Dalam Koran Kompas (Selasa 16 Juni 2015),
ada tajuk menarik yang ditulis oleh Dr. Said Aqil Siraj, ‘Menjaga Marwah Ulama’. Tulisan ini secara garis besar sebagai bentuk
affirmasi gagasan ‘Islam Nusantara’, yang menjadi tema utama muktamar NU ke-33.
Melihat isu “Islam Nusantara’ Masih hangat dibicarakan di media massa, maka
penulis akan mengkaji konsep ‘Islam
Nusantara’ yang kerap kali disosialisasikan oleh Ketua Umum PBNU, utamanya yang
beliau tulis dalam koran kompas tersebut.
Berikut ini adalah beberapa poin yang perlu
dikritisi terkait istilah ‘Islam Nusantara’ yang beliau tulis di koran.
Pertama,
“NU representasi paripurna Islam Nusantara”. Sebelum memberi pernyataan,
semestinya disepakati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara.
Kalau yang di maksud adalah pemeluk Islam di nusantara, maka seharusnya kalimat
yang tepat ‘NU representasi paripurna muslim nusantara’. Pertanyaan
selanjutnya, bukankah di nusantara ini ormas bukan hanya NU? Apa yang lain
dihakimi bukan bagian dari nusantara?
Dalam sejarah pergolakan antara muslim
tradisional dengan muslim yang notabene dinilai non tradisional sudah ada sejak
dulu. Perbedaan pandangan antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al-Raniri, bahkan
di kemudian hari antara Kh. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy`ari, apakah lantas
menusantarakan satu pihak secara paripurna dan me-non-nusantarakan yang lain?
Agaknya kurang bijak standarisasi semacam ini. Nusantara bukan hanya milik NU.
Ia lahir adalah bagian dari heterogenitas kelompok yang ada di dalamnya.
Kedua, “Jembatan harmonis antara nilai-nilai agama dan
nasionalisme sebagai fondasi tegaknya Indonesia. Inilah wajah Islam Nusantara
yang dipraktikkan Ulama NU. Kalau Islam Timur Tengah belum menemukan titik temu
antara keislaman dan kebangsaan. Islam Nusantara jelas memberi ruang dialog
antara format kagamaan dan strategi kebangsaan”. Di sini ada upaya untuk
mempertentangkan antara Islam Nusantara dengan Islam Timur Tengah. Sekali lagi
pertanyannya: “Penggunaan istilah yang benar ialah Islam atau Muslim?” Islam
tidak ada salahnya, kalau Muslim jelas berpotensi salah. Makanya adalah formula
taubat untuk memperbaiki kesalahan.. Islam itu agama. Tata nilai. Sistem
kehidupan. Tidak berbangsa dan bernegara.
Kalaupun yang hendak dibandingkan adalah
antara Muslim Nusantara dengan Muslim Timur Tengah, apakah lantas mengunggulkan
yang satu dan merendahkan yang lain?
Muslim Timur Tengah dan Muslim Nusantara abad berapa yang dimaksud?
Timur Tengah pada zaman keemasan Islam adalah soko guru peradaban dunia. Pada
waktu itu mereka mampu mengharmonikan antara manusia, negara, alam dan Tuhan.
Tidak seperti Timur Tengah sekarang. Kemudian, yang dimaksud nusantara itu
sebenarnya kapan? Muslim abad ini kah? Atau sejak wali songokah? Bahkan sejak
kerajaan Hindu-Buda kah? Masalahnya, masuknya Islam di Indonesia saja masih debateable
kok langsung membuat formulasi ‘Islam Nusantara’. Selama istilah belem jelas
maka akan asyik berbicara di dunia khayalan.
Para wali dan ulama-ulama besar yang lahir
di nusantara(seperti Imam Nawawi Al-Bantani, Hadratus Syaikh Hasyim Asy`ari,
Kh. Ahmad Dahlan dll), apakah steril dari pengaruh kebudayaan Arab? Nyatanya secara
pakaian, di antara mereka masih menggunakan sorban dan gaya ala orang Arab.
Belum lagi guru-gurunya yang banyak berasal dari Arab. Bukankah Wali Songo yang
terkenal itu kebanyakan berasal dari Timur Tengah? Berapa persen yang penduduk asli nusantara?
Jadi upaya untukk mengotak-kotakkan Islam menjadi Islam Nusantara dan Islam
Timur Tengah, menurut hemat penulis terlalu gegabah bahkan a-historis.
Ketiga, “Ulama NU sebagai benteng kokoh Islam Nusantara
bergerak secara istiqamah sesuai dengan model kebinekaan negeri ini.
Pengembangan pengetahuan ulama Nusantara dilakukan sejak masa Walisongo”. Kalau
ulama NU sebagai benteng kokoh, lalu yang lain jadi apa? Pernyataan penulis
justru lebih menonjolkan peran ke-NU-annya dibanding keislamannya. Belum lagi
bahwa penduduk di nusantara `kan bukan hanya NU. Ada Muhammadiyah, ada Persis,
Ada Al-Irsyad dan lain sebagainya. Nusantara tidak bisa dimonopoli oleh satu
pihak, apalagi mengaku-ngaku sebagai benteng kokoh.
Apa sudah didiskusikan, disimposiumkan,
disepakati istilah tersebut. Kemudian pembatasan pengembanga pengetahuan ulama
nusantara sejak masa Walisongo, in juga masih kabur. Apakah sebelum Walisongo
mereka tidak berkembang? Katakanlah misalkan benar sejak masa Walisongo, lalu
pertanyaannya: “Apakah Walisongo itu satu ritme dalam melakukan cara dakwahnya?
Apakah semuanya mengikuti gaya Kanjeng Sunan Kali Jogo(yang identik dengan cara
kultural) dalam melakukan dakwah?” Padahal dalam sejarah mereka memiliki cara
yang khas.
Anggap kita terima kalau Walisongo sebagai
cikal-bakal pengembang Islam Nusantara. Pertanyaannya kemudian: Apakah yang
mereka lakukan menusantarakan Islam atau mengislamkan nusantara? Apakah mereka
menjadikan Islam sebagai obyek sedang Nusantara sebagai subyek, atau
sebaliknya? Mereka menjadikan budaya sebagai cara berdakwah atau menjadikannya
sebagai tujuan berdakwah? Penulis pikir, mereka sangat tau persis mana ranah
yang boleh dirubah demi kepentingan budaya, dan mana yang tidak bisa dirubah
sebagai prinsip Islam.(Bersambung)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !