Keempat, “Kemudian diteruskan ulama-ulama Nusantara.
Seperti: Syekh Shamad al-Palimbani, Syekh Mahfudh at-Termasi, Syekh Nawawi
al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Muhammad al-Mutamakkin dan jaringan
ulama Nusantara memberi teladan pentingnya kontruksi pengetahuan Islam
Nusantara”. Yang menjadi pertanyaan, apakah ulama Nusantara hanya yang berlatar
NU? Bukankah masih banyak ulama-ulama lainnya? NU sendiri baru lahir pada 1926.
Kalau yang menjadi inti dari Islam Nusantara adalah NU, kenapa tidak fair-fair
an saja membuat istilah Islam NU. Penulis kira itu lebih tegas dan berani,
dibanding Islam Nusantara yang masih kontroversial. Islam NU lebih tepat
karena, yang menjadi persoalam adalah Islam Nusantara selalu ditabrakkan dengan
Islam Arab(Timur Tengah) yang dikatakan suka mengkafirkan, intoleran, suka
membid`ahkan, menyesatkan, anti budaya dan lain sebagainya yang bertentangan
dengan tradisi NU. Bukannya yang lebih pas mempertentangkan Islam NU dan Islam
(yang dianggap) Wahabi?
Kelima, “Islam Nusantara menjadi referensi bagi dunia
internasional. Ini yang seharusnya diteruskan ulama NU”. Yang menjadi referensi
dunia internasional sebenarnya Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan Hadits
atau Islam Nusantara(yang diidentikkan dengan ulama-ulama NU)? Terus, secara
geneologi keilmuan apakah NU bisa dipisahkan dengan ulama-ulama yang notabene
berasal dari Timur Tengah? Padahal dalam sejarah NU dikenal dengan madzhab
Syafi`i dan akidah Asy`arinya. Imam Syafi`i dan Asya`ri itu sebenarnya orang
mana? Orang Timur Tengah atau orang Nusantara? Kalau memang dalam nusantara
menyimpan banyak menyimpan kearifan budaya baik itu yang menyangkut toleransi,
kelembutan, menjaga budaya, dan lain sebagainya.
Bukankah ajaran Islam sudah meng- cover
semuanya. Islam –selama tidak bertentangan dengan prinsip- sangat menghormati
toleransi, kelembutan dan budaya. Bukankah sejak awal Islam yang dibawa nabi
adalah Islam rahmatan lil `alamin? Mana yang lebih menyeluruh dan
universal Islam rahmat bagi seantero alam atau sebatas Islam Nusantara? Kalau
diteruskan pertanyaannya, lama-lama nanti pusing sendiri dan menjumpai jalan
buntu. Jadi –menurut pikiran penulis-, Islam itu ya Islam saja. Titik. Tidak
ada embel-embel atau atribut apa pun. Kalau pun dari masing-masing Muslim
memiliki kultur dan kelebihan berbeda, itu bukan untuk dipertentangkan, tapi
untuk saling belajar dan mengenal. Dengan saling berendah hati dan tanpa
caci-maki, insyaallah semua bisa teratasi. Karena –sebagaimana istilah Nabi-
Islam itu mengatasi bukan diatasi. Jadi, masi perlukah istilah Islam Nusantara?
Wallahu a`lam bi dzatis shudur.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !