Ketika tersiar kabar kematian Ja`far bin Abi Thālib dalam pertempuran Mu`tah(8 H), kesedihan pun tak terelakkan. Keluarga dan sanak familinya -termasuk Rasulullah shalallāhu ` `alaihi wasallam-, mengalami duka yang sangat dalam. Dalam kondisi seperti itu, beliau bersabda: “Buatlah (hidangkanlah) makanan untuk keluarga Ja`far, karena telah datang pada mereka perkara yang menyibukkan mereka”(Hr. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Mājah). Secara harfiah, hadits ini memerintahkan agar ketika muslim menjumpai orang yang sedang kesusahan lantaran ditinggal mati keluarganya, seyogyanya dibuatkan makanan (untuk meringankan kesedihan mereka).
Biasanya hadits ini dipahami sebagai dalil disyariatkannya membuat makanan bagi orang yang meninggal, bukan sebaliknya sebagaimana yang terjadi pada tradisi kaum muslimin di Indonesia. Namun, pembahasan pada tulisan ini tidak mengarah kepada ranah Fiqh. Hadits tersebut dibahas dalam bingkai pemahaman bagaimana Rasulullah shalallāhu ` `alaihi wasallam berinteraksi dengan orang-orang yang sedang terkena musibah. Dalam riwayat Abdu al-Razzāq, digambarkan betapa Rasulullah shalallāhu ` `alaihi wasallam begitu cepat merespon, ketika tersiar kabar tersebut. Beliau tidak larut dalam kesedihan, tapi segera mencarikan solusi agar keluarga yang ditinggal mati, segera bangkit dari kesusahan.
Dengan bingkai pemahaman seperti tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menjumpai orang yang sedang ditimpa musibah. Pertama, dari kata perintah ‘Buatlah!’, Nabi mengajarkan pada umatnya agar segera merespon dengan tindakan, atau mencari solusi penanganan. Orang terkena musibah itu tak cukup hanya dihibur dengan kata ‘sabar’ dan ‘sabar’. Mereka butuh bantuan konkrit yang dapat meringankan beban kesedian. Ketiga, yang dibuat ialah makanan. Pada waktu itu makanan adalah salah satu bantuan konkrit yang bisa meringankan kesedihan. Namun semangat inti dari kata ‘makanan’ ialah bantuan pokok yang bisa membuat mereka teringankan bebannya. Untuk saat ini, kita bisa menyumbangkan apa saja yang bermanfaat untuk menghibur orang yang terkena musibah.
Ketiga, kata ‘untuk keluarga Ja`far’ bukan berarti hanya dikhususkan kepada keluarganya, tetapi untuk siapa saja yang sedang ditimpa musibah. Ada sebuah kaidah yang perlu diperhatikan: “yang teranggap ialah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab”. Keempat, musibah tidak terbatas pada kematian, tapi segala musibah besar(seperti: bencana alam dll) yang bisa membuat orang sedih. Karena potongan hadits terakhir berbunyi: “telah datang pada mereka perkara yang menyibukkan mereka”. Dengan demikian, ketika kita menjumpai orang yang terkena bencanana –contohnya seperti yang menimpa pesawat Air Asia misalnya-, maka harus segera merespon dengan bantuan, bukan sekadar kata-kata, yang malah menambah kesedihan.
Sangat ironis memang, ketika melihat pemberitaan media yang begitu gencar dan intensif, kadang tidak diimbangi dengan hal-hal konkrit yang bisa menghibur keluarga. Malah yang tersirat, mereka dijadikan sebagai ‘eksploitasi pemberitaan’, sehingga yang diliput bukanlah bagaimana upaya mencari solusi untuk menangani bencana, tetapi mengumpulkan hal-hal menarik dan kontroversial yang bisa mendongkrak keuntungan media. Bercermin pada hadits nabi di atas, semestinya kita mampu bersikap dengan sebaik-baiknya ketika menjumpai orang yang sedang terkena musibah, yaitu: segera merespon untuk mencari solusi terbaik, memberikan bantuan konkrit, dan tidak menambah mereka bersedih. Dengan demikian, semoga kita bisa menapaktilasi jejak Rasulullah dalam menangani orang yang sedang ditimpa musibah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !