“Kallā” –sebagaimana yang terdapat pada judul di atas- adalah
kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam khazanah bahasa Arab, di antara
fungsi kata ‘kallā’, ialah: li
nafyi al-jawāb(menafikan jawaban yang salah), rada` wa zajru
al-mukhāṭab(mencegah dan serta menghalangi lawan
biacara)(Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayaini, Jāmi` al-Durūs al-`Arabiyyah, 3/256). Tulisan ini akan mencoba sedikit menguraikan
mengenai paradigma-paradigma salah manusia yang ditegur al-Qur`an dengan
menggunakan kata ‘kallā’.
Dengan mengetahuinya, diharapkan mampu memperbaiki paradigma salah yang kerap
terjadi pada manusia, serta mampu mengevaluiasinya sehingga bisa menjadi lebih
baik.
Pertama, paradigma orang
kafir yang salah bahwa harta dan anak bisa menebus tanggungan mereka di
akhirat: “Maka
apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia
mengatakan: "Pasti aku akan diberi harta dan anak"*Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan
Yang Maha Pemurah?*sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan
memperpanjang azab untuknya*dan Kami akan mewarisi apa yang
ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri”(Qs. Maryam: 77-80).Ayat ini –menurut asbābu nuzūlnya(baca:
Imam Suyuthi, Lubābu al-Nuqūl fī Asbābi an-Nuzūl, 1/131)-, bercerita tentang Khabbāb bin Art yang menagih hutang
pada Al-`Ash bin Wa`il.
Ia pun
menolak seraya berkata: “Aku tidak akan memberikan hakmu sebelum kamu
mengingkari Muhammad”. Maka Khabbāb menolak, dan akan menagihnya di
akhirat. Dengan mimik mencibir Ash bin Wail tidak percaya akhirat bahkan
kalaupun dibangkitkan ia akan melunasinya, karena merasa punya harta dan anak.
Al-Qur`an pun menegur persepsi salah tersebut. Pernyataannya sama sekali tidak
benar dan tak berdasar karena: ia kafir(menurut al-Qur`an, amalan orang kafir
akan sia-sia. Baca: Qs. An-Nur: 39), tidak mengetahui hal ghaib(bahkan tidak
percaya), dan tidak pernah mengadakan perjanjian dengan Allah(bagaimana
mengadakan janji jika tidak percaya pada-Nya). Maka bagaimana mungkin dengan
percaya diri ia menjamin bahwa dirinya akan selamat.
Kedua, menjadikan selain Allah sebagai pelindung.
Sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain
Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka*sekali-kali
tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan
(pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi
musuh bagi mereka”(Qs. Maryam: 81-82). Orang-orang kafir penyembah berhala
menyangka bahwa Tuhan-tuhan buatan mereka mampu menjadi pelindung. Mereka tidak
mampu menggunakan logika dengan baik. Sebab, kalau misalnya logikanya bagus,
maka tidak mungkin Tuhan dibuat. Tuhan itu membuat, bukan dibuat. Di samping
itu, kelak pada akhirat sesembahan itu akan mengingkari bahkan akan menjadi
musuh mereka. Karena pada dasarnya, batu itu hanya tunduk dan bertasbih pada
Allah.
Ketiga, orang kafir menyangka bisa dikembalikan
lagi ke dunia untuk memperbaiki amal. Al-Qur`an menceritrakan: “(Demikianlah keadaan
orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari
mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia)*agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali
tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di
hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan”(Qs. Al-Mu`minun: 99-100). Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Ketika sudah
di akhirat, tidak akan mungkin lagi akan dikembalikan. Karena sudah menjadi
ketetapan Allah.
Keempat, Nabi Musa takut dibunuh Fir`aun
lantaran telah berbuat kesalahan fatal membunuh orang Mesir. Allah pun pada
akhirnya menegurnya: “Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan
membunuhku"*Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat
membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami
(mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang
mereka katakan)”(Qs. As-Syu`ara: 14-15). Musa –demikian pula orang sesudahnya- mendapat
pelajaran berharga bahwa: urusan mematikan, mutlak hanya milik Allah. Tidak
akan ada yang bisa mematikan kecuali atas kehendak-Nya. Jadi Musa tidak perlu
takut kalau ada ancaman pembunuhan dari Fir`aun. Apalagi, orang-orang beriman
akan selalu mendapat ma`iyyatullah(kebersamaan Allah) jadi tidak ada
lagi yang perlu dirisaukan.
Kelima, memandang peristiwa dengan
sudut pandang pribadi (tidak melibatkan Tuhan). Ketika pengikut Nabi Musa sudah
terpepet di hadapan laut, sedang Fir`aun dan bala tentaranya sudah terlihat,
maka mereka mulai lesuh. Menurut pandangan pribadi mereka, pasti akan ditangkap
Fir`aun. Namun Allah meluruskan paradigma salah mereka. Selama mereka berada pada
maiyyatullah(bersama Allah), maka mereka tidak akan mungkin bisa
dikejar. Ini berarti, ketika menghadapi peristiwa apapun jangan sampai tidak
melibatkan Allah. Karena sejatinya Allah bersama orang-orang beriman. Al-Qur`an
menceritrakan: “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan
tersusul"*Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul;
sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”(Qs.
Asyu`ara: 61-62).
Keenam, menganggap Allah mempunyai sekutu. Allah berfirman: “Katakanlah:
"Perlihatkanlah kepadaku sembah-sembahan yang kamu hubungkan dengan Dia
sebagai sekutu-sekutu-Nya, sekali-kali tidak mungkin! Sebenarnya Dialah Allah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(Qs. Saba: 27). Anggapan ini sangat salah karena
beberapa hal: mereka tidak memiliki kekuatan dan keperkasaan(karena sejatinya
mereka dibuat, bukan membuat. Sehingga tidak memiliki bahaya dan manfaat apapun
pada manusia), mereka tidak memiliki kebijaksanaan, sebagaimana kebijaksanaan
Allah. Jadi mustahil Allah memiliki sekutu.
Ketujuh, orang-orang mujrim
menyangka bahwa harta, anak, sanak famili, sahabat bahkan semua orang di muka
bumi dapat menebus mereka dari adzab Allah. Al-Qur`an mengisahkan dalam Surah
Al-Ma`arij: “11. sedang mereka saling
memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari
azab hari itu dengan anak-anaknya 12. dan isterinya dan saudaranya13. dan kaum familinya
yang melindunginya (di dunia) 14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya
kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya 15. Sekali-kali
tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak 16. yang
mengelupas kulit kepala17. yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling
(dari agama) 18. serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”. Anggapan mereka keliru,
karena kekafiran menghalangi mereka selamat dari siksa.
Kedelapan, orang kafir mengira akan
masuk surga tanpa iman. Allah berfirman: “36.
Mengapakah orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu 37. dari kanan dan dari
kiri dengan berkelompok-kelompok 38. Adakah setiap orang dari orang-orang kafir
itu ingin masuk ke dalam surga yang penuh kenikmatan? 39. sekali-kali tidak!
Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani)”(Qs. Al-Ma`arij: 36-39).
Surga bukan diperuntukkan untuk orang-orang kafir. Kalau mereka mau melihat
kembali kepada asal penciptaannya (air mani yang hina), mereka tidak akan
menjadi kafir. Sebab apa yang membuat dirinya ingkar, jika menyadari kelemahan
diri. Karena mereka tetap ingkar, maka mereka akan menjadi orang-orang yang
hina di akhirat, sebagaimana awal penciptaannya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !