Home » » Allah 'TAK BUTUH' Puasamu

Allah 'TAK BUTUH' Puasamu

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 Juni 2015 | 07.43

            Salah satu amalan unggulan dalam bulan Ramadhan ialah puasa. Menurut pengertian Ilmu Fiqh, definisi puasa ialah: “Menahan diri dengan niat beribadah dari makan, minum,berhubungan intim serta apa saja yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”. Masalahnya, apakah puasa hanya sekadar menahan haus, dahaga dan hubungan intim? Dengan membaca hadits berikut, pembaca akan mengerti apa sejatinya yang perlu dikendalikan dalam berpuasa dan apa yang seharusnya dijaga agar tidak merusak puasa. Dengan membaca hadits ini pula, kita akan lebih memahami hakikat takwa dalam ibadah puasa. Semoga tulisan ini bermanfaat, serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita mengenai puasa.
A.    Teks Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
B.     Mufradat

لَمْ يَدَعْ               : Tidak meninggalkan
قَوْلَ الزُّورِ          : Perkataan dusta
حَاجَةٌ                 : Perlu, butuh
أَنْ يَدَعَ               : Ia meninggalkan

C.    Arti Hadits

Bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan amalan dusta, maka Allah tidak butuh(peduli) ia meninggalkan makan dan minumnya”.

D.    Takhrīj Hadits

Hadits ini diriwayatkan Bukhari(Kitab: al-Shaum. Bab: man lam yam yada` qaulaz zur. Kitab: al-Adab. Bab: Qauluhu ta`ala, “Wajtanibu qaula al-Zur” Al-Haj: 30), Abu Daud(Kitab: al-Shaum. Bab: al-Ghibah li al-Sha`im), Tirmidzi(Bab: al-Shaum. Kitab: Bab ma jāa fi al-tasydid fi al-Ghibah li al-Shaim), Ibnu Majah(Kitab: al-Shiyam. Bab: Ma jāa fi al-Ghibah wa al-Rafats li al-Shā`im), Ahmad(Musnad Abu Hurairah, 16/332), Bazzar(Musnad Abu Hurairah), Baihaqi( Sunan al-Kubra. Kitab: al-Shiyam. Bab: Ma yunha `anhu al-sha`im min qauli al-zur wa al-ghibah), Ibnu Huzaimah(Kitab: al-Shiyam. Bab: al-Nahyu `an qauli al-zur wa al-`amalu bihi wa al-jahlu fi al-shaumi wa al-taghlidh fihi),

E.     Profil Rawi Hadits

Nama aslinya Abdurrahman bin Shakrin al-Dausi. Berasal dari kabilah Daus, Yaman. Lahir 19 tahun sebelum hijriah. Waktu jahiliah, namanya: Abdu Syams bin Sakhr. Sedangkan kunyanya: Abu Al-Aswad. Setelah Islam, namanya diganti rasul menjadi: Abdur Rahman. Dijuluki ‘Abu Hurairah’(Bapak Kucing Kecil) karena suatu saat ia menemukan kucing kecil kemudian dia letakkan dalam lengan bajunya. Ada cerita lan: Disebut demikian karena, ia memiliki kucing kecil yang selalu dibawa ketika menggembala kambing. Waktu malam, kucing kecil itu diletakkan di pohon, ketika siang diajak lagi menggembala kambing. Ia masuk Islam pada tahun ketujuh hijriah(diajak oleh Thufail bin Amru Ad-Dusi). Di antara sahabat nabi, dialah yang paling banyak meriwayatkan hadits. Hadits yang diriwayatkan berjumlah: 5374. Ia wafat pada tahun 57 H. Pelajaran penting dari hidupnya ialah kesederhanaan dan semangat dalam mencari ilmu serta mengamalkannya.

F.     Syarah Hadits
Hadits ini didahului dengan adat al-syarthi(alat yang berfungsi menunjukkan syarat. Selama syarath ini ada, maka jawabnya juga ada) yaitu kata: man(barangsiapa). Man juga merupakan kata yang `am(umum). Jadi, barangsiapa atau siapa saja yang tidak mau meninggalkan perkataan dan amal zur(dusta), serta perbuatan jahil, bodoh(tambahan ini di Bukhari) maka(jawab syarathnya) Allah tidak menghendaki(butuh, peduli) puasanya. Percuma saja meski tidak makan dan minum, karena puasanya menjadi tak bermakna bernilai karena dirusak dengan perbuatan-perbuatan yang mencemari puasa.
Bukankah –sebagaimana Al-Baqarah: 183- puasa disyariatkan agar membentuk pribadi takwa? Dengan demikian hadits ini menunjukkan bahwa yang dikendalikan dalam berpuasa bukan saja masalah lahiriah saja, perkara-perkara batin juga perlu dikendalikan. Meskipun secara hukum tidak membatalkan puasa, namun perbuatan itu bisa merusak nilai puasa. Betapa banyak orang yang puasa dengan pengertian wadak dan dangkal. Puasa hanya dipahami tidak makan, tidak minum, tidak bergaul dengan istri. Padahal di luar itu, sering berkata kotor, berbuat keji, mengumpat orang dan lain sebagainya.

Karena itu, bagi siapa saja yang ingin meningkatkan kualitas ibadah puasanya, maka harus memahami puasa dengan pemahaman yang lebih dalam. Yang dikendalikan dalam puasa mencakup lahir-batin. Bukan berarti, kalau melakukan perbuatan dan perkataan dusta orang disuruh meninggalkan puasanya, tapi perbuatan itu dapat mengurangi nilai puasa bahkan mengundang kemarahan Allah. Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ "
Bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, Rasulullah shallahu `alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah perisai. Maka jangan berkata kotor dan berbuat jahil. Jika ada seorang diajak perang(berkelahi) atau dicele, maka hendaknya ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa’”(Hr. Bukhari, Muslim).
            Hadits tersebut semakin menguatkan, bahwa puasa adalah pengendalian diri dengan makna seluas-luasnya. Menahan lisan dan menjaga hati. Tidak berkata kotor dan melakukan akhlak tercela, sekaligus menahan emosi karena dalam kondisi lapar, orang rentan marah. Hadits ini bisa dijadikan cermin keseharian kita, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan agar gambaran takwa bisa terpantul jelas dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihyā` Ulūmi al-Dīn, membagi tingkatan orang-orang berpuasa. Pertama, puasa al-`umum(umum,orang awam). Yaitu sekadar tidak makan, minum dan berhubungan intim. Kedua, puasa al-Khusus (khusus). Yaitu memelihara pendengaran, pengelihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badain dari dosa-dosa. Ketiga, puasa khusūshu al-Khusūsh(istimewa). Yaitu, puasanya hati dari mencerna hal-hal yang hina dan pemikiran duniawi serta mengendalikan diri dari yang selain Allah secara total(1/234). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa tingkat puasa orang yang hanya meninggalkan urusan perut dan kemaluan adalah puasanya orang awam. Anak kecil pun bisa melakukan puasa demikian.

G.    Pelajaran

1.      Puasa bukan sekadar menahan haus, lapar dan berhubungan intim
2.      Tercelanya perkataan, dan perbuatan dusta dalam berpuasa
3.      Allah tidak butuh(peduli) pada puasa orang yang masih berbuat dusta, melakukan kejahilan dan berkata dusta
4.      Yang dimaksud dengan Allah butuh bukan berarti butuh dalam pengertian dhahir, tapi maksudnya ialah Allah tidak menghendaki puasa yang demikian
5.      Perbuatan tercela akan merusak nilai puasa
6.      Dianjurkan puasa secara lahir dan batin
7.      Menghindari perbuatan-perbuatan tercela baik ketika berpuasa maupan di luar puasa
8.      Peringatan keras bagi orang yang berpuasa dengan makna dangkal
9.      Bagi yang ingin menyempurnakan kesempurnaan puasa maka harus menjauhi perbuatan-perbuatan tercela
10.  Anjuran untuk meningkatkan kualitas puasa

H.    Referensi
1.      Bukhari, Shahih Bukhari
2.      Muslim, Shahih Muslim
3.      Tirmidzi, Sunan Turmudzi
4.      Abu Daud, Sunan Abu Daud
5.      Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban
6.      Ibnu Huzaimah, Shahih Ibnu Huzaimah
7.      Baihaqi, Sunan Kubra
8.      Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad
9.      Bazzar, Musnad Bazzar
10.  Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits
11.  Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Al-Ishabah di Tamyīzi al-Shahabah
12.  Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Fath Al-Bāri
13.  Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhāj Al-Muslim
14.  Abu Hamid AL-Ghazali, Ihyā Ulumi al-Dīn
15.  Ibnu al-Batthāl, Syarh Shahih al-Bukhari
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan