Para pembaca yang budiman, kita
sekalian mungkin pernah mendengar bait lagu yang dinyanyikan oleh Chrisye,
“masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah”. Bila dicermati secara mendalam
ada benarnya juga bait lagu tersebut. Di antara masa-masa paling indah memang
pada masa di sekolah. Keindahan pada masa sekolah bisa dilihat dari proses kegiatan
akademis yang membentuk karakter keilmuan para siswa; komunikasi intensif antarsiswa
yang membangun kesadaran berkomunikasi-sosial; dan pengalaman-pengalaman tak
terlupakan sebagai proses penemuan jati diri. Beberapa hal itulah yang
menjadikan masa di sekolah adalah masa paling indah.
Jika bait lagu itu diganti menjadi
seperti ini, ‘masa-masa paling indah, masa-masa di ma`had(baca: pondok)’, maka
keindahannya bukan hanya paling indah, tapi paling paling dan paling indah.
Kenapa bisa demikian? Jawabannya –menurut hemat penulis- adalah sebagai
berikut: Pertama, berbeda dengan sistem sekolah di luar, di pondok
interaksi antar siswa(baca: santri) lebih banyak. Kalau diluar hanya enam
sampai tujuh jam, maka di pondok bisa ketemu sampai dua puluh empat jam. Hal
ini memungkinkan para santri mengenal lebih dalam, berinteraksi lebih intens, dan
berkomunikasi secara aktif untuk berbagi pengalaman, sehingga jika ada kenangan
indah, maka kenangan itu menjadi berlipat ganda dibandingkan dengan siswa di
sekolah luar.
Kedua, dari segi
pendisiplinan dan pengenalan potensi siswa, maka di pondok jauh lebih besar
peluangnya. Di sekolah luar mereka berdisiplin hanya sebatas ketika di sekolah,
adapun ketika sudah keluar dari sekolah, maka mereka sudah sangat bebas untuk memilih antara
disiplin atau tidak disiplin. Sedangkan di pondok, aturan berlaku bukan hanya
ketika masih di sekolah, tapi terus berlaku
sampai dua puluh empat jam. Ketiga, waktu untuk belajar di
sekolah luar, jauh lebih sedikit dibanding dengan di pondok. Kesempatan yang
begitu berharga ini, bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka akan lebih
unggul yang di pondok lantaran keberlimpahan waktu yang tidak dijumpai di
sekolah luar.
Bertolak dari statemen(pernyataan) di atas, ada satu pertanyaan
besar yang mengusik hati penulis selama menjadi santri di MII( dari tahun
2002-2006): “Apa kira-kira kelebihan, keindahan, pesona dari MII?”. Waktu itu, setiap teman yang ditanya penulis,
kalau tidak menjawab, ‘bingung’ pasti menjawab, ‘tidak tahu’. Ternyata jawaban
itu masih belum juga bisa ditemukan
selama penulis berada di MII. Sampai akhirnya, ketika kuliah -melalui beberapa
perenungan-, mulai terjawablah pertanyaan tersebut dengan beberapa jawaban yang penulis kira
penting dan bisa dibagikan kepada para pembaca sekalian. Apa yang ditulis di
sini bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh santri
lain, tapi paling tidak tulisan ini bisa mengantarkan para pembaca untuk
menggali lebih dalam pesona MII.
KEBEBASAN
MENGEKSPLORASI POTENSI DIRI
Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang bisa mengarahkan anak didiknya sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Ini benar-benar ada dan saya alami ketika di MII. Karena tidak
diharuskan atau difokuskan kepada satu bentuk capaian-capain tertentu, maka
setiap santri bisa mengeksplorasi potensi yang ada. Bagi yang suka dalam bidang
olah raga, maka bisa mengembangkan potensinya dalam bidang olah raga. Bagi yang
suka kegiatan akademis keilmuan, maka bisa membuat tim diskusi untuk mengasah
potensi intelektualnya. Saya pikir ini adalah potensi besar yang dimiliki MII.
Santri-santri yang terlihat biasa, bahkan yang tak masuk lima besar dalam
prestasi akademis, ternyata ketika di luar bisa jauh lebih sukses sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Tidak mengherankan, meskipun ketika di MII jurusan
ilmu-ilmu keagamaan, namun setelah keluar malah masuk jurusan yang
berbeda-beda. Uniknya, mereka bisa adaptasi dengan cepat. Jadi, kata kunci
pertama untuk menyibak pesona MII ialah lingkungannya yang memudahkan para
santri untuk mengeksplorasi potensi diri.
KEMANDIRIAN
DALAM BERKARYA
Kemandirian adalah merupakan di
antara tonggak dasar nilai yang diajarkan dalam ma`had. Di setiap pesantren,
nilai kemandirian pasti selalu dijumpai dan diajarkan. Namun, yang saya rasakan
ketika di MII, lebih dari sekadar kemandirian. Banyak sekali teman yang
walaupun tidak secara intensif dilatih oleh ustadz, namun karena kemandirian
dan ketekunannya, mereka mampu berkarya secara mandiri, bahkan kerap kali
memenangkan berbagai macam perlombaan ketika yang diadakan di luar pesantren.
Sebut saja misalkan lomba teater, baca kitab kuning, pidato, cerdas cermat, dan
lain sebagainya. Kemandirian dalam berkarya juga bisa disebut sebagai
kreativitas santri yang berbasis kemandirian.
MEMILIKI VISI
YANG SANGAT BAGUS
Yang tidak pernah terlupakan dari
MII sampai sekarang di benak penulis ialah terkait dengan visi ma`had yang
berbunyi, “Islami, tepercaya dan kompetitif”. Kata ‘islami’ menggambarkan bahwa
apa yang diajarkan di MII sangat islami. Islam menjadi shibgah(identitas)
utamanya. Kata ‘tepercaya’ membuat orang tua dan masyarakat luar akan merasa
aman dan nyaman ketika memondokkan anaknya di MII. Kepercayaan adalah modal
yang sangat berharga yang dimiliki MII. Meski tidak mempromosikan ma`had secara
besar-besaran, namun MII tidak pernah sepi dengan yang namanya santri. Kata
‘kompetitif’ menggambarkan bahwa MII
memacu santri dan lembaga untuk fastabiqul khairāt(kompetisi dalam kebaikan).
Kompetisi adalah stimulus yang memacu santri untuk mengoptimalkan segenap
potensinya menujuh arah yang lebih baik.
KEPEMIMPINAN
Di mana-mana, yang namanya pondok
–dari elemen terkecilnya- pasti tidak pernah lepas dengan yang namanya latihan
kepemimpinan. Di sadari atau tidak kepemimpinan sudah menjadi bagian yang
integral dari diri santri. Uniknya, meskipun kepemimpinan adalah bagian yang
sangat tidak terpisahkan dari santri, semua itu bersifat cair dan tidak ada
unsur eksploitatif. Semua bergerak sesuai dengan irama kepemimpinan pada skup
masing-masing. Dari pengalaman-pengalaman organisatorial kepemimpinan di MII,
rata-rata para alumni ketika keluar sudah di luar MII biasanya menempati
posisi-posisi penting dalam ranah kepemimpinan. Saya menjumpai sendiri fenomena
tersebut di luar.
KOMUNIKASI
YANG CAIR ANTARA SANTRI DAN ASATIDZ
Berbeda dari pondok-pondok
salaf(baca: tradisional) pada umumnya yang memperlakukan seorang yai dan
asatidz dengan begitu ta`dzimnya, di MII malah sebaliknya. Bukan berarti tidak
menghormati ustadz sama sekali, semua tetap menghormati ustadz, namun
komunikasi antara santri dan ustadz begitu cair, sehingga membuat santri tidak
canggung dalam menggali ilmu dari asatidz di luar waktu pelajaran formal. Fenomena
asatidz duduk sejajar dengan para santri di serambi masjid, atau bahkan
bersama-sama main sepak bola, voly dan olah raga lainnya merupakan hal yang
biasa dijumpai di MII. Waktu penulis masih di MII, penulis merasa sangat
beruntung karena di luar pelajaran formal, banyak sekali mendapat
pelajaran-pelajaran tambahan dari asatidz, baik melalui diskusi-diskusi ringan,
sampai pada kursus kecil-kecilan.
Komunikasi yang cair antara santri dan asatidz ini dampaknya sungguh
besar. Melieu(lingkungan) seperti ini memungkinkan santri berkembang
secara optimal karena didukung oleh para asatidz yang tidak membatasi
komunikasi secara struktural. Potensi-potensi santri yang sebelumnya masih
belum nampak, atau nampak tapi masih belum begitu dikembangkan, bisa dioptimalkan
dengan baik dalam suasana seperti ini.
SISTEM
PENDIDIKAN MODERN
Berbeda dari pondok salaf, sistem
yang dipakai di MII adalah sistem pondok modern. Para santri tidak melulu hanya
diajari membaca kitab kuning(baca: kitab arab gundul), tapi porsi keilmuan yang
notabene disebut ilmu Umum, juga diberikan. Sistem pendidikan yang proporsional
dan tak dikotomis seperti ini memungkinkan santri mendapatkan ilmu secara
integral. Karena pada dasarnya keduanya sama-sama penting. Tidak ada yang
namanya pemisahan ilmu, karena baik ilmu yang dianggap sebagai ilmu agama atau
dunia, jika diarahkan untuk kepentingan akhirat, maka namanya ilmu syar`i. Di
MII semua ilmu itu bisa didapat.
Itulah beberapa pesona yang dapat
disibak dari Ma`had Al itihat Al Islami Camplong Sampang Madura. Apa yang telah
penulis sebutkan ini hanya permulaan. Sangat tidak menutup kemungkinan dari
santri-santri lain banyak yang memiliki pengalaman-pengalaman yang luar biasa
ketika di MII dan bisa di-share(dibagi) di sini pada kesempatan yang
lain. Semua itu bisa ditulis sebagai upaya untuk mendukung dan mendorong agar
MII menjadi semakin baik. Penulis yakin
dan optimis, jika masing-masing di antara asatidz, santri dan para alumni
saling berpartisipasi dan mendukung MII(dengan berbagai bentuknya) maka ke
depan MII akan menjadi lebih baik. Ini tidak berlebihan karena jika dilihat
dari pesona-pesona yang ada tadi, MII sangat berpotensi melahirkan
generasi-generasi emas. Tinggal siapa yang mau menjemput momentum itu. Kalau bukan
sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Hidup MII, semoga menjadi
yang terbaik di antara yang baik-baik.
Wallahu a`lam
bi al-Shawāb
Siman, Selasa
18 November 2014/05:00
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMii tetap saya banggakan dan saya merasa Banyak berutang budi. Menurut saya pesona mii begitu banyak bahkan sangat banyak dan juga pesona-pesona ini berbanding dengan kekurangn yang ada pada diri mii. Saya mencoba utarakan terlepas saya bukan org yang sukses di mii. Namun saya akan utarakan dulu pesona yang saya rasakan selama saya disana.
HapusSalah satunya adalah
- punya ust yang memiliki jiwa pejuang yang sangt tinggi
Hampir sebagian ust tidak tinggal di area pesantren sehingga setiap harinya byak ust yang harus menempuh perjalanan yang jauh utk bisa mengajar di mii. Dan subhanallah justru dengan semangat yang tinggi dari ust2 ini yang menghasilkan barokah ilmu yang masih trkenang pada diri saya. Dan banyak berbekas perkataan2annya hingga saat ini. Dan saya baru merasakan beratnya perjuangan mereka saat bertemu salah seorang yang ust yang juga terjebak macet untuk mengajar menuju mii
Adapun kekurangan yang harus menjadi pacuan utk lebih menjadikan mii lebih baik
- tidak mempraktekan berbahasa arab. Padahal bahasa arab adlh sebuah mahkota bagi pesantren itu sendiri dan kita lihat pesantren2 yang maju dan berkembang, perhatian mereka terhadap bahasa arab begitu besar.
- kurang menjani komunikasi dengan pesantren lain yang bisa dijadikan sebagai media sharing dalam berbagai hal
- hanya fokus kepada kitab sorogan padahal masih kutub turats yang bisa kita ambil faedahnya
Kemudian dari tulisan ust yang mengenai komunikasi yang cair antara ust dan santri ini bagi saya merupakan kelemahan tersendiri . Karna kenapa akibat dari komunikasi yang seperti ini kita tidak tau apa itu ta'dzim terhadap guru dan kita tidak lagi punya teladan akhlak karna kedudukannya sama. Sehingga kita dapari banyak kasus santri memukul ustnya. Santri tak mau kepesantren karna dendam dgn ustnya ini yang sering saya jumpai. Padahala salah satu cara mendapatkan kebarokahan ilmu dengan mebghormati ust.
Dan harapan saya semoga alumm menjadi MII atau ma'had alittihad alislami lebih bnyak melahirkan ust2 dan dai2 yang menyempurnakan keberagaman dakwah di indonesia ini.
terimakasih atas tambahannya, kita doakan semoga MII menjadi semakin baik
BalasHapus