehingga
apa-apa dikerjakan sendiri, diatur sendiri, digagalkan sendiri. Siapa saja
pengurus yang tak nurut pasti akan dipecat. Akhirnya para pengurus desa
membiarkannya melakukan tindakan semaunya sendiri, yang penting tidak merusak
kepentingan mereka. Dia semakin kaya, tapi masyarakat semakin sengsara.
Merupakan gaya kepemimpinan semi-otoriter yang kadar manfaatnya sangat sedikit.
Diri merasa hebat, padahal masyarakan tambah melarat.” Sahut Parman
menjelaskan.
“Kalau
itu yang dimaksud ya bukan saja mencakup masalah dunia kepenulisan dan kepala
desa saja. Secara subtansi, makna dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ bisa
merambat ke ranah manajemen apapun. Bisa manajemen pendidikan, kesehatan,
sosial, instansi agama, perusahaan, media massa dan apapun saja yang
membutuhkan manajemen. Contoh konkrit misalkan dalam dunia pendidikan; betapa
banyak Kepala Sekolah yang menjadi kepala sekolah yang individualis. Dia
memimpin dengan gaya semaunya sendiri. Semua dikerjakan sendiri, Bila ada yang
protes pasti akan dimarah-marahin. Demikian dalam ranah kesehatan. Dokter
dengan semena-mena mengharuskan pasien untuk mengonsumsi obat dengan kemauannya
sendiri tak melihat pada dosis-dosis yang seharusnya. Demikian juga dalam ranah
perusahaan dimana manajer memberlakukan manajemen yang egoistis, sehingga
membuat para pekerja sengsara dengan pekerjaannya. Media massa pun bisa terkena
istilah tersebut ketika media massa yang harus netral menjadi tidak netral.
Media massa dijadikan alat untuk meluluskan kepentingan pihat tertentu, tanpa
mempertimbangakan manfaat sosial dan normo-hukum. Yang menguntungkan diri
–meski salah- terus didukung, sedang yang merugikan diri –meski benar- pasti
dipasung. Sekarang ini adalah masa dimana ‘manajeman bakul klepon’ menggejala
di mana-mana. Kebanyakan orang sudah menjadi individualistik, egoistik dan
memperjuangankan kepentingan golongan tertentu. Meskipun secara normatif-sosial,
slogan-slogan yang disampaikan untuk kepentingan orang banyak, tapi pada
kenyataannya hak sosial diinjak-injak. Berjuang untuk diri sendiri, mencari
bahan-bahan untuk perjuangan diri, yang ditujukan untuk kepentingan sendiri.
Aduh kalau yang semacam ini memang sudah banyak kita jumpai di negara kita.”
Tambah Paijo.
“Oke
sekarang gini, kata kunci dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ `kan tadi sudah
dielaborasi dengan realita yang ada. Nah sekarang yang penting kita pikirkan
ialah apakah kita sebagai individu sudah steril dengan istilah itu? Jangan
sampai kita itu hanya pandai mengungkap dan mengkritisi masalah, sedangkan diri
sendiri melakukannya dan tak bisa mencari solusi. Diantara istilah berikut
sebenarnya kita masuk yang mana: problem spiker(pembicara masalah), problem
maker(pembuat masalah), atau problem solver(pemecah masalah)?
Setelah kita diskusi nanti harus ada tindaklanjutnya atau followup-nya.
Mungkin di desa kita banyak sekali fenomena seperti itu, tapi yang terlebih
penting ialah kita introspeksi diri dulu, apakah kita masuk kategori itu apa
tidak. Kalau memang sudah bersih, tentunya harus disikapi dengan sikap
sebaik-baiknya. Banyak sekali orang tak mau berubah dari kesalahannya gara-gara
disikapi dengan cara yang salah. Orang bersalah itu sebenarnya tak membutuhkan
banyak petuah, tapi teladan yang bisa menarik hatinya. Ia sendiri sebenarnya
tahu kalau salah, tetapi ia juga memerlukan dorongan keteladanan dari luar
dirinya agar bisa bangkit dari kesalahannya. Forum diskusi di pendopo Al-Ikhlas
ini sebenarnya aku buat untuk mangatalisatori perubahan-perubahan sosial dengan
cara sebaik-baiknya melalui diskusi yang bebas, mencerahkan dan mencerdaskan.
Kita juga bukan saja berhenti pada ranah diskusi saja, tetapi juga bergerak
dalam bidang sosial-kemasyarakatan. Aku berusaha memfasilitasi –meski dengan
fasilitas skadarnya- setiap apa saja dan siapa saja yang mau berubah menjadi
lebih baik dan mau bermanfaat dengan manfaat seluas-luasnya. Berkaca pada
semangat islam yang ‘rahmatan lil `âlamin(rahmat bagi sekalian alam)’,
maka seharusnya kita berusaha selalu di garda depan dalam mengaplikasikan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya” demikian Sarikhuluk memuncaki diskusi.
20
ISIS
Vs SUMER
Ketika
sedang asyik membersihkan rumput di samping pendopo al-Ikhlash, Sarikhuluk
kedatangan tamu istimewa. Bapak Kepala Desa Jumeneng, Bapak. Syahid Cokro
Hadikusumo beserta rombongan perangkat desa bertamu ke rumah Sarikhuluk. Dalam
hati Sarikhuluk agak merasa heran, tumben Kepala Desa lengkap dengan perangkatnya
datang langsung ke rumah Sarikhuluk. Biasanya mereka mengirim utusan ke rumah
Sarikhuluk. Dimulailah dialog diantara mereka dengan Sarikhuluk. “Assalamu`alaikum
Cak! Sebelumnya saya mewakili perangkat desa mohon maaf jika menganggu
aktivitas njenengan. Terus terang kami kemari ada keperluan yang sangat
penting menyangkut stabilitas keamanan desa kita Cak. Bagi kami Cak Sarikhuluk
adalah tokoh desa yang bisa diandalkan untuk meredam dan mengatasi permasalahan
asyarakat. Kami butuh kerja sama njenengan” sapa Bapak Syahid Cokro
Hadikusumo selaku Kepala Desa Jumeneng. “Wa`alaikumussalam. Ah sampean
ini bisa saja. Saya ini tak lebih dan tak kurang sama saja seperti warga yang
lainnya. Saya bukan tokoh, saya bukan siapa-siapa. Ada permasalahan apa pak yang
sampai mengganggu stabilitas keamanan desa?” komentar Sarikhuluk.
“Begini
Cak. Sekarang `kan lagi santer berita tentang ISIS(Islamic State in Iraq and
al-Shām) alias
Negara Islam Irak dan Syam. Pemimpinnya ialah Abu Bakar al-Baghdadi. Ini sangat
meresahkan Cak, mengingat cara-cara yang dilakukan adalah cara-cara represif
dan cendrung menggunakan segala tindakan kekerasan. Meskipun gerakan Hizbu
Tahrir adalah gerakan yang menjunjung tinggi dan memperjuangkan sistem
khilafah, namun mereka jelas-jelas tidak setuju dengan berdirinya ISIS.
Ormas-ormas Islam di Indonesia pun secara umum setuju untuk penolakannya”
lanjut Bpak. KADES. “Lha terus masalahnya apa pak?”. “Masalahnya begini
Cak, di beberapa daerah Indonesia `kan diberitakan sudah banyak yang diindikasi
telah terpengaruh dengan ISIS, Pemerintah Indonesia pun juga banyak
mengantisipasi dan mewaspadai bahaya ISIS, nah tujuan saya kemari ingin
mengajak kerjasama dengan Cak Sarikhuluk yang sudah kami anggap sebagai tokoh
masyarakat untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan serta penyadaran” tambah
Kades menjelaskan. “Jujur saya sebenarnya kurang mengerti sebenarnya ISIS itu
seperti apa. Yang saya ngerti, ‘isis’ dalam bahasa Jawa yang berarti sejuk,
segar lawan dari kata ‘sumer’(panas, gerah)” timpal Sarikhuluk dengan
senyum khasnya.
“Saya
sama sekali tidak keberatan untuk membantu memberi pencerahan dan penyadaran
kepada penduduk desa Jumeneng. Masalahnya penduduk desa kita terlalu canggih
untuk bisa dipengaruhi oleh gerakan semacam itu. Penduduk desa kita selalu
menghargai toleransi. Penduduk kita bertahun-tahun telah mampu menciptakan
kondisi yang aman, tentram dan nyaman. Mereka tidak gampang terpengaruh, namun mampu
memberi pengaruh positif pada penduduk desa tetangganya. Kalau saya bertemu
mereka tidak pernah memberikan ceramah, nasihat, atau petuah. Bukan berarti
ceramah tidak baik, tapi mereka lebih suka diingatkan dengan cara dialog yang
santun dan mencerahkan. Justru menurut saya, kita harus waspada terhadap
isu-isu yang sedang digembor-gemborkan media mengenai ISIS dan lain sebagainya.
Ingat sekarang konflik Palestina dan Israel belum juga reda. Sengketa suara
PILPRES di Mahkamah Konstitusi juga masih berjalan. Jangan sampai kita termakan
isu sehingga kita melupakan masalah Palestina dan gugatan sengketa suara
PILPRES.” Penjelasan Sarikhuluk, kemudian ia berhenti sejenak mempersilahkan
hidangan kopi yang sudah dihidangkan.
“Ini bukan masalah pro atau tidak pro, tapi
yang kita junjung tinggi adalah nilai keadilan dan hak manusia untuk bebas dari
segala bentuk kolonial. ISIS juga tidak bisa kita klaim pasti buruk jika
informasi yang kita terima belum begitu cukup dan akurat. Jangan sampai
perhatian kita dialihkan dari perkara yang sebenarnya sangat subtansial menuju
perkara-perkara yang remeh dan tak mendasar. Lebih baik sejenak kita ngISIS(mencari
kesegaran, kesejukan: red Jawa), hati dan pikiran di tengah keSUMERan(kepanasan,
kegerahan) masalah yang multidimensi di negara kita serta problematika
internasiolal (dalam hal ini konflik Palestina dan di negara Arab) yang tak
kunjung reda meski di sana ada PBB, serta Amerika yang katanya pembela
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Kalau dalam bahasa Jawa ‘ISIS’ itu bagus
karena orang yang lagi ‘sumer’(gerah, panas) butuh kesegaran. Di negara
kita ini kira-kira lebih membuat kita ‘isis’ atau ‘sumer’?” pungkas
Sarikhuluk. Setelah mendapat penjelasan seperti itu akhirnya KADES beserta
perangkat desa merasa cegek dan merasa tak bisa membantah Sarikhuluk.
Akhirnya mereka pamit dengan tangan kosong.
Sumengko, Rabu 13 Agustus 2014/21:34
21
Satu
Jam Bersama Mr. Borparus
Desa
Jumeneng tempat tinggal Sarikhuluk sedang diramaikan gosip yang lagi hangat.
Sebentar lagi di desa mereka ada
kunjungan tamu istimewa. Mr. Borparus akan memberi penyuluhan sosial. Selama
ini Mr. Borparus dikenal sebagai sosok yang memiliki perhatian yang besar
terhadap bidang sosial. Jiwa sosialnya begitu tinggi sehingga bisa dikatakan
diantara sekian banyak tokoh di kecamatan Adicolo, dia termasuk yang sangat
menonjol namanya. Kepedulian sosialnya direalisasikan dengan mendirikan yayasan
sosial untuk menampung anak yatim, fakir-miskin, serta siapa saja yang
membutuhkan bantuan. Kabarnya kepeduliannya merambah ke dunia pendidikan,
sehingga sekarang salah satu konsentrasinya ialah membangun lembaga pendidikan.
Sebenarnya yang membuat warga Jumeneng heran dan asyik dalam nuansa gosip bukan
karena kepedulian Mr. Borparus. Apa yang dilakukan oleh Mr. Borparus, sama
sekali tidak membuat mereka heran. Lha kenapa kok heran? Wong
kerjaan mereka sehari-hari seperti itu. Mengenai kepedulian sosial, desa
Jumeneng tidak diragukan lagi. Di seluruh kecamatan Adicolo, yang paling
menonjol kepedulian sosialnya ialah desa Jumeneng. Mereka heran karena kenapa wong
asli Jawa seperti dia diberi nama yang agak kekulon-kulonan(kebarat-baratan)
yaitu: Mr. Borparus. Kalaupun nanti jadi datang pastinya mereka akan menanyakan
perihal namanya.
Hari
yang direncanakan pun tiba. Seluruh perangkat desa beserta Kepala Desa Jumeneng
sudah hadir di tempat yang telah disediakan. Mr. Borparus disambut dengan baik.
Setelah dipersilahkan maju ke podium, Mr. Borparus dengan gaya orasinya yang
menarik dan lucu mulai menjelaskan banyak hal tentang urgensi kepedulian
sosial. Tapi yang membuat mereka heran bukan terutama mengenai penjelasan dan
pengalaman yang selama ini dialami oleh Mr. Borparus. Yang membuat mereka heran
ialah ketika memperkanalkan diri, ia memberitahukan bahwa namanya ialah: Wargiman.
Seisi ruangan –terutama penduduk desa Jumeneng- mulai ribut berbisik. Wargiman
dengan percaya diri merasa bahwa gemuruh suara penduduk desa Jumeneng mungkin
adalah salah satu bentuk kekaguman. Dirinya mengira mereka kagum lantaran
kepiawaiannya berorasi, serta pengalamannya yang lulas dalam bidang sosial. Apa
yang dipikirkan Wargiman sama sekali tidak tepat. Warga desa ribut bukan karena
kagum, mereka ribut sekali lagi karena ketidaksesuaian nama yang diperkenalkan
oleh Wargiman, yang mereka anggap sebagai Mr. Borparus. Yang lebih mengherankan
ialah apa yang disampaikan memang betul berkaitan dengan dunia sosial, namun
penjelasan yang disampaikan menggambarkan bahwa ia sama sekali tak cakap dalam
urusan manajemen.
Bagaimanapun
juga yang namanya kepedulian sosial tanpa didasari dengan ilmu yang bagus serta
manajemen yang mantap, maka malah akan menjadikan niat baik menjadi buruk.
Memang sih obsesinya sangat ideal dan sangat banyak, namun caranya
mengatur sangat tidak profesional dan tumpang tindih. Gimana tidak tumpang
tindih, segalanya diurusi sendiri. Yang dilibatkan untuk mengatur bukan tenaga
orang yang profesional. Salah satu contoh mengenai manajemen keuangan. Semua
uang sosial yang masuk dijadikan satu dengan rekening pribadi. Sebenarnya kalau
benar-benar profesional dan amanah mestinya dibedakan antara rekening pribadi
dengan rekening khusus untuk amal sosial yang berasal dari bantuan donatur.
Tapi itu tidak terjadi. Semua diurus sendiri, yang tidak nurut silahkan pergi.
Satu hal lagi yang membuat penduduk desa heran ialah kenapa Bapak Wargiman
tidak mencari arsitektur yang ahli dalam membangun lembaga yang dibangun. Dari
satu jam ceramah bercerita tentang kegiatan yang dia jalani, secara garis besar
dia sering mengajukan proposal untuk renovasi pembangunan gedung. Renovasi sih
bagus, tapi kalau bongkar-pasang, bongkar-pasang terus kan kesannya ia
membangun bukan karena peduli sosial, tetapi karena ingin bisnis sosial.
Kalau memang niat bangun
ya dicari arsitektur yang berpenagalaman untuk mendisain bangunan yang kuat dan
tahan lama, bukan bangunan yang ‘rawan bongkar-pasang’, karena ini lebih
mengirit dana, dana yang ada juga bisa dialokasikan kepada kebutuhan yang lebih
layak dan pas. Terakhir yang membuat warga heran ialah kenapa Sarikhuluk sebagai
ketua panitia tidak terlahat batang hidungnya. Bukankah dia yang menginisiasi
acara. Jarang-jarang Sarikhuluk tidak menghadiri undangan, apalagi dia adalah
ketua panitia acara. Ahirnya setelah satu jam menyampaikan orasi sosialnya,
Bapak Wargiman memberi kesempatan untuk membuka pertanyaan seluas-luasnya.
Anehnya tidak ada satu pun warga yang bertanya padanya. Hati warga dipenuhia
dengan kekecewaan dan tanda tanya besar karena kebsenan Sarikhuluk dalam acara.
Acara pun akhirnya ditutup. Malam hari perwakilan dari penduduk desa Jumeneng
akhirnya bertamu ke kediaman Sarikhuluk. Mereka ingin meminta pertanggung
jawaban Sarikhuluk. Sarikhuluk pun akhirnya menjelaskan dengan santai dan
mantap: “Mengenai ketidakhadiran saya karena saya ada urusan penting membantu penduduk
desa Pangurakan yang lagi butuh dana membangun jembatan. Kemudian yang datang
ceramah satu jam yang telah kalian dengarkan tadi sore, memang benar dialah Mr.
Borparus”. “Lho tadi dia mengenalkan diri dengan nama Wargiman kok” celetuk
Paino salah satu perwakilan warga.
“Memang benar nama aslinya
Wargiman. Tapi kalian dari tadi selama satu jam mendengarkan orasinya, ada gak
yang membuat kalian kecewa?” tanya Sarikhuluk. “Ada si Cak, tapi hubungannya
apa antara kekecewaan kami dengan nama Mr. Borparus?” tanya Sugeng keheranan.
“Rupanya kalian masih belum nyambung. Coba sebutkan dulu kekecewaan kalian
apa?” tanya Sarikhuluk. “Kami kecewa karena apa yang diceritakan mengenai
orator tidak sesua dengan kecakapan dan keahliannya. Benar sih secara
orasi sangat mengesankan dan membuat orang kagum, tapi dia sangat tidak ahli
dalam urusan manajemen. Ilmunya juga tidak terlalu dalam. Yang lebih penting
lagi dia mengurusi segelanya terkesan sendirian. Uang dicampur aduk. Bangunan
sering bongkar-pasang.” jawab mereka serentak.
“Ya itu yang aku sebut sebagai Mr. Borparus. Borparus itu singkatan
dari: Bongkar Pasang Terus. Sebagai gambaran orang yang menggunakan isu sosial
untuk kepentingan pribadi, ditambah lagi dengan ketidakahlian dalam bidang
manajemen. Makanya aku sebut sebagai Mr. Borparus. Sengaja aku mengundang dia
supaya kalian bisa kritis dan tidak gampang heran dan kaget dengan pejuang
sosial. Ternyata ada juga diantara pejuang sosial yang bergaya seperti dia.
Kalian harus waspada dan jangan sampai meniru gayanya. Itu dulu penjelasanku.”
Tutup Sarikhuluk. Perwakilan warga pun akhirnya pulang dengan sedikit
menggerutu karena merasa tertipu. Ada pula yang merasa bersyukur karena
mendapat pelajaran yang berharga dari Sarikhuluk, tentunya dengan cara yang
tidak baku.
Sumengko, Kamis 14 Agustus 2014/20:40
22
Negara
Setengah Merdeka
Bersamaan dengan peringatan kemerdekaan negara Indonesia,
ada suasana lain di desa Sarikhuluk. Kalau di desa-desa lain ramai diadakan
lomba-lomba yang bersifat fisik seperti sepak bola, lari, bulu tangkis, balap
kelereng dan lain sebagainya, lain halnya dengan yang diadakan Sarikhuluk
dengan penduduk desa Jumeneng. Pada kesempatan HUT NKRI yang ke enam puluh
sembilan, Sarikhuluk bersama warga sedang memberikan hadiah kepada para pemenang
lomba karya tulis bebas yang diselenggarakan sejak seminggu sebelum peringatan
kemerdekaan Indonesia. Animo masyarakat terhadap lomba yang diadakan Sarikhuluk
bersama warga lumayan tinggi. Lomba ini diikuti oleh berbagai kalangan
masyarakat. Dari kecil hingga dewasa, dari yang kaya sampai yang miskin, dari
yang sekolah yang tidak sekolah sampai yang sekolah, semua berpartisipasi dan
menyambut baik. Semua tulisan yang terkumpul di tangan panitia berjumlah 115
tulisan. Ragam tulisan yang ditulis beraneka ragam. Ada puisi, sajakk, artikel,
cerpen, opini, kolom, bahkan yang awut-awutan pun ada. Tapi semuanya sangat
menarik dan menggambarkan bahwa desa Jumeneng sangat antusias dalam peringatan
kemerdekaan Indonesia.
Dari kesekian banyak tulisan, ada
tiga yang terpilih menjadi pemenang. Ketiga tulisan itu ialah: “Negara Setengah
Merdeka”, “Merdeka Lahir Batin”, dan “Benarkah Kita Merdeka?”. Tulisan yang
menjadi pemeneng ialah yang berjudul: “Negara Setengah Merdeka” karya Salamudin
Margo Utomo. Salah satu pertimbangan panitia memenangkan karya Salamudin ialah
disamping tulisannya yang unik, menggelitik, kritis, cerdas dan menarik,
panitia juga melihat kepada personal Salamudin. Salamudin ini sejak kecil
terkenal miskin dan yatim (ia kehilangan ibu dan ayahnya ketika berusia sepuluh
tahun, ketika terjadi banjir bandang). Saudaranya banyak. Mau tidak mau karena
dia adalah saudara paling tua, akhirnya
dia mengalah untuk tidak sekolah demi adek-adeknya. Dialah yang menjadi tulang
punggung keluarganya. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang disiplin,
mandiri, baik dan sopan. Ia punya prinsip: “Tidak mengapa aku tidak sekolah,
yang penting aku bisa menghidupi dan menyekolahkan adik-adikku”. Meski sempat
sekolah hanya tiga tahun di SD, namun semangatnya untuk mencari ilmu sangat
tinggi. Baginya untuk mencari ilmu tak harus di sekolah.
Tulisan Salamudin menurut keputusan
panitia menjadi yang terbaik, bisa dianalisa sebagai berikut: Pertama: Judulnya
sangat unik dan menarik. Siapa saja yang membacanya pasti bertanya-tanya:
“Negara Indonesia ini `kan sudah 69 tahun merdeka, lha kok pakai
setengah merdeka segala. Lalu selama ini apa kita tidak merdeka?”. Kedua: Isi
tulisannya sangat kritis. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia yang sudah 69 tahun
ini hanya pada tataran yang simbolik dan formalistis. Sebagai negara mungkin
kita memang –secara formal- diakui telah merdeka, tetapi secara tidak sadar
pada waktu yang sama kita masih terjajah. Dengan bahasa yang renyah, gampang
dan menarik, Salamudin mampu mengungkap bentuk keterjajahan dari berbagai
dimensi baik itu politik, budaya, kesehatan, agama, sosial, dan lain
sebagainya. Penjajahan modern menurutnya bukan lagi menggunakan penjajahan
fisik. Penjajahan model baru didesain dengan sangat halus dan sistematis.
Karena sangat halus dan sistematisnya, orang yang terjajah sampai tidak merasa
kalau sedang terjajah. Yang dijajah ialah pikiran dengan senjata ampuh yang
bernama media masa. Ketika yang terjajah diingatkan bahwa dirinya sedang
terjajah, malah si terjajah membela mati-matian bahwa yang dia lakukan adalah
simbol kemajuan. Ia menyangka dengan menurut tren budaya asing, maka secara
otomatis akan menjadi maju terbimbing.
Selanjutnya, tulisan Salamudin juga
menggunakan bahasa yang cerdas, lugas dan bernas. Para panitia –termasuk
Sarikhuluk- dibuat kagum oleh gaya bahasanya. Tak hanya pandai memainkan
kata-kata, tapi dia juga pandai menggunakan dalil-dalil normatif. “Dari mana
dia belajar sampai bisa seperti itu. Wong selama ini dia sibuk bekerja
untuk menyekolahkan adik-adiknya?” ungkap Parman (yang juga sebagai panitia)
keheranan. Tulisan Salamudin juga tidak melulu berisi kritikan. Dalam
tulisannya ia juga memberikan solusi-solusi untuk menghadapi penjajahan yang
canggih dan tidak kentara. Ia mengatakan: “Bukan berarti kita menolak semua
yang ada dari luar supaya kita bisa merdeka seutuhnya. Jangan sampai kita
latah, gampang silau dengan yang kita dapat dari luar diri kita. Ibarat makanan
perlu dikunyah terlebih dahulu supaya bisa menimbulkan metabolisme tubuh yang
baik dan lancar. Cara mengunyah yang dengan pikiran. Jangan gampang kaget dan
kagum. Yang mengagumkan belum tentu baik dan benar. Kita buka pikiran
masyarakat dengan kegiatan budaya yang mencerahkan pikiran. Nilai-nilai agama
juga tidak kalah pentingnya terus ditanamkan kepada masyarakat sebagai kontrol
dari derasnya arus budaya asing yang mengontaminasi budaya nasional. Yang baik
diambil, yang buruk dibuang”. Paino sebagai sekretaris panitia berkomentar:
“Baru kali ini aku tau kalau Si Mudin(Salamudin) bisa nulis. Tau gitu tiap
bulan bisa disuruh nulis di mading Sarikhuluk”.
Sumengko,
Ahad 17 Agustus 2014/19:22
23
Ketika Fakultas
Ushuluddin Menjadi ‘Uculuddin’
Beberapa
hari yang lalu, kampung Jumeneng diramaikan dengan isu yang cukup menghebohkan.
Mereka dapat informasi dari anak mereka yang ikut orientasi mahasiswa
Ushuluddin dan Filsafat bahwa pada sepanduk orientasi ada tulisan demikian: “TUHAN
MEMBUSUK Re-konstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan. ORIENTASI
CINTA AKADEMIK DAN ALMAMATER 14. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. 28-30 Agustus 2014”. Para orang tua yang
resah pun akhirnya pergi ke rumah Sarikhuluk malam-malam untuk diberi
pencerahan. Kebetulan sewaktu meminta pencerahan, di pendopo Sarikhuluk ada
beberapa teman akrabnya (Paijo, Paimen, Parman, dan Pardi) yang sedang
mendiskusikan tema yang sama.
“Zaman
semakin rusak. Masak di universitas Islam masih ada saja kasus-kasus penistaan
agama seperti itu. Dulu ada yang menyatakan: ‘Area Bebas Tuhan’, ‘Anjinghu
Akbar’, dan sekarang, ‘Tuhan Membusuk’, edan tenan bocah-bocah itu.
Lebih ironis lagi yang menulis sepanduk itu ialah mahasiswa fakultas
Ushuluddin. Bayangkan! Ushuluddin itu `kan artinya dasar-dasar agama, puncak
dari nilai agama `kan Tuhan, kalau Tuhan dibilang membusuk, berarti dasar-dasar
agama dihancurkan sedemikian rupa. Gendeng arek-arek iku. Apa mereka ga mikir,
coba misalkan bapak yang mereka sayang dibilang ‘Bapak Membusuk’(padahal masih
hidup) apa mereka ga marah?” ungkap Parman dengan nada tinggi memulai diskusi.
“Aku
setuju banget dengan pendapatmu Man. Mereka harus segera ditindak. Emang kemana
dekan dan rektornya? Kenapa hal itu dibiarkan? Ini harus dibawa ke ranah hukum,
biar penistaan agama tidak terjadi lagi. Masak Florence Sihombing saja yang
menghina Jogja sampai dibawa ke penjara, apalagi ini yang jelas-jelas menghina
Tuhan. Apa kita tidak marah sebagai muslim bila Tuhan kita dicaci maki? Pecat
saja dekan dan rektornya biar kejadian ini tidak terulang.” Tambah Pardi. “Tapi
aku kemaren dapat informasi, penjelasan dekannya begini: sebenarnya kata-kata
itu tidak dimaksudkan untuk menghina Tuhan. Maksud dari kata-kata itu ialah
sebagai kritik atas tergerusnya nilai agama dikalangan umat Islam. Tuhan hanya
dijadikan tambal butuh, mereka mungkin beragama tapi dalam waktu yang
sama menginjak-injak nilai agama.” Tambahan inforasi dari Paimen.
Paijo
ga mau kalah. Ia pun berkomentar: “Menurutku apologi dari dekan Ushuluddin itu
tidak bisa diterima dengan logis. Bahasanya sudah jelas dan tegas yaitu ‘Tuhan
Membusuk’. Sesuatu yang jelas seperti itu sudah tidak bisa lagi dijelaskan
maksudnya. Justru upaya untuk memaksa menjelaskan, bagiku tindakan yang fatal.
Kenapa fatal? Coba kalau ada mahasiswa yang membuat sepanduk dengan judul:
‘Dosen Menggila’. Kira-kira apa dia tidak marah? Meski oleh muridnya dicarikan
alasan yang seolah masuk akal, bahwa yang dimaksud menggila adalah bahwa saking
bagusnya kinerja sang dosen sampai-sampai tidak bisa dinalar oleh kebanyakan
orang. Jadi kata-kata yang sudah jelas secara denotatif jangan dicarikan makna
konotatifnya yang justru merancukan makna”.
Sarikhuluk
pun akhirnya menengahi: “Sebelumnya begini teman-teman. Tolong dalam diskusi
ini jangan sampai emosi mengalahkan kejernihan hati dan pikiran kita. Kita akui
dulu bahwa ini adalah sebuah dakta yang memang perlu disikapi dengan lekas dan
kritis, tapi kalau kita sampai salah langkah, yang ada hanya tambah memperkeru
masalah. Aku setuju dengan pendapat kalian semua dari satu sisi, tapi aku tidak
setuju pada sisi lain. Setujunya seperti ini: kata-kata itu jelas menistakan
agama. Fakultasnya ga cocok lagi disebut Ushuluddin, seharusnya Uculuddin. Uculuddin
itu berasal dari bahasa jawa ‘ucul’ yang artinya terlepas. Seharusnya
Fakultas Ushuluddin adalah benteng untuk menjaga agama, malah dijadikan markas
untuk menista agama. Tindakan mereka menggambarkan bahwa mereka telah terlepas(ucul)
dari dasar-dasar agama. Lha ga terlepas gimana, wong Tuhan kok
dikatakan membusuk. Ini menggambarkan universitas Islam telah terkontaminasi
oleh paham-paham liberal. Paham-paham ini pada gilirannya akan melepaskan
keyakinan seseorang terhadap sakralitas agama”.
Sambil
mempersilahkan para perwakilan penduduk desa Jumeneng yang hadir di tempat
diskusi untuk menyantap hidangan yang ada, Sarikhuluk melanjutkan perkataannya:
“Yang tidak aku setuju itu ialah cara menanganinya. Kalau menghadapi kasus
seperti itu dengan cara kekerasan dan main hukum sendiri, maka bukan tambah
menyelesaikan masalah. Kita harus bijak dalam menyikapi. Kita harus mengkritisi,
jangan-jangan mereka hanya korban dari kurikulum atau para dosen yang
mengajarkan ajaran yang liberal kepada mereka sehingga membuat mereka tidak
merasa tabu ketika membuat kata-kata itu. Perlu ada usaha klarifikasi yang
serius. Apa bisa kita menghujat dan menghukumi tikus kecil yang memakan makanan
kita, sedangkan tikus-tikus besar enak-enak saja bersemayam di rumahnya tanpa
ada teguran yang berarti. Kalau ada anak seperti itu seharusnya kita dekati,
dan kemudian diberi pencerahan. Adapun sistem dan para dosen tidak cukup hanya
kita hujat. Masalahnya kurikulum sudah ditetapkan, dan untuk membantah
pemikiran yang tidak benar, seharusnya dengan pemikiran juga, baru kalau mereka
masih ngeyel dan secara jelas menistakan agama, kita serahkan ke pihak yang
berwenang. Intinya diklarifikasi terlebih dahulu, sebelum menghukumi sesuatu”.
24
Kabinet
Transisi apa Transaksi?
Ada
seorang ibu paruh baya -ditemani oleh suaminya- sedang menuju ke rumah
Sarikhuluk. Dandanannya terlihat rapi dan terkesan sebagai orang penting. Dari
muka keduanya terlihat aura keriasauan dan kesedihan. Wanita itu bernama Siti
Lasmini, sedangkan suaminya bernama Joko Sasmito. Sesampainya di rumah
Sarikhuluk, keduanya hampir saja kecewa lantaran Sarikhuluk tidak ada di
rumahnya. Biasanya jam tujuh pagi hingga menjelang Dzuhur, aktivitas Sarikhuluk
ialah bercengkrama dengan sawah. Hampir saja kedua orang itu pulang dengan
membawa kekecewaan, kalau saja tidak ada bu Ngatiyem(seorang nenek tetangga
Sarikhuluk) yang menunjukkan keberadaan Sarikhuluk. Diantarlah mereka berdua ke
sawah Sarikhuluk. Dari kejauhan Sarikhuluk terlihat sedang duduk istirahat di
gubuk pinggir sawah buatannya.
Betapa
kagetnya Sarikhuluk-setelah diberi tahu-, ternyata yang datang adalah Si Mimin,
kawan main kecilnya dulu. Masih segar dalam ingatan Sarikhuluk ketika dulu
keduanya merupakan anak yang aktif dan kompak dalam menggerakkan
teman-temannya, baik utuk urusan permainan maupun urusan sosial yang mungkin
jarang didapati dari anak seusia mereka. Dulu Si Mimin(Lasmini) termasuk warga
desa Jumeneng. Ketika lulus SD, ia harus keluar dari desa Jumeneng, lantaran
ayah dan ibunya dipindahtugaskan ke ibu kota. Karuan saja sekarang Sarikhuluk
merasa kaget dan aneh. Pasalnya anak ingusan yang dulu menjadi kawan akrabnya,
sekarang sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, cantik, dan menjadi pejabat
terkenal. Dengan gaya khasnya Sarikhuluk langsung bergurau: “Waduh Min, kamu
`kan dulu pernah janji akan nunggu aku. Lha sekarang kok sudah membawa
suami”.
Lasmini
pun ga mau kalah, ia menimpali: “Kamu sih kurang gentel. Bertahun-tahun aku
menunggumu, tapi kamu tak berani ke orang tuaku”. Tertawa renyah akhirnya
menghiasi obrolan perdana mereka, setelah 30 tahun tidak bertemu. “Luk,
kedatanganku kesini disamping aku inging banget shilaturrahim sama kamu, ada
hal penting yang ingin aku diskusikan sama kamu. Suamiku juga aku ajak, karena
dia penasaran dengan sosok Sarikhuluk. Aku banyak sekali cerita tentang kamu ke
dia. Sosok genuine(otentik) pembelajar sejati meskipun tidak mengenyam
pendidikan formal. Saking kagumnya dia dengan kamu, dia sampai membuat Novel
–kebetulan dia adalah penulis novel- tentang tokoh imaginer yang
menceritakan tentang sosok dirimu. Memang kita sudah 30 tahun tidak bertemu,
namun kisah bersamamu ketika masih kecil
masing aku ingat dengan baik. Sepurane ya kalau aku baru bisa
bertemu kamu kali ini” ungkap Lasmini dengan gaya omong khasnya yang masih
belum berubah sejak kecil.
“Ah
Min, kamu ada-ada saja. Orang ga jelas kaya` aku begini pakai ditulis segala.
Nantinya malah jadi virus bagi para pembaca” tanggap Sarikhuluk sambil senyum.
“O iya, kamu itu laksana virus bagiku. Tapi virus positif tentunya, hehehe...
oya kenalkan ini suamiku. Namanya Joko Sasmito, guru bahasa Indonesia dan
penulis sastra. Kalau aku sekarang jadi pengamat politik dan pemerhati sosial.
Kalau pekerjaan rutinku sih menjadi dosen dan mengurusi yayasan yang aku
dirikan bersama suamiku” timpal Lasmini. Berkenalanlah mereka berdua, dan
langsung terlihat akrab, karena Sarikhuluk selalu mampu mencairkan suasana.
“Alah Min, apapun profesimu bagiku kamu adalah seperti Mimin yang dulu,
walaupun sudah lama tak bertemu, nilai kemanusiaanmu masih saja otentik. Kamu
sekarang juga sudah berjilbab. Masyallah ga kebayang banget. Hee...dulu kamu
terkenal tomboi, tapi sekarang....sumpah....berubah tenan.....hehehe”.
“Kamu
juga ga berubah Luk, gayamu dari dulu kayak gitu. Aku heran saja sampai
sekarang, orang sejenius kamu kenapa kok ga mau sekolah. Eman sekali,
teman-teman kita sudah menjadi orang semua” sahut Lasmini. “Ow syukurlah kalau
begitu. Aku ga sekolah saja belum lulus-lulus jadi orang, apalagi sekolah Min.
Nampaknya kamu agak terpengaruh dengan lingkungan perkotaan. Maqomku memang
seperti ini Min, ga sekolah saja sudah bikin orang gusar, apalagi sekolah”
komentar Sarikhuluk. “Ah lupakan masalah itu Luk, kamu selalu saja bisa ngeles
dan rendah hati. Kampung kita ini begitu banyak berhutang budi sama kamu. Asal
kamu tahu, anak lelaki pertama kunamakan Muhammad Sarikhuluk Alam Syah. O ya
kembali ke pokok permasalahan. Semakin hari aku merasa semaki bingung hidup di
kota Luk. Sebagai pemerhati dan aktivis sosial, aku acapkali berjumpa dengan
pejabat-pejabat tak bermoral. Mereka pandai bersilat lidah. Ketika belum jadi
pejabat, mereka seolah merakyat, tapi ketika sudah jadi pejabat, rakyat
ditinggal minggat” sambung Lasmini.
“Pertama
terimakasih banyak telah menamakan anak lelaki pertamamu dengan namaku. Hehe
jadi buat aku GR saja. Untuk masalah pejabat, ga usah terlalu dipikir
berat-berat. Anggap saja mereka angin lalu. Aku dulu sudah pernah berorasi
akhir tahun di depan penduduk desa Jumeneng. Dalam orasi yang berjudul “Orde
Kapal Pecah” sudah kuterangkan secara implisit, bahwa negara ini sudah batal
menjadi negara. Ga pantas lagi negara ini disebut negara yang berdaulat. Lha
gimana coba, dikatakan negara sebagai organisasi besar untuk mensejahterakan
rakyat, kok malah menyengsarakan rakyat. Sebelum pemilu dikampanyekan visi-misi
begitu melangit, tapi setelah jadi,
rakyat seolah diinjak pakai tumit. Sebelum pemilu bilang “tidak ada
transaksi politik dan jabatan” eh setelah jadi malah ada “transaksi
terselubung” kalau begini rakyat semakin bingung, baru akhirnya menyesal karena
salah mendukung. Kita tinggal menunggu ‘kenduri kesengsarasaan nasional’ jika
kondisi ini terus berjalan.” tanggap Sarikhuluk.
“Lha
masa` kita diam saja Luk. Lalu bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil kalau
kita diam saja. Aku, suamiku, dan beberpa komunitas sosial yang kubentuk merasa
terenyuh sekaligus menderita melihat kondisi yang semakin hari semakin tak
teratasi” sanggah Lasmini. “Diam di sini bukan berarti diam Min. Dalam setiap
kehancuran pasti ada kebangkitan. Kita tidak akan dibebani oleh Allah di atas
kemampuan kita. Negara ini terlalu besar untuk kita atasi. Kalau memang negara
dengan para pejabatnya sudah tidak peduli dengan saran-saran kita, kita sudah
tak ada tanggung jawab sedikit pun. Kalau pun akhirnya negara ini harus hancur,
aku yakin dalam waktu yang sama ada kebangkitan. Kamu ingat kan kisah Nuh yang
dulu sewaktu kecil pernah kita mainkan dalam drama di desa waktu acara
agustusan? Artinya kita tetap berjuang, bergerak lebih intensif sesuai dengan
kapasitas kita. Kalaulah manusia pada umumnya tidak mau dengan saranmu, ya
minimal kamu membuat sampan-sampan kecil untuk bisa menyelamatkan dari ‘banjir
besar peradaban’”.
“Maksudmu
sampan-sampan kecil apa Luk”. “Maksudku,
kamu harus tetap optimis. Sebagaimana optimisnya Nabi Nuh ketika hendak dilanda
banjir besar. Dia kurang apa cobak? Berdakwah selama 950 tahun, yang beriman
cuma sedikit. Ketika mau dihancurkan, Nabi Nuh `kan disuruh membuat kapal,
meskipun banyak yang mengejek, tapi pada akhirnya Nuh dan pengikutnya lah yang
menyongsong kebangkitan di tengah kehancuran kebanyakan kaumnya yang sombong
dan pongah. Sampan di sini bisa berarti penyadaran sosial, pencerahan
masyarakat, membina dan mendidik masyarakat, membuat kegiatan-kegiatan yang
semakin membuat manusia dekat kepada Tuhan, intinya Min segala hal yang
bermanfaat harus tetap kita lakukan. Syukur-syukur kalau ternyata kita nanti
dipilih Tuhan menjadi faktor kebangkitan. Kalau ndak ya gapapa juga, barangkali
nanti anak cucu kita yang akan menikmati kebangkitan”.
“Aku jadi ingat pesan
kanjeng Nabi: “sebelum kiamat kalau kamu sempat menanam pohon, maka tanamlah”.
Ini kan pesan yang sungguh dahsyat dan bersekala peradaban Min. Namanya orang
berjuang ya berjuang Min sealam ada kesempatan, bisa jadi yang akan memanen
perjuangan adalah generasi yang akan datang. Sejak tiga puluh tahun lalu, aku
sudah tidak peduli dengan yang namanya negara. Karena menurutku tak layak
disebut negara. Cocoknya ya disebut perusahan. Betapapun kecewanya aku, tapi
aku ga pernah putus asa Min. Kamu lihat sendiri sekarang, desa kita yang dulu
amat terbelakang dalam bidang pendidikan, sekarang mengalami perkembangan yang
luar biasa. Menariknya tidak terkontaminasi dengan pengaruh dari luar. Di sini
aku mencium aroma kebangkitan. Setiap kali aku melihat negara yang sudah
diambang kehancuran ini, memang aku sungguh merasa sangat sedih. Namun setiap kali
aku memandang mereka, aku yakin kebangkitan akan segera tiba. Kerjaanku
sekarang hanya menanam, menanam dan menanam, masalah hasil kuserahkan Tuhan.”
Tak terasa mereka telah ngobrol dua jam. Lasmini dan Joko seolah mendapat
spirit baru. Mereka berdua berandai: “Jika ada sepuluh orang kayak Sarikhuluk
di negara ini, pasti masalah negara ini akan selesai”. Mereka berdua pun akhirnya pamit, karena esok
hari ada kegiatan yang harus dikerjakan.
25
Disodori,
Disadari, dan Didasari
Setelah
beberapa bulan absen dari DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh) yang terletak di
desa Linueh, akhirnya siang ini Sarikhuluk bisa meluangkan waktu untuk
menyambanginya. Desa Linueh adalah desa yang dulunya sangat terbelakang dalam
segenap lininya. Mereka mulai banyak perubahan ketika ada salah satu penduduk
kampungnya yang secara tidak sengaja pernah menjadi kuli bangunan bersama
Sarikhuluk ketika masih muda. Penduduk tersebut bernama Darma Sakti. Perjumpaan
dengan Sarikhuluk merupakan perjuampaan yang sangat berharga, mengingat banyak
sekali pencerahan yang dia dapatkan darinya. Setelah pulang kampung akhirnya
dia membuat perubahan besar. Ia menjadi penggerak sosial, dan memberikan
pendidikan-pendidikan non-formal kepada warga di kampungnya. Hasilnya luar
biasa, meskipun mereka pada umumnya tidak banyak sekolah, tapi wawasan mereka
bisa diadu dengan orang-orang yang sekolah.
Mungkin
kita akan bertanya-tanya kenapa mereka bisa sampai mengalami perubahan
sedahsyat itu. Ada banyak hal sebenarnya sarana yang dipergunakan oleh Darma
Sakti untuk membuat perubahan sosial, di antaranya ialah ia mendirikan suatu
forum diskusi yang ide awalnya ialah dengan mendatangkan Sarikhuluk. Forum
diskusi itu diberi nama, ‘DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh)’. Dinamakan
demikian karena kajian ini sifatnya kondisional dan pada awalnya menyesuaikan
dengan kehadiran Sarikhuluk yang super padat. Kalau Sarikhuluk sedang banyak
kosong, maka satu bulan ful mereka bisa mengadakan diskusi tersebut, sedangkan
jika Sarikhuluk lagi padat, maka bisa berbulan-bulan dia tidak ke situ. Nah,
baru kali ini –setelah empat bulan lamanya- Sarikhuluk bisa menyambangi desa
Linueh. Rasa kangen penduduk Linueh tentu saja begitu membuncah terhadap
pencerahan-pencerahan yang diberikan Sarikhuluk.
Kedatangan
Sarikhuluk di desa Linueh tentu saja dengan sekonyong-konyong. Tidak ada
satupun yang tahu, sekalipun Darma Sakti. Ia tiba-tiba datang mengucap salam,
ketika Darma Sakti lagi ngobrol-ngobrol di pendopo samping rumahnya yang diberi
nama pendopo Kamukten. Sontak saja, mereka kaget campur senang. Waktunya pas
sekali, karena mereka sedang butuh pencerahan. Mereka sedang dirundung
kegalauan spiritual dan intelektual. Apalagi baru saja ada berita nasional yang
menyatakan kenaikan BBM. Banyak sekali bapak-bapak dan ibu-ibu sambat akibat
keputusan Orang Nomor Satu RI itu. Dengan sangat tenang, Sarikhuluk pun memulai
diskusinya, “Sebelumnya nuwon sewu(minta maaf)kalau kedatanganku secara
tiba-tiba, karena kalau aku datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, maka
namanya nanti bukan diskusi dadakan.”tukas Sarikhuluk.
“Kedatanganku
kesini sebenarnya tidak sedang membicarakan yang muluk-muluk, apalagi soal
negara yang sudah aku anggap batal sejak beberapa tahun lalu. Kalian jangan sampai sedih hanya gara-gara
masalah negara yang semakin tidak jelas jluntrungannya(orientasinya).
Aku kesini bukan juga untuk mengajari kalian, aku hanya ingin berbagi dan tadārus(saling
belajar) supaya kita tidak dibuat sedih oleh kehidupan, karena maqom(posisi)
kita kan sebenarnya meng-khilafahi masalah, bukan dikhilafahi masalah.
Semoga ini tidak membingungkan apalagi membuat tambah galau. Tema yang aku bawa
kali ini ialah terkait dengan ‘falsafah hayāt(filsafat
kehidupan)’. Sebenarnya inti dalam menjalani kehidupan itu apa. Tapi di sini
aku mau memfokuskan pada kajian maqom insān fi mumārosah hayat(posisi manusia dalam menjalani
kehidupan), bahasa jawanya, maqome manungso ing dalem nglampahipun kahuripan.
Maqom manusia dalam menjalani kehidupannya.”tandas Sarikhuluk dengan begitu
meyakinkan.
“Ada
tiga posisi manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia yang
hidupnya disodori. Kedua, manusia yang hidupnya disadari. Ketiga,
manusia yang hidupnya didasari.”lanjut Sarikhuluk. “Lho maksudnya apa Cak?”
tannya bapak Ngaiman, salah satu anggota hansip kampung Linueh. “Oke. Tak
jelaskan satu persatu. Yang dimaksud dengan maqom pertama ialah orang yang
hidupnya itu selalu menjadi obyek penderiti. Hidup selalu didikte, disuapin,
diberi, dan dituntun. Ia tidak mempunya kesanggupan untuk memahami dan mencerna
setiap apa yang dia alami. Hidupnya selalu tergantung kepada orang, sehingga
tidak mempunyai kemandirian baik secara individu maupun sosial. Sejatinya,
maqom pertama ini cocoknya adalah untuk anak-anak kecil yang belum baligh.
Karena masa-masa mereka adalah masa pendidikan yang bersifat doktrinal. Tapi,
kenyataannya banyak sekali aku jumpai manusia-manusia yang sudah dianggap
dewasa secara usia, namun perilaku dan sikapnya itu sangat mirip dengan maqom
pertama. Ia tidak mempunyai prinsip hidup, baginya hidup yang penting untung,
meskipun harus tergantung pada orang lain. Orang-orang seperti ini bisa disebut
sebagai orang yang berada pada maqom pertama.”
“Posisi
yang kedua adalah orang yang hidupnya itu disadari. Orang seperti ini sudah
naik tingkat. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia tidak mau hidup
hanya disodori, tapi ketika ia sadar bahwa usia sudah dewasa, maka ia berusaha
mandiri atau tidak terlalu bergantung kepada orang lain dalam menjalani
hidupnya sebagaimana orang yang pertama. Bukan berarti ia menolak disodori,
tapi setiap ada yang menyodori sesuatu ia cerna dengan kritis. Posisi kedua ini
–sebagaimana posisi pertama- tidak tergantung pada usia, karena pada
kenyataannya, ada orang yang secara usia masih muda tetapi sudah menjalani
hidup dengan penuh kesadaran, begitu juga sebaliknya. Adapun posisi ketiga atau
yang paling atas ialah maqomnya orang yang menjalani hidup karena didasari. Ia
hidup dalam kesadaran penuh, sekaligus mempunyai prinsip kehidupan. Tujuan
hidupnya jelas, tidak mudah dibodohi orang, dan selalu berusaha meraih
kehidupan yang lebih baik. Kalau orang Islam, maqom ketiga ini bisa dikatakan
sebagai maqom orang yang mendasari kehidupannya dengan al-Qur`an dan Hadits. Ia
ejawantahkan al-Qur`an dan Hadits dalam segenap lini kehidupan sesuai dengan
kadar kemampuan masing-masing. Orang seperti ini tidak mengikuti arus, tapi
mampu membuat arus perubahan sosial.
Tidak gampang termakan media, tatapi selalu mengkritisi media dengan
akal sehat”.
“Sekarang
mari kita elaborasi dengan beberapa pertanyaan mendasar. Warga kampung Linueh,
sebenarnya masuk maqom yang mana? Kalau kehidupannya itu tak mandiri, gampang diapusi(dibohongi),
sangat bergantung pada orang lain, selalu menunggu untuk dicekoki sesuatu, maka
maqom desa ini masuk pada yang pertama. Orang seperti ini gampang nggumunan (kagetan),
kanginan, dan diperalat oleh orang-orang yang berkepentingan. Orang seperti ini
gampang menerima gosip, tanpa diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Ada orang
ke selatan, ikut ke selatan, ada orang ke utara, ikut ke utara, sehingga ga
punya pendirian yang kuat. Orang seperti ini tidak punya kecanggihan mental,
untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Ada BBM naik, misalkan, dia langsung
resah dan seakan tidak ada jalan keluar lanta hanya bisa mencemooh dan meratapi
nasib. Kalau orang kampung Linueh tidak kaget, selalu sadar dan waspada
terhadap kehidupan, sehingga tidak diliputi jiwanya oleh masalah yang menimpa,
maka masuk maqom kedua. Yang lebih keren ketika sudah memasuki maqom ketiga.
Maqom ketiga ditandai dengan kemandirian, independensi, dan ketahanan hidup
yang begitu tinggi. Tipe ketiga ini dalam menjalani masalah dalam kehidupan,
tak mau dibawahi masalah, mereka malah mengatasi masalah. Sehingga walaupun BBM
naik, atau masalah lainnya, mereka tetap tenang, karena mereka hidup tidak
bergantung kepada nasib negara yang semakin tidak jelas”.
“Aku
sendiri yakin kalau kalian semua sudah sampai pada maqom ketiga. Hanya saja,
ketika aku melihat ada yang sambat, kok kayaknya mau turun kelas saja.
Jangan sampai terpengaruh. Kalian ini sedah bertahun-tahun bersama Darma Sakti
untuk membangun ‘peradaban kecil’ di desa ini. Jangan sampai gampang termakan
isu. Pertahankan posisi ketiga, kalau terpaksa tidak apa-apa yang turun ke yang
kedua. Kalau sampai turun pada posisi pertama, maka kehidupan kalian akan
celaka. Sekarang coba kalain sejenak menggunakan akal sehat untuk menganalisa,
bangsa Indonesia ini kebanyakan masuk maqom yang ke berapa dalam menyikapi dan
menjalani kehidupannya? Masing-masing dari anda tentunya akan bisa menjawabnya
sesua dengan informasi yang didapatkan. Pesan terakhirku, sebelum aku sudahi
–karena setelah ini aku harus pergi ke desa Mertani-: “Hidup jangan hanya mau
disodori, sadarilah hidup ini dengan kesadaran penuh, kesadaran yang didasari
dengan nilai-nilai agama, sehingga tetap bisa terarah dan bermanfaat dalam
menjalani kehidupan dunia menuju akhirat. Cukup begini dulu, kita lanjutkan
pada kesempatan dadakan lainnya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Pungkas Sarikhuluk. Setelah makan dan ngopi bareng, akhirnya ketika jam sepuluh
malam, Sarikhuluk undur diri.
26
Menggali
Ide Dengan ‘Menggila’
Suatu ketika
Sarikhuluk ditanya oleh salah satu sahabatnya yang bernama Paijo: “Luk, gimana
caranya menggali ide? Aku beberapa bulan ini latihan nulis dan lumaya bisa.
Tapi setiap kali aku mulai menulis, selalu tersendat dan terasa kehabisan ide.
Jadi bagaimana menurut kamu. Kamu `kan jago menulis, bahkan dulu sempat menjadi
editor?”. Dengan santainya Sarikhuluk menjawab: “Kalau kamu mau menggali, maka
kamu harus menggila”. “Lho kok begitu? Aku ini serius bertanya,
malah disuruh jadi gila. Piye toh kamu itu Luk?” tanya Paijo
keheranan. “Maksudku, ‘menggila’ itu bukan gila dalam artian negatif Jo. ‘Gila’
di sini bermakna mencari sesuatu dengan cara yang tidak seperti kebanyakan
orang”.
“Sebenarnya, yang namanya ide itu selalu mengalir dalam otak kita. Selama kita
mau membuka mata, melihat fenomena, mengaktifkan hati dan akal pikiran. Kamu
harus memandang realitas dengan angle yang berbeda dari orang
lain. Kalau kebanyakan orang melihat sesuatu itu dengan cara linier, kamu harus
dengan cara sklikal. Aku kasih contoh sederhana, misalkan kamu sedang buang air
ke WC, dalam proses pembuangan itu kamu `kan bisa melihat berbagai barang di
dalam WC. Ambil saja misalkan model WC-nya. Dari model WC saja, kamu bisa
mendapatkan ide yang beraneka ragam. Kamu bisa membandingkannya dengan model WC
ala Barat. Bisa terkait dengan efisiensi, kenyamanan, ketuntasan,
kebersihan dan lain sebagainya”.
“Berarti menggali ide itu ga harus mencari sesuatu yang istimewa ya Luk?”. “Lho iya
Jo, yang membuat sesuatu istimewa itu bukan sekadar terletak pada objek
sesuatunya. Meski sederhana, kalau kita mampu mengupasnya dengan cara luar
biasa dan proporsional, maka sesuatu yang sederhana itu akan menjadi luar
biasa. Makanya, untuk menggali ide, kamu harus memperbaiki persepsimu terlebih
dahulu apa yang dimaksud, ‘ide’. Ingat! Ide itu segala hal yang kamu lihat,
rasa, cium, sentuh, dan pikirkan. Yang menjadi prioritas utama ialah cara
mengolah ide, ini terkait dengan –meminjam istilah Kiai Mbeling- sudut pandang,
cara pandang dan jarak pandang. Semakin kaya sudut pandangmu, maka semakin
lihai kamu dalam mengolah ide. Kalau kamu sudah terbiasa seperti itu, kamu akan
mempunyai cara pandang yang kaya. Tapi ingat dalam memandang setiap ide, kamu
harus menemukan jarak pandang yang tepat, biar mampu mengolah ide dengan
setepat-tepatnya”.
“Aku kok tambah bingung ya dengan penjelasanmu?”. “Lho, kalau kamu
bingung, berarti bagus. Kebingungan adalah langkah pertama dalam menggali ide.
Orang yang hidupnya ga pernah merasa bingung, maka hidupnya akan statis. Dengan
kamu merasa bingung, berarti kamu nanti akan mencari penjelasannya. Nah, dalam
rangka mencari penjelasan itu kamu akan menemukan banyak ide. Ingat Jo, yang
menjadikan penulis itu menarik, yang utama bukan sekadar dia bisa menulis
dengan berbagai kaidahnya. Yang menjadikannya menarik ialah cara penulis
memandang dan menyajikan ide. Ibarat orang masak, meskipun bahannya sama, kan
rasanya bisa beda. Cara mengolah ide inilah, yang membuat penulis menjadi
istimewa. Ingat sekali lagi pesanku, ‘kalau kamu mau menggali ide, kamu harus
menggila’” pungkas Sarikhuluk sambil nyengir.
27
Perjodohan Surga Neraka
Shubuh-shubuh Sarikhuluk sudah
diberondong beberapa pertanyaan oleh warga Sembodo. Ada yang bertanya tentang
masalah politik, sosial, agama, ekonomi, sastra, dan urusan lainnya. Tapi yang
paling menjadi sorotan sekaligus akan di-share dalam tulisan ini
ialah khusus pertanyaan terkait masalah surga dan neraka. Ada warga yang
mengaku bernama Paidin bertanya: “Cak, Surga `kan bahasa Arabnya ‘al-Jannah’,
sedangkan neraka adalah ‘al-nār’,
yang membuatku bingung, kenapa ‘jannah’ dipasangkan dengan ‘nār’?, padahal ‘jannah’ `kan artinya kebun,
seharusnya kalau menurut penalaranku pasnya sih lawannya gurun
pasir, atau tanah yang tandus. Sedangkan ‘nār’ yang berarti neraka, menurutku lebih lawan dari ‘mā`(air)”.
Sebelum menjawab pertanyaan Paidin, dalam hati Sarikhuluk sedikit bergumam, ‘lho,
lumayan kritis dan unik pemuda ini. Usia masih muda tapi jangkauan analisis
pertanyaannya sudah sampai pada taraf yang kebanyakan tidak terpikirkan
kebanyakan orang’. “Begini le(nak), sebagaimana kata ‘dunya wa
akhirah’ yang dulu pernah aku bahas, kata ‘jannah wa nār’ juga memiliki keunikan tersendiri. Pertama,
yang harus dicermati, al-Qur`an adalah bahasa wahyu, maka jangan sekali-kali
mengukurnya dengan bandingan bahasa manusia yang sangat terbatas dan sempit. Kedua, kita
analisa maknanya. ‘jannah’ kalau dalam bahasa Arab, bisa berarti kebun,
taman, atau tempat yang dipenuhi pepohonan rindang sehingga yang berada di
dalamnya tidak bisa dilihat sebelum kita memasukinya. Sedangkan ‘nār’ berarti, api”.
“Adanya ‘jannah wa nār’
menurutku merupakan ‘perjodohan kata’ yang luar biasa. ‘Jannah’ kalau
kita baca dalam al-Qur`an menggambarkan sesuatu yang diluar nalar dan
pengalaman manusia, namun dibahasakan dengan bahasa yang mungkin dicerna
manusia. ‘Jannah’ salah satu artinya ialah ‘satru(menutupi)’,
dinamakan demikian karena tidak ada satu pun yang bisa melihatnya kecuali yang
membuka dan datang langsung ke dalamnya. Dengan demikian, terlalu dangkal jika
kata ‘jannah’ diartikan sebagai, kebun kemudian disandingkan dengan kata
gurun atau tanah yang tandus. Gurun atau tanah yang tandus, masih memungkinkan
didekati orang dengan beberapa perlengkapan yang ia miliki. Lain halnya dengan
‘nār(api)’, tidak ada yang berani masuk ke dalamnya. Siapa
coba yang berani masuk dalam api? `Kan sama saja bunuh diri namanya. Kata
kuncinya, ‘jannah’ membuat orang tertarik dan penasaran, sedangkan ‘nār’ membuat orang panik dan ketakutan”.
“Ketiga, ‘jannah’ merupakan gambaran puncak keindahan yang
tidak bisa diwakili oleh kata-kata lain. Arti surga saja sama sekali tidak
mewakilinya. Coba kamu perhatikan ayat-ayat yang membicarakan ‘jannah’
dalam al-Qur`an. Surga hanya diibaratkan. Yang namanya ibarat, berarti bukan
aslinya, yang asli tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Nabi, tidak pernah dilihat, didengar, bahkan terlintas
dalam benak manusia. Dalam al-Qur`an –sebagai contoh-, ‘jannah’
digambarkan dengan imaginasi yang luar biasa, diantaranya: ‘surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai’. Kata ‘mengalir di bawahnya sungai-sungai’
adalah kata yang luar biasa. Yang namanya sungai, itu di samping kebun, atau di
pinggirnya. Lha kalau sungai dibawahnya, bagaimana manusia
bisa menggambarkannya, apalagi pada ayat lain yang menggambarkan ada sungai
susu, air jernih, madu, dan arak, malah semakin tidak terjangkau dalam akal
manusia”.
“Begitu juga ‘nār’
adalah gambaran puncak dari sesuatu yang mengerikan. Jangankan untuk dirasakan
langsung, dibayangkan saja sudah sangat mengerikan. Sebagai contoh, ‘syajarah
zaqqum(pohon Zaqqum)’, yang terdapat penjelasannya dalam surah As-Shaffat:
62-68. Zaqqum diibaratkan seperti kepala setan. Siapa yang pernah melihat wujud
setan sebenarnya, padahal di setiap daerah gambaran setan itu berbeda-beda.
Apalagi tumbuhnya dari dasar neraka Jahim, semakin misterius saja. Tapi ada satu
kesepakatan bahwa, yang namany setan, ialah gambaran yang menakutkan dan
mengerikan. Ketika al-Qur`an menggambarkan sesuatu yang mengerikan dengan
sesuatu mengerikan yang tidak pernah dijumpai wujudnya, maka ini merupakan
puncak dari suatu yang mengerikan. Kengerian yang di luar batas nalar
kemanusiaan. Jadi, sangat tepat sekali bila kata ‘jannah’ dipasangkan
dengan ‘nār’.
Sebagai gambaran sesuatu yang sangat indah dan sangat mengerikan. ‘Jannah’
membuat orang sangat tertari, sedangkan ‘nār’ membuat orang sangat menjauhinya. Oke sementara itu
dulu kamu nalar, karena aku masih harus ke sawah, nanti kalau belum jelas, kita
diskusi lagi.” Pungkas Sarikhuluk.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !