Baru-baru ini, penduduk
Indonesia, dikejutkan oleh kasus pembunuhan anak. Angelina –seorang bocah berumur
delapan tahun yang dikabarkan hilang dari Jalan Sedap Malam, No. 29 Sanur, Denpasar,
Bali 16 Mei 2015-, dikabarkan tewas. Mayatnya ditemukan pada hari Rabu, 10 Juni
2015 sekitar pukul 12.30 Wita. Ibu Kandungnya, Hamidah histeris ketika
mendengar kabar yang putri kandungnya terbunuh.
Awalnya ia diisukan hilang. Namun, melalui
penyelidikan aparat polisi, akhirnya pembunuhnya bisa ditemukan. Mantan
pembantu Mama Angkat Angelina(Margareth Megawe), Agustinus Tai Hamdamai(pemuda
berusia 25 tahun asal Sumba), ditetapkan sebagai tersangka(baca: ‘Kronologi
Hilangnya Angelina Sampai Ditemukan Meninggal di Belakang Rumah’ di:
qwerty.co.id 10 Juni 2015).
Sungguh
sadis. Bocah perempuan itu sebelum dibunuh mengalami pelecehan seksual. Bahkan,
sesudah mati pun ia sempat diperkosa. Jasadnya dikubur di lubang berukuran enam
puluh cm yang terletak di belakang kandang ayam.
Kasus pembunuhan bocah ini bukan saja mengandung
keprihatinan dan kesedihan sosial. Di sisi lain, peristiwa ini menjadi semacam
tamparan keras bagi institusi keluarga.
Seorang anak yang semestinya mendapat perlindungan
dalam keluarga, sebagaimana ketetapan Undang-undang Republik Indenesia No. 23
Tahun. 2002 (Bab: I, Pasal: I, Ayat: 2) yang menyatakan: “Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”, ternyata tewas dalam kesia-siaan.
Dari sudut pandang mana pun(agama, sosial, dan
kemanusiaan), siapapun akan mengutuk perbuatan
tidak manusiawi ini. Namun, peristiwa ini tak hanya cukup untuk diratapi atau
dicacimaki. Kejadian ini mengandung pelajaran berharga bagi institusi keluarga.
Di antara pelajaran yang bisa dipetik: Pertama,
tidak gampang mengizinkan anak kandungnya untuk dijadikan anak angkat orang
lain, kalau tidak benar-benar kenal dan yakin akan identitasnya. Kedua,
berhati-hati dalam menerima pembantu rumah tangga. Ketiga, kembali
memperhatikan secara serius perkembangan dan kebutuhan anak. Keempat,
tidak menyia-nyiakannya. Kelima, mengokohkan dan memaksimalkan kembali
fungsi keluarga dalam perlindungan anak. Kalau keluarga sebagai institusi kecil
dalam melindungi anak tidak bisa menjaga dengan baik, bisa dipastikan generasi
masa depan akan habis sia-sia.
Kasus semacam ini bisa jadi masih banyak yang tak
terungkap. Setiap keluarga syogyanya lebih intensif lagi dalam melindungi anak.
Kita tentu tidak ingin kasus semacam ini, atau penelantaran anak pada bulan Mei
di Cibubur terulang kembali.
Dalam masalah perlindungan anak, selayaknya kita
belajar kepada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Di samping
karena Al Qur`an sangat menekankan perlindungan keluarga, termasuk anak(baca.
Qs At-Tahrim: 6), dalam sejarah kehidupan emas beliau pun, dikisahkan bahwa beliau
sangat sayang kepada anak-anak. Beliau tidak pernah memarahi, menghardik, dan
menyia-nyiakan anak-anak meskipun itu anak orang lain. Anas bin Malik pun
pernah memberi kesaksian bahwa selama menjadi pembantu beliau, ia tidak pernah
dibentak atau dikasari. Ketika melakukan kesalahan, ia hanya memberi tahu
dengan cara yang sangat lembut.
Suatu ketika, Sahabat yang bernama Al Aqra` bin
Habis At-Tamimi bertemu Nabi Muhammad shalllallahu`alaihi wasallam. Bagi
dirinya pribadi, seorang dikatakan gagah atau jantan jika memiliki sikap keras.
Hatta pada anak kecil pun ia tidak pernah terlihat sayang, bahkan sekalipun
mencium. Rasulullah memberikan komentar yang terdengar sederhanan tapi menukik
kesadaran jiwanya: “Siapa saja yang tidak sayang, maka dia tidak akan
disayangi”(Hr. Bukhari, Muslim). Ya. Siapapun yang tidak menyayangi, tidak
akan disayangi. Sudahkah kita melindungi dan menyayangi anak-anak kita?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !