‘Media Dajjal’
Written By Amoe Hirata on Sabtu, 31 Januari 2015 | 23.09
Malam
selepas shalat Tarawih, Sarikhuluk beserta teman jagongannya
menyempatkan tadarus Qur`an, tapi dengan caranya sendiri. Sarikhuluk
menjelaskan: namanya tadaarus itu ya melibatkan orang lebih dari satu,
karena kalau melihat timbangan ilmu Sharaf, menunjukkan musyaarakah(bersekutu
antara dua pihak). Dalam sudut pandang ini kata Sarikhuluk menilai kebanyakan tadarus
yang ada di desanya terhitung benar. Tapi di sisi lain yang membuat Sarikhuluk
prihatin ialah penyempitan makna tadaarus. Kebanyakan masyarakat hanya
memaknainya sekadar membaca Al-Qur`an
dan saling menyimak. Padahal tadaarus adalah kegiatan untuk saling
mencari dars(pelajaran). Bagaimana mungkin manusia bisa mengambil
pelajaran, kalau hanya sekadar dibaca. Mau tak mau namanya tadaarus biar
tidak menyimpang jauh dari artinya harus didekati dengan olah pikir dan akal,
supaya kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an. Sarikhuluk bertanya pada
teman-temennya: “mungkinkah kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an kalau
kita hanya membacanya saja, tanpa melibatkan akal dan pikiran kita?”. Paijo
menjawab: “tapi kan tetap ada manfaatnya secara spritual dan psikologis?”. “Iya
memang, tapi apa kita bisa paham dan mengambil pelajaran jika cuman membacanya,
pelajaran ini ranahnya akal dan pikir, tanpa itu maka mustahil akan mengambil
pelajaran”(tambah Sarikhuluk). “Jadi maksudmu kita sekarang tadarus
Al-Quran dengan model baru ala kamu?”(tanya Paimen). “Ya tepat sekali. Aku
pikir kalau membaca perhuruf Al-Qur`an pahalanya begitu besar, apalagi
mengambil pelajaran dan mengamalkannya”(lanjut Sarikhuluk).
“Oke
saiki(sekarang) tak serahkan pada kalian saja, enaknya bahas
apa”(tawaran Sarikhuluk pada teman-temannya). “Anu saja kita bahas tema:
Dajjal. Dari dulu aku pingin tahu, opo bener dajjal ada”(Ushul Brudin). “Gimana
teman-teman setuju ga?”(tanya Sarikhuluk). “Setujuuuuuuuuuuu”(jawab mereka
serentak). “Kalau setuju, tak kasih dasaran dulu, biar kita benar-benar ndarus Qur`an sebagaimana metode tadi. Dajjal nek secara tegas iku
ga ada. Tapi meksi ga ada bukan berarti secara implisit ga ada. Sebab
sebagaimana arti secara bahasa yaitu: banyak dusta, secara tersurat ada disebut
dalam AL-Qur`an. Sebagian ulama` onok yang nyebut dajjal tersirat dalam
surat Al-An`am ayat 158. Kalau di hadist sangat banyak sekali. Tapi supoyo
kalian tidak sekedar membaca sejarahnya, saiki kalian tak ajak mikir
lebih kontekstual. Ayo tema dajjal iki dikaitkan dengan kebanyakan media
yang sekarang ini lagi berkembang”. “Maksudnya gimana Luk. Aku ndak
ngerti”(timpal Paidi). “Gini lho rek, tak kasih dasaran secara global
mengenai dajjal, kemudian nanti kita kaitkan dengan kondisi media di sekitar
kita saat ini”. “Oke kalau gitu, mana dasaran yang kamu jelaskan”(pinta
Margimen). “Dajjal iku artine secara bahasa: kakean mbujuk(banyak bohong)
menipu. Pintar memutar balikkan fakta(surga bisa dibalik jadi neraka, neraka
bisa dibalik jani surga di hadapan semua orang). Motone(matanya) cuman
satu yang berfungsi. Di kepalanya ada tanda kaf fa ra alias kafir, dan
hanya bisa dilihat oleh orang mukmin. Memiliki kecepatan yang luar biasa. Semua
bumi didatanginya kecuali Makkah dan Madinah. Dajjal akan diikuti orang Yahudi
dari Asbahan. Dajjal merupakan fitnah terbesar sepanjang sejarah
manusia. Nabi selalu memperingatkan akan kedatangannya. Makanya saking
besarnya fitnahnya, sampai-sampai dalam shalat ada doa khusus untuk meminta
perlindungan darinya. Nah iki mau cuman dasaran saja. Masalah dajjal iku
ono opo ga secara biologis, itu jangan terlalu diperdebatkan. Pokoke
kalau iman ya harus yakin kalau dajjal benar-benar ada”(papar Sarikhuluk).
“Terus
sekarang kalau dibandingkan dengan kebanyakan media sekarang ini gimana
Luk?(tanya Paidi)”. “Coba renungkan bareng-bareng, kebanyakan media kita saat
ini sangat mirip dengan sifat-sifat dajjal yang tak gambarkan tadi. Kebanyakan
media, baik elektronik maupun cetak itu berisi kebohongan-kebohongan. Ironisnya
kebanyakan orang seolah tersihir menikmati kebohongan-kebohongan itu.
Iklan-iklan media di TV kebanyakan mengajak orang kepada yang bukan dirinya. TV
menjadi tuntunan, agama menjadi tontonan. Orientasi media kebanyakan hanya
satu: dunia oriented. Yang menang ialah yang punya modal besar. Peran
media sangat besar dalam membalikkan fakta. Yang benar jadi salah, yang salah
jadi benar. Sekarang ini kan abad informasi, siapa saja yang menguasai media,
maka berpeluang besar menggiring opini masyarakat. Dibanding dengan dajjal
tadi, media sama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau dulu komunikasi
jarak jauh dibutuhkan waktu sekian lama, sekarang hanya beberapa detik sudah
bisa komunikasi. Ada tanda kaf fa ra juga di kebanyakan media, dan itu
hanya bisa dilihat oleh orang yang beriman. Kafir asala artinya menutupi, kamu
lihat media kebanyakan menutup-nutupi sesuatu yang seharusnya tak boleh
ditutupi. Dajjal akan mendatangi semua dunia, demikian juga media, hampir
ditiap wilayah media pasti masuk walau masih sangat sederhana. Dan agen-agen
besar media di dunia ini kebanyakan melayani misi Yahudi. Nek kalian
pingin selamat dari fitnahnya yo pertebal iman, ojo gumunan lan gampang
melok(jangan gampang kaget dan ikut-ikutan), tetap kritis, terus gunakan
media sebatas keperluan. Kalau tidak kalian pasti ikut mereka. Soale memang
menggiurkan godaane. Lha kajian-kajian semacam ini salah satu
upaya agar kita tidak ikut-ikutan pada kebanyakan ‘media dajjal’. Yang penting
sekarang bukan mempermasalahkan kapan datang dajjal. Sejauh mana yang lebih
penting persiapan kita menghadapinya di
tengah-tengak lingkungan yang kebanyakan dipenuhi dengan kebanyakan ‘media
dajjal’(Sarikhuluk menjelaskan dengan sangat serius dan semangat. Tapi tanpa
dinyana teman-temannya ada yang tidur dan ada yang mengalihkan perhatiannya ke
TV, hand pone dan lain sebagainya) Jangkrek arek-arek iki belum
sampai setengah jam sudah terkena ‘media dajjal’(tegur Sarikhuluk dengan sangat
kesal).
Watek Pacol, Pedang Lan Keres
Written By Amoe Hirata on Rabu, 28 Januari 2015 | 22.11
Wulan iki, Sarikhuluk oleh wejangan luar bioso soko Kiai Mbeling.
Wong orep iku, isok didelok teko telong watek. Nomer siji, watek pacol. Nomer loro, watek
pedang, lan nomer telu, watek keres.
1. Watek Pacol:
Yoiku
wateke wong seng orep intine cumak ndulek duwek utowo ekonomi. Klakoane kabe
diarahno nang pacol. Sekolah kerono pacol, dadi yai kerono pacol, dadi guru lan
liane kerono pacol. Wong ngene iki wong kedunyan. Uripe cumak gawe awak dewe
lan cumak ndulek keuntungan pribadi.
2. Watek Pedang
Yoiku
wateke wong seng seneng perkoro politik utowo kuoso. Uripe diarahno gawe ndulek
kuoso. Pendekatane ugo, pendekatak politik lan militer.
3. Watek Keres
Iki watek seng
paling dukur. Keres lambang pusoko, harga diri, lan martabat. Wong orep, nek
tujuane ndulek keres, moko uripe ndulek kamulyan utowo kamukten.
Uwong nduwe pacol, gorong tentu nduwe pedang. Wong
nduwe pedang, duwe pacol tapi gorong tentu nduwe keres. Wong nduwe keres, pasti
duwe pedang lan pacol. Wong nduwe keres ibarat rojo, pedang ibarat prajurite,
sedang pacol ibarat rakyate. Intine, wong iku kudu ndulek kamulyan lan
kamukten. Nek kamulyan seng dadi pusoko isok dijupuk mongko uripe bakal
bermartabat dan mulio.
Presiden Gun Paggun
Written By Amoe Hirata on Selasa, 27 Januari 2015 | 23.00
Di sore hari menjelang cahaya mentari bertengger di ufuk barat, Sarikhuluk mencoba mengisi waktu dengan menulis beberapa bait sajak. Mungkin ini bisa dibilang sebagai refleksi, atau hanya sekadar basa-basi. Isinya kurang lebih demikian:
Siapa pun kamu
Bagiku
Presiden gun paggun
Kalau sistem tak berubah turun temurun
Siapa pun kamu
Bagiku
Presiden harfun mabni
Kelihatan ada tapi tak berfungsi
Semilir angin harapan
Berubah menjadi topan
Jika janji hanya sekadar janji
Mulut berbusa tak pernah ditepati
Mulanya hanya percikan api
Didukung angin menjadi berkobar tak teratasi
Harapan pu menjadi basi
Yang tertinggal hanya mimpi
Negara Wudhu & Tayammum
Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Januari 2015 | 09.48
Ketika
mengikuti Forum Kenduri Cinta -via streaming- tadi malam, Sarikhuluk mendapatkan idiom menarik dari Kiai Mbeling. “Negara sebrang -barang kali Indonesia- kalau kita
menggunakan idiom wudhu dan tayammum dalam khazanah fiqih Islam, kira-kira
masuk yang mana? Negara tayammum atau negara wudhu?” Tanya Kiai Mbeling pada
audiens. Suasana pun hening sesaat, kemudian ia memberi dasar pijak pemahaman: “Pada
asalnya `kan yang namanya shalat itu syaratnya harus wudhu, jika ada air. Kalau
tidak ada air baru tayammum. Bila dianalogikan pada skala negara, lebih pas
mana analogi untuk ‘negara sebrang’? wudhu apa tayammum?”. Para audiens pun
serentak menjawab: “Tayamuuuuuuuuuuuuum”. “Lho kenapa?” tanyanya. “Karena
negara sebrang adalah negara darurat, negara rukhsah. Sebenarnya gak layak,
tapi daripada ga ada apa boleh buat. Negara tayammun ga apa-apa timbang nanti
hancur” jawab mereka.
Menurut
Sarikhuluk, idiom yang ia dapat tadi malam itu merupakan kritikan mendasar
terhadap problem yang dihadapi negara sebrang saat ini. Bagaimana tidak, negara
yang seharusnya berfungsi sebagai media untuk mensejahterakan rakyat, dan menciptakan
setabilitas keamanan, justru –aparaturnya- sibuk dengan teatrika drama adu kebijakan,
kontroversi, ketidakonsistenan dan berbagai macam tindakan absurd
lainnya. Kondisi ini digambarkan seperti orang yang sedang tayammumm. Sebuah
gambaran yang sebenarnya cocok dalam kondisi terpaksa tidak ada air. Sebenarnya
untuk ukuran normal, tadak ada kepantasan apapun yang dimiliki oleh aparatur
negara, namun apa boleh buat, ibarat wudhu, air –keamanahan- tidak ada lagi.
Akhirnya ya tayammum saja. Daripada tidak ada negara sama sekali, malah nanti
tambah bahaya. `Kan ada kaidah fiqih: “yang tak bisa didapat semua, tidak
ditinggalkan semuanya”.
Yang
lebih menggelitik pada forum tersebut, Sarikhuluk mendapat idiom lain yang
lebih menohok: “Batu dan permata jelas berbeda. Pada negara bersistem demokrasi
tidak memungkinkan untuk mengetahui perbedaan itu. Semua dianggap sama. Bukan
berarti ini mengunggul-unggulkan permata atas batu, sama sekali bukan karena
masing-masing mempunyai maqom dan fungsi yang berbeda dan tidak bisa
dikontradiksikan. Yang menjadi masalah kemudian ialah, dalam sistem demokrasi
sangat memungkinkan batu diposisikan sebagai permata atau permata diposisikan
sebagai batu. Kira-kira Kepala Negara Sebrang –barangkali Indonesia- itu yang
saat ini menjabat, masuk sebagai batu yang diposisikan permata, atau permata
yang diposisikan batu?” tanya Kiai Mbeling.
“Batuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.”
Jawab audiens serrempak. “Waduh,” keluh Sarikhuluk. Dipikir-pikir jawaban
audiens tadi ada benarnya. Dalam era yang sekarang dikuasai media, sangat
memungkinkan untuk memanipulasi fakta. Roti jadi tai, tai jadi roti itu adalah
pekerjaan yang mudah. Sarikhuluk pun tereingat dengan Media Dajjal(baca: http://amoehirata.blogspot.com/2014/04/media-dajjal.html).
Ia sekarang hanya bisa mendoakan, semoga perkiraannya salah.
Cinta Shalih Menjadi Salah Pilih
Di malam yang sunyi, beriring terang cahaya
purnama, Salma Hourin `Ien melamun di kamar sendiri, disertai teman santriwati
yang sudah tidur pulas berkelana di alam mimpi. Jiwa dan raganya seolah tak
meyakini, terhadap apa yang baru saja Ia alami. Raut wajah begitu sumringah,
jiwanya begitu senang membuncah. Rasa suka dan senang menyelimuti hati yang
lagi riang. Amboi, rupanya Ia sedang jatuh cinta. Dara yang belum pernah
merasakan cinta, baru saja hatinya ditaut -ditembak- oleh teman seangkatannya
sendiri sesama santri, namanya Shalih Azka Rijâl. Siapa yang menyangka kalau bakal
menjadi seperti ini. Lamunannya menjelajah kemana-mana. Kepalanya dipenuhi
tanda tanya. Baru saja, Shalih mengucapkan sesuatu di hadapannya: “Bolehkah aku
berharap lebih padamu?”. Antara kaget, tercengang, dan gugup Salma pun
mengiyakan permintaan Shalih. Jadilah kedua insan yang lagi dirundung asmara
ini sebagai ‘sepasang kekasih’, meskipun kalau ditelisik lebih dalam sebenarnya
dalam dunia kesantrian yang notabene memegang nila-nilai islami tidak ada
istilah kekasih-kekasihan atau pacaran yang bukan mahram, tetapi keduanya
seakan larut oleh cinta yang sama-sama sedang dirasakan.
Salma pun tak kuat untuk
menyimpan kebahagiaan yang sedang Ia rasakan. Ia pun bercerita panjang-lebar kepada
teman sesama santriwatinya yang sedang ada di rumahnya, namanya Syafa Zaskia.
“Syafa...Syafa...bangun dong aku mau curhat(curah hati) nih”. “Ada apa Salma?
Kamu kok senyam-senyum gitu? Lagi ulang tahun ya?” tanya Syafa keheranan.
Akhirnya, diceritakanlah semua apa yang sedang terjadi. Ketika mendengar cerita
Salma, Syafa pun juga merasa kaget sekaligus senang, rupanya temannya sedang
jatuh cinta. Tapi tetap saja Syafa mengingatkan agar jangan sampai melampaui
batas kewajaran, kalau memang serius ya harus benar-benar dijaga nilai-nilai
agama, sebab bagaimanapun juga keduanya adalah pernah menjadi santri. Santri
yang baik adalah santri yang benar-benar menjaga kesantrian bukan saja ketika
menjadi santri, tapi juga ketika sudah berada di luar harus tetap menjaga
nilai-nilai yang diajarkan selama ini. “Wow, surprise banget ya Salma,
aku ga nyangka lho kalau Shalih berani menembak kamu langsung. Di rumah kamu
sendiri lagi. Wuih hebat. Aku salut dengan keberanian Shalih, hehehe. Menurutku
sih kamu sudah tepat menerimanya. Ia orangnya baik, cerdas, pintar dan
insyaallah calon imam yang shalih seperti namanya” komentar Syafa. “Ah kamu
Syafa, bisa aja kamu menghibur aku, pokoknya tak aminin deh semoga Ia
akan menjadi imam shalihku, âmîn ya Rabb” sahut Salma dengan mantap.
Syafa wajar kalau kaget
mendengar penuturan Salma mengenai Shalih. Pasalnya, Shalih, Aditiya, dan Syafa
pergi ke Jakarta sebenarnya untuk mengikuti tes ujian kelulusan ke Universitas Islam
Madinah. Nah sesudah tes, ketiganya ditawarin main kerumah Salma yang kebetulan
rumahnya dekat dengan lokasi tes. Ketiganya pun mau menginap di rumah Salma.
Nah ketika di rumah Salma itu lah, Shalih mengungkapkan perasaannya di depan
Salma, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Teman cowok Shalih pun kaget ketika
mendengar bahwa Shalih ‘menembak’ Salma, sebab selama ini yang Aditiya tahu
berkaitan dengan temannya ini, biasanya sukanya diskusi dan sangat minim
membicarakan cewek, rupanya selama ini benih-benih kekaguman Shalih terhadap
Salma, sudah tumbuh berkembang semenjak menjadi santri di ma`had Al-Barakah. Sebagai
teman, Aditiya pun tetap memberi support atau dukungan kepada Shalih.
“Insyaallah kamu tak salah pilih Leh, Salma adalah anak yang baik, dewasa dan
pintar. Semoga Ia menjadi istri terbaikmu” komentar Aditiya kepada Shalih
ketika Ia tahu tentang hubungan yang baru saja terjalin.
Beberapa bulan kemudian,
hubungan tetap terjalin mulus. Bahkan, kedua orang tua dari Shalih dan Salma
pun sudah sama-sama tahu mengenai hubungan kedua anak mereka. Hanya saja karena
Shalih masih mau melanjutkan studinya ke Universitas Islam Madinah, maka untuk
sementara keduabelahpihak tidak merasa perlu untuk lebih serius membicarakan
pernikahan. Keduanya bermodalkan rasa saling percaya saja. Akhirnya keduanya
sama-sama kuliah. Menjalin hubungan cinta jarak jauh atau istilah gaulnya love
distance. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tahun berganti tahun,
keduanya masih tetap menjalin komunikasi yang baik melalui chatting via Yahoo
Massenger, facebook, atau telefon. Setelah lima tahun kemudian,
akhirnya Shalih pulang ke Indonesia. Ia berusaha melanjutkan progam S-2nya. Di
sisi lain, Ia juga berusaha untuk segera menemui keluarga Salma, untuk segera
membicarakan secara serius mengenai pernikahan keduanya.
Karena ada beberapa
kendala yang dihadapi oleh Shalih berkaitan dengan pertemuan antara kedua
keluarga, sampai pada akhirnya Shalih mengajak ketemuan di daerah yang lebih
dekat dengan rumahnya atau di rumah yang dekat dengan saudaranya tapi juga tak
terlalu jauh dari rumah Salma. Hal ini dilakukan Shalih mengingat kedua orang
tuanya yang sudah tua, sehingga Ia merasa kasihan kalau harus menempuh
perjalanan jauh, dari Jawa Timur ke Jawa Barat(keluarga Shalih ingin tahu
langsung tentang Salma). Namun sangat disayangkan, keputusan pun buntu.
Keduanya sama-sama bersikeras pada keinginan dan caranya masing-masing. Salma
beserta keluarga menolak kalau pihak perempuan yang harus datang ke laki-laki.
Mestinya, menurut mereka: cowoklah yang harus datang ke pihak cewek. Karena
tidak ada upaya untuk saling mengalah maka hubungan antara keduanya kandas di
tengah jalan. Si Shalih terlihat seolah tak begitu memperjuangkan cinta, karena
pertimbangan keluarga, Si Salma pun merasa sudah tidak bisa diteruskan karena
merasa dipermainkan. Dengan sangat berat hubungan yang terjalin antara keduanya
bertahun-tahun akhirnya sirna.
Mimpi-mimpi yang selama
ini dibangun Salma di hati dan pikirannya sudah buyar. Ia sedih, kecewa,
mangkel, marah, kesal dan jengkel. Betapa tidak, demi cinta, Ia rela
bertahun-tahun untuk menunggu calon Imamnya, bahkan dia berusaha diam dan tak
menerima laki-laki lain hanya untuk menunggu Shalih, tapi rupanya Si Shalih tak
mau memperjuangkan cinta - hanya karena masalah yang seharusnya bisa
diselesaikan tanpa harus memutuskan hubungan - lenyaplah impian Salma. Ternyata
–baginya-, calon suami yang Ia anggap Shalih selama ini, ternyata salah pilih. Pada
buku diary-nya ia menulis sesuatu:
Kukira
daun yang hijau
Membuat
kalbu
Selalu
sejuk memandang
Ternyata
kering melayu
Membuatku
Sedih
tak terbayang
Kukira
cinta Shalih
Mengantarku
Pada
cinta sejati
Ternyata
aku salah pilih
Membuatku
Terjerembab
pada cinta ilusi
Berhari-hari Ia menangis
sejadi-jadinya. Ia merenung, mengevaluasi, melihat kembali ke belakang mengenai
hubungan yang selama ini dijalin bersama Shalih. Akhirnya dalam perenungannya
yang panjang, Ia menemukan beberapa pelajaran yang berharga di dalam hidupnya.
Di antara pelajaran-pelajaran itu ialah sebagai berikut:
- Cinta yang dibangun berdasarkan
maksiat, hasilnya akan membuat cinta tersesat.
- Cinta itu bukan banyak janji,
tapi segera komitmen menjadi suami-istri.
- Kalau benar cinta, jangan
menunggu lama, semakin lama menunggu, maka akan semakin berliku.
- Cinta bukan untuk diumbar dengan
kata-kata, tapi perlu dibuktikan dengan komitmen pada orang tua.
- Jangan gampang percaya dengan
penampilan dan kelebihan, tanpa komitmen yang jelas maka keduanya hanyalah
bualan.
- Bagi para cewek, perhatikan
benar-benar sajak berikut ini:
Kalau aku diam
Bukan berarti
Cinta ini padam
Aku hanya berbagi
Ketika kau halal jadi imam
Itulah cinta sejati
Jadi jangan gampang
terbujuk oleh rayuan cowok. Kalau pun si cowok serius, jangan gampang mengumbar
sesuatu yang belum halal padanya, tunggulah sampai halal, dan nanti itu akan
menjadi lebih indah insyallah.
- Kalau kamu jatuh pada cinta yang
salah, bersyukurlah pada Allah subhânahu wata`âla yang telah menyelamatkanmu dari
cinta yang salah, yakinlah bahwa Allah akan membibingmu pada cinta yang
sejati yang tak kan membuatmu susah.
- Untuk para cowok, kalau memang
cinta dan gentleman jangan pernah menyuruh cewek datang ke cowok,
seharusnya cowoklah yang datang ke cewek.
- Jangan sampai larut dalam
kesedihan, apalagi sedih hanya karena cinta yang salah pilih, cepatlah
bangkit karena Allah subhânahu wata`âla menyiapkan
jodoh yang lebih baik untuk kita.
- Untuk menuju ‘cinta sejati’,
terkadang Allah menguji kita dengan ‘cinta imitasi’, kalau kita tidak
terpengaruh dengan ‘cinta imitasi’, maka Allah akan menganugerahkan pada
kita ‘cinta sejati’.
Itulah beberapa pelajaran yang sempat
ditulis oleh Salma. Sekarang Ia merasa lebih tenang, bahkan bersyukur karena
tidak jadi dengan Shalih. Sewaktu Ia mendengar kalau Shalih sudah menikah
dengan perempuan lain, Ia membatin: “Semoga perempuan itu tidak salah pilih”.
Baginya, cinta Shalih adalah masa lalu, Ia yakin ada yang lebih baik darinya.
Apa yang dialaminya memberi banyak pelajaran berharga yang Ia rangkum pada
kalimat berikut:
KETIKA ‘CINTA SHALIH’ MENJADI ‘CINTA
SALAH PILIH’, MAKA JANGAN BERSEDIH!, JIKA KITA MAU BERUPAYA DAN BERDOA DENGAN
GIGIH, PASTI ALLAH SWT AKAN MEMBIMBING CINTA KITA KEPADA CINTA SEJATI DAN
JERNIH.
Politisasi Karbala
Apa yang
terlintas di benak anda ketika disebut kata, ‘Karbala’? Bagi yang mengerti
pasti akan mengingat satu sosok bersejarah bernama Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Ia merupakan adik kandung Hasan bin Ali. Meskipun keduanya sama-sama
disaksikan Rasulullah sebagai pemimpin pemuda ahli surga, namun keduanya
memiliki karakter yang berbeda. Kejadian di Karbala menyiratkan akan makna
penting bahwa kecendrungan perjuangan Husain ialah melalui jalur politik dan
kekuasaan. Sedangkan Hasan -yang sifat dan bentuk fisiknya digambarkan dalam
suatu riwayat paling mirip dengan Rasulullah- sama sekali memiliki sikap dan
kecendrungan yang berbeda dengan adiknya, Ia lebih melalui jalur lain selain
politik. Karakter bawaan yang lebih menyukai perdamaian, membuatnya terabadikan
dalam sejarah sebagai tokoh kunci yang sudah jauh-jauh hari diramalkan oleh
Rasulullah sebagai pendamai kaum muslimin yang lagi bertikai, tepatnya hari itu
diabadikan dengan nama yaumul jamaa`ah(hari bersatunya kaum muslimin di
bawah naungan satu penguasa pada tahun 41 Hijriah).
Sedangkan Husain yang lebih ngotot dengan ijtihad pribadinya untuk tetap menentang kekuasaan melalui jalur politik harus rela menemui takdir kematiannya di bumi Karbala`. Ironisnya kebanyakan kaum muslim baik itu dari kalangan syiah maupun sunni lebih menokohkan dan mengagungkan Husain. Bahkan ada acara khusus untuk memperingati gugurnya Husain pada tanggal 10 Muharram. Kisah kakak beradik ini diterangkan sedemikian rupa oleh penulis melalui rujukan-rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dari buku-buku sejarah yang pada intinya perjuangan melalui jalur politik dan kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka bagi umat Islam jika itu dijadikan tumpuan utama. Padahal masih banyak ranah lain untuk memperjuangkan Islam.
Sedangkan Husain yang lebih ngotot dengan ijtihad pribadinya untuk tetap menentang kekuasaan melalui jalur politik harus rela menemui takdir kematiannya di bumi Karbala`. Ironisnya kebanyakan kaum muslim baik itu dari kalangan syiah maupun sunni lebih menokohkan dan mengagungkan Husain. Bahkan ada acara khusus untuk memperingati gugurnya Husain pada tanggal 10 Muharram. Kisah kakak beradik ini diterangkan sedemikian rupa oleh penulis melalui rujukan-rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dari buku-buku sejarah yang pada intinya perjuangan melalui jalur politik dan kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka bagi umat Islam jika itu dijadikan tumpuan utama. Padahal masih banyak ranah lain untuk memperjuangkan Islam.
Buku ini ditulis oleh Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada
tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau
memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan
sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan
orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya
memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan
kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia
sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan
An-Nadawi.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
Di awal pembahasan penulis
menjelaskan bahwa: Hasan dan Husain merupakan tipikal yang merepresentasikan
dua orientasi bertentangan dalam sejarah Islam.
Hasan orientasinya bukan pada politik, sedangkan Husain mempunyai
orientasi politik. Hasan memilih damai dengan Mu`awiyah dalam peristiwa Aamul
Jamaa`ah tahun 41 H. Sedangkan Husain lebih memilih konflik secara frontal
dengan Mu`awiyah. Keputusan Hasan melahirkan perdamaian di kalangan muslimin
dan meredam potensi perang saudara. Sedangkan keputusan Husain mengantarkannya
pada kematian tragis di Karbala`. Anehnya, yang lebih diingat dan dikenang baik
di kalangan orang Syi`ah maupun Sunni ialah Husain. Bahkan secara khusus ada tradisi perayaan 10 Muharram untuk
memperingati peristiwa Karbala`. Meskipun peristiwa Karbala` sangat populer,
namun sayangnya sama sekali tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan
peristiwa sejarah. Ajaran Islam dan peristiwa sejarah sama-sama menolak contoh
(peristiwa) semacam ini.
Sebelum datangnya Islam di Makkah
ada dua kabilah Qurays yang sangat istimewa yaitu Klan Abdi Manaf (Klan Hasyim)
dan Klan Umayyah. Kedua kabilah ini sejak sebelum Islam sudah saling
bersaingan. Klan Umayyah tak mampu mengungguli klan Hasyim, bahkan masuk Islam
ketika tahun 8 Hijriah. Ketika masa khulafaurasyidin Masa Khalifah Utsman
dianggap sebagai yang mewakili klan Umayyah sedangkan masa Ali mewakili Klan
Hasyim. Setelah Ali meninggal diganti Hasan. Tahun 41 H Hasan memilih damai dan
menyerahkan kekuasaan ke Muawiyah. Praktis 20 tahun kondisi kaum muslimin aman
dan bisa memperluas wilayah di bawah pimpinan Mu`awiyah(W 60 H).
Sepeninggal Mu`awiyah konflik kekuasaan dimulai kembali. Husain tak mau bersikap seperti saudaranya, ia memilih menentang pemerintahan resmi. Dari sinilah titik tolak terjadinya tragedi 10 Muharram di Karbala` dimana Husain beserta pengikutnya yang tinggal 72 orang harus melawan pasukan bersenjata lengakap kiriman Yazid bin Muaawiyah yang berjumplah hampir 72 ribu pasukan. Sebenarnya waktu itu Husain mau berdamai dengan menyampaikan tiga opsi, namun karena Ubaidillah bin Ziyad dihasut oleh Syarmadzi Al-Jausyan, akhirnya pembunuhan Husain pun tak terelakkan.
Sepeninggal Mu`awiyah konflik kekuasaan dimulai kembali. Husain tak mau bersikap seperti saudaranya, ia memilih menentang pemerintahan resmi. Dari sinilah titik tolak terjadinya tragedi 10 Muharram di Karbala` dimana Husain beserta pengikutnya yang tinggal 72 orang harus melawan pasukan bersenjata lengakap kiriman Yazid bin Muaawiyah yang berjumplah hampir 72 ribu pasukan. Sebenarnya waktu itu Husain mau berdamai dengan menyampaikan tiga opsi, namun karena Ubaidillah bin Ziyad dihasut oleh Syarmadzi Al-Jausyan, akhirnya pembunuhan Husain pun tak terelakkan.
Pengganti
Muawiyah ialah Yazid bin Muawiyah, ketika diangkat menjadi pengganti ayahnya ia
langsung mengirim Walid bin `Utbah bin Abi Sufyan untuk mengambil baiat di
Madinah. Husain menolak. Pada hari kedua beserta keluarganya pergi ke Makkah. Karena Makkah tak memungkinkan untuk menjadi
khalifah lantaran ada khalifah Abdullah bin Zubair maka dari itu Husain pergi
Kufah. Sedangkan Hasan, setelah melepas diri dari kekuasaan Ia kembali ke
kampung halamannya, Madinah. Husain ke Kufah karena disurati penduduk Kufah
yang ingin mendukung menjadikannya khalifah.
Surat yang sampai kepada Husain kala itu hampir mencapai 150 surat. Hasan sudah menasehati Husain sedemikian rupa untuk tak pergi, namun Husain bersi keras: karena menurut Hasan tak mungkin kabilah kita memegang kenabian dan khilafa sekaligus. Muslim bin `Aqil bin Abu Thalib dikirim ke Kufah untuk mengambil baiat dan disana didukung 18 ribu pendukung. Ketika Yazid mendengar pergerakan Muslim bin `Aqil, ia mengirim Ubaidillah bin Ziyaad untuk meredam pemberontakan, akhirnya Muslim dan penjamunya, Hani` bin `Urwah kemudian dibunuh di atap rumah hingga kepalanya tanggal di hadapan semua orang yang mendukungnya.
Surat yang sampai kepada Husain kala itu hampir mencapai 150 surat. Hasan sudah menasehati Husain sedemikian rupa untuk tak pergi, namun Husain bersi keras: karena menurut Hasan tak mungkin kabilah kita memegang kenabian dan khilafa sekaligus. Muslim bin `Aqil bin Abu Thalib dikirim ke Kufah untuk mengambil baiat dan disana didukung 18 ribu pendukung. Ketika Yazid mendengar pergerakan Muslim bin `Aqil, ia mengirim Ubaidillah bin Ziyaad untuk meredam pemberontakan, akhirnya Muslim dan penjamunya, Hani` bin `Urwah kemudian dibunuh di atap rumah hingga kepalanya tanggal di hadapan semua orang yang mendukungnya.
Abdullah bin
Muthi` mengingatkan Husain : “Aku ingatkan padamu agar kembali ke Makkah, jika
kamu tetap bersi keras untuk mendapat kekuasaan klan Umayyah, mereka akan
membunuhmu, dan jika mereka membunuhmu, maka mereka tidak akan takut pada
siapapun setelahmu selamanya. Kehormatan Islam dan Arab akan terenggut”. Husain
tetap ngotot pergi. Bahkan tak mempedulikan anjuran sahabat besar seperti
Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Abbas, Amru bin Sa`ad bin Ash,
Abdurrahman bin Harits. Bahkan Abdullah bin Zubair sempat menawarkan, jika
Husain tak jadi ke Kufah maka Ia siap untuk membaiatnya di Makkah. Abdullah bin
Ja`far bin Abi Thalib juga mendesak Husain agar tak pergi ke Kufah tapi tak
membuahkan hasil. Dalam perjalanannya Husain ketemu dengan penyair Farzadiq,
lalu menanyakan kondisi Kufah. Farzadiq mengingatkan Husain: hati orang Kufah
bersamamu tapi pedangnya bersama klan bani Umayyah. Pada akhirnya usaha Husain
malah mengantarkan pada kegagalan yang sangat mengharukan dalam lembaran
sejarah. Cucu Nabi ini mati di Karbala dalam kondisi terpancung.
Setelah
memaparkan secara singkat kilas balik sejarah tragedi Karbala, penulis
menyatakan: “seandainya kita mau mencalonkan dua pahlawan Islam antara Hasan dan
Husain maka Hasan lebih pantas(karena sikapnya berbuah perdamaian)”. Di sisi
lain anjuran Nabi ketika terjadi fitnah supaya kaum muslimin menjauhi konflik
politik kekuasaan dan bergerak di ranah lain yang bermanfaat. Selama tak
dilarang untuk shalat maka tetap sabar dengan kezaliman penguasa. Meski tetap
memberi nasihat. Bukan berarti Nabi mengajarkan umatnya membisu di hadapan
penguasa dzalim tetapi sebagai semacam pencerahan untuk (fokus) mengarah pada
amal serius dan dalam jangkauannya.
Ajaran beliau juga mengandung pendidikan pikiran positif pada individu umat sebagai ganti dari pikiran negatif berupa mengarahkan kerja keras umat pada amalan yang membangun dan kreatif sebagai ganti dari amalan yang membuat kerusakan dan penghancuran. Ini mengindikasikan pada hakikat yang agung berupa menekuni usaha dari medannya secara tak langsung lebih banyak suksesnya daripada menekuni usaha pada medannya secara langsung. Meski secara lahiriah kurang menarik namun di dalamnya menyimpan efektifitas dalam meredam/mencegah permusuhan dari latar belakang terjadinya peristiwa.
Ajaran beliau juga mengandung pendidikan pikiran positif pada individu umat sebagai ganti dari pikiran negatif berupa mengarahkan kerja keras umat pada amalan yang membangun dan kreatif sebagai ganti dari amalan yang membuat kerusakan dan penghancuran. Ini mengindikasikan pada hakikat yang agung berupa menekuni usaha dari medannya secara tak langsung lebih banyak suksesnya daripada menekuni usaha pada medannya secara langsung. Meski secara lahiriah kurang menarik namun di dalamnya menyimpan efektifitas dalam meredam/mencegah permusuhan dari latar belakang terjadinya peristiwa.
Pengalaman
abad pertama Hijriah secara tegas memberikan pelajaran penting bahwa bentrok dengan
sistem politik yang sedang berkuasa, seberapa ikhlaspun niatnya, hanya akan
mengobarkan api fitnah, bahkan menciptakan masalah-masalah baru, menjadikan
masalah semakin rumit dan kompleks. Gerakan reformasi politik hanya mengantar
pada kekacaun, yang menimbulkan kebingungan di seluruh wilayah Islam. Apa yang
terjadi sepeninggal Utsman ternyata terus berlangsung sampai hingga pada masa
Mu`awiyah dan seterusnya. Perang yang terjadi untuk mendapat kekuasaan tidak
berakhir pada hasil yang pasti. Memang konflik berhenti dari dua kelompok yang
berselisi, namun setelah konflik berakhir, maka terjadi konflik pula di tubuh
internal kelompok masing-masing.
Sudut pandang
semacam ini berdasarkan arahan-arahan Nabi yang begitu jelas. Nabi melarang sahabatnya untuk ikut
berpartisipasi dalam konflik politik bersama penguasa. Nabi menyarankan untuk
mencari lahan amal selain politik yang bisa dilakukan individu untuk mewujudkan
harapan perbaikannya yang mendesak. Akan tetapi, sudut pandang semacam ini
jarang diminati oleh kebanyakan orang. Kebanyakan lebih tertarik ke dalam
politik yang malah membuat kematian orang-orang besar seperti Husain, Abdullah bin
Zubair dan lain sebagainya. Seandainya umat Islam mau menempuh jalan sabar
kemudian mengarangkan kegiatan perbaikanya pada wilayah potensi yang tersedia
maka mereka akan melihat bagaimana Allah menjalankan rencana-Nya untuk menampakkan
peristiwa itu pada jalan yang sukses, sedangkan kita berusaha –lantaran
ketidaksabaran kita- mewujudkannya dengan jalan yang sama sekali tak membuat
sukses.
Pada buku ini
penulis secara ringkas ingin menyatakan bahwa keterlibatan kaum muslimin dalam
ranah politik dan kekuasaan acapkali-kalau tak boleh dikatakan pasti- mengalami
kegagalan. Sejarah telah membuktikan. Supaya tenaga dan potensi umat tak
terbuang percuma, penulis menyarankan umat Islam berjuang pada ranah lain
sesuai potensi masing-masing. Sebab dengan tidak terlalu fokus dengan politik,
sembari tetap berjuang pada ranah lain, justru akan menghasilkan sesuatu yang
lebih besar dan bermanfaat dibanding dengan terjun langsung di dunia politik.
Tabiat politik ialah persaingan, sejarah membuktikan bahwa ketika kaum
muslimin terlibat pada persaingan politik maka pada akhirnya akan menghadapi
perpecahan saudara dan kemunduran.
Buku ini sukses dalam memaparkan betapa politik dan kekuasaan itu begitu bahaya bila ditinjau dari pengalaman sejarah umat Islam. Namun beliau tidak menjelaskan mengenai politik syar`i yang dibolehkan sehingga agak kurang berimbang. Padahal politik juga sebagai alat atau media untuk berjuang, alat atau media tidak bisa dihukumi secara langsung melainkan pada konteks apa alat itu digunakan. Dengan memaparkan solusi yang lebih riil, dan penjelasan-penjelasan secara gamblang dan realistis Insyallah jauh lebih baik dibanding dengan sekadar menyebut masalah. Terlepas dari itu semua, buku ini layak untuk dijadikan bahan bacaan.
Buku ini sukses dalam memaparkan betapa politik dan kekuasaan itu begitu bahaya bila ditinjau dari pengalaman sejarah umat Islam. Namun beliau tidak menjelaskan mengenai politik syar`i yang dibolehkan sehingga agak kurang berimbang. Padahal politik juga sebagai alat atau media untuk berjuang, alat atau media tidak bisa dihukumi secara langsung melainkan pada konteks apa alat itu digunakan. Dengan memaparkan solusi yang lebih riil, dan penjelasan-penjelasan secara gamblang dan realistis Insyallah jauh lebih baik dibanding dengan sekadar menyebut masalah. Terlepas dari itu semua, buku ini layak untuk dijadikan bahan bacaan.
Buku ini cocok dibaca oleh
aktivis gerakan Islam atau siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang
sekilas sejarah tentang orientasi umat Islam ke ranah politik dan apa
akibat-akibat yang akan dialaminya. Dengan membaca buku ini, kita bisa lebih
berhati-hati dalam perjuangan bidang politik dan kekuasaan. Kalaupun kita tetap
berjuang pada ranah ini, minimal kita akan lebih berhati-hati.
Judul Buku : مَأْسَاةُ كَرْبَلاَءَ [Ma`saatu Karbalaa`].
Arti Judul : Tragedi Karbala`.
Kategori : Sejarah.
Pengarang : Wahidudin Khan
Penerbit : ar-Risaalah li al-I`laan al-Dauli
Alamat Penerbit : Jln. Syaikh Muhammad An-Naadi, No. 7 – Madinah Nashr - Kairo
Edisi Cetakan : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku : 59 Halaman.
Harga Buku : -
Politisasi Agama
Written By Amoe Hirata on Jumat, 16 Januari 2015 | 09.00
Sebagai harapan sosial keagamaan,
maraknya aktivis Islam yang memperjuangkan spirit Islam sebagai sistem
kehidupan merupakan realita yang patut didukung dan disyukuri. Ketika pergerakan organisasi keagamaan
semakin dinamis dan menyebarluas ini berarti nilai keberagamaan individu sudah
mulai hidup; ini berarti nilai keberagamaan sudah bergerak lebih jauh dari
sekadar formalitas. Namun yang menjadi masalah kemudian ialah ketika salah
mempersepsikan dan memposisikan subtansi dari agama. Agama sebagai entitas
nilai, memiliki berbagai macam aspek. Merupakan kecerobohan besar jika ada
gerakan keagamaan yang salah dalam mempersepsikan spirit inti dari lahirnya
agama. Contoh konkrit ialah gerakan-gerakan yang mengatas namakan agama dengan
semangat perjuangan tinggi untuk memperjuangkan agama melalui jalur politik.
Sebenarnya politik memang bagian daripada agama, namun ketika politik dijadikan sebagai tujuan sentral dari lahirnya agama, maka pada gilirannya akan merusak esensi agama. Sesuatu yang semestinya didahulukan seperti dakwah islamiyah, malah terabaikan dengan perjuangan yang fokusnya harus politik. Apa jadinya jika politik dijadikan tema sentral sebagai maksud diturunkannya agama? Pada realitanya perjuangan agama atas nama politik dan kekuasaan di sepenjang sejarah kehidupan umat Islam akan selalu mengalami kegagalan karena, agama sudah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Agama meskipun tanpa piranti politik dan kekuasaan pada realitanya masih bisa eksis berkat kontinuitas dakwah yang selalu diupayakan dan dijalankan. Di sisi lain penjuangan agama melalui fokus politik terkadang atau bahkan kebanyakan –kalau tidak boleh dibilang semua- memperburuk citra Islam di mata orang non Islam, sehingga malah menghalangi dakwah Islam masuk ke dalam hati mereka.
Sebenarnya politik memang bagian daripada agama, namun ketika politik dijadikan sebagai tujuan sentral dari lahirnya agama, maka pada gilirannya akan merusak esensi agama. Sesuatu yang semestinya didahulukan seperti dakwah islamiyah, malah terabaikan dengan perjuangan yang fokusnya harus politik. Apa jadinya jika politik dijadikan tema sentral sebagai maksud diturunkannya agama? Pada realitanya perjuangan agama atas nama politik dan kekuasaan di sepenjang sejarah kehidupan umat Islam akan selalu mengalami kegagalan karena, agama sudah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Agama meskipun tanpa piranti politik dan kekuasaan pada realitanya masih bisa eksis berkat kontinuitas dakwah yang selalu diupayakan dan dijalankan. Di sisi lain penjuangan agama melalui fokus politik terkadang atau bahkan kebanyakan –kalau tidak boleh dibilang semua- memperburuk citra Islam di mata orang non Islam, sehingga malah menghalangi dakwah Islam masuk ke dalam hati mereka.
Pada kesampatan yang lain ada juga
gerkan yang fokusnya hanya dalam jihad perang. Meraka mempersepsikan kata kunci
agama adalah jihad perang. Agama tidak akan bisa berkembang tanpa adanya jihad
dalam pengertian perang. Pada titik dan porsi tertentu jihad memang sangat
diperlukan dan wajib dilaksanakan. Namun menjadikan jihad sebagai unsur utama
dalam agama kemudian mengabaikan unsur yang lebih penting berupa dakwah
sebagaimana tugas para Nabi, maka jihad hanya akan menjadi malapetaka bagi
agama dan pemeluknya. Yang menonjol dan nampak dominan dari wajah agama
hanyalah kekerasan dan otoritarian.
Konsekuensinya wajah agama yang sebelumnya sangat padhang bersinar, menjadi redup lantaran salah memperioritaskan unsur penting agama. Kebanyakan gerakan Islam ribut dan sibuk dalam hal teknis penyebaran agama, sedangkan hal inti hampir tak tersentuh. Maka jangan heran ketika reaksi dari komunikan dakwah begitu sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan, karena salah dalam menggambarkan wajah Islam. Realitas demikian bisa dikonversikan dengan berbagaimacam gerakan yang salah dalam mempersepsikan Islam. Yang inti menjadi sampingan, yang sampingan menjadi inti. Dengan bahasa lain: yang subtansial menjadi sekadar instrumentak, sedangkan yang instrumental menjadi subtansial. Akibat dari kesalahkaprahan tafsir ini berdampak negatif bagi agama dan pemeluknya. Tapi untungnya agama Islam ini dilindungi oleh Allah ta`ala sehingga usaha apapun untuk menghancurkan agama Islam akan menuai kegagalan.
Konsekuensinya wajah agama yang sebelumnya sangat padhang bersinar, menjadi redup lantaran salah memperioritaskan unsur penting agama. Kebanyakan gerakan Islam ribut dan sibuk dalam hal teknis penyebaran agama, sedangkan hal inti hampir tak tersentuh. Maka jangan heran ketika reaksi dari komunikan dakwah begitu sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan, karena salah dalam menggambarkan wajah Islam. Realitas demikian bisa dikonversikan dengan berbagaimacam gerakan yang salah dalam mempersepsikan Islam. Yang inti menjadi sampingan, yang sampingan menjadi inti. Dengan bahasa lain: yang subtansial menjadi sekadar instrumentak, sedangkan yang instrumental menjadi subtansial. Akibat dari kesalahkaprahan tafsir ini berdampak negatif bagi agama dan pemeluknya. Tapi untungnya agama Islam ini dilindungi oleh Allah ta`ala sehingga usaha apapun untuk menghancurkan agama Islam akan menuai kegagalan.
Buku ini ditulis oleh Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada
tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau
memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan
sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan
orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya
memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan
kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia
sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan
An-Nadawi. Beliau memiliki karangan[1]
yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God
Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and
Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral
Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western
Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His
Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM:
CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada
juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam
Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din.
Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa
al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila
al-Islam.
Buku ini merupak ringkasan dari buku yang berjudul: al-Tafsiru
al-Khathi` karya Wahidudin Khan. Buku ini lahir sebagai kritikan terhadap
karya-karya ‘guru’nya yaitu Abu al-A`la al-Al-Maududi. Dalam berbagai bukunya Al-Maududi
menyerukan bahwa sistem khilafah adalah sistem final dan ideal yang harus
ditegakkan kalau umat Islam ingin mendapat kejayaannya kembali seperti masa
silam. Ide inti dari Al-Maududi dijelaskan oleh beliau ialah, ‘menghidupkan
sistem khilafah yang bercirikan: menjawab pengkritik dengan jawaban yang
memuaskan, mendorongnya untuk kritis, memuji dan memuliakannya serta
melenyapkan sistem kerajaan yang bercirikan: memberangus pengkritik,
membungkamnya dengan ejekan dan ancaman, dan jika tidak berhenti maka
dihentikan dengan cambuk atau penjara.
Wahidudin Khan dahulunya merupakan anggota dari
Jama`ah Islamiyah yang dipimpin oleh Abu A`la Al-Al-Maududi. Namun perjalanan
kemudian ketika Wahidudin Khan mencoba mengkritisi ide inti Al-Al-Maududi
lambat laun terjadi kesenjangan yang luar biasa sehingga pada akhirnya
Wahidudin Khan keluar dari Jama`ah Islamiyah. Al-Maududi dan pendukung nalar
dan tradisi kritis, namun ketika hal itu benar-benar diterapkan nyatanya Ia dan
pendukungnya tersinggung. Seolah-olah khusus Jama`ah Islam pasti benar dan anti
kriti, adapun kritikan layak ditujukan pada selain Jama`ah Islamiyah. Bahkan
ketika kritikan itu berlangsung melalui surat-menyurat selama dua tahun
Wahidudin Khan bukan mendapat penghormatan lantaran kritis, tapi malah mendapat
jawaban pedas sebagaimana berikut: “Kajian studimu sangat kurang sekali, ini
merupakan merupakan bencana di atas bencana, sesungguhnya kamu berbicara dari
tempat yang tinggi, sungguh aku tidak akan menanggapi orang yang mempunyai
padndangan seperti ini, padahal ilmunya sedikit”.
“Sebagaimana
Karl Marxs menafsirkan realitas kehidupan dengan dominasi tafsir materi sebagai
fokus tafsir, demikian pula ustad Abu A`la al-Al-Maududi menafsirkan agama
dengan dominasi politik, sebagai fokus tafsirnya”. Demikian Wahidudin Khan
memulai tulisannya. Dari sini pula asal mula penulisan judul buku di atas.
Bahwa unsur politik terlalu dominan untuk menafsirkan agama Islam. Ia
melanjutkan bahwa untuk mempersepsi kehidupan yang terdiri dari berbagaimacam
aspek, maka biasanya dilakukan dengan tiga pendekatan: Pertama: Pendekatan Qonuni(hukum)
pendekatan ini memberikan gambaran bagian-bagian yang menonjol secara tepat dan
tak berlebihan, masing-masing digambarkan sebagaimana adanya.
Kedua: Pendekatan khithabi(retoris) pendekatan ini memberikan gambaran yang khusus pada satu aspek sekaligus melebih-lebihkannya di banding aspek yang lain. Ketiga: Pendekatan Tafsiri(interpretatif) pendekatan ini memberikan gambaran kesatuan aspek dengan mengambil satu aspek sebagai landasan dari berbagai aspek yang dianggap memiliki hubungan dan kesatuan. Nah, ketika berbicara mengenai agama yang memiliki berbagai macam aspek, Ustat Al-Maududi menggunakan pendekatan ketiga yaitu metode tafsiri(interpretatif). Jadi Al-Maududi menempatkan politik sebagai aspek utama yang melatari risalah Islam. Pada intinya tanpa politik agama hanya akan menjadi kosong dan tak dapat dipahami, seakan-akan (ketika politik tak ada) maka sama saja seperti membuang seperempat agama –menurut ungkapannya-.
Kedua: Pendekatan khithabi(retoris) pendekatan ini memberikan gambaran yang khusus pada satu aspek sekaligus melebih-lebihkannya di banding aspek yang lain. Ketiga: Pendekatan Tafsiri(interpretatif) pendekatan ini memberikan gambaran kesatuan aspek dengan mengambil satu aspek sebagai landasan dari berbagai aspek yang dianggap memiliki hubungan dan kesatuan. Nah, ketika berbicara mengenai agama yang memiliki berbagai macam aspek, Ustat Al-Maududi menggunakan pendekatan ketiga yaitu metode tafsiri(interpretatif). Jadi Al-Maududi menempatkan politik sebagai aspek utama yang melatari risalah Islam. Pada intinya tanpa politik agama hanya akan menjadi kosong dan tak dapat dipahami, seakan-akan (ketika politik tak ada) maka sama saja seperti membuang seperempat agama –menurut ungkapannya-.
Yang
menjadi masalah menurut penulis ketika membaca karya-karya Abu A`la Al-Al-Maududi
bukanlah pada aspek politik dan perjuangannya pada ranah politik. Yang
dijadikan masalah ialah bahwa Al-Maududi dalam kebanyakan karyanya memposisikan
politik sebagai unsur utama dari agama. Sehingga unsur-unsur lain dari agama
yang lebih penting dan inti menjadi terkesampingkan dan kurang mendapat
perhatian yang proporsional. Ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh
Karl Marxs yang mencopa menginterpretasikan kehidupan manusia pada aspek materi
saja sehingga lahir paham Materialisme. Sungguh pun materi itu sangat penting,
tetapi menjadikannya sebagai fokus utama sehingga melupakan unsur rohani
manusia, hanya akan merusak manusia.Sejarah membuktikan bahwa pemahaman
materialisme adalah pemahaman yang salah, dan ketika benar-benar dipraktikkan
dalam kehidupan nyata, hanya menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahkan
dipolitisir dan dieksploitir oleh golongan tertentu. Kesalahan mendasar Al-Maududi
ialah pada ranah filosofis pemikiran. Ini
jauh lebih bebahaya dibanding dengan kesalahan orang yang menambah dan
mengurangi agama.
Diantara
karya Al-Maududi yang sarat akan nuansa politis dalam menafsirkan subtansi
agama ialah: Dustur al-Jama`ah al-Islamiyah, al-Musslimun wa al-Sharaa`
al-Siyaasi al-Raahin, Tajdidu al-Din wa Ihyaauhu, al-Tafhiimaat, al-Khuthab,
al-Nadhratu al-Tahliliyah fi al-Ibaadah al-Islaamiyah, al-Ususu al-Khuluqiyah
li al-harakah al-Islamiyah-Ihsaan, Syahaadatu al-Hak, Lailatu al-Mi`raaj dan
lain sebagainya yang secara umum muatan politik sangan kental dalam menafsirkan
agama. Dalam karya-karya Al-Maududi ini dinyatakan bahwa politik merupakan
perkara inti dari agama, semua aspek agama berada dalam bingkai politik.
Tujuannya jelas pada akhirnya ialah mengkudeta pemimpin yang dzalim, durhaka
serta mendirikan khilafah dan memilih pemimpin yang adil. Karena pada intinya
kesejahteraan kehidupan manusia terletak pada siapa yang menguasai, jika penguasa baik maka akan tercipta
kesejahteraan manusia secara otomatis.
Pada pembahasan lain maksud inti agama menurut Al-Maududi ialah: menegakkan kepemimpinan (imaamah) yang baik dan menegakkan sistem yang hak di muka bumi. Pada kesempatan lain Al-Maududi meinterpretasikan agama yang hak ialah ketaatan absolut terhadap kekuatan Allah dalam arti kekuasaan-Nya. Ia juga menyatakan bahwa tugas Nabi Muhammad ketika diutus ialah mendirikan pemerintahan Islam. Adapun ibadah dalam pengertian politik yang dipahami oleh Al-Maududi dimaksudkan sebagai pembersih jiwa dan sebagai persiapan pendidikan umat untuk tugas yang mulia yaitu memberangus dan menumpas hegomoni kekuasaan para penguasa tiran dan otoriter di muka bumi. Intinya politik sebagai subtansi dalam menafsirkan agama.
Pada pembahasan lain maksud inti agama menurut Al-Maududi ialah: menegakkan kepemimpinan (imaamah) yang baik dan menegakkan sistem yang hak di muka bumi. Pada kesempatan lain Al-Maududi meinterpretasikan agama yang hak ialah ketaatan absolut terhadap kekuatan Allah dalam arti kekuasaan-Nya. Ia juga menyatakan bahwa tugas Nabi Muhammad ketika diutus ialah mendirikan pemerintahan Islam. Adapun ibadah dalam pengertian politik yang dipahami oleh Al-Maududi dimaksudkan sebagai pembersih jiwa dan sebagai persiapan pendidikan umat untuk tugas yang mulia yaitu memberangus dan menumpas hegomoni kekuasaan para penguasa tiran dan otoriter di muka bumi. Intinya politik sebagai subtansi dalam menafsirkan agama.
Pada
buku karangan Wahidudin Khan ini juga dipaparkan dalil-dalil yang dijadikan
pijakan oleh Al-Maududi baik Al-Qur`an(diantaranya As-Syura: 13, Al-Maududi
menafsirkan agama sebagai penegakan hukum-hukum Allah) maupun As-Sunnah(diantarannya
hadits yang mengisahkan sifat Nabi Muhammad dalam Taurat:
وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَآذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفً
yang artinya Allah
tak akan mematikannya hingga Beliau meluruskan agama-agama yg bengkok agar
hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah yg dengannya akan membuka mata yg buta,
telinga yg tuli & hati yg tertutup. Dengan hadits ini beliau
berkesimpulan bahwa tugas Nabi ialah menegakkan din(hukum) sebagaimana yg telah
dijelaskan jauh sebelum kedatangannya dalam kitab Taurat) yang kemudian
dikritisi sedemikian rupa oleh Wahidudin Khan, yang pada akhirnya disimpulkan
bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh Al-Maududi sama sekali tidak tepat
ketika politik dijadikan alasan sebagai tafsir inti agama.
وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَآذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفً
Di
akhir pembahasan penulis menyatakan dengan tegas bahwa tujuan penulisan buku
ini bukanlah menunjukkan aib atau kesalahan seseorang tapi sebagai nasihat.
Kesalahan yang fatal ialah penyimpangan makana agama (memfokuskan agama pada
politik). Penulis juga sempat memberikan dua usulan pada Al-Maududi dan Jama`ah
Islamiyah agar menarik pernyataan bahwa yang inti dari agama ialah masalah politik
dan agar pengikut Jamaah Islamiyah tidak menjadikan buku-buku Al-Maududi
sebagai tafsiran mutlak atas agama(namun kedua usulan ini samasekali ditolak
mereka). Meski berbeda pendapat dengan Al-Maududi, penulis secara obyektif juga
menghormati dan mengakui kelebihan keunggulan dan jasa Al-Maududi dalam
perjuangan Islam.
Secara
umum dengan sangat ilmiah, penulis mengkritisi kesalahan-kesalah yang dilakukan
oleh ustadz Al-Maududi. Namun yang disayangkan ialah tulisan hanya berkisar
pada menunjukkan kesalahan, adapun solusi secara konkrit belum bisa diwujudkan.
Seharusnya semangat untuk menunjukkan, mengingatkan kesalahan orang harus
diimbangi dengan kemampuan untuk memberikan solusi sehingga akan menimbulkan
kesan yang baik. Tapi secara umum penulis dengan sangat santun dan pada batas
kapabilatasnya telah mampu mengurai dan menjelaskan maksud yang dituliskannya.
Buku ini pas dibaca oleh aktifis gerakan Islam.
Manfaatnya ialah sebagai semacam evaluasi internal apakah selama ini gerakan
yang diatasnamakan Islam benar-benar berjalan sesuai dengan ril Islam atau jangan-jangan
sudah terlalu jauh dari tujuan inti Islam.
Judul Buku : التَّفْسِيْرُ السِّيَاسِيُّ لِلدِّيْنِ [al-Tafsiru al-Siyaasiyu li al-Diini].
Arti Judul : Tafsir Politik atas Agama.
Kategori : Pemikiran / Ideologi.
Pengarang : Wahidudin Khan
Penerbit : Daru al-Risalah al-Rabbaniyah .
Alamat Penerbit : Mishru Jadidah, Kairo, Mesir.
Edisi Cetakan : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku : 76 Halaman.
Harga Buku : -
Terlanjur Cinta
Siang hari, Salwa sedang dirundung bingung tak terbendung. Wajahnya sayu tak bersemangat, meratapi cinta yang tak `kan pernah teraih; mengeluhkan cinta yang tak `kan pernah tergapai meski hati terbuai. Bagaimana mungkin Ia bisa mendapat cinta Manna, kalau ternyata Manna sudah mempunyai kekasih. Ia terlanjur cinta, karena harapan dari Manna. Ketika akhirnya dia tahu bahwa keinginannya semu, Ia hanya membisu. Hanya bahasa tangis yang mampu menggambarkan kesedihanya. Semakin lama prahara cinta ini tertahan, semakin lama pula ia hanyut dalam arus derita. Ia tak lagi kuat menyangga. Ia mencoba mengurangi derita dengan mencurahkan pada bait-bait puisi:
TERLANJUR CINTA
Sebelum ku mengenalmu
Hati ini
Laksana sahara
Yang berliput panas
Terik mentari
Aku selalu merasa dahaga
Akan air kasih dan cinta
Sebelum ku mengenalmu
Jiwa ini
Laksana tanah
Yang beriring kering
Tandus tak terurus
Aku selalu merasa haus
Akan hujan kasih dan cinta
Sampai akhirnya
Kau datang ba` oase
Di tengah padang sahara
Yang mengobati
Dahaga jiwa
Yang lama tak bersemi
Sampai akhirnya
Kau datang ba` hujan
Di tengah tanah tandus
Yang menyejukkan
Haus hati
Yang lama tak terpenuhi
Harapan cinta dan kasih
Bertumbuh subur
Menyelimuti hati
Harapan cinta dan kasih
Berkembang pesat
Mendekap jiwa
Namun,
Betapa merana
Jiwaku
Ketika ku tahu
Bahwa kamu hanyalah
Fatamorgana
Yang mampu kulihat
Tapi tak kan tergapai
Namun,
Betapa sengsara
Hatiku
Ketika ku mengerti
Bahwa kamu
Hanyalah comberan
Yang mampu ku rasakan
Tapi tak kan menyuburkan
Ingin ku membencimu
Tapi hati ini
Terlanjur cinta
Ingin ku menghapusmu
Tapi jiwa ini
Terlanjur cinta
Politisasi Sejarah Dakwah
Written By Amoe Hirata on Kamis, 15 Januari 2015 | 08.31
“Pada setiap perkumpulan manusia
(pasti) ada dua sistem. Pertama sistem yang berkaitan dengan akidah (teologi).
Kedua: Sistem yang berkaitan dengan kekuasaan. Umat Islam saat ini tertinggal
dari umat-umat yang lain dalam hal sistem kekuasaan, akan tetapi umat Islam
masih tetap unggul atas umat-umat yang lain dari hal sistem akidah (teologi).
Hanya saja pemimpin-pemimpin kalangan islamis pada segenap penjuru dunia,
tenggelam dalam konflik bersama bangsa lain pada sektor yang berkaitan dengan
sistem kekuasaan di mana tidak dan tak akan kembali pada mereka sesuatu apapun
melainkan kekalahan, kemunduran dan (pertumpahan) darah. Andai saja mereka
menyingkir dari konflik yang tak produktif ini, kemudian (mengerahkan segenap
tenaganya untuk) berdakwah pada bangsa-bangsa lain dalam bidang akidah
(teologi) maka mereka tak akan menyaksikan sejarah mereka saat ini yang
dipenuhi dengan kemunduran dan kekalahan, (kemudian) benar-benar berubah menuju
sejarah kemenangan”.
Demikian salah satu kalimat kunci buku yang ditulis oleh Wahidudin Khan yang merupakan ulama muslim dan pemikir dari India. Wahidudin Khan lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
Demikian salah satu kalimat kunci buku yang ditulis oleh Wahidudin Khan yang merupakan ulama muslim dan pemikir dari India. Wahidudin Khan lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
Buku
ini membahas tentang: Sejarah dakwah Islam. Perlindungan melalui cara dakwah.
Kesaksian sejarah. Pengakuan. Rencana kemanusiaan dan pengaturan ketuhanan.
Kata yang menundukkan. Hijrah ke Habasyah. Islamnya Umar bin Khathab. Islamnya
kabilah Yatsrib. Tersebarnya Islam di Madinah. Hijrah ke Madinah. Luasnya
penyebaran Islam pasca perdamaian Hudaibiyah. Dakwah adalah kekuatan yang tak
kan sirna dan terkalahkan. Perkembangan Islam di luar jazirah Arab. Islamnya
penduduk Turki dan Saljuk. Islamnya Mongol dan Tartar. Dakwah merupakan
kekuatan ba` mata air yang tak pernah kering. Islam di kepulauan Melayu. Dakwah
Islam pada abad 20. Epilog.
Di awal pembahasan penulis
menuturkan: “umat Islam yang menisbahkan diri pada Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam maka konsekuensinya harus mengemban tugas Muhammad sebagai
Nabi yaitu: Menjalankan tugas dakwah kepada Allah. Dakwah adalah tugas
terpenting para Nabi dan Rasul. Nabi memang telah terputus, namun tugasnya akan
senantiasa bersambung dan berjalan selama umat masih ada. Karena itulah tidak
akan mungkin eksistensinya sebagai umat terwujud dengan tugas-tugas lain
melainkan tugas Nabi.
Tugas Nabi ialah mengantarkan risalah (pesan) Allah pada hamba-hamba-Nya. Inti dakwah Nabi ialah: Menyampaikan ilmu rabbani yang terpelihara dalam bentuk Al-Qur`an dan As-Sunnah kepada seluruh manusia supaya tidak ada kesempatan bagi satupun manusia ketika di akhirat untuk membuat alasan bahwa dakwah belum sampai padanya. Dengan demikian dakwah merupakan kewajiban inti umat. Akan tetapi dewasa ini kewajiban inti ini lebih banya dikesampingkan. Orang muslim pada umumnya sibuk dengan isu nasionalisme dan kesukuannya sehingga tugas dakwah termarjinalkan bahkan terdinding”.
Tugas Nabi ialah mengantarkan risalah (pesan) Allah pada hamba-hamba-Nya. Inti dakwah Nabi ialah: Menyampaikan ilmu rabbani yang terpelihara dalam bentuk Al-Qur`an dan As-Sunnah kepada seluruh manusia supaya tidak ada kesempatan bagi satupun manusia ketika di akhirat untuk membuat alasan bahwa dakwah belum sampai padanya. Dengan demikian dakwah merupakan kewajiban inti umat. Akan tetapi dewasa ini kewajiban inti ini lebih banya dikesampingkan. Orang muslim pada umumnya sibuk dengan isu nasionalisme dan kesukuannya sehingga tugas dakwah termarjinalkan bahkan terdinding”.
Jarang sekali –kalau tidak boleh
dikatakan tidak ada- buku secara khusus yang membahas tema sejarah dakwah
Islam. Pasca masa khulafairasyidin orientasi kepenulisan cendrung pada
hal-hal yang bersifat perang dan jihad. Bab jihad mesti bisa dijumpai pada
setiap karangan Fiqih, namun tema khusus tentang sejarah dakwah tidak ada
padahal dakwah adalah tugas inti umat Islam. Ini terasa sangat aneh memang.
Malah yang menulis tema khusus mengenai hal ini adalah orientalis yang bernama
Arnold dalam bukunya yang berjudul: Sejarah Dakwah Islam.
Kewajiban hakiki yang dibebankan
pada pundak umat Islam ialah bangkit menyampaikan risalah Islam kepada umat
yang bukan Islam. Kebanyakan umat Islam sibuk pada urusan membela diri
(mengurusi masalah keamanan internal) sehingga tugas dakwah tak tersentuh
bahkan terabaikan. Hilangnya pemahaman
tugas dakwah yang benar mengantar mereka pada kekeliruan anggapan berupa: usaha
pembalaan internal dikategorikan sebagai dakwah Islam. Pemikiran semacam ini
sama sekali tak ada hubungannya dengan Islam. Dari sudut pandang Al-Qur`an
misalnya: perlindungan umat itu bergantung pada sejauh mana umat menjalankan
dakwah, bukan sebaliknya. Perbedaan yang mencolok antara sejarah umat Islam
masa lalu dan sekarang ialah terletak pada: Pada sejarah umat Islam masa awal
tugas dakwah dijadika faktor dan acuan sebagai terjaminnya perlindungan umat.
Sedangkan pada masa sejara modern sebaliknya perlindungan (keamananan internal
dulu) diprioritaskan baru kemudian dakwah.
Dengan menjalankan dakwah Islamiah
secara benar maka Allah pasti akan melindungu umat Islam/ Salah satu bentuk
perlindungan Allah bermacam-macam:
I. Adakalanya komunikan dakwah menerima dengan baik,
adakalanya justru menentang dan ingkar, dalam kondisi terakhir dakwah pasti
dimenangkan(sebagaimana yang terjadi pada Nabi Hud dan Luth).
II. Dakwah Islam laksana gema fitrah manusia. Ketika
dakwah disampaikan, sama halnya kita mengetuk pintu hati manusia. Biasanya
ketika fitrah disentuh secara otomatis akan menyambut dengan baik. Kalaupun tak
menerima secara formal, paling tidak ia akan menyarankan pada orang lain bahwa
dakwah fitrah ini layak untuk dibantu dan ditolong. Seperti yang terjadi pada
kisah Yusuf `alaihissalaam.
Secara normatif, Al-Qur`an
membicarakan masalah ini: perlindungan akan didapat ketika tugas dakwah
benar-benar dilaksanakan(Al-Maidah: 67). Jadi manusia akan dilindungi Allah
ketika benar-benar menjalankan dakwah. Ketika yang terjadi sekarang pada umat
Islam justru sebaliknya maka berarti mereka belum benar-benar menjalankan
dakwah Islam secara benar atau bahkan sama sekali mengabaikannya. Jadi yang
dijadikan fokis ialah dakwah pada Allah, adapun mengenai bahaya dan tantangan
maka disikapi dengan menunggu dan sabar.
Supaya tidak rancu dalam memahami
pengertian dakwah maka perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan kata
‘dakwah’ ialah menyebarkan Islam di kalangan non Islam. Dengan kata lain:
menyampaikan risalah (pesan) Allah pada orang yang sama sekali belum menerima
Islam. Kata ‘dakwah’, ‘tabligh’ maknanya hanya demikian. Adapun kata yang
digunakan untuk sesama muslim ialah: tadzkir(peringatan), ishlah(pendamaian,
perbaikan), tawaashi bi al-haq wa bi as-shabri(saling berwashiat pada
kebenaran dan kesabaran), al-amru bi al-ma`ruf wa an-nahyu `ani al-munkar(menyuruh
pada yang ma`ruf dan melarang pada yang mungkar), dan lain sebagainya. Bisa
saja kata ‘dakwah` dan ‘tabligh’ dipakai untuk kalangan muslim tapi itupun
hanya sebagai majaz(kiasan), tapi pada intinya makna dakwah ialah untuk non
muslim.
Contoh sejarah dari Al-Qur`an:
Kisah orang mukmin yang menyembunyikan keimanannya. Ketika sudah terpepet akhirnya
ia menyampaikan kebenaran agama Musa hingga pada akhirnya ia dilindungi oleh
Allah dari makar Fir`aun(Q.s. Ghafir: 38-45). Jaminan perlindungan dari Allah
bagi orang yang berdakwah itu pasti. Cuman terlaksana tidaknya bergantung pada
sejauh mana kita menjalankan dakwah dengan sebenar-benarnya. Jika berdakwah
diiringi dengan hal-hal lain selain dakwak meski dinamakan dakwah ilallah
maka jangan harap akan mendapat perlindungan dari Allah.
Dalam sejarah kita ketahui bahwa
orang kafir dengan sekuat tenaga menghalangi dakwah Nabi. Diantara cara yang
digunakan ialah: menawan, membunuh dan mengusir. Tapi rencana mereka sama
sekali gagal. Karena takdir dan rencana Allah berkata lain. Dengan sangat halus
melalui para dai, Islam bisa memikat hati orang-orang sekitar hingga menyebar
luas. Di sini kita bisa menilai bahwa sejatinya dakwah Islam memiliki
kekuatan/potensi taskhiri(daya pikat, pesona yang bisa meluluhkan dan
menaklukkan hati).
Dalam perjalanan sirah nabawiyah
daya pikat (tarik) ini bisa kita jumpai diantaranya pada kisah: Thufail bin `
`Amru Ad-Dausi. Kisah Ja`far bin Abi Thalib yang mewakili kaum muslimin sebagai
jubir di depan Najasyi, dengan dakwah secara benar dan jujur pada akhirnya ia
dan para sahabat lain terselamatkan. Berkat dakwah Nabi Umar masuk Islam
sehingga Umat Islam yang sebelumnya ditindas, kemudian bisa lebih aman. Umar
masuk Islam karena terpesona dengan dakwah adiknya Fathimah, ketika Umar
membaca surat Thaha. Suwaid bin As-Shamit terpikat dengan dakwah Rasulullah
ketika haji ke Makkah. Abu Al-Hasir Anas bin Rafi`(dari suku `Aus) juga
demikian. Usaid bin Khudhair dan Sa`ad bin Mu`adz terkesima dengan dakwah
Mush`ab bin `Umair lalu masuk Islam. Dakwah pula yang mempermudah jalan Rasul
hijrah ke Madinah. Setelah Shulhu Hudaibiyah dakwah Islam semakin tersebar
luas.
Yang membuat perkembangan Islam
sedemikian pesat ialah kekuatannya dalam bidang dakwah, bukan politik. Pada
hakekatnya kekuatan politik tidak mampu sama seakali mencapai sesuatu
sebagaimana capaian dakwah. Seandainya kekuatan politik mampu mengubah manusia
pada agama yang tak dipeluk, maka India, Pakistan dan Bangladhes niscaya
menjadi agama Kristen.
III. Komunikan dakwah menyambut baik dan mengimani
dakwah, bahkan siap untuk memperjuangkannya.
Pada
intinya menurut penulis bahwa ketika umat Islam fokus untuk menjalankan dakwah
pada Allah maka peluang untuk mendapat perlindungan dari Allah lebih besar
daripada menyibukkan diri pada hal-hal yang bukan inti seperti politik dan
gerakan lainnya. Perjuangan Islam melalui ranah politik selalu mengalami
kegagalan karena politik mengandung semacam konflik kepentingan sedangkan
dakwah itu harus ikhlas karena Allah sebagaimana para Nabi. Ketika dakwah
berisi kepentingan pribadi dan kelompok maka kemungkinan untuk diterima oleh
komunikan dakwah sangatlah kecil.
Dengan
bahasa lugas dan sederhana penulis mencoba menyampaikan betapa orientasi dakwah
Islam yang benar sudah sedemikan tertutupi, terdinding atau bahkan lenyap sama
sekali. Ini diakibatkan ketika umat Islam sibuk pada hal-hal yang bukan dari
inti Islam, seperti politik dan kekuasaan. Sejarah membuktikan, ketika fokus
umat pada kekuasaan dan politik maka malah menimbulkan konflik baik internal
maupun eksternal.
Akhirnya buku ini cocok dibaca bagi para
aktifis dakwah Islam, atau setiap muslim yang ingin mengetahui lebih jauh
bagaimana hakikat sejarah dakwah Islam serta seberapa jauh kaum muslim
mengalami penyimpangan dari tugas utama yang harus dikerjakan sebagai penerus
tugas Nabi. Secara umum penulis buku ini terhitung sukses dalam menyampaikan
idenya, namun di sisi lain perlu pembahasan yang lebih rinci dan mendalam
mengenai epistimologi dakwah Islam dan aspek-aspeknya di samping itu butuh
pembahasan-pembahasan yang lebih aplikatif untuk mengatahu aspek apa saja yang
diperbolehkan pada ranah politik dan apa saja yang tak dibolehkan sehingga akan
mendapat kesimpulan yang lebih arif dan obyektif.
Judul Buku : تَارِيْخُ الدَّعْوَةِ إِلَى الإِسْلاَمِ [Tarikh ad-Dakwah Ila al-Islaam].
Arti Judul : Sejarah Dakwah Islam
Kategori : Sejarah
Pengarang : Wahidudin Khan
Penerbit : Ar-Risaalah li al-I`laam al-Dauli
Alamat Penerbit : Jl. Syaikh Muhammad Nadi No. 7 Makram `Abid, Madinah Nashr, Kairo, Mesir.
Edisi Cetakan : Cetekan Pertama
Tahun Terbit : 1992 M / 1413 H.
Tebal Buku : 73 Halaman
Harga Buku : -