Home » » Politisasi Karbala

Politisasi Karbala

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Januari 2015 | 08.02

Apa yang terlintas di benak anda ketika disebut kata, ‘Karbala’? Bagi yang mengerti pasti akan mengingat satu sosok bersejarah bernama Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia merupakan adik kandung Hasan bin Ali. Meskipun keduanya sama-sama disaksikan Rasulullah sebagai pemimpin pemuda ahli surga, namun keduanya memiliki karakter yang berbeda. Kejadian di Karbala menyiratkan akan makna penting bahwa kecendrungan perjuangan Husain ialah melalui jalur politik dan kekuasaan. Sedangkan Hasan -yang sifat dan bentuk fisiknya digambarkan dalam suatu riwayat paling mirip dengan Rasulullah- sama sekali memiliki sikap dan kecendrungan yang berbeda dengan adiknya, Ia lebih melalui jalur lain selain politik. Karakter bawaan yang lebih menyukai perdamaian, membuatnya terabadikan dalam sejarah sebagai tokoh kunci yang sudah jauh-jauh hari diramalkan oleh Rasulullah sebagai pendamai kaum muslimin yang lagi bertikai, tepatnya hari itu diabadikan dengan nama yaumul jamaa`ah(hari bersatunya kaum muslimin di bawah naungan satu penguasa pada tahun 41 Hijriah).
  Sedangkan Husain yang lebih ngotot dengan ijtihad pribadinya untuk tetap menentang kekuasaan melalui jalur politik harus rela menemui takdir kematiannya di bumi Karbala`. Ironisnya kebanyakan kaum muslim baik itu dari kalangan syiah maupun sunni lebih  menokohkan dan mengagungkan Husain. Bahkan ada acara khusus untuk memperingati gugurnya Husain pada tanggal 10 Muharram. Kisah kakak beradik ini diterangkan sedemikian rupa oleh penulis melalui rujukan-rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dari buku-buku sejarah yang pada intinya perjuangan melalui jalur politik dan kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka bagi umat Islam jika itu dijadikan tumpuan utama. Padahal masih banyak ranah lain untuk memperjuangkan Islam.
Buku ini ditulis oleh  Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
               Di awal pembahasan penulis menjelaskan bahwa: Hasan dan Husain merupakan tipikal yang merepresentasikan dua orientasi bertentangan dalam sejarah Islam.  Hasan orientasinya bukan pada politik, sedangkan Husain mempunyai orientasi politik. Hasan memilih damai dengan Mu`awiyah dalam peristiwa Aamul Jamaa`ah tahun 41 H. Sedangkan Husain lebih memilih konflik secara frontal dengan Mu`awiyah. Keputusan Hasan melahirkan perdamaian di kalangan muslimin dan meredam potensi perang saudara. Sedangkan keputusan Husain mengantarkannya pada kematian tragis di Karbala`. Anehnya, yang lebih diingat dan dikenang baik di kalangan orang Syi`ah maupun Sunni ialah Husain. Bahkan secara khusus  ada tradisi perayaan 10 Muharram untuk memperingati peristiwa Karbala`. Meskipun peristiwa Karbala` sangat populer, namun sayangnya sama sekali tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan peristiwa sejarah. Ajaran Islam dan peristiwa sejarah sama-sama menolak contoh (peristiwa) semacam ini.
          Sebelum datangnya Islam di Makkah ada dua kabilah Qurays yang sangat istimewa yaitu Klan Abdi Manaf (Klan Hasyim) dan Klan Umayyah. Kedua kabilah ini sejak sebelum Islam sudah saling bersaingan. Klan Umayyah tak mampu mengungguli klan Hasyim, bahkan masuk Islam ketika tahun 8 Hijriah. Ketika masa khulafaurasyidin Masa Khalifah Utsman dianggap sebagai yang mewakili klan Umayyah sedangkan masa Ali mewakili Klan Hasyim. Setelah Ali meninggal diganti Hasan. Tahun 41 H Hasan memilih damai dan menyerahkan kekuasaan ke Muawiyah. Praktis 20 tahun kondisi kaum muslimin aman dan bisa memperluas wilayah di bawah pimpinan Mu`awiyah(W 60 H). 
         Sepeninggal Mu`awiyah konflik kekuasaan dimulai kembali. Husain tak mau bersikap seperti saudaranya, ia memilih menentang pemerintahan resmi. Dari sinilah titik tolak terjadinya tragedi 10 Muharram di Karbala` dimana Husain beserta pengikutnya yang tinggal 72 orang harus melawan pasukan bersenjata lengakap kiriman Yazid bin Muaawiyah yang berjumplah hampir 72 ribu pasukan. Sebenarnya waktu itu Husain mau berdamai dengan menyampaikan tiga opsi, namun karena Ubaidillah bin Ziyad dihasut oleh Syarmadzi Al-Jausyan, akhirnya pembunuhan Husain pun tak terelakkan.
Pengganti Muawiyah ialah Yazid bin Muawiyah, ketika diangkat menjadi pengganti ayahnya ia langsung mengirim Walid bin `Utbah bin Abi Sufyan untuk mengambil baiat di Madinah. Husain menolak. Pada hari kedua beserta keluarganya pergi ke Makkah.  Karena Makkah tak memungkinkan untuk menjadi khalifah lantaran ada khalifah Abdullah bin Zubair maka dari itu Husain pergi Kufah. Sedangkan Hasan, setelah melepas diri dari kekuasaan Ia kembali ke kampung halamannya, Madinah. Husain ke Kufah karena disurati penduduk Kufah yang ingin mendukung menjadikannya khalifah.
Surat yang sampai kepada Husain kala itu hampir mencapai 150 surat. Hasan sudah menasehati Husain sedemikian rupa untuk tak pergi, namun Husain bersi keras: karena menurut Hasan tak mungkin kabilah kita memegang kenabian dan khilafa sekaligus. Muslim bin `Aqil bin Abu Thalib dikirim ke Kufah untuk mengambil baiat dan disana didukung 18 ribu pendukung. Ketika Yazid mendengar pergerakan Muslim bin `Aqil, ia mengirim Ubaidillah bin Ziyaad untuk meredam pemberontakan, akhirnya Muslim dan penjamunya, Hani` bin `Urwah kemudian dibunuh di atap rumah hingga kepalanya tanggal di hadapan semua orang yang mendukungnya.
Abdullah bin Muthi` mengingatkan Husain : “Aku ingatkan padamu agar kembali ke Makkah, jika kamu tetap bersi keras untuk mendapat kekuasaan klan Umayyah, mereka akan membunuhmu, dan jika mereka membunuhmu, maka mereka tidak akan takut pada siapapun setelahmu selamanya. Kehormatan Islam dan Arab akan terenggut”. Husain tetap ngotot pergi. Bahkan tak mempedulikan anjuran sahabat besar seperti Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Abbas, Amru bin Sa`ad bin Ash, Abdurrahman bin Harits. Bahkan Abdullah bin Zubair sempat menawarkan, jika Husain tak jadi ke Kufah maka Ia siap untuk membaiatnya di Makkah. Abdullah bin Ja`far bin Abi Thalib juga mendesak Husain agar tak pergi ke Kufah tapi tak membuahkan hasil. Dalam perjalanannya Husain ketemu dengan penyair Farzadiq, lalu menanyakan kondisi Kufah. Farzadiq mengingatkan Husain: hati orang Kufah bersamamu tapi pedangnya bersama klan bani Umayyah. Pada akhirnya usaha Husain malah mengantarkan pada kegagalan yang sangat mengharukan dalam lembaran sejarah. Cucu Nabi ini mati di Karbala dalam kondisi terpancung.
Setelah memaparkan secara singkat kilas balik sejarah tragedi Karbala, penulis menyatakan: “seandainya kita mau mencalonkan dua pahlawan Islam antara Hasan dan Husain maka Hasan lebih pantas(karena sikapnya berbuah perdamaian)”. Di sisi lain anjuran Nabi ketika terjadi fitnah supaya kaum muslimin menjauhi konflik politik kekuasaan dan bergerak di ranah lain yang bermanfaat. Selama tak dilarang untuk shalat maka tetap sabar dengan kezaliman penguasa. Meski tetap memberi nasihat. Bukan berarti Nabi mengajarkan umatnya membisu di hadapan penguasa dzalim tetapi sebagai semacam pencerahan untuk (fokus) mengarah pada amal serius dan dalam jangkauannya.
 Ajaran beliau juga mengandung pendidikan pikiran positif pada individu umat sebagai ganti dari pikiran negatif berupa mengarahkan kerja keras umat pada amalan yang membangun dan kreatif sebagai ganti dari amalan yang membuat kerusakan dan penghancuran. Ini mengindikasikan pada hakikat yang agung berupa menekuni usaha dari medannya secara tak langsung lebih banyak suksesnya daripada menekuni usaha pada medannya secara langsung. Meski secara lahiriah kurang menarik namun di dalamnya menyimpan efektifitas dalam meredam/mencegah permusuhan dari latar belakang terjadinya peristiwa.
Pengalaman abad pertama Hijriah secara tegas memberikan pelajaran penting bahwa bentrok dengan sistem politik yang sedang berkuasa, seberapa ikhlaspun niatnya, hanya akan mengobarkan api fitnah, bahkan menciptakan masalah-masalah baru, menjadikan masalah semakin rumit dan kompleks. Gerakan reformasi politik hanya mengantar pada kekacaun, yang menimbulkan kebingungan di seluruh wilayah Islam. Apa yang terjadi sepeninggal Utsman ternyata terus berlangsung sampai hingga pada masa Mu`awiyah dan seterusnya. Perang yang terjadi untuk mendapat kekuasaan tidak berakhir pada hasil yang pasti. Memang konflik berhenti dari dua kelompok yang berselisi, namun setelah konflik berakhir, maka terjadi konflik pula di tubuh internal kelompok masing-masing.
Sudut pandang semacam ini berdasarkan arahan-arahan Nabi yang begitu jelas.  Nabi melarang sahabatnya untuk ikut berpartisipasi dalam konflik politik bersama penguasa. Nabi menyarankan untuk mencari lahan amal selain politik yang bisa dilakukan individu untuk mewujudkan harapan perbaikannya yang mendesak. Akan tetapi, sudut pandang semacam ini jarang diminati oleh kebanyakan orang. Kebanyakan lebih tertarik ke dalam politik yang malah membuat kematian orang-orang besar seperti Husain, Abdullah bin Zubair dan lain sebagainya. Seandainya umat Islam mau menempuh jalan sabar kemudian mengarangkan kegiatan perbaikanya pada wilayah potensi yang tersedia maka mereka akan melihat bagaimana Allah menjalankan rencana-Nya untuk menampakkan peristiwa itu pada jalan yang sukses, sedangkan kita berusaha –lantaran ketidaksabaran kita- mewujudkannya dengan jalan yang sama sekali tak membuat sukses.
Pada buku ini penulis secara ringkas ingin menyatakan bahwa keterlibatan kaum muslimin dalam ranah politik dan kekuasaan acapkali-kalau tak boleh dikatakan pasti- mengalami kegagalan. Sejarah telah membuktikan. Supaya tenaga dan potensi umat tak terbuang percuma, penulis menyarankan umat Islam berjuang pada ranah lain sesuai potensi masing-masing. Sebab dengan tidak terlalu fokus dengan politik, sembari tetap berjuang pada ranah lain, justru akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat dibanding dengan terjun langsung di dunia politik. Tabiat politik ialah persaingan, sejarah membuktikan bahwa ketika kaum muslimin terlibat pada persaingan politik maka pada akhirnya akan menghadapi perpecahan saudara dan kemunduran.
Buku ini sukses dalam memaparkan betapa politik dan kekuasaan itu begitu bahaya bila ditinjau dari pengalaman sejarah umat Islam. Namun beliau tidak menjelaskan mengenai politik syar`i yang dibolehkan sehingga agak kurang berimbang. Padahal politik juga sebagai alat atau media untuk berjuang, alat atau media tidak bisa dihukumi secara langsung melainkan pada konteks apa alat itu digunakan. Dengan memaparkan solusi yang lebih riil, dan penjelasan-penjelasan secara gamblang dan realistis Insyallah jauh lebih baik dibanding dengan sekadar menyebut masalah. Terlepas dari itu semua, buku ini layak untuk dijadikan bahan bacaan.
            Buku ini cocok dibaca oleh aktivis gerakan Islam atau siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang sekilas sejarah tentang orientasi umat Islam ke ranah politik dan apa akibat-akibat yang akan dialaminya. Dengan membaca buku ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam perjuangan bidang politik dan kekuasaan. Kalaupun kita tetap berjuang pada ranah ini, minimal kita akan lebih berhati-hati.

Judul Buku                  : مَأْسَاةُ كَرْبَلاَءَ [Ma`saatu Karbalaa`].
Arti Judul                    : Tragedi Karbala`.
Kategori                      : Sejarah.
Pengarang                   : Wahidudin Khan
Penerbit                       : ar-Risaalah li al-I`laan al-Dauli
Alamat Penerbit           : Jln. Syaikh Muhammad An-Naadi, No. 7 – Madinah Nashr - Kairo
Edisi Cetakan              : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit               : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku                 : 59 Halaman.
Harga Buku                 : -

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan