ATAS NAMA NABI MUHAMMAD, satu golongan
berpandangan: “Dakwah harus diperjuangkan dengan jihad qitāl. Di antara argumentasinya: Pertama, ketika
dakwah masih di Makkah, kondisi kaum Muslimin belum kuat lantaran belum ada
perintah jihad. Lihat ketika Islam berada di Madinah. Ketika itu jihad mulai
diizinkan, sehingga para musuh mulai patah arang. Kedua, selama di
Madinah, hitung saja, berapa kali Rasulullah berjihad dalam arti perang melawan
orang kafir? Perang yang dipimpin langsung saja ada sekitar dua puluh delapan
kali. Apa lagi perang melalui delegasi sahabat, lebih dari tiga puluh kali.
Al-Qur`an dan Hadits pun mengaffirmasi, bahwa ketika Islam kuat dalam ranah
militer, maka musuh akan gentar. Para ṭāghuṭ pun akan buyar.
ATAS NAMA NABI MUHAMMAD,
golongan lain berpandangan: “Dakwah harus diperjuangkan dengan hikmah dan cinta.
Bukankah Allah telah berfirman: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(Qs.
Al-Anbiya: 107). Bagaimana mungkin dakwah ditanggalkan dari rahmat? Bukankah
akhir dari cara-cara kekerasan hanya berujung kebencian? Coba baca sirah
beliau. Ketika dakwahnya dicampakkan oleh penduduk Tha`if. Ia dilempari batu.
Zaid bin Haritsa pun menangis tersedu, lantaran tak tega melihat orang
tercintanya diganggu. Bahkan dua malaikat pun diutus Allah untuk memberi
tawaran: membalikkan gunung ke penduduk Thaif yang durjana. Apa kata Nabi? Nabi
pun menolak seraya berkata: “Ya Allah. Anugerahkanlah petunjuk pada kaumku.
Sesungguhnya mereka tidak tahu”.
ATAS
NAMA NABI MUHAMMAD, sebagian golongan mengemukakan: “Dakwah harus diperjuangkan
melalui politik, negara, khilāfah. Hitung-hitungan matematis
historisnya seperti ini: Pertama, coba perhatikan ketika Nabi belum
mendirikan negara. Di Makkah mereka menjadi minoritas. Para sahabat tertindas.
Bahkan yang dakwah terang-terangan menjadi babak blundas. Kedua,
bandingkan ketika negara berdiri di Madinah. Kekuatan Islam menyatu. Mobilisasi
kekuatan menjadi efektif dan efisien. Jumlah orang yang masuk Islam sungguh
luar biasa. Waktu di Makkah tidak sampai angka lima ratus orang. Bandingkan
ketika haji wada`, menuurut salah satu riwayat jumlahnya mencapai seratus dua
puluh lima ribu. Begitu dahsyat perubahan yang bisa dilakukan dalam sekala
negara. Ketika Islam memeiliki negara secara independen, orang-orang di luarnya
mulai segan, tidak berani macam-macam”.
ATAS
NAMA NABI MUHAMMAD, golongan tertentu meyakini: “Inti gerakan dan sepak terjang
Nabi Muhammad adalah mendakwahkan Islam. Kegiatan apapun seperti: politik,
sosial, ekonomi, militer, pendidikan dan lain sebagainya adalah sarana untuk
mendakwahkan Islam. Apakah Nabi Muhammad menunggu ada negara atau kekhilafaan
terlebih dahulu untuk berdakwah? Nyatanya, sebelum ada negara, beliau tetap
bahu-membahu menegakkan panji Islam, walau banyak musuh yang geram; walau
banyak aral merintang. Misi dan visi kenabian sudah dijelaskan sedemikian
gamblang baik dalam al-Qur`an maupun hadits. Tugas beliau adalah sebagai: basyīran(pemberi warta gembira) dan nadzīran (pemberi
peringatan dan ancaman agar terhindar dari murka-Nya). Keduanya masuk dalam
ranah dakwah menuju Allah.
ATAS
NAMA NABI MUHAMMAD, ada yang lebih ekstrim membuat statemen: “Dakwah Nabi
adalah dakwah kaum kapitalis. Buktinya, sejak muda ia sudah berprofesi sebagai
pedagang. Bahkan istri pertamanya adalah saudagar kaya. Dakwah-dakwahnya pun
melibatkan kekuatan finansial. Mana mungkin dakwah bisa berjalan lancar tanpa
kapitalisasi harta. Ada juga yang melihat bahwa dakwah Nabi adalah dakwah
sosialis. Gerakannya di Makkah, adalah gerakan yang memobilisir kekuatan kaum
proletar untuk menumbangkan kaum kapitalis Qurays yang menguasai Makkah dan
sekitarnya. Yang lain pun tak mau kalah. Dakwah Nabi Muhammad dianggap sebagai
dakwah kaum shufi. Karena zuhud menjadi pilihan Nabi. Ia mampu kaya, tapi
memilih hidup miskin. Mampu makan kenyang, tapi memilih lapar. Banyak sekali ahlu
shuffah (orang-orang tak punya yang tinggal di serambi masjid yang mempunya
waktu lapang bermulazamah) yang dibina beliau.
Begitulah
yang terjadi. Banyak sekali yang mengatasnamakan Nabi Muhammad. Kebenaran
menjadi terpotong-potong. Bagaikan sepuluh orang buta yang disuruh mendeskripsikan
gajah. Ada yang memegang ekor. Ada yang menyentuh belalai. Ada yang memegang
kaki. Ada yang memegang perut. Ada yang memegang kuping dan lain sebagainya.
Mereka merasa paling benar dengan keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki.
Padahal sejatinya masing-masing punya kebenaran pada porsinya. Yang benar
sejati ialah ketika semua informasi itu dikumpulkan. Ini bukan masalah
relativisme, tapi kesadaran pribadi untuk berendah hati, bahwa apa yang kita
ketahui ternyata masih jauh dari kebenaran sejati. Untuk golongan-golongan yang
mengatasnamakan Nabi Muhammad, perlu kiranya membaca, menelaah, meneliti
kembali sirah nabi. Mempelajarinya secara komprehensif, bukan parsial. Yang
perlu kita lakukan sekarang ialah kerendahan hati untuk terus belajar kebenaran
yang dibawa Nabi Muhammad, bukan menjadi hakim bahwa golongan lain sesat.
Selama akidah masih sama, hal-hal ushul (pokok) masi terjaga, maka mari
berlomba-lomba untuk menapaktilasi jejak Nabi Muhammad.
Akhirnya,
mari kita simak bersama firman Allah: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29).
Allahumma
shalli `ala Muhammad, wa `ala āli Muhammad, kama ṣallaita `ala Ibrahim, wa `ala āli
Ibrahi. Wabārik `ala Muhammad, wa `ala āli Muhammad, kama bārakta `ala Ibrāhim, wa
`ala āli Ibrahim, fil `ālamīna innaka hamīdun majīdun.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !