Home » » ISLAM SAJA, TITIK! (Bagian: I)

ISLAM SAJA, TITIK! (Bagian: I)

Written By Amoe Hirata on Selasa, 23 Juni 2015 | 06.06

Dalam Koran Kompas (Selasa 16 Juni 2015), ada tajuk menarik yang ditulis oleh Dr. Said Aqil Siraj, ‘Menjaga Marwah Ulama’.  Tulisan ini secara garis besar sebagai bentuk affirmasi gagasan ‘Islam Nusantara’, yang menjadi tema utama muktamar NU ke-33. Melihat isu “Islam Nusantara’ Masih hangat dibicarakan di media massa, maka penulis  akan mengkaji konsep ‘Islam Nusantara’ yang kerap kali disosialisasikan oleh Ketua Umum PBNU, utamanya yang beliau tulis dalam koran kompas tersebut.
Berikut ini adalah beberapa poin yang perlu dikritisi terkait istilah ‘Islam Nusantara’ yang beliau tulis di koran.
Pertama, “NU representasi paripurna Islam Nusantara”. Sebelum memberi pernyataan, semestinya disepakati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara. Kalau yang di maksud adalah pemeluk Islam di nusantara, maka seharusnya kalimat yang tepat ‘NU representasi paripurna muslim nusantara’. Pertanyaan selanjutnya, bukankah di nusantara ini ormas bukan hanya NU? Apa yang lain dihakimi bukan bagian dari nusantara?
Dalam sejarah pergolakan antara muslim tradisional dengan muslim yang notabene dinilai non tradisional sudah ada sejak dulu. Perbedaan pandangan antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al-Raniri, bahkan di kemudian hari antara Kh. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy`ari, apakah lantas menusantarakan satu pihak secara paripurna dan me-non-nusantarakan yang lain? Agaknya kurang bijak standarisasi semacam ini. Nusantara bukan hanya milik NU. Ia lahir adalah bagian dari heterogenitas kelompok yang ada di dalamnya.
Kedua, “Jembatan harmonis antara nilai-nilai agama dan nasionalisme sebagai fondasi tegaknya Indonesia. Inilah wajah Islam Nusantara yang dipraktikkan Ulama NU. Kalau Islam Timur Tengah belum menemukan titik temu antara keislaman dan kebangsaan. Islam Nusantara jelas memberi ruang dialog antara format kagamaan dan strategi kebangsaan”. Di sini ada upaya untuk mempertentangkan antara Islam Nusantara dengan Islam Timur Tengah. Sekali lagi pertanyannya: “Penggunaan istilah yang benar ialah Islam atau Muslim?” Islam tidak ada salahnya, kalau Muslim jelas berpotensi salah. Makanya adalah formula taubat untuk memperbaiki kesalahan.. Islam itu agama. Tata nilai. Sistem kehidupan. Tidak berbangsa dan bernegara.
Kalaupun yang hendak dibandingkan adalah antara Muslim Nusantara dengan Muslim Timur Tengah, apakah lantas mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain?  Muslim Timur Tengah dan Muslim Nusantara abad berapa yang dimaksud? Timur Tengah pada zaman keemasan Islam adalah soko guru peradaban dunia. Pada waktu itu mereka mampu mengharmonikan antara manusia, negara, alam dan Tuhan. Tidak seperti Timur Tengah sekarang. Kemudian, yang dimaksud nusantara itu sebenarnya kapan? Muslim abad ini kah? Atau sejak wali songokah? Bahkan sejak kerajaan Hindu-Buda kah? Masalahnya, masuknya Islam di Indonesia saja masih debateable kok langsung membuat formulasi ‘Islam Nusantara’. Selama istilah belem jelas maka akan asyik berbicara di dunia khayalan.
Para wali dan ulama-ulama besar yang lahir di nusantara(seperti Imam Nawawi Al-Bantani, Hadratus Syaikh Hasyim Asy`ari, Kh. Ahmad Dahlan dll), apakah steril dari pengaruh kebudayaan Arab? Nyatanya secara pakaian, di antara mereka masih menggunakan sorban dan gaya ala orang Arab. Belum lagi guru-gurunya yang banyak berasal dari Arab. Bukankah Wali Songo yang terkenal itu kebanyakan berasal dari Timur Tengah?  Berapa persen yang penduduk asli nusantara? Jadi upaya untukk mengotak-kotakkan Islam menjadi Islam Nusantara dan Islam Timur Tengah, menurut hemat penulis terlalu gegabah bahkan a-historis.
Ketiga, “Ulama NU sebagai benteng kokoh Islam Nusantara bergerak secara istiqamah sesuai dengan model kebinekaan negeri ini. Pengembangan pengetahuan ulama Nusantara dilakukan sejak masa Walisongo”. Kalau ulama NU sebagai benteng kokoh, lalu yang lain jadi apa? Pernyataan penulis justru lebih menonjolkan peran ke-NU-annya dibanding keislamannya. Belum lagi bahwa penduduk di nusantara `kan bukan hanya NU. Ada Muhammadiyah, ada Persis, Ada Al-Irsyad dan lain sebagainya. Nusantara tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, apalagi mengaku-ngaku sebagai benteng kokoh.
Apa sudah didiskusikan, disimposiumkan, disepakati istilah tersebut. Kemudian pembatasan pengembanga pengetahuan ulama nusantara sejak masa Walisongo, in juga masih kabur. Apakah sebelum Walisongo mereka tidak berkembang? Katakanlah misalkan benar sejak masa Walisongo, lalu pertanyaannya: “Apakah Walisongo itu satu ritme dalam melakukan cara dakwahnya? Apakah semuanya mengikuti gaya Kanjeng Sunan Kali Jogo(yang identik dengan cara kultural) dalam melakukan dakwah?” Padahal dalam sejarah mereka memiliki cara yang khas.

Anggap kita terima kalau Walisongo sebagai cikal-bakal pengembang Islam Nusantara. Pertanyaannya kemudian: Apakah yang mereka lakukan menusantarakan Islam atau mengislamkan nusantara? Apakah mereka menjadikan Islam sebagai obyek sedang Nusantara sebagai subyek, atau sebaliknya? Mereka menjadikan budaya sebagai cara berdakwah atau menjadikannya sebagai tujuan berdakwah? Penulis pikir, mereka sangat tau persis mana ranah yang boleh dirubah demi kepentingan budaya, dan mana yang tidak bisa dirubah sebagai prinsip Islam.(Bersambung)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan