Salah satu amalan unggulan dalam bulan
Ramadhan ialah puasa. Menurut pengertian Ilmu Fiqh, definisi puasa ialah: “Menahan
diri dengan niat beribadah dari makan, minum,berhubungan intim serta apa saja
yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
Masalahnya, apakah puasa hanya sekadar menahan haus, dahaga dan hubungan intim?
Dengan membaca hadits berikut, pembaca akan mengerti apa sejatinya yang perlu
dikendalikan dalam berpuasa dan apa yang seharusnya dijaga agar tidak merusak puasa.
Dengan membaca hadits ini pula, kita akan lebih memahami hakikat takwa dalam
ibadah puasa. Semoga tulisan ini bermanfaat, serta meningkatkan kesadaran dan
pemahaman kita mengenai puasa.
A.
Teks Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ
لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
B.
Mufradat
لَمْ يَدَعْ :
Tidak meninggalkan
قَوْلَ الزُّورِ :
Perkataan dusta
حَاجَةٌ :
Perlu, butuh
أَنْ يَدَعَ :
Ia meninggalkan
C.
Arti Hadits
Bersumber dari Abu
Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dan amalan dusta, maka Allah tidak butuh(peduli) ia meninggalkan
makan dan minumnya”.
D.
Takhrīj Hadits
Hadits ini
diriwayatkan Bukhari(Kitab: al-Shaum. Bab: man lam yam yada` qaulaz
zur. Kitab: al-Adab. Bab: Qauluhu ta`ala, “Wajtanibu qaula al-Zur”
Al-Haj: 30), Abu Daud(Kitab: al-Shaum. Bab: al-Ghibah li
al-Sha`im), Tirmidzi(Bab: al-Shaum. Kitab: Bab ma jāa fi al-tasydid fi al-Ghibah li al-Shaim), Ibnu Majah(Kitab: al-Shiyam. Bab: Ma
jāa fi al-Ghibah wa al-Rafats li al-Shā`im), Ahmad(Musnad Abu Hurairah,
16/332), Bazzar(Musnad Abu Hurairah), Baihaqi( Sunan al-Kubra. Kitab:
al-Shiyam. Bab: Ma yunha `anhu al-sha`im min qauli al-zur wa
al-ghibah), Ibnu Huzaimah(Kitab: al-Shiyam. Bab: al-Nahyu `an qauli
al-zur wa al-`amalu bihi wa al-jahlu fi al-shaumi wa al-taghlidh fihi),
E.
Profil Rawi Hadits
Nama aslinya
Abdurrahman bin Shakrin al-Dausi. Berasal dari kabilah Daus, Yaman. Lahir 19
tahun sebelum hijriah. Waktu jahiliah, namanya: Abdu Syams bin Sakhr. Sedangkan
kunyanya: Abu Al-Aswad. Setelah Islam, namanya diganti rasul menjadi: Abdur
Rahman. Dijuluki ‘Abu Hurairah’(Bapak Kucing Kecil) karena suatu saat ia
menemukan kucing kecil kemudian dia letakkan dalam lengan bajunya. Ada cerita
lan: Disebut demikian karena, ia memiliki kucing kecil yang selalu dibawa
ketika menggembala kambing. Waktu malam, kucing kecil itu diletakkan di pohon,
ketika siang diajak lagi menggembala kambing. Ia masuk Islam pada tahun ketujuh
hijriah(diajak oleh Thufail bin Amru Ad-Dusi). Di antara sahabat nabi, dialah
yang paling banyak meriwayatkan hadits. Hadits yang diriwayatkan berjumlah:
5374. Ia wafat pada tahun 57 H. Pelajaran penting dari hidupnya ialah
kesederhanaan dan semangat dalam mencari ilmu serta mengamalkannya.
F.
Syarah Hadits
Hadits ini
didahului dengan adat al-syarthi(alat yang berfungsi menunjukkan syarat.
Selama syarath ini ada, maka jawabnya juga ada) yaitu kata: man(barangsiapa).
Man juga merupakan kata yang `am(umum). Jadi, barangsiapa atau
siapa saja yang tidak mau meninggalkan perkataan dan amal zur(dusta),
serta perbuatan jahil, bodoh(tambahan ini di Bukhari) maka(jawab
syarathnya) Allah tidak menghendaki(butuh, peduli) puasanya. Percuma saja meski
tidak makan dan minum, karena puasanya menjadi tak bermakna bernilai karena
dirusak dengan perbuatan-perbuatan yang mencemari puasa.
Bukankah –sebagaimana
Al-Baqarah: 183- puasa disyariatkan agar membentuk pribadi takwa? Dengan
demikian hadits ini menunjukkan bahwa yang dikendalikan dalam berpuasa bukan
saja masalah lahiriah saja, perkara-perkara batin juga perlu dikendalikan.
Meskipun secara hukum tidak membatalkan puasa, namun perbuatan itu bisa merusak
nilai puasa. Betapa banyak orang yang puasa dengan pengertian wadak dan
dangkal. Puasa hanya dipahami tidak makan, tidak minum, tidak bergaul dengan
istri. Padahal di luar itu, sering berkata kotor, berbuat keji, mengumpat orang
dan lain sebagainya.
Karena itu, bagi
siapa saja yang ingin meningkatkan kualitas ibadah puasanya, maka harus
memahami puasa dengan pemahaman yang lebih dalam. Yang dikendalikan dalam puasa
mencakup lahir-batin. Bukan berarti, kalau melakukan perbuatan dan perkataan
dusta orang disuruh meninggalkan puasanya, tapi perbuatan itu dapat mengurangi
nilai puasa bahkan mengundang kemarahan Allah. Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
" الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ
أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ "
Bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu,
Rasulullah shallahu `alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah perisai.
Maka jangan berkata kotor dan berbuat jahil. Jika ada seorang diajak
perang(berkelahi) atau dicele, maka hendaknya ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa’”(Hr.
Bukhari, Muslim).
Hadits
tersebut semakin menguatkan, bahwa puasa adalah pengendalian diri dengan makna
seluas-luasnya. Menahan lisan dan menjaga hati. Tidak berkata kotor dan
melakukan akhlak tercela, sekaligus menahan emosi karena dalam kondisi lapar,
orang rentan marah. Hadits ini bisa dijadikan cermin keseharian kita, baik di
dalam maupun di luar bulan Ramadhan agar gambaran takwa bisa terpantul jelas
dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Imam
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihyā` Ulūmi al-Dīn, membagi tingkatan orang-orang berpuasa. Pertama,
puasa al-`umum(umum,orang awam). Yaitu sekadar tidak makan, minum dan
berhubungan intim. Kedua, puasa al-Khusus (khusus). Yaitu
memelihara pendengaran, pengelihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota
badain dari dosa-dosa. Ketiga, puasa khusūshu al-Khusūsh(istimewa). Yaitu,
puasanya hati dari mencerna hal-hal yang hina dan pemikiran duniawi serta
mengendalikan diri dari yang selain Allah secara total(1/234). Dari sini kita
bisa mengetahui bahwa tingkat puasa orang yang hanya meninggalkan urusan perut
dan kemaluan adalah puasanya orang awam. Anak kecil pun bisa melakukan puasa
demikian.
G.
Pelajaran
1. Puasa bukan sekadar
menahan haus, lapar dan berhubungan intim
2. Tercelanya perkataan,
dan perbuatan dusta dalam berpuasa
3. Allah tidak butuh(peduli)
pada puasa orang yang masih berbuat dusta, melakukan kejahilan dan berkata
dusta
4. Yang dimaksud dengan
Allah butuh bukan berarti butuh dalam pengertian dhahir, tapi maksudnya ialah
Allah tidak menghendaki puasa yang demikian
5. Perbuatan tercela
akan merusak nilai puasa
6. Dianjurkan puasa
secara lahir dan batin
7. Menghindari
perbuatan-perbuatan tercela baik ketika berpuasa maupan di luar puasa
8. Peringatan keras bagi
orang yang berpuasa dengan makna dangkal
9. Bagi yang ingin
menyempurnakan kesempurnaan puasa maka harus menjauhi perbuatan-perbuatan
tercela
10. Anjuran untuk
meningkatkan kualitas puasa
H.
Referensi
1. Bukhari, Shahih
Bukhari
2. Muslim, Shahih
Muslim
3. Tirmidzi, Sunan
Turmudzi
4. Abu Daud, Sunan
Abu Daud
5. Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban
6. Ibnu Huzaimah, Shahih
Ibnu Huzaimah
7. Baihaqi, Sunan
Kubra
8. Ahmad bin Hanbal, Musnad
Ahmad
9. Bazzar, Musnad
Bazzar
10. Mahmud Thahhan, Taisir
Musthalah Al-Hadits
11. Ibnu Hajar Al-`Asqalani,
Al-Ishabah di Tamyīzi al-Shahabah
12. Ibnu Hajar
Al-`Asqalani, Fath Al-Bāri
13. Abu Bakar Jabir
al-Jazairi, Minhāj Al-Muslim
14. Abu Hamid AL-Ghazali,
Ihyā Ulumi al-Dīn
15. Ibnu al-Batthāl, Syarh
Shahih al-Bukhari
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !