Sebagai harapan sosial keagamaan,
maraknya aktivis Islam yang memperjuangkan spirit Islam sebagai sistem
kehidupan merupakan realita yang patut didukung dan disyukuri. Ketika pergerakan organisasi keagamaan
semakin dinamis dan menyebarluas ini berarti nilai keberagamaan individu sudah
mulai hidup; ini berarti nilai keberagamaan sudah bergerak lebih jauh dari
sekadar formalitas. Namun yang menjadi masalah kemudian ialah ketika salah
mempersepsikan dan memposisikan subtansi dari agama. Agama sebagai entitas
nilai, memiliki berbagai macam aspek. Merupakan kecerobohan besar jika ada
gerakan keagamaan yang salah dalam mempersepsikan spirit inti dari lahirnya
agama. Contoh konkrit ialah gerakan-gerakan yang mengatas namakan agama dengan
semangat perjuangan tinggi untuk memperjuangkan agama melalui jalur politik.
Sebenarnya politik memang bagian daripada agama, namun ketika politik dijadikan sebagai tujuan sentral dari lahirnya agama, maka pada gilirannya akan merusak esensi agama. Sesuatu yang semestinya didahulukan seperti dakwah islamiyah, malah terabaikan dengan perjuangan yang fokusnya harus politik. Apa jadinya jika politik dijadikan tema sentral sebagai maksud diturunkannya agama? Pada realitanya perjuangan agama atas nama politik dan kekuasaan di sepenjang sejarah kehidupan umat Islam akan selalu mengalami kegagalan karena, agama sudah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Agama meskipun tanpa piranti politik dan kekuasaan pada realitanya masih bisa eksis berkat kontinuitas dakwah yang selalu diupayakan dan dijalankan. Di sisi lain penjuangan agama melalui fokus politik terkadang atau bahkan kebanyakan –kalau tidak boleh dibilang semua- memperburuk citra Islam di mata orang non Islam, sehingga malah menghalangi dakwah Islam masuk ke dalam hati mereka.
Sebenarnya politik memang bagian daripada agama, namun ketika politik dijadikan sebagai tujuan sentral dari lahirnya agama, maka pada gilirannya akan merusak esensi agama. Sesuatu yang semestinya didahulukan seperti dakwah islamiyah, malah terabaikan dengan perjuangan yang fokusnya harus politik. Apa jadinya jika politik dijadikan tema sentral sebagai maksud diturunkannya agama? Pada realitanya perjuangan agama atas nama politik dan kekuasaan di sepenjang sejarah kehidupan umat Islam akan selalu mengalami kegagalan karena, agama sudah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Agama meskipun tanpa piranti politik dan kekuasaan pada realitanya masih bisa eksis berkat kontinuitas dakwah yang selalu diupayakan dan dijalankan. Di sisi lain penjuangan agama melalui fokus politik terkadang atau bahkan kebanyakan –kalau tidak boleh dibilang semua- memperburuk citra Islam di mata orang non Islam, sehingga malah menghalangi dakwah Islam masuk ke dalam hati mereka.
Pada kesampatan yang lain ada juga
gerkan yang fokusnya hanya dalam jihad perang. Meraka mempersepsikan kata kunci
agama adalah jihad perang. Agama tidak akan bisa berkembang tanpa adanya jihad
dalam pengertian perang. Pada titik dan porsi tertentu jihad memang sangat
diperlukan dan wajib dilaksanakan. Namun menjadikan jihad sebagai unsur utama
dalam agama kemudian mengabaikan unsur yang lebih penting berupa dakwah
sebagaimana tugas para Nabi, maka jihad hanya akan menjadi malapetaka bagi
agama dan pemeluknya. Yang menonjol dan nampak dominan dari wajah agama
hanyalah kekerasan dan otoritarian.
Konsekuensinya wajah agama yang sebelumnya sangat padhang bersinar, menjadi redup lantaran salah memperioritaskan unsur penting agama. Kebanyakan gerakan Islam ribut dan sibuk dalam hal teknis penyebaran agama, sedangkan hal inti hampir tak tersentuh. Maka jangan heran ketika reaksi dari komunikan dakwah begitu sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan, karena salah dalam menggambarkan wajah Islam. Realitas demikian bisa dikonversikan dengan berbagaimacam gerakan yang salah dalam mempersepsikan Islam. Yang inti menjadi sampingan, yang sampingan menjadi inti. Dengan bahasa lain: yang subtansial menjadi sekadar instrumentak, sedangkan yang instrumental menjadi subtansial. Akibat dari kesalahkaprahan tafsir ini berdampak negatif bagi agama dan pemeluknya. Tapi untungnya agama Islam ini dilindungi oleh Allah ta`ala sehingga usaha apapun untuk menghancurkan agama Islam akan menuai kegagalan.
Konsekuensinya wajah agama yang sebelumnya sangat padhang bersinar, menjadi redup lantaran salah memperioritaskan unsur penting agama. Kebanyakan gerakan Islam ribut dan sibuk dalam hal teknis penyebaran agama, sedangkan hal inti hampir tak tersentuh. Maka jangan heran ketika reaksi dari komunikan dakwah begitu sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan, karena salah dalam menggambarkan wajah Islam. Realitas demikian bisa dikonversikan dengan berbagaimacam gerakan yang salah dalam mempersepsikan Islam. Yang inti menjadi sampingan, yang sampingan menjadi inti. Dengan bahasa lain: yang subtansial menjadi sekadar instrumentak, sedangkan yang instrumental menjadi subtansial. Akibat dari kesalahkaprahan tafsir ini berdampak negatif bagi agama dan pemeluknya. Tapi untungnya agama Islam ini dilindungi oleh Allah ta`ala sehingga usaha apapun untuk menghancurkan agama Islam akan menuai kegagalan.
Buku ini ditulis oleh Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada
tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau
memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan
sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan
orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya
memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan
kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia
sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan
An-Nadawi. Beliau memiliki karangan[1]
yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God
Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and
Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral
Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western
Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His
Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM:
CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada
juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam
Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din.
Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa
al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila
al-Islam.
Buku ini merupak ringkasan dari buku yang berjudul: al-Tafsiru
al-Khathi` karya Wahidudin Khan. Buku ini lahir sebagai kritikan terhadap
karya-karya ‘guru’nya yaitu Abu al-A`la al-Al-Maududi. Dalam berbagai bukunya Al-Maududi
menyerukan bahwa sistem khilafah adalah sistem final dan ideal yang harus
ditegakkan kalau umat Islam ingin mendapat kejayaannya kembali seperti masa
silam. Ide inti dari Al-Maududi dijelaskan oleh beliau ialah, ‘menghidupkan
sistem khilafah yang bercirikan: menjawab pengkritik dengan jawaban yang
memuaskan, mendorongnya untuk kritis, memuji dan memuliakannya serta
melenyapkan sistem kerajaan yang bercirikan: memberangus pengkritik,
membungkamnya dengan ejekan dan ancaman, dan jika tidak berhenti maka
dihentikan dengan cambuk atau penjara.
Wahidudin Khan dahulunya merupakan anggota dari
Jama`ah Islamiyah yang dipimpin oleh Abu A`la Al-Al-Maududi. Namun perjalanan
kemudian ketika Wahidudin Khan mencoba mengkritisi ide inti Al-Al-Maududi
lambat laun terjadi kesenjangan yang luar biasa sehingga pada akhirnya
Wahidudin Khan keluar dari Jama`ah Islamiyah. Al-Maududi dan pendukung nalar
dan tradisi kritis, namun ketika hal itu benar-benar diterapkan nyatanya Ia dan
pendukungnya tersinggung. Seolah-olah khusus Jama`ah Islam pasti benar dan anti
kriti, adapun kritikan layak ditujukan pada selain Jama`ah Islamiyah. Bahkan
ketika kritikan itu berlangsung melalui surat-menyurat selama dua tahun
Wahidudin Khan bukan mendapat penghormatan lantaran kritis, tapi malah mendapat
jawaban pedas sebagaimana berikut: “Kajian studimu sangat kurang sekali, ini
merupakan merupakan bencana di atas bencana, sesungguhnya kamu berbicara dari
tempat yang tinggi, sungguh aku tidak akan menanggapi orang yang mempunyai
padndangan seperti ini, padahal ilmunya sedikit”.
“Sebagaimana
Karl Marxs menafsirkan realitas kehidupan dengan dominasi tafsir materi sebagai
fokus tafsir, demikian pula ustad Abu A`la al-Al-Maududi menafsirkan agama
dengan dominasi politik, sebagai fokus tafsirnya”. Demikian Wahidudin Khan
memulai tulisannya. Dari sini pula asal mula penulisan judul buku di atas.
Bahwa unsur politik terlalu dominan untuk menafsirkan agama Islam. Ia
melanjutkan bahwa untuk mempersepsi kehidupan yang terdiri dari berbagaimacam
aspek, maka biasanya dilakukan dengan tiga pendekatan: Pertama: Pendekatan Qonuni(hukum)
pendekatan ini memberikan gambaran bagian-bagian yang menonjol secara tepat dan
tak berlebihan, masing-masing digambarkan sebagaimana adanya.
Kedua: Pendekatan khithabi(retoris) pendekatan ini memberikan gambaran yang khusus pada satu aspek sekaligus melebih-lebihkannya di banding aspek yang lain. Ketiga: Pendekatan Tafsiri(interpretatif) pendekatan ini memberikan gambaran kesatuan aspek dengan mengambil satu aspek sebagai landasan dari berbagai aspek yang dianggap memiliki hubungan dan kesatuan. Nah, ketika berbicara mengenai agama yang memiliki berbagai macam aspek, Ustat Al-Maududi menggunakan pendekatan ketiga yaitu metode tafsiri(interpretatif). Jadi Al-Maududi menempatkan politik sebagai aspek utama yang melatari risalah Islam. Pada intinya tanpa politik agama hanya akan menjadi kosong dan tak dapat dipahami, seakan-akan (ketika politik tak ada) maka sama saja seperti membuang seperempat agama –menurut ungkapannya-.
Kedua: Pendekatan khithabi(retoris) pendekatan ini memberikan gambaran yang khusus pada satu aspek sekaligus melebih-lebihkannya di banding aspek yang lain. Ketiga: Pendekatan Tafsiri(interpretatif) pendekatan ini memberikan gambaran kesatuan aspek dengan mengambil satu aspek sebagai landasan dari berbagai aspek yang dianggap memiliki hubungan dan kesatuan. Nah, ketika berbicara mengenai agama yang memiliki berbagai macam aspek, Ustat Al-Maududi menggunakan pendekatan ketiga yaitu metode tafsiri(interpretatif). Jadi Al-Maududi menempatkan politik sebagai aspek utama yang melatari risalah Islam. Pada intinya tanpa politik agama hanya akan menjadi kosong dan tak dapat dipahami, seakan-akan (ketika politik tak ada) maka sama saja seperti membuang seperempat agama –menurut ungkapannya-.
Yang
menjadi masalah menurut penulis ketika membaca karya-karya Abu A`la Al-Al-Maududi
bukanlah pada aspek politik dan perjuangannya pada ranah politik. Yang
dijadikan masalah ialah bahwa Al-Maududi dalam kebanyakan karyanya memposisikan
politik sebagai unsur utama dari agama. Sehingga unsur-unsur lain dari agama
yang lebih penting dan inti menjadi terkesampingkan dan kurang mendapat
perhatian yang proporsional. Ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh
Karl Marxs yang mencopa menginterpretasikan kehidupan manusia pada aspek materi
saja sehingga lahir paham Materialisme. Sungguh pun materi itu sangat penting,
tetapi menjadikannya sebagai fokus utama sehingga melupakan unsur rohani
manusia, hanya akan merusak manusia.Sejarah membuktikan bahwa pemahaman
materialisme adalah pemahaman yang salah, dan ketika benar-benar dipraktikkan
dalam kehidupan nyata, hanya menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahkan
dipolitisir dan dieksploitir oleh golongan tertentu. Kesalahan mendasar Al-Maududi
ialah pada ranah filosofis pemikiran. Ini
jauh lebih bebahaya dibanding dengan kesalahan orang yang menambah dan
mengurangi agama.
Diantara
karya Al-Maududi yang sarat akan nuansa politis dalam menafsirkan subtansi
agama ialah: Dustur al-Jama`ah al-Islamiyah, al-Musslimun wa al-Sharaa`
al-Siyaasi al-Raahin, Tajdidu al-Din wa Ihyaauhu, al-Tafhiimaat, al-Khuthab,
al-Nadhratu al-Tahliliyah fi al-Ibaadah al-Islaamiyah, al-Ususu al-Khuluqiyah
li al-harakah al-Islamiyah-Ihsaan, Syahaadatu al-Hak, Lailatu al-Mi`raaj dan
lain sebagainya yang secara umum muatan politik sangan kental dalam menafsirkan
agama. Dalam karya-karya Al-Maududi ini dinyatakan bahwa politik merupakan
perkara inti dari agama, semua aspek agama berada dalam bingkai politik.
Tujuannya jelas pada akhirnya ialah mengkudeta pemimpin yang dzalim, durhaka
serta mendirikan khilafah dan memilih pemimpin yang adil. Karena pada intinya
kesejahteraan kehidupan manusia terletak pada siapa yang menguasai, jika penguasa baik maka akan tercipta
kesejahteraan manusia secara otomatis.
Pada pembahasan lain maksud inti agama menurut Al-Maududi ialah: menegakkan kepemimpinan (imaamah) yang baik dan menegakkan sistem yang hak di muka bumi. Pada kesempatan lain Al-Maududi meinterpretasikan agama yang hak ialah ketaatan absolut terhadap kekuatan Allah dalam arti kekuasaan-Nya. Ia juga menyatakan bahwa tugas Nabi Muhammad ketika diutus ialah mendirikan pemerintahan Islam. Adapun ibadah dalam pengertian politik yang dipahami oleh Al-Maududi dimaksudkan sebagai pembersih jiwa dan sebagai persiapan pendidikan umat untuk tugas yang mulia yaitu memberangus dan menumpas hegomoni kekuasaan para penguasa tiran dan otoriter di muka bumi. Intinya politik sebagai subtansi dalam menafsirkan agama.
Pada pembahasan lain maksud inti agama menurut Al-Maududi ialah: menegakkan kepemimpinan (imaamah) yang baik dan menegakkan sistem yang hak di muka bumi. Pada kesempatan lain Al-Maududi meinterpretasikan agama yang hak ialah ketaatan absolut terhadap kekuatan Allah dalam arti kekuasaan-Nya. Ia juga menyatakan bahwa tugas Nabi Muhammad ketika diutus ialah mendirikan pemerintahan Islam. Adapun ibadah dalam pengertian politik yang dipahami oleh Al-Maududi dimaksudkan sebagai pembersih jiwa dan sebagai persiapan pendidikan umat untuk tugas yang mulia yaitu memberangus dan menumpas hegomoni kekuasaan para penguasa tiran dan otoriter di muka bumi. Intinya politik sebagai subtansi dalam menafsirkan agama.
Pada
buku karangan Wahidudin Khan ini juga dipaparkan dalil-dalil yang dijadikan
pijakan oleh Al-Maududi baik Al-Qur`an(diantaranya As-Syura: 13, Al-Maududi
menafsirkan agama sebagai penegakan hukum-hukum Allah) maupun As-Sunnah(diantarannya
hadits yang mengisahkan sifat Nabi Muhammad dalam Taurat:
وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَآذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفً
yang artinya Allah
tak akan mematikannya hingga Beliau meluruskan agama-agama yg bengkok agar
hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah yg dengannya akan membuka mata yg buta,
telinga yg tuli & hati yg tertutup. Dengan hadits ini beliau
berkesimpulan bahwa tugas Nabi ialah menegakkan din(hukum) sebagaimana yg telah
dijelaskan jauh sebelum kedatangannya dalam kitab Taurat) yang kemudian
dikritisi sedemikian rupa oleh Wahidudin Khan, yang pada akhirnya disimpulkan
bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh Al-Maududi sama sekali tidak tepat
ketika politik dijadikan alasan sebagai tafsir inti agama.
وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَآذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفً
Di
akhir pembahasan penulis menyatakan dengan tegas bahwa tujuan penulisan buku
ini bukanlah menunjukkan aib atau kesalahan seseorang tapi sebagai nasihat.
Kesalahan yang fatal ialah penyimpangan makana agama (memfokuskan agama pada
politik). Penulis juga sempat memberikan dua usulan pada Al-Maududi dan Jama`ah
Islamiyah agar menarik pernyataan bahwa yang inti dari agama ialah masalah politik
dan agar pengikut Jamaah Islamiyah tidak menjadikan buku-buku Al-Maududi
sebagai tafsiran mutlak atas agama(namun kedua usulan ini samasekali ditolak
mereka). Meski berbeda pendapat dengan Al-Maududi, penulis secara obyektif juga
menghormati dan mengakui kelebihan keunggulan dan jasa Al-Maududi dalam
perjuangan Islam.
Secara
umum dengan sangat ilmiah, penulis mengkritisi kesalahan-kesalah yang dilakukan
oleh ustadz Al-Maududi. Namun yang disayangkan ialah tulisan hanya berkisar
pada menunjukkan kesalahan, adapun solusi secara konkrit belum bisa diwujudkan.
Seharusnya semangat untuk menunjukkan, mengingatkan kesalahan orang harus
diimbangi dengan kemampuan untuk memberikan solusi sehingga akan menimbulkan
kesan yang baik. Tapi secara umum penulis dengan sangat santun dan pada batas
kapabilatasnya telah mampu mengurai dan menjelaskan maksud yang dituliskannya.
Buku ini pas dibaca oleh aktifis gerakan Islam.
Manfaatnya ialah sebagai semacam evaluasi internal apakah selama ini gerakan
yang diatasnamakan Islam benar-benar berjalan sesuai dengan ril Islam atau jangan-jangan
sudah terlalu jauh dari tujuan inti Islam.
Judul Buku : التَّفْسِيْرُ السِّيَاسِيُّ لِلدِّيْنِ [al-Tafsiru al-Siyaasiyu li al-Diini].
Arti Judul : Tafsir Politik atas Agama.
Kategori : Pemikiran / Ideologi.
Pengarang : Wahidudin Khan
Penerbit : Daru al-Risalah al-Rabbaniyah .
Alamat Penerbit : Mishru Jadidah, Kairo, Mesir.
Edisi Cetakan : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku : 76 Halaman.
Harga Buku : -
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !