Saat Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam berselimut, turunlah wahyu(Qs. Al-Muddatsir: 1-7). Beliau
pun bergegas bangun dari ranjang. Khadijah sebagai istri yang melihat suami tercinta
terlihat letih, segera menganjurkannya tidur kembali supaya hatinya tenang. Jawaban
sang suami sungguh dahsyat dan tak pernah diprediksi: “Wahai Khadijah! Masa tidur
dan istirahat telah habis. Jibril telah memerintahkanku memperingatkan dan
berdakwah pada manusia”(Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 1/192).
Sejak saat itu, memang
terbukti. Hari-hari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam –selama dua
puluh tiga tahun lamanya- padat dengan kegiatan dakwah. Pernyataan itu bukan
menunjukkan beliau tidak tidur sama sekali, tapi waktu tidur untuk hal-hal yang
mubah, dikurangi. Waktunya lebih banyak digunakan untuk hal bermanfaat. Bukan
24 jam tidak pernah tidur. Beliau sendiri menganjurkan melakukan sesuatu secara
seimbang serta memberikan hak-haknya. Suatu saat beliau pernah menegur orang
yang bertekad tidak tidur dan ingin shalat tahajud selamanya. Di akhir hadits
beli berkata: “Barangsiapa benci sunnahku maka bukan dari (golongan) ku”(Hr.
Bukhari Muslim).
Beliau diutus sampai dua
puluh tiga tahun. Tugasnya sangat berat. Di samping sebagai nabi dan rasul,
beliau juga seorang ayah, suami dari sembilan istri, imam masjid, sewaktu di
Madinah hampir tiga bulan sekali memimpin ekspedisi militer. Jadi sangat wajar
jika beliau sangat sedikit tidurnya. Di samping itu, bukankah dalam Al-Qur`an
disebutkan bahwa ciri-ciri orang muhsin(baik) di antaranya: Pertama,
sedikit tidur di malam hari. Kedua, istighfar di waktu
sahur(Ad-Dzariyat: 17-18). Beliau benar-benar mempraktikkan ayat tersebut,
karena menurut Ibunda Aisyah, ‘Akhlaknya adalah Al-Qur`an’(Hr. Ahmad).
Para ulama pun ternyata
memiliki kebiasaan yang sama. Muhammad bin Al-Hasan sangat sedikit tidurnya di
malam hari karena sibuk dengan kegiatan keilmuan(31). Abu Bakar Al-Baqalani,
tidak akan tidur malam sebelum menulis tiga puluh lembar(87). Qadhi Iyadh juga
memperingatkan agar penuntut ilmu sedikit makan dan tidur(109-110)(Abdul Fattah
Abu Ghuddah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā).
Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan malam-malamnya,
kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja: Pertama,
waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam kemantin(baca: Kaifa
Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni). Imam Syafi`i membagi waktu malamnya menjadi tiga:
untuk ilmu, tidur dan beribadah. Jadi porsi untuk tidur hanya spertiga
malam(Imam Ghazali, Ihya Ulumiddin, 1/24).
Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang
mengatakan: “orang-orang besar di dunia, waktu tidurnya rata-rata sedikit”.
Waktu mereka tidak pernah disia-siakan untuk tidur kalau tidak mengantuk benar.
Imam Ghazali pernah mengalkulasikan, jika umur rata-rata manusia ialah enam
puluh tahun, seandainya setiap hari tidur selama delapan jam, maka selama hidup
ia akan tidur selama dua puluh tahun(Ihyā `Ulūmi al-Dīn, 1/339). Bayangkan! Sepertiga hidup hanya untuk
tidur. Lalu bagaimana dengan yang tidur lebih dari delapan jam perharinya.
Betapa banyak waktu terbuang sia-sia hanya untuk tidur. Kalau kita hendak mengukur
diri, ada baiknya mengalkulasi sudah berapa tidur kita selama. Kalau ternyata,
waktu tidur lebih bayak dari pada waktu-waktu yang bermanfaat, maka percayalah
bahwa kita masih jauh dari kesuksesan. Beranikah kita berkomitmen seperti nabi:
“Waktu tidur telah habis!”. Wallahu a`lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !