Home » » Disodori, Disadari, dan Didasari

Disodori, Disadari, dan Didasari

Written By Amoe Hirata on Selasa, 18 November 2014 | 14.30


            Setelah beberapa bulan absen dari DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh) yang terletak di desa Linueh, akhirnya siang ini Sarikhuluk bisa meluangkan waktu untuk menyambanginya. Desa Linueh adalah desa yang dulunya sangat terbelakang dalam segenap lininya. Mereka mulai banyak perubahan ketika ada salah satu penduduk kampungnya yang secara tidak sengaja pernah menjadi kuli bangunan bersama Sarikhuluk ketika masih muda. Penduduk tersebut bernama Darma Sakti. Perjumpaan dengan Sarikhuluk merupakan perjuampaan yang sangat berharga, mengingat banyak sekali pencerahan yang dia dapatkan darinya. Setelah pulang kampung akhirnya dia membuat perubahan besar. Ia menjadi penggerak sosial, dan memberikan pendidikan-pendidikan non-formal kepada warga di kampungnya. Hasilnya luar biasa, meskipun mereka pada umumnya tidak banyak sekolah, tapi wawasan mereka bisa diadu dengan orang-orang yang sekolah.
            Mungkin kita akan bertanya-tanya kenapa mereka bisa sampai mengalami perubahan sedahsyat itu. Ada banyak hal sebenarnya sarana yang dipergunakan oleh Darma Sakti untuk membuat perubahan sosial, di antaranya ialah ia mendirikan suatu forum diskusi yang ide awalnya ialah dengan mendatangkan Sarikhuluk. Forum diskusi itu diberi nama, ‘DDKL(Diskusi Dadakan Kampung Linueh)’. Dinamakan demikian karena kajian ini sifatnya kondisional dan pada awalnya menyesuaikan dengan kehadiran Sarikhuluk yang super padat. Kalau Sarikhuluk sedang banyak kosong, maka satu bulan ful mereka bisa mengadakan diskusi tersebut, sedangkan jika Sarikhuluk lagi padat, maka bisa berbulan-bulan dia tidak ke situ. Nah, baru kali ini –setelah empat bulan lamanya- Sarikhuluk bisa menyambangi desa Linueh. Rasa kangen penduduk Linueh tentu saja begitu membuncah terhadap pencerahan-pencerahan yang diberikan Sarikhuluk.
            Kedatangan Sarikhuluk di desa Linueh tentu saja dengan sekonyong-konyong. Tidak ada satupun yang tahu, sekalipun Darma Sakti. Ia tiba-tiba datang mengucap salam, ketika Darma Sakti lagi ngobrol-ngobrol di pendopo samping rumahnya yang diberi nama pendopo Kamukten. Sontak saja, mereka kaget campur senang. Waktunya pas sekali, karena mereka sedang butuh pencerahan. Mereka sedang dirundung kegalauan spiritual dan intelektual. Apalagi baru saja ada berita nasional yang menyatakan kenaikan BBM. Banyak sekali bapak-bapak dan ibu-ibu sambat akibat keputusan Orang Nomor Satu RI itu. Dengan sangat tenang, Sarikhuluk pun memulai diskusinya, “Sebelumnya nuwon sewu(minta maaf)kalau kedatanganku secara tiba-tiba, karena kalau aku datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, maka namanya nanti bukan diskusi dadakan.”tukas Sarikhuluk.
            “Kedatanganku kesini sebenarnya tidak sedang membicarakan yang muluk-muluk, apalagi soal negara yang sudah aku anggap batal sejak beberapa tahun lalu.  Kalian jangan sampai sedih hanya gara-gara masalah negara yang semakin tidak jelas jluntrungannya(orientasinya). Aku kesini bukan juga untuk mengajari kalian, aku hanya ingin berbagi dan tadārus(saling belajar) supaya kita tidak dibuat sedih oleh kehidupan, karena maqom(posisi) kita kan sebenarnya meng-khilafahi masalah, bukan dikhilafahi masalah. Semoga ini tidak membingungkan apalagi membuat tambah galau. Tema yang aku bawa kali ini ialah terkait dengan ‘falsafah hayāt(filsafat kehidupan)’. Sebenarnya inti dalam menjalani kehidupan itu apa. Tapi di sini aku mau memfokuskan pada kajian maqom insān fi mumārosah hayat(posisi manusia dalam menjalani kehidupan), bahasa jawanya, maqome manungso ing dalem nglampahipun kahuripan. Maqom manusia dalam menjalani kehidupannya.”tandas Sarikhuluk dengan begitu meyakinkan.
            “Ada tiga posisi manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia yang hidupnya disodori. Kedua, manusia yang hidupnya disadari. Ketiga, manusia yang hidupnya didasari.”lanjut Sarikhuluk. “Lho maksudnya apa Cak?” tannya bapak Ngaiman, salah satu anggota hansip kampung Linueh. “Oke. Tak jelaskan satu persatu. Yang dimaksud dengan maqom pertama ialah orang yang hidupnya itu selalu menjadi obyek penderiti. Hidup selalu didikte, disuapin, diberi, dan dituntun. Ia tidak mempunya kesanggupan untuk memahami dan mencerna setiap apa yang dia alami. Hidupnya selalu tergantung kepada orang, sehingga tidak mempunyai kemandirian baik secara individu maupun sosial. Sejatinya, maqom pertama ini cocoknya adalah untuk anak-anak kecil yang belum baligh. Karena masa-masa mereka adalah masa pendidikan yang bersifat doktrinal. Tapi, kenyataannya banyak sekali aku jumpai manusia-manusia yang sudah dianggap dewasa secara usia, namun perilaku dan sikapnya itu sangat mirip dengan maqom pertama. Ia tidak mempunyai prinsip hidup, baginya hidup yang penting untung, meskipun harus tergantung pada orang lain. Orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai orang yang berada pada maqom pertama.”
            “Posisi yang kedua adalah orang yang hidupnya itu disadari. Orang seperti ini sudah naik tingkat. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia tidak mau hidup hanya disodori, tapi ketika ia sadar bahwa usia sudah dewasa, maka ia berusaha mandiri atau tidak terlalu bergantung kepada orang lain dalam menjalani hidupnya sebagaimana orang yang pertama. Bukan berarti ia menolak disodori, tapi setiap ada yang menyodori sesuatu ia cerna dengan kritis. Posisi kedua ini –sebagaimana posisi pertama- tidak tergantung pada usia, karena pada kenyataannya, ada orang yang secara usia masih muda tetapi sudah menjalani hidup dengan penuh kesadaran, begitu juga sebaliknya. Adapun posisi ketiga atau yang paling atas ialah maqomnya orang yang menjalani hidup karena didasari. Ia hidup dalam kesadaran penuh, sekaligus mempunyai prinsip kehidupan. Tujuan hidupnya jelas, tidak mudah dibodohi orang, dan selalu berusaha meraih kehidupan yang lebih baik. Kalau orang Islam, maqom ketiga ini bisa dikatakan sebagai maqom orang yang mendasari kehidupannya dengan al-Qur`an dan Hadits. Ia ejawantahkan al-Qur`an dan Hadits dalam segenap lini kehidupan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Orang seperti ini tidak mengikuti arus, tapi mampu membuat arus perubahan sosial.  Tidak gampang termakan media, tatapi selalu mengkritisi media dengan akal sehat”.
            “Sekarang mari kita elaborasi dengan beberapa pertanyaan mendasar. Warga kampung Linueh, sebenarnya masuk maqom yang mana? Kalau kehidupannya itu tak mandiri, gampang diapusi(dibohongi), sangat bergantung pada orang lain, selalu menunggu untuk dicekoki sesuatu, maka maqom desa ini masuk pada yang pertama. Orang seperti ini gampang nggumunan (kagetan), kanginan, dan diperalat oleh orang-orang yang berkepentingan. Orang seperti ini gampang menerima gosip, tanpa diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Ada orang ke selatan, ikut ke selatan, ada orang ke utara, ikut ke utara, sehingga ga punya pendirian yang kuat. Orang seperti ini tidak punya kecanggihan mental, untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Ada BBM naik, misalkan, dia langsung resah dan seakan tidak ada jalan keluar lanta hanya bisa mencemooh dan meratapi nasib. Kalau orang kampung Linueh tidak kaget, selalu sadar dan waspada terhadap kehidupan, sehingga tidak diliputi jiwanya oleh masalah yang menimpa, maka masuk maqom kedua. Yang lebih keren ketika sudah memasuki maqom ketiga. Maqom ketiga ditandai dengan kemandirian, independensi, dan ketahanan hidup yang begitu tinggi. Tipe ketiga ini dalam menjalani masalah dalam kehidupan, tak mau dibawahi masalah, mereka malah mengatasi masalah. Sehingga walaupun BBM naik, atau masalah lainnya, mereka tetap tenang, karena mereka hidup tidak bergantung kepada nasib negara yang semakin tidak jelas”.

            “Aku sendiri yakin kalau kalian semua sudah sampai pada maqom ketiga. Hanya saja, ketika aku melihat ada yang sambat, kok kayaknya mau turun kelas saja. Jangan sampai terpengaruh. Kalian ini sedah bertahun-tahun bersama Darma Sakti untuk membangun ‘peradaban kecil’ di desa ini. Jangan sampai gampang termakan isu. Pertahankan posisi ketiga, kalau terpaksa tidak apa-apa yang turun ke yang kedua. Kalau sampai turun pada posisi pertama, maka kehidupan kalian akan celaka. Sekarang coba kalain sejenak menggunakan akal sehat untuk menganalisa, bangsa Indonesia ini kebanyakan masuk maqom yang ke berapa dalam menyikapi dan menjalani kehidupannya? Masing-masing dari anda tentunya akan bisa menjawabnya sesua dengan informasi yang didapatkan. Pesan terakhirku, sebelum aku sudahi –karena setelah ini aku harus pergi ke desa Mertani-: “Hidup jangan hanya mau disodori, sadarilah hidup ini dengan kesadaran penuh, kesadaran yang didasari dengan nilai-nilai agama, sehingga tetap bisa terarah dan bermanfaat dalam menjalani kehidupan dunia menuju akhirat. Cukup begini dulu, kita lanjutkan pada kesempatan dadakan lainnya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Pungkas Sarikhuluk. Setelah makan dan ngopi bareng, akhirnya ketika jam sepuluh malam, Sarikhuluk undur diri.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan