Home » » Menjaga Kesejahteraan dan Keamanan

Menjaga Kesejahteraan dan Keamanan

Written By Amoe Hirata on Selasa, 05 Mei 2015 | 07.20

v  Ayat Kajian               : (Qs. Qurays: 1-4)

لِإِيلَٰفِ قُرَيۡشٍ ١  إِۦلَٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ ٱلشِّتَآءِ وَٱلصَّيۡفِ ٢  فَلۡيَعۡبُدُواْ رَبَّ هَٰذَا ٱلۡبَيۡتِ ٣ ٱلَّذِيٓ أَطۡعَمَهُم مِّن جُوعٖ وَءَامَنَهُم مِّنۡ خَوۡفِۢ ٤
  v  Arti Mufradat           :
ِإِيلَٰفِ            : Kebiasaan
قُرَيۡشٍ            : Suku Qurays. Mereka adalah keturunan al-Nadhar bin al-Kinānah. Mereka terdiri dari berbagaimacam suku.
رِحۡلَةَ             : Bepergian
ٱلشِّتَآءِ           : Musim Dingin
وَٱلصَّيۡفِ        : Musim Panas
أَطۡعَمَهُم          : (Ia) Telah Memberi Makan Mereka
جُوعٖ             : (Rasa) Lapar
وَءَامَنَهُم         : (Ia) Telah Memberi (rasa) Aman pada Mereka
خَوۡفِۢ            : (Rasa) Takut


v  Arti Ayat                    :

1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka´bah)
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan

v  Sabab Nuzul(Sebab Turun Ayat):
أَخْرَجَ الْحَاكِمُ وَغَيْرُهُ عَنْ أُمِّ هَانِئ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ قَالَتْ قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَّلَ اللهُ قُرَيْشًا بِسَبْعِ خِصَالٍ الحديث وَفِيْهِ نَزَلَتْ فِيْهِمْ سُوْرَةٌ لَمْ يُذْكَرْ فِيْهَا أَحَدٌ غَيْرَهُمْ لِإِيْلَافِ قُرَيْشٍ
Artinya:
Diriwayatkan oleh Hakim dan lainnya dari Ummu Hani` binti Abi Thalib, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam  bersabda: “Allah mengutamakan suku Qurays dengan tujuh hal (al-Hadits) di antaranya ialah turun satu surat –dalam al-Qura`n- berkaitan dengan mereka di mana selain mereka, tidak ada satupun suku yang disebut (sebagaimana ayat) : “Sebagaimana kebiasaan orang-orang Qurays”.

v  Tafsir Ayat                :

Sebelum memaparkan tafsir dari surat Qurays, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan beberapa poin penting. Pertama, meskipun antara surat sebelumnya(al-Fil) dan surat sesudahnya(al-Ma`un) tidak berdasarkan urutan nuzūl(turun), tapi uniknya masing-masing dari kedua ayat –baik sebelum maupun sesudah surat Qurays- bertalian erat. Kedua, meskipun secara khusus ayat ini sedang membicarakan orang-orang Qurays, namun pelajarannya sebenarnya diperuntukkan untuk semua manusia. Selama manusia mau menjaga beberapa unsur penting sebagaimana yang dikandung ayat, maka akan mendapatkan anugerah yang sama dari Allah subhānahu wa ta`āla. Sebab, dalam ilmu Tafsir, adah sebuah kaidah penting yang menyatakan:

الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ  لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Artinya: Yang teranggap ialah keumuman lafadz, bukak kekhususan sebab. Ketika ada ayat yang membahas kasus tertentu –selama lafadznya umum-, maka pelajaran diperuntukkan untuk umum.
            Ketiga, kejadian luar biasa terkait penyerangan Abrahah ke Baitullah, yang kemudian gagal ‘seakan-akan’ sebagai jaminan terhadap Baitullah sendiri kemudian berefek positif terhadap orang-orang Qurays. Mereka dengan leluasa melakukan perniagaan dengan aman dan tentram. Adapun ayat sesudah Qurays –al Ma`un-,  sangat bertalian erat bahwa nikmat yang dianugerahkan Allah tersebut –baik berupa ketentraman beribadah maupun ketentaraman dan keamanan- dalam surat Qurays, semestinya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tapi harus berimbas kepada ranah sosial. Sebab apalah arti agama, jika tercerai dari kehidupan sosial. Maka wajar orang-orang yang tidak peduli sosial –sebagaimana yang termaktub dalam surat al Ma`un- akan mengalami kecelakaan, bahkan dianggap sebagai pendusta agama.
            Menjelang kelahiran Nabi Muhammad, ada kejadian yang luar biasa yang direkam al-Qur`an: penyelamatan Baitullah dari serangan Abraha dan bala tentaranya. Dengan hanya mengutus sekawanan burung yang membawa batu(thairan abābil), pasukan Abrahah menjadi hancur lebur secara perlahan dan menyakitkan, laiknya daun dimakan ulat. Pada ayat pertama surat Qurays ini, seakan-akan Allah mengingatkan kepada Nabi beserta umatnya agar belajar pada sejarah bahwa: orang yang berusaha menghancurkan Baitullah, atau secara lebih khusus ‘agama Allah’, maka akan selalu mengalami kegagalan. Ketika ayat ini dibacakan Rasul kepada orang-orang Qurays, maka mereka tidak akan bisa mengelak dari fakta sejarah. Karena apa? Peristiwa benar-benar terjadi, dan mereka mendapat berbagai nikmat keamanan dan ketentraman.
            Allah berfirman pada ayat pertama: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy” peristiwa dahsyat aṣhābu al-fīl(pasukan bergajah) ada kaitannya (di samping untuk menjaga Baitullah maupun untuk memberi anugerah pada yang menjaganya) dengan kebiasaan orang Qurays. Apa kebiasaan mereka? Allah melanjutkan: “(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas”. Mereka dengan sangat mudah dan aman –sejak peristiwa penyelamatan Ka`bah- melakukan perniagaan ke Yaman di musim dingin dan ke Syam di musim panas. Kemudahan-kemudahan yang mereka dapatkan, membuat mereka menjadi sejahtera secara ekonomi dan disegani oleh kabilah-kabilah di sekitarnya. Padahal sejatinya, daerah yang mereka tempati adalah daerah yang tandus, gersang, dan susah mendapatkan air. Dengan peristiwa sejarah ini, ‘seolah-olah’ Allah hendak mengingatkan mereka bahwa nikmat yang begitu besar itu pada dasarnya dari Dia, maka harus benar-benar disyukuri. Karena apa? Jika nikmat disyukuri, maka akan ditambah; jika sebaliknya, maka akan mendapat siksa(lihat. Qs. Ibrahim: 7).
            Dari nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah tersebut –yang memudahkan roda perekonomian dan stabilitas keamanan-, maka kewajiban apa yang seyogyanya harus mereka kerjakan? Allah berfirman: “Maka hendaklah mereka beribadah pada Tuhan Pemilik rumah ini (Ka´bah)”. Pada ayat ketiga ini, diawali dengan kata “fa” yang mana dalam ilmu Nahwu, merupakan huruf `athaf(kata penghubung) yang berarti: li al-Tartīb ma`a al-Ta`qīb(untuk menunjukkan urutan sesuatu secara langsung tanpa jeda). Ini berarti, nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan pada manusia –yang dalam hal ini ditujukan pada suku Qurays- harus lekas –tanpa menunda- segera disyukuri dengan cara mengabdi atau beribadah hanya kepada-Nya. Baik ibadah secara khusus(ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji), maupun umum(dalam kitab al-`Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ibadah secara umum ialah: segala perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah, baik yang lahir maupun batin).
            Di sini Allah menggunakan nama Rabb yang berarti Maha Memiliki, Maha Mengayomi, Mendidik, Mengasuh, Memelihara, Menyantuni, Mengurusi dan Maha Penjamin Nikmat. Seakan ada makna tersirat bahwa: “dengan beribadah(tunduk patuh) hanya kepada-Nya, kita tidak perlu khawatir, karena Allah akan menjaga, mengayomi, mendidik, mengurusi, serta menjamin nikmat manusia”. Kita tentu ingat peristiwa-peristiwa yang dialami umat terdahulu seperti kaum Saba`, selama mereka beribadah dan beriman kepada-Nya, maka mereka mendapat ketentraman dan kenyamanan, namun ketika mereka kufur nikmat nikmat itu pun dicabut. Dengan demikian, orang beribadah semestinya tidak perlu khawatir, bahwa Allah akan menjaminnya, tentu saja setelah melakukan ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Demikianlah suku  Quraisy –demikian manusia secara umum- diingatkan agar beribadah kepada Allah sebaga Rabb dari Baitullah Ka`bah, yang menjadi pusat peribadatan umat Islam.
            Pada ayat terakhir, ada dua nikmat mendasar yang diberikan Allah kepada manusia, yang mana ketika itu dimiliki oleh bangsa apapun, maka pasti akan menjadi bangsa tentram dan bahagia. Allah berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. Ternyata, kedua nikmat ini sudah diminta Nabi Ibrahim jauh-jauh hari untuk anak keturunannya(lihat: Al-Baqarah: 126). Di sini ada dua nikmat asasi yang diberikan Allah, yaitu: nikmat memenuhi kebutuhan makan manusia ketika lapar (bisa jiga dibahasakan sebagai ‘nikmat kesejahteraan’), dan nikmat (stabilitas) keamanan. Negara manapun dan bangsa mana pun yang bisa mewujudkan dua hal ini, pasti akan menjadi terhormat dan bermartabat. Karena keduanya merupakan nikmat asasi yang harus terpenuhi. Bagaimana mungkin akan peduli terhadap urusan sosial, jika diri sendiri kelaparan; bagaimana mungkin bisa saling membantu dan menebar kebaikan, jika kondisi tidak aman. Maka tidak berlebihan jika kedua nikmat tersebut disinggung Allah sebagai nikmat fundamental yang harus disyukuri oleh setiap manusia. 
            Mengenai nikmat yang terkait dengan masalah ini, Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya: Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya(pada diri, keluarga, dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok dapa hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya(Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi). Betapa bahagianya setiap bangsa yang mendapatkan rasa aman(baik diri keluarga, masyarakat hingga bangsa) dan tentram(kebutuhan pokok terpenuhi bahkan sejahtera). Masalahnya kemudian ialah, bagaimana agar kesejahteraan dan keamanan terwujud dan terpelihara?. Pertama, nikmat yang ada –sekecil apa pun itu- harus lekas disyukuri. Kedua, hanya beribadah kepada Allah ta`ala dalam artian tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangannya atau hidup di atas manhaj-Nya. Ketiga, tidak memisah-misahkan antara urusan dunia dan akhirat. Karena sejatinya dunia adalah mazra`tu al-Akhirah(ladang akhirat). Orang-orang yang memisahkan antaran urusan dunia dan akhirat, sama saja dengan orang-orang sekular(yang memisahkan urusan agama dan negara).  Pada surat Qurays, keamanan dan kesejahteraan (yang terlihat sebagai masalah keduniaan) berbanding lurus dengan kualitas ibadah seseorang kepada Allah ta`ala.

v  Pelajaran                    :
1.      Pentingnya mengambil hikmah dari sejarah untuk dijadikan pelajaran penting dalam kehidupan masa kini dan masa depan
2.      Penjelasan tentang fenomena rahmat, kebijaksanaan Allah yang Maha Pemurah lagi Bijaksana
3.      Menjelaskan keutamaan Allah yang dianugerahkan kepada Kabilah Qurays yang harus disyukuri. Maka ketika mereka tidak menyukurinya, maka Allah menimpakan pada mereka ketakutan dan kelaparan. Umat lain pun akan mengalami nasib yang sama jika melakukan perbuatan yang sama
4.      Wajibnya ibadah (hanya) pada Allah dan meninggalkan ibadah selain-Nya
5.      Wajib syukur atas segala nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan pada kita dengan selalu memuja, berterimakasih dan menggunakannya sesuai dengaan keridhaan-Nya
6.      Nikmat berupa memberi makan ketika lapar dan rasa aman dari rasa takut merupakan dua unsur penting dan mendasar bagi berjalannnya roda negara. Negara yang mampu memberi rasa aman dan menjamin rakyatnya tidak kelaparan, maka tak ayal lagi akan menjadi negara beradab, terhormat dan bermartabat.
7.      Cara mewujudkan nikmat aman dan sejahtera adalah dengan meangplikasian secara serius rasa syukur(hati, lisan, dan perbuatan) kepada Allah, serta ikhlas beribadah hanya kepada-Nya
8.      Ibadah dan kesyukuran bertalian erat dengan nikmat dunia yang diberikan Allah
9.      Allah Maha Pengayom, Pengasuh, Pendidik, dan Penjamin nikmat. Maka sebagai Muslim, kita tidak perlu khawatir. Asalkan mau berusaha kemudian bertawakkal kepada-Nya, Allah akan menganugerahkan nikmat-Nya.
10.  Bila ibadah, rasa syukur dilaksanakan secara kolektif, maka akan menjadi bangsa yang aman dan sejahtera
Wallahu a`lam bi al-Ṣawāb.

v  Referensi                    :
1.      Lubābu al-Nuqūl fī Asbābi al-Nuzūl, karya: Imam al-Suyuthi
2.      Tafsīr al-Qur`ān al-`Adzīm, karya: Abu Fidā Ibnu Katsir
3.      Aisaru al-Tafāsīr li Kalāmi al-`Aliyyi al-Kabīr, karya: Abu bakar Jabir al-Jazairi
4.      Tafsīr Juz `Amma, karya: Syaikh Mutawalli al-Sya`rawi
5.      Taisīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīri Kalāmi al-Mannān, karya: Abdurrahman al-Sa`adi
6.      Al-Itqān fī `ulūmi al-Qur`ān, karya: Jalāluddin al-Suyuthi
7.      Al-Burhān fī `Ulūmi al-Qur`ān, karya: Badruddin al-Zarkasyi
8.      Al-`Ubūdiyyah, karya: Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiah
9.      Lisānu al-`Arabi, karya: Ibnu Mandzūr
10.  Jami` Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Mu`jam Thabrani, dan Syu`abu al-Īmān Baihaqi.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan