Di pagi
buta, selepas shalat Shubuh, Aisyah mengurung diri di kamar. Ia duduk memangku
al-Qur`an, sembari membacanya perlahan-lahan. Setelah selesai membaca, ia
pandangi fhoto mendiang orang tua, yang baru kemaren dipanggil Sang Pencipta.
Dalam kondisi seperti itu, hatinya bergumam pilu: “Abah, air mata ini sudah
mulai mengering, namun kesedihan masih mingiring. Kenangan bersamamu tak
gampang lekang, meski di sampingku banyak orang. Duka dan lara semakin
menyelimuti jiwa, sedang raga tak bergeming ba` batu bata. Setiap kali aku
berusaha menenangkan diri, sungguh rekaman kasih tentang dirimu tak pernah
pergi. Ketika berdiri, bayangmu seolah menari-nari. Ketika aku duduk, tersirat
wajahmu yang sedang menunduk. Ketika aku berbaring, tersirat memori penting.
Saat kau berusaha sekuat tenaga, berjuang agar aku tak hidup sengsara. Saat
keringat dan peluhmu bercucuran, demi kesuksesas sekolahku yang engkau
dambakan. Saat kesenangan pribadi dikorbankan, agar aku sukses menjalani ujian.
Semua itu pasti susah aku ganti, karena kasihmu tak pernah mati. Tidak mungkin
aku melupakanmu, karena ‘bunga nilai’ yang kamu ajarkan tak pernah layu. Di tempat
peristirahatanmu, aku doakan engkau selalu dalam ‘selimut rahmat-Nya’. Di sini
aku berusaha sekuat tenaga, menjadi anak shalihah yang selalu berbakti pada
orang tua”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !