Ketika
membaca lanskap sejarah Islam, yang dipenuhi oleh dinamika kepemimpinan yang
silih berganti –baik yang suksesmaupun yang gagal-, kita akan menemukan
beberapa unsur yang harus dipenuhi, agar kepemimpinan bisa berdiri tegak. Di
antara unsur itu ialah, kebenaran, kebaikan, keberanian, kecakapan , menajerial,
kesabaran(ketahanan), dan kecerdasan. Jika harus dipilih –berdasarkan skala
prioritas-, maka yang patut ada ialah keberanian, kesabaran dan kemampuan
manajerial(baik menggerakkan atau mengatur pasukan).
Bila
pemimpin baik dan benar, namun tidak memiliki keberanian, kesabaran dan
kemampuan manajerial, maka ia hanya baik bagi diri sendiri, namun tidak bisa
menebarkan kebaikan pada orang lain. Kalau meminjam istilah al-Qur`an, ia hanya
masuk dalam kategori ‘shālih(baik
secara pribadi)’ , bukan ‘mushlih(mampu membuat perbaikan/mentransfer
kebaikan pada orang lain)’. Itu sebabnya dalam sejarah, pemimpin yang baik dan
benar, namun penakut, biasanya malah akan menjadi bumerang bagi negara.
Sebagai
contoh misalnya –tanpa membatasi-, apa yang terjadi pada pemimpin Dinasti Abbāsiyah terakhir, al-Musta`shim
Billāh. Secara personal dia
memang baik. Ia rajin beribadah, berakidah lurus, banyak membaca al-Qur`an,
dermawan. Lihat bagaimana Imam Ibnu Katsīr
menggambarkan sosoknya:
وقد كان حسن الصورة جيدالسريرة
صحيح العقيدة مقتديا بأبيه المستنصر في المعدلة وكثرة الصدقات وإكرام العلماء والعباد
البداية والنهاية
(13/ 204)
“(al-Musta`shim) memiliki
citra, jiwa, akidah yang baik. Ia meneladani bapaknya, al-Mustanshir dalam hal
keadilan, banyaknya bersedekah, dan memuliakan ulama dan orang-orang yang
beribadah”(al-Bidāyah
wa al-Nihāyah,
13/204).
Pada
tahun 656 H/1258 M, kebaikan dan kebenaran yang diyakininya tak mampu
menyelamatkan kota Baghdad dari serbuan Tartar, yang dikomandoi Hulaghu Khan.
Apa ada yang salah dengan kebenaran dan kebaikan? Sebenarnya tidak. Tapi bagi
seorang pemimpin, keduanya adalah bagian dari unsur-unsur penting yang dimiliki
pemimpin. Keduanya harus beriring, keberanian, kesabaran dan kecakapan dalam manajerial.
Karena tak cakap dalam urusan politik, akhirnya ia salah memilih wazīr, Ibnu al-`Alqami, yang
malah bersekongkol dengan pasukan Hulagu khan. Karena tak mempunyai keberanian,
ia setuju ketika al-`Alqami mengusulkan untuk mengurangi jumlah pasukan, dan
memilih perdamaian dengan Tartar. Kalau keberanian sudah tanggal, bagaimana
mungkin bisa sabar. Akibatnya jelas. Kota Baghdad sebagai mercusuar peradaban
dunia kala itu, hangus diluluhlantakkan oleh pasukan Mongol. Sebuah referensi
berharga bagi siapa saja yang memilih pemimpin.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !