Home » , » Pendidikan Lahir Batin

Pendidikan Lahir Batin

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 02 Mei 2015 | 05.32

           
             Lama tak muncul di Media Massa, Sarikhuluk sudah beberapa minggu berusaha membuat jarak serius dengan hiruk-pikuk media. Selama ini Ia terjun langsung ke dunia sosial yang sama sekali tak disorot media. Ada jarak yang serius antara apa yang diungkap media, dengan realita yang ada. Sehingga membuat jarak yang tepat dengan media merupakan hal yang niscaya bagi Sarikhuluk, untuk menjernihkan pikiran dan hati sehingga mendapat penilaian yang akurat dan tepat dalam menyikapi fenomena yang ada. 
          Ketika sedang memberi makan ayam, Ia kedatangan tamu –yang sebenarnya salah satu teman akrabnya yang berprofesi sebagai guru- namanya Aiman Abdul Ghani. Hampir lima tahun Sarikhuluk tak berjumpa dengannya.  Feeling Sarikhuluk merasa ada sesuatu penting yang akan disampaikan sahabatnya mengenai dunia pendidikan. “Semoga kabar baik yang akan disampaikan sahabatku ini” harapan Sarikhuluk dalam hatinya.
            Monggo monggo monggo silahkan duduk Gan” tutur Sarikhuluk mempersilahkan. “Oh ngge Prof. Ndak usah repot-repot hehehe(Sarikhuluk oleh Aiman Abdul Ghani dijuluki Prof, meski tak pernah mengenyam bangku sekolah karena kepiawaiannya dalam menganalisa fenomena sosial, sekaligus pintar dalam mencari solusi permasalahan)” sahut Aiman Abdul Ghani. “Halah kamu ini ada-ada aja pakai manggil aku Prof, wong orang ga jelas kayak gini. Oh ya lama ya kita ga berjumpa, nampaknya ada kabar baik nih yang bakal kamu beritahu?” tanya Sarikhuluk melanjutkan obrolan.
                     “Gini Cak, sebenarnya aku kesini bukan mau memberi kabar gembira, tapi sebaliknya aku mau curhat sekaligus mencari solusi pada sampean, aku yakin pean bisa membantuku” jawab Aiman. “Ealah ternyata tebakanku salah, hehehe, baru kali ini tebakanku meleset, sebab biasanya kamu selalu membawa berita baik. Oke sekarang tenangkan pikiran, jernihkan hati kemudian silahkan cerita yang ingin kamu ceritakan” ucap Sarikhuluk mempersilahkan Aiman bercerita.
            “Aku kemarin keluar dari dunia pendidikan” Aiman membuka cerita. “Lho lho lho opo maksudnya?” Tanya Sarikhuluk penasaran(sebab bagi Sarikhuluk pendidikan itu bukan hanya dalam lembaga formal sekolah dan lain sebagainya, tapi kehidupan dan alam merupakan lembaga pendidikan juga meskipun non-formal. “Maksudku aku keluar dari sekolah, aku ga mau ngajar lagi di situ. Aku kecewa banget. Masa` gara-gara persoalan sepele, aku dimarahin sekeras-kerasnya, dihadapan forum rapat lagi, ah martabatku sebagai guru seolah terinjak-injak. Yang lebih menyakitkan lagi, dengan ungkapan yang kasar, aku dituduh tak serius mengajar, dan hanya mengejar urusan duniawi belaka. Keikhlasan dan kesabaran yang aku jaga bertahun-tahun ini seolah hilang gara-gara ungkapan Pemimpin Rapat itu” lanjut Aiman dengan semangat menggebu.
                     “Kendalikan emosimu, kamu cerita masih belum lengkap, coba cerita dengan lengkap. Siapa yang memarahimu? Kenapa dimarahi?” tanya Sarikhuluk sembari menenangkan. “Ya Mr. Wagiman itu, pemilik sekolah yang semena-mena. Masalahnya gara-gara anak-anak shalat diluar area sekolah. Anak-anak kan diwajibkan shalat di dalam sekolah, tapi mau shalat gimana coba, wong airnya saja sedikit, itupun kotor, ya akhirnya aku ajak saja shalat di masjid di luar sekolah” jawab Aiman.
            “Sebenarnya Gan, permasalahan itu masih sederhana dan bisa diselesaikan, asal kedua belah pihak mau menginsafi dan memahami akar permasalahan. Aku melihat Mr. Wagiman sudah dirundung banyak masalah sehingga apa yang menimpamu sebagai pelampiasan untuk mengeluarkan masalah-masalah pribadi yang kian menumpuk. Apalagi karakternya memang sangat emosional, jadi dalam sudut pandang ini, sangat wajar jika Ia marah seperti itu. Tapi  di sisi lain, memang karena tak bisa mengontrol emosi, apa yang diucapkan Wagiman, memang sangat melukai hati siapa saja yang mendengarnya, aku saja secara pribadi mangkel juga kalau diomongi seperti itu. Sekarang gini ya Gan, kamu keluar atau tidak, itu hakmu. Tapi yang perlu kamu pikirkan lebih dalam ialah jangan sampai kamu keluar hanya karena marah atau tak terima atas perlakuan dari Mr. Wagiman, karena kamu ngajar, kamu mendidik itu kan bukan demi atau karena Mr. Wagiman, di sana masih ada para siswa yang kamu pertimbangkan, di sana juga ada rekan-rekan guru yang masih membutuhkanmu. Jadi kalaupun kamu harus keluar, usahakan dengan pemikiran matang dan dewasa” nasihat Sarikhuluk.
            “Aku sakit sebenarnya bukan hanya karena omongan Mr. Wagiman yang sungguh menyayat hati, aku juga merasa bahwa pendidikan di sekolahku sudah tidak sehat lagi. Yang dibesarkan hanya yang penting lulus, sistem tak terurus; yang diutamakan yang penting berjalan, meski pendidikan tak berkembang. Yang penting dari pendidikan bukan lagi pada hal-hal yang lebih subtansial, tetapi hanya berkutat pada hal-hal formal. Slogan dan idealismenya begitu tinggi namun hanya pada tataran formal. Sadar entah tidak di dunia lembaga pendidikan sekarang ini, kita sudah dididik bermental pencuri. Kebocoran bantuan, kebocoran dana BOS, kebocoran bantuan anak miskin dan kebocoran soal ujian, didalangi oleh pelaku lembaga pendidikan itu sendiri, sudah merupakan bukti nyata pencetakan anak didik bermental korup dan pengecut. Padahal motto sekolah sangatlah bagus yaitu Berakhlak Mulia dan Terdepan dalam Berprestasi. Apa itu bukan kebohongan namanya Cak؟” lanjut Aiman.
            “Gan, kalau memang benar apa yang kamu ceritakan padaku, aku juga setuju kalau kamu memilih keluar dari situ. Hanya saja, saranku, jangan sampai karena masalah itu, kamu menjeneralisirnya sehingga kamu tak mau lagi mengajar di lembaga formal. Tak semua lembaga seperti itu. Masih ada lembaga-lembaga formal yang masih tulus dan jujur. Kemudian kalau apa yang kamu ceritakan tadi fakta, maka tidak usah kamu sebarkan kemana-mana, bagaimanapun juga aib manusia bukan untuk diumbar. Jangan sampai rasa bencimu membuatmu tak adil dalam bersikap. Rajinlah mencari kebaikan orang lain, dan carilah sebanyak-banyaknya kejelekan diri sendiri, agar kamu bisa berendah hati dan mencintai manusia. Manusia selama masih hidup ada peluang untuk berubah, jadi kalau benci jangan terlalu, kalau cinta juga jangn terlalu” lanjut Sarikhuluk menasihati.
            Astaghfirullah ...... Aku baru sadar cak, kalau yang menggerakkanku adalah emosi, terimakasih banyak atas nasihat dan sarannya. Bagaimanapun juga dunia pendidikan memang sangat berat dan susah. Bagi pendidik yang dibutuhkan memang bukan sekadar kata-kata ideal, tetapi suritauladan yang baik sehingga para siswa tidak nakal. Kita mendidik diri sendiri saja susah, apalagi mendidik anak orang. Tapi mengenai keputusanku untuk keluar sudah bulat Cak. Sebagaimana nasihat sampean, aku akan mencari sekolah yang menurutku lebih baik, tanpa harus kujelek-jelekkan sekolah tempat aku ngajar. Kalau belum menemukan sekolah yang tepat, aku akan mengembangkan bisnisku saja, sembari tetap mendidik meskipun bukan di lembaga formal. Daripada batin terus tertekan, lebih baik keluar sekalian” sambung Aiman.
                   “Oke kalau itu memang keputusanmu. Jangan sampai kamu kalah dengan masalah. Kamu lebih besar dari masalah, masalah ada untuk mematangkan dan mendewasakan, kalau kamu menyerah, maka sama saja kamu merendahkan martabatmu sebagai manusia. Mengenai pendidikan saat ini, sebagaimana yang aku tahu sendiri di lapangan, memang cendrung mendidik para siswa sebatas urusan lahir saja atau hal yang nampak saja. Misalkan anak sekolah itu kebanyakan bukan karena kemauan sendiri, tapi karena kemauan orang tua yang mengharuskan anaknya menjadi seperti yang dimauinya, tentu saja supaya mendapat hal-hal yang sifatnya lahiriah berupa harta, kekayaan dan lain sebagainya. Meskipun lahiriah penting, tapi kalau pendidikan hanya difokuskan disitu maka akan mengalami kerusakan. Bagamanapun juga unsur batin juga harus tetap digarap, karena masalah pendidikan batin, terkait dengan pendidikan karakter dan akhlak, merupakan faktor penting untuk mengontrol pendidikan secara lahir. Kalau batinnya bagus, mencari yang lahir pun tak akan khawatir karena pasti akan ada kontrol batin. Demikianlah sejatinya pendidikan. Pendidikan lahir dan batin” pungkas Sarikhuluk. Setelah beberapa jam ngobrol, akhirnya Aiman pamit pulang dengan hati yang lapang dan tak bimbang.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan