Home » » “Ejakulasi Penilaian Dini”

“Ejakulasi Penilaian Dini”

Written By Amoe Hirata on Selasa, 06 Januari 2015 | 11.57

             
            Di sebuah forum SETIL(setengah ilmiah) di kampung Sembodo, yang membicarakan sejarah perkembangan dakwah Islam di Nusantara, Sarikhuluk dimintai tanggapan mengenai sikap keberagamaan kaum muslimin yang dewasa ini cendrung mengafir-ngafirkan, mebid`ah-bid`ahkan, menyalah-nyalahkan, menilai secara sepihak, bahkan menganggap pendapatnya sendiri paling benar. Kemudian ia juga dimintai keterangan mengenai bagaimana sikap Rasulullah ketika menghadapi orang yang salah, dan apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menghadapi fenomena semacam itu.
            Dengan pembawaan khasnya yang tenang, Sarikhuluk pun menjawab: “Apa yang terjadi dewasa ini terkait kecendrungan kebanyakan orang Islam yang gampang menyerang orang lain yang tidak sepaham, menurut saya kok mirip seperti anak-anak yang baru pertama kali belajar bela diri. Anak yang baru belajar beladiri, biasanya mempunyai kecendrungan untuk pamer, sok, dan ingin dicoba dengan pihak lain. Artinya apa, tindakannya tidak didasarkan pada keilmuan matang, sehingga hasilnya pasti berantakan. Ciri orang berilmu, semakin tinggi, malah tambah rendah hati. Filosofinya, padi semakin tua tambah merunduk”.
            “Dalam dunia seksologi, -maaf sebelumnya- saya mengistilahkan orang yang gampang mengklaim sesuatu tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, ibaratnya kena penyakit ejakulasi dini. Penyakit ini sangat ditakuti oleh para pria lantaran berdampak luar biasa bagi keharmonisan rumah tangga. Demikian juga orang yang gampang menilai orang lain sesat atau salah. Secara psikis sebenarnya mereka telah mengidap penyakit, ‘ejakulasi penilaian dini’. Kadang orang salah kaprah ketika menyikapi antara ‘kebenaran’ dan ‘cara menyampaikan kebenaran’. Biasanya tahap pertama saja gagal akibat tidak klarifikasi, apa lagi untuk yang kedua”.
            “Kalau ada pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita, mestinyakan langkah pertama, diadakan klarifikasi, dilakukan dialog terlebih dahulu, barangkali ada yang belum kita ketahui. Usaha untuk verifikasi, dan klarifikasi `kan sudah ada landasan normatifnya(lihat: Qs. Al-Hujurat: 6).  Untuk kata ‘benar’ saja kebanyakan orang masih rancu. Kata dalam khazanah Islam seperti, ‘haq-bāthil, shawāb-khatha`’ acap kali dicampur adukkan, padahal masing-masing mempunyai porsinya tersendiri. Kalaupun kita dalam posisi benar, langkah kedua ada yang namanya ‘fiqh dakwah’. Konten yang benar jika disampaikan dengan cara yang salah, pasti akan menimbulkan masalah”.
            “Kalau kita mau menela`ah bagaimana Rasulullah berinteraksi dengan orang-orang yang salah bisa diberi contoh sebagai berikut: Pertama, ketika ada orang Arab badui yang kencing di masjid, dia tidak memaki-makinya, malah memahami kondisinya. Beliau malah menyuruh sahabat menyiram tempat yang dikencingi. Kedua, beliau tidak pernah menunjukkan aib seseorang di depan umum. Paling tidak kalau dia –terpaksa- mengingatkan, ia pasti pakai bahasa sindiran yang halus, tanpa menjatuhkan citra orangnya. Ketiga, bahkan ketika kesalahan itu terhitung serius, seperti yang dilakukan oleh Ka`ab bin Malik(yang absen ikut perang Tābuk), dan Hāthib bin Abi Bultu`ah(yang membocorkan surat  rahasia negara), beliau hadapi secara proporsianal, tanpa meyesatkan apalagi mengutuk”.
            “Untuk solusi menghadapi orang-orang semacam itu tentunya memang perlu ‘terapi kultural’.  Artinya begini, yang didahulukan –sebagai cara- ialah semangat shilaturrahim dan asas kekeluargaan. Gapai hati mereka terlebih dahulu, sebelum mendialogkan kebenaran sejati. Bukankah Rasulullah telah memikat hati, sebelum dakwah kebenaran sejati? Sebelum menjadi Nabi dan Rasul, beliau sudah memikat banyak hati masyarakat. Artinya beliau tidak mempunyai ‘cacat kultural’. Ingat ! –melalui perjalanan sirah Nabi- kita mendapat pelajaran berharga, bahwa sebaik apa pun kebenaran, cara menyampaikannya, harus dikemas dengan baik, sehingga tak menyakiti hati publik. Kalau orang dari awal sudah benci, bagaimana mungkin akan menerima kebenaran sejati?”
            Demikian jawaban singkat Sarikhuluk, yang disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Baru kali ini ia menjawab dengan mimik serius tanpa bumbu-bumbu humor khasnya. Seluruh audiens benar-benar bisa merasakan khasirmanya, ketika menjawabnya dengan gaya serius.

            
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan