Dalam buku yang berjudul, ‘Marātibu Qirā`ati al-Qur`ān(Level-level Pembacaan Al-Qur`an)’ karya: Fahmi Islam
Jiwanto, ada kata-kata menarik ketika menggambarkan Al-Qur`an. Beliau
menuturkan: “Al-Qur`an bagaikan hujan yang hasilnya ditentukan sesuai dengan
apa yang dikandung tanah berupa biji(benih), kesuburan, dan tipe tanah. Kadang
hujan turun pada satu tanah yang subur sehingga bisa menumbuhkan pohon yang
berbuah masak dan nikmat. Sedangkan ketika turun di tanah lain, hanya
menumbuhkan rerumputan dan ilalang. Ada juga yang tidak menumbuhkan apa-apa. Bahkan terkadang
malah mengakibatkan tanah longsor dan banjir”(hal. 12).
Metafor ‘Al-Qur`an bagaikan hujan’, terinspirasi hadits
nabi yang menyatakan: “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku
dengannya adalah bagaikan ghaits(hujan yang bermanfaat)yang mengenai tanah.
Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang
ajadib(tanah yang bisa menampung air), maka dengan genangan air tersebut, Allah
memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum
dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan
dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi`an(tanah
yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang
yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran Allah dan dia mengajarkan
kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya
terhadap wahyu, dia tidak menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk
membawanya”(Hr. Bukhari, Muslim).
Penjelasannya sederhana. Jika Al-Qur`an ibarat hujan,
maka tanahnya ialah hati-hati manusia. Di antara mereka ada yang memiliki hati
yang bersih, lembut dan tulus sehingga ketika mendapat siraman ‘hujan petunjuk’
Al-Qur`an hatinya semakin berbinar yang berbuah amal. Ada pula yang hatinya
keras, penuh maksiat, sehingga ketika mendapat siraman ‘hujan petunjuk’
Al-Qur`an, hatinya semakin congkak dan enggan beramal.
Rupanya, permisalan ini bila ditarik benang merahnya
bertalian erat dengan tamsil bulan Ramadhan(sebagai momen diturunkannya
Al-Qur`an). Kata ‘Ramadhan’ dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘ramadh’.
Kebanyakan ulama mengartikannya: sangat panas. Namun ada yang memberi
pengertian lain yang jauh lebih menyejukkan. Dalam kitab Lisān al-`Arabi misalnya, Ibnu Mandhur menyatakan:
والرَّمَضُ: الْمَطَرُ يأْتي
قُبُلَ الْخَرِيفِ فَيَجِدُ الأَرض حَارَّةً مُحْتَرِقَةً.
“Sedangkan (kata)
al-Ramadh, berarti: Hujan yang datang sebelum musim gugur. Maka didapati tanah
dalam kondisi panas membakar”(Lisān al-`Arab, 7/161).
Hubungannya keduanya, Al-Qur`an dan Ramadhan laksana
hujan, yang turun ketika peradaban manusia lagi berada pada titik panas
kerusakannya. Kedatangannya menjadi semacam kesejukan bagi tanah yang kering
kerontang. Bagi tanah yang bagus, maka akan tumbuh tanaman yang baik. Ini
laksana orang yang berhati bersi lalu mau mengimaninya. Sedangkan tanah
bebatuan keras, tidak akan mampu mengambil manfaat darinya. Laksana orangyang
berhati keras, yang menolak petunjuk Al-Qur`an.
Bila Al-Qur`an ibarat hujan, serta turun pada momen
kesejukan Ramadhan, maka tergantung kita: maukah kita membersihkan ‘tanah hati’
agar mampu mengambil manfaat dan menyerap secara optimal dari ‘hujan Al-Qur`an’
sehingga menumbuhkan iman dan amal? Atau sebaliknya, kita biarkan ‘tanah hati’
kita keras bagai bebatuan, yang tak akan mengambil manfaat dari hujan? Pilah
ada pada kita masing-masing. Yang jelas, Al-Qur`an dan Ramdhan membawa
kesejukan bagi orang-orang yang berhati bersih. Wallāhu a`lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !