Home » » ISLAM & NUSANTARA

ISLAM & NUSANTARA

Written By Amoe Hirata on Senin, 29 Juni 2015 | 20.31

           Santernya gagasan ‘Islam Nusantara’ di Sosmed(Sosial Media), menuai penasaran warga Jumeneng. Terlebih ketika dua tetangga desa(Mangkubumi dan Mangkulangit), hampir-hampir perang gara-gara pro dan kontra seputarnya. Penduduk Mangkubumi menilai gagasan ‘Islam Nusantara’ sangat elegan dan representatif terhadap wajah Muslim IndonesiaSedangkan penduduk Mangkulangit, menolak dengan tegas gagasan yang dinilai ngelantur, ‘prematur’ dan ora jelas.
Supaya warga tidak terpecah belah, maka P3P(Paijo, Pardi, Paiman, dan Ponco) menginisiasi terselenggaranya diskusi berlatar agama plus budaya yang akan mengangkat tema, ‘Islam & Nusantara’. Sarikhuluk pun didapuk sebagai mediator sekaligus moderator bagi kedua pihak yang sedang berseteru.
            Acara diselenggalarakan pada hari Ahad 28 Juni 2015. Semula diskusi akan diselenggarakan di Pendopo Al-Ikhlash, namun mengingat peserta yang begitu banyak, maka tidak memungkinkan jika ditempatkan di sana. Panitia pun bersepakat menyelenggarakan acara di lapangan sepak bola Nyunggi Wakul(lapangan sepak bola desa Jumeneng). Tepat pukul 08.00 pagi, acara pun dimulai.
Setelah engucapkan salam, Sarikhuluk dengan gaya khasnya menyapa hadirin, “Dolor-dolor sekalian! Sebelum kita memulai diskusi, monggo disantap dulu makanan yang sudah disediakan panitia. Meski sederhana, semoga bisa mengawali diskusi kita kali ini dengan kesejukan, bukan kepanasan. Kemudian, Aku mengingatkan, kita di sini bukan mencari kemenangan pribadi, tapi kebenaran sejati. Kita di sini bukan menghakimi, tapi saling menglarifikasi. Jadi, tolong tehan emosi, lapangkan dada, jaga ukhuwah!”.
            Setelah lima belas menit para audiens diberi kesempatan menikmati konsumsi, acara pun bisa dimulai. Acara di-setting bukan dengan gaya hadap-hadapan layaknya orang sedang debat. Masing-masing kampung diwakili oleh lima pembicara. Diskusi tidak memakai meja, hanya lesehan yang beralas terpal. Para pembicara duduk melingkar, di tengah-tengah ada Sarikhuluk. Suasananya sangan ganyeng lebih kental kekeluargaannya ketimbang musuhan.
“Baik. Bismillah, kita mulai acara diskusi ini. Pertama-tama kita akan memberi kesempatan kepada wakil dari desa Mangkubumi untuk menyampaikan klarifikasinya terkait gagasan nusantara. Kemudian disusul dengan penjelasan-penjelasan dari wakil penduduk Mangkulangit yang tidak setuju dengan gagasan tersebut. Selanjutnya, kita akan berdiskusi, memberi masukan, dan mengambil sikap terkait polemik gagasan ‘Islam Nusantara’. Mudah-mudahan ini menjadi oase di saat penduduk desa lain sedang geger karena ndak mau cek dan ricek.” Tukas Sarikhuluk membuka acara.

Wakil Mangkubumi(Pro Islam Nusantara):

            Ngatiman selaku wakil desa Mangkubumi mengawali, “Cak, yang kami maksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang toleran, terbuka, akomodatif, santun, sopan, ramah budaya, tak emosional, mampu bersinergi dengan budaya setempat, merangkul berbagai pihak, tak suka menghakimi. Islam adalah agama yang turun dari langit. Sedangkan Nusantara adalah penduduk bumi. Jadi Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Ini sangat berbeda dengan Islam Arab yang dikenal emosional, tak ramah budaya, terlalu hitam-putih, in-toleran, suka perang, suka kekerasan, gampang mengklaim dan menghakimi orang yang tak sependapat. Islam Nusantara adalah Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, yang berdakwah dengan sangat santun dan elegan. Dakwah yang membuat tentram, bukan terancam; dakwah yang mengajak, bukan mengejek; mencerahkan, bukan menyalahkan; mengayomi buka menghakimi; mencerdaskan, bukan mengenaskan; melestarikan, bukan menghancurkan. Begitu kira-kira gambaran singkat mengenai Islam Nusantara Cak.”
            Bambang Sujatmoko menambahkan, “Hanya di nusantara Cak, dakwah disampaikan dengan kesejukan. Di saat dakwah-wakwah di Timur Tengah kebanyakan disebar dengan kekerasan, di nusantara ditebarkan dengan kelembutan. Hati penduduk nusantara direbut oleh Para Wali dengan keteladanan pejuang, bukan dengan pedang. Dengan hati, bukan dengan intruksi yang menyayat hati. Dengan hikmah, bukan marah-marah.” Sarmuji juga mengutarakan, ‘Jangan sampai Islam Nusantara diarabisasi Cak. Bedakan antara Islam dengan Arab. Meskipun Islam lahir di Arab, bukan berarti semua yang kearab-araban pasti Islam, seperti: sorban, gamis, jubah, jenggot, baju cingkrang, dll. Kita kan dilahirkan di nusantara, bukan dilahirkan di Arab. Jadi Islam kita merefleksikan Islam ala Nusantara, bukan Islam Arab.”
            Sudarmono menambahkan, “Yang paling representatif dan contoh paripurna bagi gambaran Islam Nusantara ialah NU. Dengan ulama seperti, Hadratussyaikh Hasyim Asy`ari, Kh. Wahab Hasbullah, Kh. Sahal Mahfud dll. Islam Nusantara mampu dipelihara hingga saat ini. Jauh sebelum itu ada ulama seperti Syekh Nawai al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makasari, dan lain sebagainya yang menginisiasi dakwah ala Islam Nusantara.”. Subarjo memungkasi, “Ciri khas Islam Nusantara ialah yang berakidah Asyariah-Maturidia, dan bermadzhab Syafi`i. Bukan berakidah Wahabi dan bermadzhab Hanbali ala Timur Tengah. Saya optimis Cak. Jika Islam Nusantara dilestarikan dan dijaga eksistensinya, maka akan menjadi rujukan bagi umat Islam di dunia. Menurutku ‘Islam Nusantara’ adalah cerminan riil dari Islam yang rahmatan lil `alamin(rahmat bagi seantero alam).
            Setelah masing-masing dari wakil desa Mangkubumi memaparkan pendapatnya, Sarikhuluk mempersilahkan wakil desa Mangkulangit memaparkan pendapat-pendapatnya.

Wakil Mangkulangit(Kontra Islam Nusantara)

              Muhammad Salman Al-Farisi mengawali, “Bagi kami, gagasan Islam Nusantara sangat absurd dan tidak jelas. Yang perlu diperjelas sebenarnya sebelum melebar kemana-mana ialah kajian serius secara lingustik. Bagaimana pun juga bahasa lahir dari kesepakatan. Jadi tidak bisa setiap individu memaknai kata dengan semaunya sendiri. Islam sendiri jelas adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasalla. Selama beliau berdakwah tidak sekalipun ada embel-embel Arab, walaupun beliau dari Arab. Sedangkan yang dimaksud nusantara itu siapa, apa, dan yang bagaimana? Kata nusantara sendiri berasal dari bahasa sansekerta NUSWANTARA. Sejak kapan dan apa ukuran orang disebut nusantara? Penyebutan Islam nusantara di samping sarat dengan relativisme, ia juga akan mengotak-ngotakkan Islam. Nantinya akan memicu adanya Islam Arab, Islam Rusia, Islam Amerika dan seterusnya. Akibatnya jelas, islam jadi gado-gado dan tak jelas.”
            Ahmad Fathul Mun`im lebih mendasar memaparkan, “Kami lebih setuju Islam yang rahmatan lil `alamin. Islam Nusantara hanya akan membatasi Islam pada wilayah tertentu. Secara bahasa juga lebi mencakup Islam rahmatan lil `alamin daripada Islam Nusantara. Kemudian, mengapa Islam Nusantara dipertentangkan dengan Islam Arab atau Timur Tengah? Apakah bijaksanan menilai Islam dengan perilaku buruk pemeluknya? Kalau pemeluknya berbuat salah, yang salah agamanya apa pemeluknya? Sudahkan diadakan penelitian yang memadai bahwa Islam Timur Tengah pasti keras dantidak toleran? Kita tidak bisa mengeneralisir, tanpa ada bukti-bukti yang jelas. Jadi menurut saya yang pas ialah Islam di Nusantara atau Muslim Nusantara.”
            Masyhud Zaki lebih menukik mengkritisi, “Apakah benar ulama yang disebut sebagai penggagas Islam Nusantara tadi itu seteril dari Arab? Secara budaya saja mereka tidak bisa lepas dari Arab kok. Guru-guru syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy`ari, dll itu kebanyakan orang mana? Emang Imam Asy`ari, Maturidi dan Syafi`i dari Nusantara ya? Kemudian, nama-nama mereka dari Arab apa Nusantara(seperti: Hasyim Asy`ari, Yusuf, Nawawi, dll)? Jadi, kami pikir kalau Islam Nusantara berangkat dari sentimen budaya, maka gambaran Islam Nusantara yang dikatakan lembut, ramah budaya hanyala utopis karena menegasikan budaya lain. Padahal take and give, pengaruh memengaruhi antar-budaya adalah sangat wajar terjadi. Jadi mengonfrontasikan antara Islam Arab dan Islam Nusantara adalah tindakan yang gegabah dan bermuatan politis.”
            Ali Syahrudin menggarisbawahi, “Kalau dikatakan bahwa yang masuk Islam Nusantara adalah golongan tertentu dan diasosiasikan pada ideologi tertentu(seperti: berideologi Maturidi, Asya`ri, bermadzhab Syafi`i dan bercorak sufi), maka ini sangat ngawur dan gegabah. Kita tahu bawa seperti Tuanku Imam Bonjol ia juga disebut pahlawan meskipun berideologi `wahabi’ dan bermadzhab Hanbali, demikian juga kaum padri. Bahkan di awal abad dua puluh, para pembaharu yang lahir dari organisasi Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad sangat berjasa besar dalam berjuang di nusantara. Padahal mereka diidentikkan berideologi Wahabi dan bermadzhab Hanbali. Jadi, mengapa penamaan Islam Nusantara hanya didominasi oleh kelompok tertentu? Bukankah ini akan memicu perpecahan umat? Di samping itu, ternyata di tubuh oraganisasi NU sendiri, istilah Islam Nusantara masih menuai ketidak setujuan, sebagaimana pendapat Kh. Hasyim Muzadi, dan Pesantren Sidogiri.”
            Syamsul Arifin, mengakhiri, “Bau JIL(Jaringan Islam Liberal) sangat menyengat pada gagasan Islam Nusantara. Mereka bermetomorfosa menjadi JIN(Jaringan Islam Nusantara). Bagaimana tidak, Islam hanya diambil sisi toleran dan lembut saja tanpa menimbang mana ajaran ushul dan mana ajaran yang furu`. Semuda di-gebyah uyah, digeneralisir, yang Nusantara mesti bagus, yang Arab pasti keras. Kadang-kadang kami heran sama mereka. Di satu sisi menyerukan pentingnya toleransi dan menghormati pendapat pihak lain, namun diam-diam mereka menjunung tinggi kepongahan diri dengan menganggap bahwa Wahabi keras, intoleran, kasar. Padahal secara tidak sadar, mereka mengaku dirinya paling benar. Ini namanya otoritarianisme yang dibalut dengan baju toleransi. Belum lagi ada ungkapan dari pimpinan JIL, yang menyatakan bahwa Islam Nusantara sangat menghormati Syi`ah, semakin memperjelas benang merah antara JIN dan JIL. Dengan beberapa pertimbangan itu, kami tidak setuju.”

Oase
            Diskusi yang awalnya tegang dan penuh amarah, menjadi tenang ketika dimoderatori oleh Sarikhuluk. Mereka duduk bersama, salang mengklarifikasi, dan berendah hati. Gojekan-gojekan dan joke Sarikhuluk membuat mereka semakin tenang. “Dolor-dolor aku sudah mendengar alasan dari masing-masing pihak. Aku sendiri bukan mau mendukung yang satu maupun yang lain. Aku hanya mengajak kalian berfikir dengan jernih dan murni tanpa ada tendensi apa pun. Pertama, ide ‘Islam Nusantara’, pertama kalian dapat, memangnya dari mana? Media `kan? Lha siapa memangnya yang punya media? Yang punya media itu pihak yang suka Muslim bersatu atau sebaliknya? Pengetahuan kalian tentang gagasan ‘Islam Nusantara’ berasal dari pengetahuan yang udzunul yaqin(hanya dengar dari orang), ilmul yaqin(sekadar tau), `ainal yaqin(benar-benar lihat dengan mata kepala sendiri) atau haqqul yaqin(tahu sejatinya)? Kita secara ndak sadar menghabiskan energi dengan istilah yang diramaikan media,”
            “Kedua, mengapa ajaran tabayyun(klarifikasi) dalam Islam tidak dijalankan. Kalau memang ada ketidaksetujuan, mengapa kalian tidak mengadakan pertemuan saja di tempat tertentu. Supaya tidak saling su`udzan(bersangka negatif). Kalau saling pukul, serang, caci-maki di media, itu bukan meredakan masalah, tapi memperkeruh masalah. Wong berita aja dapatnya dari media, langsung dengan yakinnya menghakimi pihak lain. Ini berlaku pada masing-masing pihak. Aku kemarin baru membaca klarifikasi di situs www.m.nu.or.id , ada Kh Afifuffin Muhajir yang menjelaskan bahwa yang dimasksud Islam Nusantara adalah hanya pada ranah syariat yang ijtihadi yang memungkinkan untuk berubah dan dinamis. Sedangkan wilayah Akidah dan akhlak sifatnya permanen dan tidak ada perubahan. Jadi kalau begini sudah jelaskan.”
            “Ketiga, hati-hati dengan isu apa pun yang sedang santer khususnya bila dikaitkan dengan Islam atau umat Islam. Dibalik isu pasti ada yang mendalangi. Ada udang di balik batu. Potensi umat Islam Indonesia sebenarnya begitu besar. Banyak sekali yang tidak senang jika kita bersatu. Maka saranku kalian jangan mudah termakan isu. Ayo longgo(duduk) bareng-bareng mendiskusikan dengan teduh jika memang ada masalah. Aku jadi teringat Kanjeng Nabi, ketika beliau selalu meredam potensi konflik. Kalau ada yang mengadudomba dua pihak beliau pasti meng-ishlahkan mereka, kaum Anshar yang dulunya terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj berpuluh-puluh tahun konflik, dengan datangnya nabi mereka bisa bersatu. Suatu saat Abdullah bin Ubay bin Salul mau memecah belah kalangan Aus dan Khazraj, dengan sigap beliau mendamaikan mereka. Begitulah yang dicontohkan kanjeng nabi.”
            “Keempat, jangan mau diadudomba. Dari dulu persatuan umat Islam berusaha dipecah. Dulu ada istilah Islam tradisional versus modern, Islam putih dan abangan dll. Hendaknya kita belajar dari masa lalu. Bahwa konflik internal yang terjadi hanya kan menguras energi umat. Para penjajah dengan mudah memanfaatkan suasana ini demi kepentingan mereka. Kelima, Sejauh pandanganku (kalian boleh ga setuju) apa yang dimaksud oleh pembawa Islam Nusantara ialah lebih terkait bagaimana dakwah disampaikan. Ini terkait dengan Fiqh Dakwah. Dari ulama nusantara kita banyak belajar mengenai metode dakwah. Mereka sangat lembut, halus, dan tidak memaki-maki. Mereka berdakwah melalui jalur budaya. Dakwah yang dilakukan adalah dakwah pemberdayaan, buka pemaksaan. Aku jadi teringat bagaimana nabi tidak menghardik orang Arab badui yang kencing di masjid. Secara linier memang dia salah, namun logika dakwah menghendaki lain. Orang yang belum tau diperlakukan sesuai dengan kadar pengetahuannya. Akhirnya apa, orang itu sadar, tanpa harus dicecar.”

(Mengingat adzan Dzuhur telah dikumandangkan, maka diskusi sementara dihentikan. Yang jelas dari aura wajah dua penduduk kampung yang lagi berselisih itu sedikit banyak mulai tercerahkan).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan