Home » » Pemimpin Zahid

Pemimpin Zahid

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 Juni 2015 | 12.38

            Di padang sabana, beriring sepoi angin senja, Sarikhuluk ditemani Markoden dan Paijo sedang asyik tiduran menatap cakrawala.
     Kondisi itu sangat menyenangkan dan sangat didambakan olehnya di tengah kegiatannya yang sedemikian padat. Baginya, ini adalah kesempatan relaksasi pasikologis di tengah kebisingan manusia modern yang kebanyakan pragmatis.
            “Cak, menurut njenengan -melihat kebanyakan pemimpin di negeri ini- apa sudah masuk dalam kondisi ideal?” Tanya Markoden memecah kesunyian.
             “Den, aku pikir yang lebih pas pertanyannya, ‘Apa kriteria pemimpin yang ideal?’. Soalnya begini, kalau kita bicara realitas pemimpin di negeri ini (maksudku yang sekarang) maka tak aka nada habisnya dan hanya bikin sakit hati.”.
            “Lha, kenapa gitu Cak?” Tanya Paijo penasaran. “Akan lebih bermanfaat jika energi kita tidak dihabiskan untuk menghukumi realitas pemimpin negeri ini. Kita fokuskan saja pada kriteria ideal pemimpin. Mengapa demikian? Pertama, bisa dijadikan referensi bagi kita untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Kedua, bisa lebih jernih dalam menilai seorang pemimpin. Ketiga, bisa diagendakan sebagai bahan untuk mewujudkan pemimpin ideal.” Jawab Sarikhuluk.
            “Lalu apa Cak kriteria pemimpin yang ideal menurut njenengan?” Suara Paijo dan Markoden bersamaan. “Aku sebut satu dulu. Pemimpin ideal adalah pemimpin yang zahid.” “Lha, makanan apalagi itu Cak?”.
             “Zahid adalah kata sifat dari zuhud. Biasanya orang mengartikannya: ‘sederhana’. Tapi itu belum cukup mewakili. Zahid ialah ketika engkau sudah memiliki dunia, namun kau tidak diperbudak olehnya. Malah memilih hidup sederhana, demi kehidupan abadi.”
            “Orang zahid adalah pasca-dunia, bukan pra-dunia”. “Lha apa maksudnya?” tanya keduanya penasaran. “Gini, kalau kamu ga makan gara-gara ga ada yang dimakan, maka kere namanya atau terpaksa. Kalau kamu punya makanan, tapi kamu memilih untuk puasa demi menjalankan ibadah(yang bernilai rohani), maka kamu zahid. Kalau dikaitkan dengan pemimpin ya pemimpin yang secara duniawi mempunyai kesempatan untuk hidup mewah, namun mereka lebih mengutamakan mensejahterakan rakyat, ketimbang dirinya sendiri.”
            “Kalian bisa menulusuri jejak-jejak pemimpin agung di dalam sejarah. Rasulullah Muhammad shalallahu `alaihi wasallam memilih hidup sederhana padahal sebenarnya mampu. Kadang kurang makan. Bajunya dijahit sendiri. Suatu saat bahkan Umar menangis ketika beliau tidur dengan alas pelepah kurma, sehingga membekas di punggungnya. Abu Bakar demikian. Umar juga kepemimpinannya dibangun di atas spirit kezahidan.”
            “Pernah ada orang yang penasaran ingin ketemu Pemimpin Agung bernama Umar yang kekuasaannya sampai ke serambi Bizantium Romawi. Setelah diberitahu, ia kaget bukan main. Di negerinya namanya pemimpin hidup dalam istana, punya mahkota, dan disertai dayang-dayang. Ini tidak. Ga ada penjaga, malah tidur di atas tanah. Rasa kemanusiaannya tergetar ketika melihat fenomena ini. Demikian juga Ali bin Abi Thalib yang terkenal dengan ucapan, ‘Wahai dunia, bujuklah selainku. Sungguh aku telah menalakmu tiga kali,’. Tak hanya itu, dunia ia letakkan dalam genggaman tangannya. Bukan dalam hatinya. Mush`ab bin Umair, Duta Islam Pertama, meski waktu muda hidup bergelimang harta, tapi lihat matinya, tidak memiliki kain kafan yang bisa menutupi semua jasadnya. Demikian pula Umar bin Abdul Aziz, yang sebelumnya hidup dalam gelimang harta, ketika menjadi pemimpin memilih hidup sederhana.”
            “Tunggu dulu Cak! Kalau Utsman `kan pemimpin juga. Dia `kan hidupnya enak. Makannya enak. Pokoknya serba enak deh. Apa dia bukan zahid?” tanya Markoden. “Kalau kamu mau lihat Utsman, haru proporsional dan detail. Dia meskipun hidup seperti itu, perjuangan dan pengorbanannya begitu besar. Dia sangat dermawan. Kezahidannya ialah terletak pada ketidak terikatan hatinya dengan yang namanya harta. Ia bisa saja menginfakkan semua hartanya tanpa beban apapun.”.
            “Aku jadi ingat sejarah pahlawan-pahlawan besar negeri ini. Kamu tau Kh. Agus Salim, walaupun dia menjadi Mentri Luar Negri pada masa Presiden Soekarno, hidupnya sangat sederhana. Ia tidak punya rumah mewah. Malah hidupnya pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain. Kamu tau Muhammad Natsir? Waktu menjadi Perdanan Mentri, ia terbiasa ngontel(sepedaan) ke rumah kontrakannya memakai jaz yang ada tambalannya. Hatta pun –meski pernah menjadi Wakil Presiden- tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayatnya. Mentri Keungan Pak Syafrudin yang tak mampu membeli popok anaknya. Dan masih banyak yang lainnya.”
            Tiba-tiba Markoden nyeletuk, “Cak, aku jadi ingat Kia Semar. Sebenarnya dia adalah Panembahan Ismoyo, dewa yang begitu luar biasa tapi mau turun ke bumi hidup secara sederhana dekat dengan manusia bumi. Menurutku Kia Semar adalah tipikal Zahid dan merakyat.” “Kamu ini Den, ada-ada aja.” Sahut Paijo.
           “Intinya, kita sekarang sedang membutuhkan pemimpin yang zahid. Zahid bukan saja dalam pengertian wadak, tetapi sudah penjadi sebagai cara pandang yang menjadikan pemimpin hidup sederhana, mengutamakan kesejahteraan rakyat, sama Tuhan juga dekat.” Pungkas Sarikhuluk.
            “Cak, sepurane yo(maaf ya). Kalau aku perhatikan, sampean ini dari berbagai segi terlihat zahid(sesua dengan pengertian zahid yang telah disampaikan). Pakaian, wajah, gaya hidup, serte tetek-bengeknya sangat sederhana.” Sahut Markoden menilai dengan mantap.” “Iya Cak, benar itu kata Markoden,”timpal Paijo tak mau menguatkan.
               “Hehehe, Ojo ngawur awakmu (jangan ngawur). Rek aku ini begini bukan karena zuhud, tapi kere alias melarat. Tapi aku selalu berusaha menapaktilasi jejak-jejak mereka. Mereka secara ideal terlihat sebagai ‘manusia langit’, tapi secara riil sebenarnya kakinya masih berpijak di bumi, yang memungkinkan untuk diteladin. Kalau Indonesia ingin maju ya cari pemimpin yang berjiwa zahid, bukan peraga zahid. Mau zahid kalau disorot media, ketika sendiri kesejahteraannya amit-amit tiada duanya.”
            Begitu gembira Paijo dan Markoden bisa bersama Sarikhuluk. Meski santai, bersama Sarikhuluk selalu mendapat ilmu dan hikmah baru. Saat mata hari tenggelam di ufuk barat, mereka akhirnya kembali ke rumah masing-masing bersiap melaksanakan shalat Maghrib.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan