Home » » Negara Wudhu & Tayammum

Negara Wudhu & Tayammum

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Januari 2015 | 09.48

            Ketika mengikuti Forum Kenduri Cinta -via streaming- tadi malam, Sarikhuluk mendapatkan idiom menarik dari Kiai Mbeling. “Negara sebrang -barang kali Indonesia- kalau kita menggunakan idiom wudhu dan tayammum dalam khazanah fiqih Islam, kira-kira masuk yang mana? Negara tayammum atau negara wudhu?” Tanya Kiai Mbeling pada audiens. Suasana pun hening sesaat, kemudian ia memberi dasar pijak pemahaman: “Pada asalnya `kan yang namanya shalat itu syaratnya harus wudhu, jika ada air. Kalau tidak ada air baru tayammum. Bila dianalogikan pada skala negara, lebih pas mana analogi untuk ‘negara sebrang’? wudhu apa tayammum?”. Para audiens pun serentak menjawab: “Tayamuuuuuuuuuuuuum”. “Lho kenapa?” tanyanya. “Karena negara sebrang adalah negara darurat, negara rukhsah. Sebenarnya gak layak, tapi daripada ga ada apa boleh buat. Negara tayammun ga apa-apa timbang nanti hancur” jawab mereka.
            Menurut Sarikhuluk, idiom yang ia dapat tadi malam itu merupakan kritikan mendasar terhadap problem yang dihadapi negara sebrang saat ini. Bagaimana tidak, negara yang seharusnya berfungsi sebagai media untuk mensejahterakan rakyat, dan menciptakan setabilitas keamanan, justru –aparaturnya-  sibuk dengan teatrika drama adu kebijakan, kontroversi, ketidakonsistenan dan berbagai macam tindakan absurd lainnya. Kondisi ini digambarkan seperti orang yang sedang tayammumm. Sebuah gambaran yang sebenarnya cocok dalam kondisi terpaksa tidak ada air. Sebenarnya untuk ukuran normal, tadak ada kepantasan apapun yang dimiliki oleh aparatur negara, namun apa boleh buat, ibarat wudhu, air –keamanahan- tidak ada lagi. Akhirnya ya tayammum saja. Daripada tidak ada negara sama sekali, malah nanti tambah bahaya. `Kan ada kaidah fiqih: “yang tak bisa didapat semua, tidak ditinggalkan semuanya”.
            Yang lebih menggelitik pada forum tersebut, Sarikhuluk mendapat idiom lain yang lebih menohok: “Batu dan permata jelas berbeda. Pada negara bersistem demokrasi tidak memungkinkan untuk mengetahui perbedaan itu. Semua dianggap sama. Bukan berarti ini mengunggul-unggulkan permata atas batu, sama sekali bukan karena masing-masing mempunyai maqom dan fungsi yang berbeda dan tidak bisa dikontradiksikan. Yang menjadi masalah kemudian ialah, dalam sistem demokrasi sangat memungkinkan batu diposisikan sebagai permata atau permata diposisikan sebagai batu. Kira-kira Kepala Negara Sebrang –barangkali Indonesia- itu yang saat ini menjabat, masuk sebagai batu yang diposisikan permata, atau permata yang diposisikan batu?” tanya Kiai Mbeling.

“Batuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.” Jawab audiens serrempak. “Waduh,” keluh Sarikhuluk. Dipikir-pikir jawaban audiens tadi ada benarnya. Dalam era yang sekarang dikuasai media, sangat memungkinkan untuk memanipulasi fakta. Roti jadi tai, tai jadi roti itu adalah pekerjaan yang mudah. Sarikhuluk pun tereingat dengan Media Dajjal(baca: http://amoehirata.blogspot.com/2014/04/media-dajjal.html). Ia sekarang hanya bisa mendoakan, semoga perkiraannya salah.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan