Home » » Ketika Ilmu Menjadi Benalu

Ketika Ilmu Menjadi Benalu

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 10 Januari 2015 | 18.02

            Sinyo Sangidu(bukan nama sebenarnya) pada suatu pagi berinisiatif untuk menemui langsung Sarikhuluk. Selama ini, ia mendengarnya sebagai sosok yang multi disipliner, penggerak sosial, ‘ulama halus’(sebagai istilah dari ulama yang dalam ilmunya, tapi tak diketahui orang lantaran dandanan ala kadarnya layaknya orang desa), pendidik, motivator ulung, dan lain sebagainya. Dalam bayangannya, orang yang mempunyai segudang keahlian itu, pasti terpelajar, berpendidikan tinggi, kaya, dan lain sebagainya. Ia tak sabar ingin menemuinya untuk berkonsultasi mengenai permasalahan yang sedang menimpa diri dan jama`ah kampungnya.
            Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya bisa menemukan rumah Sarikhuluk. Alangkah terkejutnya ketika ia tahu tempat tinggal Sarikhuluk. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan rumah orang kaya dan terpelajar. Rumahnya berdinding anyaman bambu, tidak berpagar, dan menjadi tempat lalu lalang orang kampung. Di sampingnya ada pendopo tua yang dalam pandangannya tidak terlalu istimewa. Kesan pertama yang ia rasakan, ia telah salah persepsi. Namun karena sudah terlanjur datang dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, akhirnya –dengan berat hati- akhirnya ia menyempatkan diri untuk bertanya.
            “Pak maaf sebelumnya, saya mau bertanya, apa benar ini rumah Sarikhuluk yang terkenal sebagai sosok yang multi disipliner, penggerak sosial, ‘ulama halus’, pendidik, motivator ulung? Apa saya salah alamat ya” tanya Sinyo kepada orang paruh baya yang sedang menyapu di samping pendopo. “Benar mas, ini rumah Sarikhuluk. Oya ada perlu apa ya Mas?. Orangnya masih ada keperluan”. “Begini pak, saya mau konsultasi tentang permasalahan keagamaan yang sedang saya alami di desa saya. Dan saya merasa, permasalahan ini bisa diselesaikan oleh Sarikhuluk”. “Permasalahan apa kalau boleh tau?”. “Permasalahan jama`ah kampung saya pak, yang semakin hari semakin parah”.
            “Lho parah gimana?”. “Sekarang mereka tambah jauh dari agama. Ga mau ngaji. Sukanya hal-hal duniawi. Saya ajak untuk meramaikan masjid sangat jarang yang mau. TPQ jadi sepi. Anak-anak lebih suka nonton TV” begitu seterusnya berjam-jam ia curhat pada orang yang tidak dikenal itu. Ia merasa nyaman dan asyik ngobrol dengan orang tersebut. Ketika sudah asyik dan cair itulah, orang tersebut memberi masukan, “Mas, bukannya saya menggurui, Cuma saya mau berbagi pengalaman seja. Terkadang ilmu hanya menjadi benalu. Benalu itu seperti yang kita ketahui `kan selalu identik dengan sesuatu negatif, hidupnya tidak mandiri dan selalu numpang, bahkan jadi beban bagi masyarakat. Zaman sekarang ini mas, yang namanya da`i dan ustadz sudah membanjir”.
“Dulu zaman saya masih kecil, ga usum(musim) kaya` gitu. Adanya hanya Kiai, yang memiliki keahlian beranekaragam, dan mampu berperan secara aktif untuk masyarakat sekitar. Lha sekarang, banyaknya ustadz tidak berbanding lurus dengan taraf keimanan masyarakat. Para pelawak akhirnya lebih milih jadi ustadz lantaran mereka sudah kalah lucu. Ustadz sudah menjadi semacam komoditi sosial. Kalau sudah begitu, ilmu hanya menjadi benalu. Tidak membuat orang lain bertambah iman, tapi bertambah eman. Ilmu malah menjadi bumerang bagi empunya. Ia berkoar-koar mengajak orang, sedangkan diri sendiri melanggar. Banyak memberi nasehat, diri sendiri suka bermaksiat. Banyak berdakwah, sedang diri tak terjamah”.
            Sinyo mendengar dengan penuh khusyu`. Dirinya merasa sadar jika selama ini ada yang salah dengan dirinya. Selama ini dia memperlakukan ilmu bukan dengan sebagaimana mestinya. Ilmu malah membuatnya sombong, sehingga menganggap orang lain bodoh-bodoh. Mungkin sikap itulah yeng membuat orang kampung menjauhinya. Ia pun bertanya pada orang tersebut: “Pak bagaimana caranya biar ilmu tidak menjadi benalu?”. “Wah, pertanyaan sampen berat Mas. Kalau saya jawab, nanti kalau saya sendiri tidak bisa mengamalkan, ilmu yang saya sampaikan akan menjadi benalu bagi saya. Tapi sederhananya begini, ingat selalu tiga kata ketika berinteraksi dengan ilmu, yaitu: DARI, UNTUK dan SUDAH”. “Lho, maksudnya apa Pak?”.
            “Sebenarnya sederhana maksudnya. Di kampung Jumeneng selalu menerapkan itu. Untuk kata, ‘DARI’, penjabarannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Dari mana dan mana ilmu didapat? Dari mana ilmu dimulai dan dipraktikkan?. Kemudian kata, ‘UNTUK’, pertanyaannya sebagai berikut: “Untuk apa dan siapa ilmu dicari?. Sedangkan yang terakhir, “SUDAH’, mempunyai perincian sebagai berikut: “Sudahkah ilmu diamalkan? Sudahkah ilmu bermanfaat? Sudahkah ilmu diajarkan? dan lain sebagainya. Kalau sejak awal mencari ilmunya dari orang yang kompeten, untuk dipraktikkan dalam kehidupan pribadi kemudian orang lain, dan itu sudah terlaksana dengan baik, maka ilmu sampean tak bakal menjadi benalu”.
            Dalam hati Sinyo bergumam: “Apa yang disampaikan oleh bapak ini sebenarnya sederhana, dan aku sendiri sudah tahu. Tapi entah mengapa, kata-katanya seolah penuh dengan energi spiritual yang bisa membangkitkan imanku kembali. Ia sekan tidak berbicara dengan mulut, tapi langsung dari relung hati. Segala ucapan yang keluar dari lisannya terasa berbobot dan tak terkesan menggurui. Selama obrolan yang panjang tadi, ia hanya cerita tentang pengalaman-pengalamannya bersama teman-teman, tapi melalui cerita-cerita itulah nasihatnya seolah mengalir deras membanjiri jiwaku. Ah orang hebat macam apa ini?. Kalau penduduk kampungnya saja seperti ini, apalagi dengan Sarikhuluk”. Setelah empat jam menunggu, belum muncul-muncul, HP-nya berbunyi. Rupanya diri istrinya yang sudah ada tanda-tanda melahirkan. Ia pun pamit dan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.
            Betapa kagetnya ia, setelah sampai terminal melalui jasa tukang ojek ia bertanya: “Mas, sampean `kan penduduk asli desa Jumeneng? Pak Sarikhuluk kemana ya kok ndak pulang-pulang”. “Lho, sampean itu bagaimana sih. Yang sampean ajak ngobrol tadi berjam-jam tadi, ya itu Sarikhuluk.” Jawab tukang ojek sekenanya.  “Tadi saya tanya dia kok bilangnya sedang ada keperluan?”. “`Kan memang sedang ada keperluan menyapu dan menemani anda ngobrol? Emang sampean sudah tanya namanya?”.  “Belum”. “Ya itu salah sampean. Sarikhuluk itu tidak peduli dengan eksistensi dirinya. Baginya yang penting adalah bagaimana bisa membuat manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain”.
Dengan perasaan sedih, menyesal dan haru, akhirnya Sinyo bertekad, akan segera bertemu Sarikhuluk selepas istrinya melahirkan. Ia sudah tertipu dengan penampilan Sarikhuluk yang sangat sederhana, tapi menyimpan sejuta pesona. Segala penilaiannya yang berbau kedunian(terkait kekayaan, intelektualitas, dan berbagai gelar lainnya), runtuh total ketika berbicara dengan Sarikhuluk. Sarikhuluk tidak bisa diukur dengan materi, tapi hati. Ia benar-benar bersyukur, bisa diperjumpakan dengan Sarikhuluk. Ia sangat berharap bisa berjumpa kembali dengan dialog yang lebih intensif. Kesan yang tidak bisa dilupakan ialah kata-kata: “Ketika ilmu hanya untuk tahu, maka akan menjadi benalu. Benalu selalu menjadi beban, bukan kemudahan. Membuat orang menjauh, bukan patuh. Manjadikan orang pongah, buka pasrah. Ilmu untuk diamalkan, bukan diomelkan”.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan