Di padang sabana, beriring sepoi angin
senja, Sarikhuluk ditemani Markoden dan Paijo sedang asyik tiduran menatap
cakrawala.
Kondisi
itu sangat menyenangkan dan sangat didambakan olehnya di tengah kegiatannya
yang sedemikian padat. Baginya, ini adalah kesempatan relaksasi pasikologis di
tengah kebisingan manusia modern yang kebanyakan pragmatis.
“Cak, menurut njenengan -melihat
kebanyakan pemimpin di negeri ini- apa sudah masuk dalam kondisi ideal?” Tanya
Markoden memecah kesunyian.
“Den,
aku pikir yang lebih pas pertanyannya, ‘Apa kriteria pemimpin yang ideal?’.
Soalnya begini, kalau kita bicara realitas pemimpin di negeri ini (maksudku
yang sekarang) maka tak aka nada habisnya dan hanya bikin sakit hati.”.
“Lha, kenapa gitu Cak?” Tanya Paijo
penasaran. “Akan lebih bermanfaat jika energi kita tidak dihabiskan untuk menghukumi realitas
pemimpin negeri ini. Kita fokuskan saja pada kriteria ideal pemimpin. Mengapa
demikian? Pertama, bisa dijadikan referensi bagi kita untuk memilih
pemimpin yang lebih baik. Kedua, bisa lebih jernih dalam menilai seorang
pemimpin. Ketiga, bisa diagendakan sebagai bahan untuk mewujudkan
pemimpin ideal.” Jawab Sarikhuluk.
“Lalu apa Cak kriteria pemimpin yang ideal menurut njenengan?”
Suara Paijo dan Markoden bersamaan. “Aku sebut satu dulu. Pemimpin ideal adalah
pemimpin yang zahid.” “Lha, makanan apalagi itu Cak?”.
“Zahid adalah kata
sifat dari zuhud. Biasanya orang mengartikannya: ‘sederhana’. Tapi itu belum cukup
mewakili. Zahid ialah ketika engkau sudah memiliki dunia, namun kau tidak
diperbudak olehnya. Malah memilih hidup sederhana, demi kehidupan abadi.”
“Orang zahid adalah pasca-dunia, bukan pra-dunia”. “Lha
apa maksudnya?” tanya keduanya penasaran. “Gini, kalau kamu ga makan gara-gara
ga ada yang dimakan, maka kere namanya atau terpaksa. Kalau kamu punya
makanan, tapi kamu memilih untuk puasa demi menjalankan ibadah(yang bernilai
rohani), maka kamu zahid. Kalau dikaitkan dengan pemimpin ya pemimpin yang
secara duniawi mempunyai kesempatan untuk hidup mewah, namun mereka lebih
mengutamakan mensejahterakan rakyat, ketimbang dirinya sendiri.”
“Kalian bisa menulusuri jejak-jejak pemimpin agung di
dalam sejarah. Rasulullah Muhammad shalallahu `alaihi wasallam memilih
hidup sederhana padahal sebenarnya mampu. Kadang kurang makan. Bajunya dijahit
sendiri. Suatu saat bahkan Umar menangis ketika beliau tidur dengan alas
pelepah kurma, sehingga membekas di punggungnya. Abu Bakar demikian. Umar juga
kepemimpinannya dibangun di atas spirit kezahidan.”
“Pernah ada orang yang penasaran ingin ketemu Pemimpin
Agung bernama Umar yang kekuasaannya sampai ke serambi Bizantium Romawi.
Setelah diberitahu, ia kaget bukan main. Di negerinya namanya pemimpin hidup
dalam istana, punya mahkota, dan disertai dayang-dayang. Ini tidak. Ga ada
penjaga, malah tidur di atas tanah. Rasa kemanusiaannya tergetar ketika melihat
fenomena ini. Demikian juga Ali bin Abi Thalib yang terkenal dengan ucapan, ‘Wahai
dunia, bujuklah selainku. Sungguh aku telah menalakmu tiga kali,’. Tak hanya
itu, dunia ia letakkan dalam genggaman tangannya. Bukan dalam hatinya. Mush`ab
bin Umair, Duta Islam Pertama, meski waktu muda hidup bergelimang harta, tapi
lihat matinya, tidak memiliki kain kafan yang bisa menutupi semua jasadnya. Demikian
pula Umar bin Abdul Aziz, yang sebelumnya hidup dalam gelimang harta, ketika
menjadi pemimpin memilih hidup sederhana.”
“Tunggu dulu Cak! Kalau Utsman `kan pemimpin juga. Dia
`kan hidupnya enak. Makannya enak. Pokoknya serba enak deh. Apa dia bukan
zahid?” tanya Markoden. “Kalau kamu mau lihat Utsman, haru proporsional dan
detail. Dia meskipun hidup seperti itu, perjuangan dan pengorbanannya begitu
besar. Dia sangat dermawan. Kezahidannya ialah terletak pada ketidak terikatan
hatinya dengan yang namanya harta. Ia bisa saja menginfakkan semua hartanya
tanpa beban apapun.”.
“Aku jadi ingat sejarah pahlawan-pahlawan besar negeri
ini. Kamu tau Kh. Agus Salim, walaupun dia menjadi Mentri Luar Negri pada masa
Presiden Soekarno, hidupnya sangat sederhana. Ia tidak punya rumah mewah. Malah
hidupnya pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain. Kamu tau Muhammad
Natsir? Waktu menjadi Perdanan Mentri, ia terbiasa ngontel(sepedaan) ke
rumah kontrakannya memakai jaz yang ada tambalannya. Hatta pun –meski pernah
menjadi Wakil Presiden- tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir
hayatnya. Mentri Keungan Pak Syafrudin yang tak mampu membeli popok anaknya.
Dan masih banyak yang lainnya.”
Tiba-tiba Markoden nyeletuk, “Cak, aku jadi ingat Kia
Semar. Sebenarnya dia adalah Panembahan Ismoyo, dewa yang begitu luar biasa tapi
mau turun ke bumi hidup secara sederhana dekat dengan manusia bumi. Menurutku
Kia Semar adalah tipikal Zahid dan merakyat.” “Kamu ini Den, ada-ada aja.”
Sahut Paijo.
“Intinya, kita
sekarang sedang membutuhkan pemimpin yang zahid. Zahid bukan saja dalam
pengertian wadak, tetapi sudah penjadi sebagai cara pandang yang menjadikan
pemimpin hidup sederhana, mengutamakan kesejahteraan rakyat, sama Tuhan juga
dekat.” Pungkas Sarikhuluk.
“Cak, sepurane yo(maaf ya). Kalau aku perhatikan,
sampean ini dari berbagai segi terlihat zahid(sesua dengan pengertian zahid
yang telah disampaikan). Pakaian, wajah, gaya hidup, serte tetek-bengeknya
sangat sederhana.” Sahut Markoden menilai dengan mantap.” “Iya Cak, benar itu
kata Markoden,”timpal Paijo tak mau menguatkan.
“Hehehe, Ojo
ngawur awakmu (jangan ngawur). Rek aku ini begini bukan karena
zuhud, tapi kere alias melarat. Tapi aku selalu berusaha
menapaktilasi jejak-jejak mereka. Mereka secara ideal terlihat sebagai ‘manusia
langit’, tapi secara riil sebenarnya kakinya masih berpijak di bumi, yang
memungkinkan untuk diteladin. Kalau Indonesia ingin maju ya cari pemimpin yang berjiwa
zahid, bukan peraga zahid. Mau zahid kalau disorot media, ketika sendiri
kesejahteraannya amit-amit tiada duanya.”
Begitu gembira Paijo dan Markoden bisa bersama
Sarikhuluk. Meski santai, bersama Sarikhuluk selalu mendapat ilmu dan hikmah
baru. Saat mata hari tenggelam di ufuk barat, mereka akhirnya kembali ke rumah
masing-masing bersiap melaksanakan shalat Maghrib.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !