Setelah
beberapa bulan absen dari DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh) yang terletak di
desa Linueh, akhirnya siang ini Sarikhuluk bisa meluangkan waktu untuk
menyambanginya. Desa Linueh adalah desa yang dulunya sangat terbelakang dalam
segenap lininya. Mereka mulai banyak perubahan ketika ada salah satu penduduk
kampungnya yang secara tidak sengaja pernah menjadi kuli bangunan bersama
Sarikhuluk ketika masih muda. Penduduk tersebut bernama Darma Sakti. Perjumpaan
dengan Sarikhuluk merupakan perjuampaan yang sangat berharga, mengingat banyak
sekali pencerahan yang dia dapatkan darinya. Setelah pulang kampung akhirnya
dia membuat perubahan besar. Ia menjadi penggerak sosial, dan memberikan
pendidikan-pendidikan non-formal kepada warga di kampungnya. Hasilnya luar
biasa, meskipun mereka pada umumnya tidak banyak sekolah, tapi wawasan mereka
bisa diadu dengan orang-orang yang sekolah.
Mungkin
kita akan bertanya-tanya kenapa mereka bisa sampai mengalami perubahan
sedahsyat itu. Ada banyak hal sebenarnya sarana yang dipergunakan oleh Darma
Sakti untuk membuat perubahan sosial, di antaranya ialah ia mendirikan suatu
forum diskusi yang ide awalnya ialah dengan mendatangkan Sarikhuluk. Forum
diskusi itu diberi nama, ‘DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh)’. Dinamakan
demikian karena kajian ini sifatnya kondisional dan pada awalnya menyesuaikan
dengan kehadiran Sarikhuluk yang super padat. Kalau Sarikhuluk sedang banyak
kosong, maka satu bulan ful mereka bisa mengadakan diskusi tersebut, sedangkan
jika Sarikhuluk lagi padat, maka bisa berbulan-bulan dia tidak ke situ. Nah,
baru kali ini –setelah empat bulan lamanya- Sarikhuluk bisa menyambangi desa Linueh.
Rasa kangen penduduk Linueh tentu saja begitu membuncah terhadap
pencerahan-pencerahan yang diberikan Sarikhuluk.
Kedatangan
Sarikhuluk di desa Linueh tentu saja dengan sekonyong-konyong. Tidak ada
satupun yang tahu, sekalipun Darma Sakti. Ia tiba-tiba datang mengucap salam,
ketika Darma Sakti lagi ngobrol-ngobrol di pendopo samping rumahnya yang diberi
nama pendopo Kamukten. Sontak saja, mereka kaget campur senang. Waktunya pas
sekali, karena mereka sedang butuh pencerahan. Mereka sedang dirundung
kegalauan spiritual dan intelektual. Apalagi baru saja ada berita nasional yang
menyatakan kenaikan BBM. Banyak sekali bapak-bapak dan ibu-ibu sambat akibat
keputusan Orang Nomor Satu RI itu. Dengan sangat tenang, Sarikhuluk pun memulai
diskusinya, “Sebelumnya nuwon sewu(minta maaf)kalau kedatanganku secara
tiba-tiba, karena kalau aku datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, maka
namanya nanti bukan diskusi dadakan.”tukas Sarikhuluk.
“Kedatanganku
kesini sebenarnya tidak sedang membicarakan yang muluk-muluk, apalagi soal
negara yang sudah aku anggap batal sejak beberapa tahun lalu. Kalian jangan sampai sedih hanya gara-gara
masalah negara yang semakin tidak jelas jluntrungannya(orientasinya).
Aku kesini bukan juga untuk mengajari kalian, aku hanya ingin berbagi dan tadārus(saling belajar) supaya
kita tidak dibuat sedih oleh kehidupan, karena maqom(posisi) kita kan
sebenarnya meng-khilafahi masalah, bukan dikhilafahi masalah. Semoga ini
tidak membingungkan apalagi membuat tambah galau. Tema yang aku bawa kali ini
ialah terkait dengan ‘falsafah hayāt(filsafat
kehidupan)’. Sebenarnya inti dalam menjalani kehidupan itu apa. Tapi di sini
aku mau memfokuskan pada kajian maqom insān fi mumārosah
hayat(posisi manusia dalam menjalani kehidupan), bahasa jawanya, maqome
manungso ing dalem nglampahipun kahuripan. Maqom manusia dalam menjalani
kehidupannya.”tandas Sarikhuluk dengan begitu meyakinkan.
“Ada
tiga posisi manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia yang
hidupnya disodori. Kedua, manusia yang hidupnya disadari. Ketiga,
manusia yang hidupnya didasari.”lanjut Sarikhuluk. “Lho maksudnya apa Cak?”
tannya bapak Ngaiman, salah satu anggota hansip kampung Linueh. “Oke. Tak
jelaskan satu persatu. Yang dimaksud dengan maqom pertama ialah orang yang
hidupnya itu selalu menjadi obyek penderiti. Hidup selalu didikte, disuapin,
diberi, dan dituntun. Ia tidak mempunya kesanggupan untuk memahami dan mencerna
setiap apa yang dia alami. Hidupnya selalu tergantung kepada orang, sehingga
tidak mempunyai kemandirian baik secara individu maupun sosial. Sejatinya,
maqom pertama ini cocoknya adalah untuk anak-anak kecil yang belum baligh.
Karena masa-masa mereka adalah masa pendidikan yang bersifat doktrinal. Tapi,
kenyataannya banyak sekali aku jumpai manusia-manusia yang sudah dianggap dewasa
secara usia, namun perilaku dan sikapnya itu sangat mirip dengan maqom pertama.
Ia tidak mempunyai prinsip hidup, baginya hidup yang penting untung, meskipun
harus tergantung pada orang lain. Orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai
orang yang berada pada maqom pertama.”
“Posisi
yang kedua adalah orang yang hidupnya itu disadari. Orang seperti ini sudah
naik tingkat. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia tidak mau hidup
hanya disodori, tapi ketika ia sadar bahwa usia sudah dewasa, maka ia berusaha
mandiri atau tidak terlalu bergantung kepada orang lain dalam menjalani
hidupnya sebagaimana orang yang pertama. Bukan berarti ia menolak disodori,
tapi setiap ada yang menyodori sesuatu ia cerna dengan kritis. Posisi kedua ini
–sebagaimana posisi pertama- tidak tergantung pada usia, karena pada
kenyataannya, ada orang yang secara usia masih muda tetapi sudah menjalani
hidup dengan penuh kesadaran, begitu juga sebaliknya. Adapun posisi ketiga atau
yang paling atas ialah maqomnya orang yang menjalani hidup karena didasari. Ia
hidup dalam kesadaran penuh, sekaligus mempunyai prinsip kehidupan. Tujuan
hidupnya jelas, tidak mudah dibodohi orang, dan selalu berusaha meraih
kehidupan yang lebih baik. Kalau orang Islam, maqom ketiga ini bisa dikatakan
sebagai maqom orang yang mendasari kehidupannya dengan al-Qur`an dan Hadits. Ia
ejawantahkan al-Qur`an dan Hadits dalam segenap lini kehidupan sesuai dengan
kadar kemampuan masing-masing. Orang seperti ini tidak mengikuti arus, tapi
mampu membuat arus perubahan sosial.
Tidak gampang termakan media, tatapi selalu mengkritisi media dengan
akal sehat”.
“Sekarang
mari kita elaborasi dengan beberapa pertanyaan mendasar. Warga kampung Linueh,
sebenarnya masuk maqom yang mana? Kalau kehidupannya itu tak mandiri, gampang diapusi(dibohongi),
sangat bergantung pada orang lain, selalu menunggu untuk dicekoki sesuatu, maka
maqom desa ini masuk pada yang pertama. Orang seperti ini gampang nggumunan (kagetan),
kanginan, dan diperalat oleh orang-orang yang berkepentingan. Orang seperti ini
gampang menerima gosip, tanpa diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Ada orang
ke selatan, ikut ke selatan, ada orang ke utara, ikut ke utara, sehingga ga
punya pendirian yang kuat. Orang seperti ini tidak punya kecanggihan mental,
untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Ada BBM naik, misalkan, dia langsung
resah dan seakan tidak ada jalan keluar lanta hanya bisa mencemooh dan meratapi
nasib. Kalau orang kampung Linueh tidak kaget, selalu sadar dan waspada
terhadap kehidupan, sehingga tidak diliputi jiwanya oleh masalah yang menimpa,
maka masuk maqom kedua. Yang lebih keren ketika sudah memasuki maqom ketiga.
Maqom ketiga ditandai dengan kemandirian, independensi, dan ketahanan hidup
yang begitu tinggi. Tipe ketiga ini dalam menjalani masalah dalam kehidupan,
tak mau dibawahi masalah, mereka malah mengatasi masalah. Sehingga walaupun BBM
naik, atau masalah lainnya, mereka tetap tenang, karena mereka hidup tidak
bergantung kepada nasib negara yang semakin tidak jelas”.
“Aku
sendiri yakin kalau kalian semua sudah sampai pada maqom ketiga. Hanya saja,
ketika aku melihat ada yang sambat, kok kayaknya mau turun kelas saja.
Jangan sampai terpengaruh. Kalian ini sedah bertahun-tahun bersama Darma Sakti
untuk membangun ‘peradaban kecil’ di desa ini. Jangan sampai gampang termakan
isu. Pertahankan posisi ketiga, kalau terpaksa tidak apa-apa yang turun ke yang
kedua. Kalau sampai turun pada posisi pertama, maka kehidupan kalian akan
celaka. Sekarang coba kalain sejenak menggunakan akal sehat untuk menganalisa,
bangsa Indonesia ini kebanyakan masuk maqom yang ke berapa dalam menyikapi dan
menjalani kehidupannya? Masing-masing dari anda tentunya akan bisa menjawabnya
sesua dengan informasi yang didapatkan. Pesan terakhirku, sebelum aku sudahi –karena
setelah ini aku harus pergi ke desa Mertani-: “Hidup jangan hanya mau disodori,
sadarilah hidup ini dengan kesadaran penuh, kesadaran yang didasari dengan
nilai-nilai agama, sehingga tetap bisa terarah dan bermanfaat dalam menjalani
kehidupan dunia menuju akhirat. Cukup begini dulu, kita lanjutkan pada
kesempatan dadakan lainnya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Pungkas Sarikhuluk. Setelah makan dan ngopi bareng, akhirnya ketika jam sepuluh
malam, Sarikhuluk undur diri.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !