Ketika
mengikuti Forum Kenduri Cinta -via streaming- tadi malam, Sarikhuluk mendapatkan idiom menarik dari Kiai Mbeling. “Negara sebrang -barang kali Indonesia- kalau kita
menggunakan idiom wudhu dan tayammum dalam khazanah fiqih Islam, kira-kira
masuk yang mana? Negara tayammum atau negara wudhu?” Tanya Kiai Mbeling pada
audiens. Suasana pun hening sesaat, kemudian ia memberi dasar pijak pemahaman: “Pada
asalnya `kan yang namanya shalat itu syaratnya harus wudhu, jika ada air. Kalau
tidak ada air baru tayammum. Bila dianalogikan pada skala negara, lebih pas
mana analogi untuk ‘negara sebrang’? wudhu apa tayammum?”. Para audiens pun
serentak menjawab: “Tayamuuuuuuuuuuuuum”. “Lho kenapa?” tanyanya. “Karena
negara sebrang adalah negara darurat, negara rukhsah. Sebenarnya gak layak,
tapi daripada ga ada apa boleh buat. Negara tayammun ga apa-apa timbang nanti
hancur” jawab mereka.
Menurut
Sarikhuluk, idiom yang ia dapat tadi malam itu merupakan kritikan mendasar
terhadap problem yang dihadapi negara sebrang saat ini. Bagaimana tidak, negara
yang seharusnya berfungsi sebagai media untuk mensejahterakan rakyat, dan menciptakan
setabilitas keamanan, justru –aparaturnya- sibuk dengan teatrika drama adu kebijakan,
kontroversi, ketidakonsistenan dan berbagai macam tindakan absurd
lainnya. Kondisi ini digambarkan seperti orang yang sedang tayammumm. Sebuah
gambaran yang sebenarnya cocok dalam kondisi terpaksa tidak ada air. Sebenarnya
untuk ukuran normal, tadak ada kepantasan apapun yang dimiliki oleh aparatur
negara, namun apa boleh buat, ibarat wudhu, air –keamanahan- tidak ada lagi.
Akhirnya ya tayammum saja. Daripada tidak ada negara sama sekali, malah nanti
tambah bahaya. `Kan ada kaidah fiqih: “yang tak bisa didapat semua, tidak
ditinggalkan semuanya”.
Yang
lebih menggelitik pada forum tersebut, Sarikhuluk mendapat idiom lain yang
lebih menohok: “Batu dan permata jelas berbeda. Pada negara bersistem demokrasi
tidak memungkinkan untuk mengetahui perbedaan itu. Semua dianggap sama. Bukan
berarti ini mengunggul-unggulkan permata atas batu, sama sekali bukan karena
masing-masing mempunyai maqom dan fungsi yang berbeda dan tidak bisa
dikontradiksikan. Yang menjadi masalah kemudian ialah, dalam sistem demokrasi
sangat memungkinkan batu diposisikan sebagai permata atau permata diposisikan
sebagai batu. Kira-kira Kepala Negara Sebrang –barangkali Indonesia- itu yang
saat ini menjabat, masuk sebagai batu yang diposisikan permata, atau permata
yang diposisikan batu?” tanya Kiai Mbeling.
“Batuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.”
Jawab audiens serrempak. “Waduh,” keluh Sarikhuluk. Dipikir-pikir jawaban
audiens tadi ada benarnya. Dalam era yang sekarang dikuasai media, sangat
memungkinkan untuk memanipulasi fakta. Roti jadi tai, tai jadi roti itu adalah
pekerjaan yang mudah. Sarikhuluk pun tereingat dengan Media Dajjal(baca: http://amoehirata.blogspot.com/2014/04/media-dajjal.html).
Ia sekarang hanya bisa mendoakan, semoga perkiraannya salah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !