Menurut ilmu ‘Matematika manusia’, nilai satu tetaplah satu jika tidak ditambah, dikurangi, dikalkan, ataupun dibagi. Lain halnya dengan ‘matematika ketuhanan’ yang menjadikan satu bernilai lebih dari satu. Dalam ranah infaq misalnya, Allah berfirman: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. Bayangkan! 1 butir benih bisa menjadi tujuh bulir, yang masing-masing bulir bisa menjadi 100 biji. Dari segi nilai kebesaran seseorang, misalnya Nabi Ibrahim, disetarakan dengan umat: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang (setara) satu umat yang dapat dijadikan teladan”(Qs. An-Nahl: 120).
Dalam medan jihad, Allah berfirman: “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir”. (Qs. Al-Anfal: 65). 1 orang muslim sabar atau sedang dalam kondisi kuat, bernilai 10 orang. Sedangkan jika dalam kondisi lemah, maka 1 orang berbanding dua, sebagaimana firman-Nya: “... Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Anfal: 65-66).
Maka tidak mengherankan jika kaum muslimin di kebanyakan perangnya, mampu mengalahkan pasukan yang berjumlah berkali lipat dengan jumlah yang sedikit. Allah berfirman: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."(Qs. Al-Baqarah: 249). Dari sini, tidak mengherankan jika ada statemen menarik dari Khalifah Abu Bakar al-Shiddīq Ra.: “Suara al-Qa`qā` pada tentara, lebih baik dari lebih baik dari seribu laki-laki(baca: usudu al-Ghābah, 1/913)”. Bayangkan! Suaranya saja bernilai seribu pasukan, apalagi orangnya secara utuh? Sebuah gambaran nilai seorang pahlawan. Di kesempatan lain –menurut Dr. Raghib al-Sirjāni dalam Muhādharah Sirah Nabawiyah-, Abu Bakar juka menilai `Iyādh bin Ghanam setara dengan seribu orang.
Ketika Khalifah Umar bin Khattab Ra. mendengar ibu Khalid berkata: “Kamu (Khalid), lebih baik dari seribu seribu kaum”. Umar pun menimpali: “Benarlah jika ia berbicara demikian(baca: al-Bidāya wa al-Nihāyah, Ibnu Katsīr, 7/116)”. Di waktu yang lain, ketika Amru bin `Āsh meminta pada Umar tambahan pasukan untuk membebaskan Mesir, ia diberi empat ribu pasukan, yang masing-masing dikomando oleh satu panglima yang setara dengan seribu orang yaitu: Zubair bin `Awwām, Miqdād bin al-Aswad, `Ubādah bin Shāmit, Maslamah bin Mukhallad(baca: Umar bin Khattab, al-Shallābi, 63).
Mungkin kita akan bertanya: “Apa rahasia di balik itu semua?”. Jawabannya sederhana(meski sulit dicapai), yaitu: “kualitas”. Satu tapi berkualitas, akan setara dengan seribu tapi tidak berkualitas. Maka jangan heran jika ada riwayat dalam Sunan Tirmidzi: “Seorang yang paham agama, lebih ditakuti setan daripada seribu orang ahli ibadah(4/345)”. Ini semua berbicara tentang kualitas. Infaq meskipun secara kasat mata bernilai satu, namun karena dikeluarkan dalam rangka berjuang di jalan Allah, maka akan menjadi beratus-ratus kali lipat. Satu orang muslim yang mempunyai kualitas keimanan, kesabara, di medan jihad, setara dengan dua, sepuluh bahkan seribu orang. Semuanya menjadi berlipat ganda, jika berkualitas. Ciri berkualitasnya sesuatu dalam kacamata Islam, jika disandarkan pada Allah subhānahu wa ta`āla.
Sekarang mari bercermin pada diri sendiri. Kira-kira seorang kita, setara dengan berapa orang? 1, 10, 100, 1000, 10000, atau berapa? Jangan-jangan malah tidak bernilai sama sekali lantaran tidak berkualitas. Maka dari itu, langkah yang paling efektif yang butuh dilakukan oleh umat Islam, agar bisa bangkit, ialah meningkatkan kualitasnya pada segenap aspek kehidupan. Kualitas keimana, intelektual, ekonomi, kesehatan, militer, kepemimpinan dan lain sebagainya harus benar-benar berkualitas. Coba anda teliti, siapakah sekarang yang menguasai dunia? Mereka –dibandingkan jumlah penduduk dunia- hanya segelintir orang. Bila diprosentasikan, tidak sampai lima persen. Meski begitu, mereka mampu menggenggam dunia dengan tangannya.
Jika harus memilih, kualitas mana yang harus diprioritaskan dari sekian banyak kualitas, maka kualitas ketaatan dan keimanan harus diperbaiki terlebih dahulu. Suatu saat dalam syurat masyhur yang ditujukan Umar pada pasukannya, ia menyatakan: “Kalian tidak dimenangkan atas musuh kalian dengan (adanya) bekal dan persiapan, akan tetapi kalian ditolong hanyalah karena ketaatan kalian terhadap Tuhan, dan kemaksiatan mereka terhadap Tuhan. Jika kalian sama-sama bermaksiat, maka mereka akan lebih unggul dari kalian dengan kekuatan perbekalan dan kesiapan yang mereka miliki”. Meskipun riwayat ini belum jelas penyandaran sumbernya, paling tidak secara makna sudah benar dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, baik secara normatif maupun historis. Akhirnya: “Untuk ‘menembus batas’, mari menjadi manusia berkualitas”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !