Di sebuah
forum SETIL(setengah ilmiah) di kampung Sembodo, yang membicarakan sejarah
perkembangan dakwah Islam di Nusantara, Sarikhuluk dimintai tanggapan mengenai
sikap keberagamaan kaum muslimin yang dewasa ini cendrung mengafir-ngafirkan,
mebid`ah-bid`ahkan, menyalah-nyalahkan, menilai secara sepihak, bahkan
menganggap pendapatnya sendiri paling benar. Kemudian ia juga dimintai
keterangan mengenai bagaimana sikap Rasulullah ketika menghadapi orang yang
salah, dan apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menghadapi fenomena semacam
itu.
Dengan
pembawaan khasnya yang tenang, Sarikhuluk pun menjawab: “Apa yang terjadi
dewasa ini terkait kecendrungan kebanyakan orang Islam yang gampang menyerang
orang lain yang tidak sepaham, menurut saya kok mirip seperti anak-anak
yang baru pertama kali belajar bela diri. Anak yang baru belajar beladiri,
biasanya mempunyai kecendrungan untuk pamer, sok, dan ingin dicoba
dengan pihak lain. Artinya apa, tindakannya tidak didasarkan pada keilmuan
matang, sehingga hasilnya pasti berantakan. Ciri orang berilmu, semakin tinggi,
malah tambah rendah hati. Filosofinya, padi semakin tua tambah merunduk”.
“Dalam dunia
seksologi, -maaf sebelumnya- saya mengistilahkan orang yang gampang mengklaim
sesuatu tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, ibaratnya kena penyakit ejakulasi dini.
Penyakit ini sangat ditakuti oleh para pria lantaran berdampak luar biasa bagi
keharmonisan rumah tangga. Demikian juga orang yang gampang menilai orang lain
sesat atau salah. Secara psikis sebenarnya mereka telah mengidap penyakit, ‘ejakulasi
penilaian dini’. Kadang orang salah kaprah ketika menyikapi antara ‘kebenaran’
dan ‘cara menyampaikan kebenaran’. Biasanya tahap pertama saja gagal akibat
tidak klarifikasi, apa lagi untuk yang kedua”.
“Kalau ada
pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita, mestinyakan langkah pertama,
diadakan klarifikasi, dilakukan dialog terlebih dahulu, barangkali ada yang
belum kita ketahui. Usaha untuk verifikasi, dan klarifikasi `kan sudah ada
landasan normatifnya(lihat: Qs. Al-Hujurat: 6). Untuk kata ‘benar’ saja kebanyakan orang masih
rancu. Kata dalam khazanah Islam seperti, ‘haq-bāthil, shawāb-khatha`’ acap kali dicampur adukkan, padahal
masing-masing mempunyai porsinya tersendiri. Kalaupun kita dalam posisi benar,
langkah kedua ada yang namanya ‘fiqh dakwah’. Konten yang benar jika
disampaikan dengan cara yang salah, pasti akan menimbulkan masalah”.
“Kalau kita
mau menela`ah bagaimana Rasulullah berinteraksi dengan orang-orang yang salah
bisa diberi contoh sebagai berikut: Pertama, ketika ada orang Arab badui
yang kencing di masjid, dia tidak memaki-makinya, malah memahami kondisinya.
Beliau malah menyuruh sahabat menyiram tempat yang dikencingi. Kedua,
beliau tidak pernah menunjukkan aib seseorang di depan umum. Paling tidak kalau
dia –terpaksa- mengingatkan, ia pasti pakai bahasa sindiran yang halus, tanpa
menjatuhkan citra orangnya. Ketiga, bahkan ketika kesalahan itu
terhitung serius, seperti yang dilakukan oleh Ka`ab bin Malik(yang absen ikut
perang Tābuk), dan Hāthib bin Abi Bultu`ah(yang
membocorkan surat rahasia negara),
beliau hadapi secara proporsianal, tanpa meyesatkan apalagi mengutuk”.
“Untuk
solusi menghadapi orang-orang semacam itu tentunya memang perlu ‘terapi
kultural’. Artinya begini, yang
didahulukan –sebagai cara- ialah semangat shilaturrahim dan asas
kekeluargaan. Gapai hati mereka terlebih dahulu, sebelum mendialogkan kebenaran
sejati. Bukankah Rasulullah telah memikat hati, sebelum dakwah kebenaran
sejati? Sebelum menjadi Nabi dan Rasul, beliau sudah memikat banyak hati
masyarakat. Artinya beliau tidak mempunyai ‘cacat kultural’. Ingat ! –melalui perjalanan
sirah Nabi- kita mendapat pelajaran berharga, bahwa sebaik apa pun
kebenaran, cara menyampaikannya, harus dikemas dengan baik, sehingga tak
menyakiti hati publik. Kalau orang dari awal sudah benci, bagaimana mungkin
akan menerima kebenaran sejati?”
Demikian
jawaban singkat Sarikhuluk, yang disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Baru
kali ini ia menjawab dengan mimik serius tanpa bumbu-bumbu humor khasnya.
Seluruh audiens benar-benar bisa merasakan khasirmanya, ketika menjawabnya
dengan gaya serius.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !