v Ayat Kajian : (Al-Baqarah: 183)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
v Arti Mufradat :
يأيُّها :
Wahai (perhatikan)
الَّذِيْنَ
آمَنُوا : Orang-orang yang telah beriman
كُتِبَ عَلَيْكُمْ :
Dicatatat(ditetapkan) atas kalian
لَعَلَّكُمْ :
Supaya kalian
تَتَّقُوْنَ :
Bertakwa
v Arti Ayat :
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
v Tafsir Ayat :
Pada permulaan
ayat, disebut kata “يايُّهَا”
yang merupakan kata panggilan yang disertai dengan huruf tanbīh(perhatian)"هَـ": .Seakan-akan kata awal ini hendak menyatakan:
“wahai, perhatikanlah!”. Siapakah yang yang memanggil dan siapakah yang
dipanggil(agar memperhatikan sesuatu yang akan dikatakan)? Tentu saja yang
memanggil adalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Adapun yang
dipanggil adalah orang-orang yang telah beriman. Coba bayangkan! Ketika anda
dipanggil orang yang anda hormati dan anda sayangi, bagaimana perasaan anda?
Bagaimana persiapan anda untuk menyambut setiap kalimat yang muncul dari
lisannya. Sebagai contoh kecil, misalnya presiden memanggil nama anda, apa yang
akan anda lakukan? Pastinya anda akan penuh ta`dzim dan hormat kepadanya.
Apalagi kalau yang memanggil anda adalah Allah, maka lebih patut dihormati
daripada manusia setinggi apapun kedudukan dan gelarnya.
Setiap ayat yang
didahului dengan kata “ya ayyuhalladzina āmanu” biasanya selalu berisi atau mengandung perintah
atau larangan. Suatu ketika, ada orang yang mendatangi Abdullah bin Mas`ud,
seraya berkata: “Berilah nasihat terhadap diriku!”. Lalu ia memberi nasihat: “Jika engkau
mendengar Allah berfirman, ‘ya ayyuhalladzina āmanu(Wahai orang-orang yang beriman)”, maka simaklah
dan perhatikanlah dengan baik! Karena di dalamnya ada kebaikan yang
diperintahkan, atau keburukan dan kejahatan yang dilarang. Apa yang
dinasihatkan oleh Ibnu Mas`ud sejatinya sebagai cambukan bagi orang-orang
beriman agar memperhatikan dengan baik pesan yang akan disampaikan oleh Allah,
ketika mereka dipanggil.
Pada ayat ini,
yang dipanggil hanyalah orang-orang yang beriman. Syaikh Mutawalli Sya`rawi
memberi tafsiran menarik mengenai hal ini. “Ketika yang dipanggil adalah
orang-orang beriman, maka seolah-olah Allah mengatakan pada mereka, ‘Aku tidak
memberi taklīf(pembebanan syariat)
sebagai bentuk pemaksaan terhadap kehendak kalian, akan tetapi karena kalian
masuk padaku melalui pintu iman(sesuai dengan kemauan kalian)”. Seakan-akan
yang mampu dan berhak menyangga beban perintah ini hanyalah orang-orang yang
beriman. Apakah yang dimaksud dengan iman? Ulama-ulama pakar Akidah, biasa
mendefinisikan iman dengan:
تَصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ وَإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ وَالْعَمَلُ بِالْجَوَارِحِ
Membenarkan dengan hati, mengikrarkan
dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Dengan demikian sangat wajar jika yang mampu
mengemban perintah dan menjauhi larangan Allah hanyalah orang-orang yang
beriman, karena mereka mampu mengharmonikan antara hati, lisan dan amalan. Nabi
Muhammad sendiri, ketika ditanya Jibril tentang iman, beliau bersabda:
الإيْمَانُ أنْ
تُؤمِنَ باللهِ وَمَلاَئكِتَهِ وَكُتُبهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ
بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ (رواه مسلم.(
“Iman ialah engkau percaya kepada
Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hariakhir, dan
engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”.
(HR.Muslim).
Di samping itu,
beliau juga pernah mendefinisikan orang beriman sebagai berikut:
وَ المُؤْمِنُ مَنْ
أَمِنَهُ النَّاس عَلى دِمَائِهِمْ وَ أَمْوَالِهِمْ
“Seorang mu’min (yang sempurna) yaitu
orang yang manusia merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya.”(Hr.
Tirmidzi dan Nasa`i). Ini semakin menjelaskan bahwa iman adalah paduan antara
hati, lisan dan perbuatan. Karena itulah, dalam surat al-Hujurat, orang-orang Arab
Badui dilarang berkata beriman, karena hakikat mereka masih sekadar Islam(dalam
pengertian tunduk): “Orang-orang Arab Badui
itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang"(Qs.
Al-Hujurat: 14).
Apa
yang diperintahkan pada orang-orang yang beriman? Allah berfirman: “diwajibkan
atas kamu berpuasa”. Yang diwajibkan ialah syariat puasa. Puasa
yang di dalam bahasa Arab menggunakan kata ‘shaum’ atau ‘shiyām’
secara bahasa berarti menahan diri. Di samping surat al-Baqarah ayat 183, kata
yang menunjukkan arti puasa (menahan diri), ialah dalam surat yang mengisahkan
tentang Maryam: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa(menahan diri)
untuk Tuhan Yang Maha Pemurah,”(Qs. Maryam: 26). Adapun secara istilah,
Syaikh Abu Bakar Jabir al-jazairi mendefinisikannya dengan definisi berikut:
“Menahan diri dengan niat beribadah (hanya untuk-Nya) dari makan, minum,
menggauli perempuan, serta apa saja yang bisa membatalkannya, sejak terbit
fajar hingga terbenamnya matahari”.
Kemudian,
ternyata kewajiban puasa ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslimnn saja,
namun juga untuk orang-orang terdahulu, sebagaimana firman-Nya: “sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Ketika puasa juga diwajibkan
kepada umat terdahulu hingga sekarang, berarti puasa memiliki kedudukan dan
posisi penting yang harus dijaga dengan baik. Tujuan akhir dari
disyari`atkannya puasa ialah membentuk pribadi yang senantiasa bertakwa, sebagaimana
firman-Nya: “agar kamu bertakwa”. Takwa di sini menggunakan bentuk wazan(timbangan)
kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang. Ini berarti proses untuk takwa
adalah proses dinamis dan tidak ada putusnya sampai manusia meninggal dunia.
Ini juga menunjukkan, ibadah puasa di bulan Ramadhan yang bertujuan membentuk
pribadi takwa, juga harus berkesinambungan pada bulan-bulan lainnya. Tidak
sebagaimana orang-orang Islam pada umumnya yang hanya rajin berpuasa dan
beribadah hanya di bulan Ramadhan saja, namun ketika bulan Ramadhan selesai,
kembali seperti sedia kala.
Dalam
al-Qur`an, selain puasa, ada beberapa langkah agar bisa mencapa takwa, di
antaranya: Pertama, beribadah kepada Rab(Tuhan Yang Maha Memelihara)[Qs.
Al-Baqarah: 21). Kedua, mengingat dan memperhatikan Kitab Allah,
sebagaimana kisah Musa `alaihissalam(Qs. Al-Baqarah: 63). Ketiga, menegakkan
hukum(yang dalam hal ini contohnya adalah qishas(Qs. Al-Baqarah: 179). Keempat,
mengikuti jalan yang mustaqim(lurus dan jalannya orang yang
istiqamah)[Qs. Al-An`am: 153]. Adapun definisi takwa, sebagaimana yang jama`
diketahui ialah: “Mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya”. Ada definisi yang menarik yang disampaikan Imam Ali R.a.
mengenai takwa:
الخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ، وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْقَنَاعَةُ
بِالْقَلِيْلِ، وَالاسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ.
“Takut pada Allah yang Maha Mulia,
mengamalkan Kitab yang diturunkan, qana`ah(menerima) rizki yang diterima meski
sedikit, dan bersiap-siap untuk menyiapkan bekal menghadapi kematian”. Pada
intinya, sebagai kesimpulan, sejatinya ibadah puasa, baik di bulan Ramadhan
maupun bulan-bulan lainnya, adalah sebuah metode praktis dan strategis dari
Allah, untuk membentuk pribadi takwa. Hhanya puasa yang hakiki yang mempu
mencapai target mulia ini. Wallahu a`lam bi al-shawāb.
v Pelajaran :
1.
Hendaknya orang
memperhatikan dengan saksama panggilan Allah
2.
Setiap ayat yang didahului
kata ya ayyuhalladzina āmanu,
pasti mengangung perintah atau larangan yang perlu dicamkan dengan baik
3.
Kemuliaan dan keutamaan
orang-orang beriman yang mendapat perintah puasa
4.
Kewajiban puasa di bulan
Ramadhan
5.
Yang benar-benar mampu
menjalankan puasa hakiki adalah orang-orang yang beriman
6.
Puasa adalah syariat yang
juga diwajibkan atas orang-orang sebelum Islam
7.
Puasa mengembangkan
kemampuan takwa bagi orang-orang beriman
8.
Puasa membentuk pribadi
takwa
9.
Usaha untuk mencapai takwa
bukan saja ditempuh dalam bulan Ramadhan, tapi juga bulan-bulan lainnya
10. Puasa adalah salah satu metode yang dibuat Allah untuk mencapai
takwa
v Referensi :
1. Tafsīr al-Qur`ānu al-`Aẓīm, karya: Ibnu Katsir
2. Aisaru al-Tafāsir,
karya: Abu Bakar Jabir al-Jazāiri
3. Tafsīr al-Sya`rāwi, karya: Syaikh Mutawalli al-Sya`rāwi
4. Minhāju al-Muslim, karya: Abu Bakar Jabir al-Jazāiri
5. Al-Īmān,
karya: Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah
6. Subulu al-Hudā wa al-Rasyād fī Sīrati
Khairi al-`Ībād, karya: Muhammad bin Yusuf al-Shālihi al-Syāmi
7. Jāmi`u
al-Durūs
al-`Arabiyyah, karya: Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghayalaini
8. Jāmi` Shahīh Muslim,
karya: Imam Muslim
9. Sunan Tirmidzi, karya: Imam Tirmidzi
10. Sunan al-Nasāi, karya: Imam Nasāi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !