Sinyo
Sangidu(bukan nama sebenarnya) pada suatu pagi berinisiatif untuk menemui
langsung Sarikhuluk. Selama ini, ia mendengarnya sebagai sosok yang multi
disipliner, penggerak sosial, ‘ulama halus’(sebagai istilah dari ulama yang
dalam ilmunya, tapi tak diketahui orang lantaran dandanan ala kadarnya layaknya
orang desa), pendidik, motivator ulung, dan lain sebagainya. Dalam bayangannya,
orang yang mempunyai segudang keahlian itu, pasti terpelajar, berpendidikan
tinggi, kaya, dan lain sebagainya. Ia tak sabar ingin menemuinya untuk
berkonsultasi mengenai permasalahan yang sedang menimpa diri dan jama`ah
kampungnya.
Setelah
berusaha sekuat tenaga, akhirnya bisa menemukan rumah Sarikhuluk. Alangkah terkejutnya
ketika ia tahu tempat tinggal Sarikhuluk. Tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan rumah orang kaya dan terpelajar. Rumahnya berdinding anyaman bambu,
tidak berpagar, dan menjadi tempat lalu lalang orang kampung. Di sampingnya ada
pendopo tua yang dalam pandangannya tidak terlalu istimewa. Kesan pertama yang
ia rasakan, ia telah salah persepsi. Namun karena sudah terlanjur datang dengan
menempuh perjalanan yang sangat jauh, akhirnya –dengan berat hati- akhirnya ia
menyempatkan diri untuk bertanya.
“Pak
maaf sebelumnya, saya mau bertanya, apa benar ini rumah Sarikhuluk yang
terkenal sebagai sosok yang multi disipliner, penggerak sosial, ‘ulama
halus’, pendidik, motivator ulung? Apa saya salah alamat ya” tanya Sinyo kepada
orang paruh baya yang sedang menyapu di samping pendopo. “Benar mas, ini rumah
Sarikhuluk. Oya ada perlu apa ya Mas?. Orangnya masih ada keperluan”. “Begini
pak, saya mau konsultasi tentang permasalahan keagamaan yang sedang saya alami
di desa saya. Dan saya merasa, permasalahan ini bisa diselesaikan oleh
Sarikhuluk”. “Permasalahan apa kalau boleh tau?”. “Permasalahan jama`ah kampung
saya pak, yang semakin hari semakin parah”.
“Lho
parah gimana?”. “Sekarang mereka tambah jauh dari agama. Ga mau ngaji. Sukanya
hal-hal duniawi. Saya ajak untuk meramaikan masjid sangat jarang yang mau. TPQ
jadi sepi. Anak-anak lebih suka nonton TV” begitu seterusnya berjam-jam ia
curhat pada orang yang tidak dikenal itu. Ia merasa nyaman dan asyik ngobrol dengan
orang tersebut. Ketika sudah asyik dan cair itulah, orang tersebut memberi
masukan, “Mas, bukannya saya menggurui, Cuma saya mau berbagi pengalaman seja.
Terkadang ilmu hanya menjadi benalu. Benalu itu seperti yang kita ketahui `kan
selalu identik dengan sesuatu negatif, hidupnya tidak mandiri dan selalu
numpang, bahkan jadi beban bagi masyarakat. Zaman sekarang ini mas, yang namanya
da`i dan ustadz sudah membanjir”.
“Dulu zaman saya masih kecil, ga usum(musim)
kaya` gitu. Adanya hanya Kiai, yang memiliki keahlian beranekaragam, dan mampu
berperan secara aktif untuk masyarakat sekitar. Lha sekarang, banyaknya
ustadz tidak berbanding lurus dengan taraf keimanan masyarakat. Para pelawak
akhirnya lebih milih jadi ustadz lantaran mereka sudah kalah lucu. Ustadz sudah
menjadi semacam komoditi sosial. Kalau sudah begitu, ilmu hanya menjadi benalu.
Tidak membuat orang lain bertambah iman, tapi bertambah eman. Ilmu malah
menjadi bumerang bagi empunya. Ia berkoar-koar mengajak orang, sedangkan diri
sendiri melanggar. Banyak memberi nasehat, diri sendiri suka bermaksiat. Banyak
berdakwah, sedang diri tak terjamah”.
Sinyo
mendengar dengan penuh khusyu`. Dirinya merasa sadar jika selama ini ada yang
salah dengan dirinya. Selama ini dia memperlakukan ilmu bukan dengan
sebagaimana mestinya. Ilmu malah membuatnya sombong, sehingga menganggap orang
lain bodoh-bodoh. Mungkin sikap itulah yeng membuat orang kampung menjauhinya.
Ia pun bertanya pada orang tersebut: “Pak bagaimana caranya biar ilmu tidak
menjadi benalu?”. “Wah, pertanyaan sampen berat Mas. Kalau saya jawab, nanti
kalau saya sendiri tidak bisa mengamalkan, ilmu yang saya sampaikan akan
menjadi benalu bagi saya. Tapi sederhananya begini, ingat selalu tiga kata ketika
berinteraksi dengan ilmu, yaitu: DARI, UNTUK dan SUDAH”. “Lho, maksudnya
apa Pak?”.
“Sebenarnya
sederhana maksudnya. Di kampung Jumeneng selalu menerapkan itu. Untuk kata, ‘DARI’,
penjabarannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Dari mana dan mana ilmu
didapat? Dari mana ilmu dimulai dan dipraktikkan?. Kemudian kata, ‘UNTUK’, pertanyaannya
sebagai berikut: “Untuk apa dan siapa ilmu dicari?. Sedangkan yang terakhir, “SUDAH’,
mempunyai perincian sebagai berikut: “Sudahkah ilmu diamalkan? Sudahkah ilmu
bermanfaat? Sudahkah ilmu diajarkan? dan lain sebagainya. Kalau sejak awal
mencari ilmunya dari orang yang kompeten, untuk dipraktikkan dalam kehidupan
pribadi kemudian orang lain, dan itu sudah terlaksana dengan baik, maka ilmu sampean
tak bakal menjadi benalu”.
Dalam
hati Sinyo bergumam: “Apa yang disampaikan oleh bapak ini sebenarnya sederhana,
dan aku sendiri sudah tahu. Tapi entah mengapa, kata-katanya seolah penuh
dengan energi spiritual yang bisa membangkitkan imanku kembali. Ia sekan tidak
berbicara dengan mulut, tapi langsung dari relung hati. Segala ucapan yang
keluar dari lisannya terasa berbobot dan tak terkesan menggurui. Selama obrolan
yang panjang tadi, ia hanya cerita tentang pengalaman-pengalamannya bersama
teman-teman, tapi melalui cerita-cerita itulah nasihatnya seolah mengalir deras
membanjiri jiwaku. Ah orang hebat macam apa ini?. Kalau penduduk kampungnya
saja seperti ini, apalagi dengan Sarikhuluk”. Setelah empat jam menunggu, belum
muncul-muncul, HP-nya berbunyi. Rupanya diri istrinya yang sudah ada
tanda-tanda melahirkan. Ia pun pamit dan mengucapkan terimakasih
sebanyak-banyaknya.
Betapa
kagetnya ia, setelah sampai terminal melalui jasa tukang ojek ia bertanya: “Mas,
sampean `kan penduduk asli desa Jumeneng? Pak Sarikhuluk kemana ya kok ndak
pulang-pulang”. “Lho, sampean itu bagaimana sih. Yang sampean ajak
ngobrol tadi berjam-jam tadi, ya itu Sarikhuluk.” Jawab tukang ojek
sekenanya. “Tadi saya tanya dia kok
bilangnya sedang ada keperluan?”. “`Kan memang sedang ada keperluan menyapu dan
menemani anda ngobrol? Emang sampean sudah tanya namanya?”. “Belum”. “Ya itu salah sampean. Sarikhuluk itu
tidak peduli dengan eksistensi dirinya. Baginya yang penting adalah bagaimana
bisa membuat manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain”.
Dengan
perasaan sedih, menyesal dan haru, akhirnya Sinyo bertekad, akan segera bertemu
Sarikhuluk selepas istrinya melahirkan. Ia sudah tertipu dengan penampilan
Sarikhuluk yang sangat sederhana, tapi menyimpan sejuta pesona. Segala
penilaiannya yang berbau kedunian(terkait kekayaan, intelektualitas, dan
berbagai gelar lainnya), runtuh total ketika berbicara dengan Sarikhuluk.
Sarikhuluk tidak bisa diukur dengan materi, tapi hati. Ia benar-benar
bersyukur, bisa diperjumpakan dengan Sarikhuluk. Ia sangat berharap bisa
berjumpa kembali dengan dialog yang lebih intensif. Kesan yang tidak bisa
dilupakan ialah kata-kata: “Ketika ilmu hanya untuk tahu, maka akan menjadi
benalu. Benalu selalu menjadi beban, bukan kemudahan. Membuat orang menjauh,
bukan patuh. Manjadikan orang pongah, buka pasrah. Ilmu untuk diamalkan, bukan
diomelkan”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !