Sejarah
senantiasa menjadi perbincangan menarik di sepanjang kehidupan manusia. Menarik
karena pada dasarnya sejarah merupakan cermin dari peristiwa yang telah, sedang
dan akan terjadi. Namun jika dilihat dari realita yang ada, sejarah bisa
menjadi tidak menarik lantaran disajikan dengan metode yang menjemukan dan
tidak edukatif. Sejarah menjemukan karena dipandang hanya berisi rekaman
peristiwa masa lalu, yang dipenuhi deretan nama, angka, tahun dan misteri-misteri
yang tak pernah terjawab. Tidak edukatif karena sejarah hanya dijadikan hiburan
dan rekaman sunyi orang-orang yang telah tiada sehingga tak berimbas sedikitpun
pada kehidupan nyata dan tak bernilai
mendidik.
Melihat
realita demikian, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan mengaji sejarah
melalui “kisah al-Qur`an”. Melalui “kisah al-Qur`an” karena kisah al-Qur`an
memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan kisah-kisah yang lain.
Diantara keistimewaannya ialah bahwa kisah yang disajikan adalah kisah nyata,
sarat akan pelajaran, sekaligus tak menafikan estetika. Jadi, kisah al-Qur`an
disamping bernilai fakta, sekaligus bernilai pelajaran dan estetika. Berangkat
dari pemahaman tersebut, sekali lagi penulis merasa perlu untuk menggunakan
paradigma al-Qur`an dalam menganalisa sejarah.
Untuk
mengungkap cerita, al-Qur`an menggunakan istilah, ‘Qisshoh/Qhoshos’ yang
secara bahasa berarti: tatabbu`ul atsar(mengikuti jejak, menapaktilas).
Jadi dari pemilihan kata saja kita bisa mengambil makna bahwa sejatinya apa
yang diceritakan al-Qur`an itu bukan utuk sekadar dijadikan bacaan, hiburan
tetapi untuk ditapaktilasi. Dengan mengetahui jejak-jejak kisah itu kita bisa
mengambil pelajaran, hikmah dan pencerahan. Demikian juga ketika kita mau membaca
sejarah pada umumnya, kita membacanya bukan untuk sekadar memenuhi hobi atau
menghibur diri saja tapi berusaha menapaktilas jejak-jejak orang yang berhasil
dan yang gagal, sehingga bacaan kita lebih bermanfaat dan bermakna.
Analogi
“mengikuti jejak” bisa kita kembangkan pada analisa yang lebih jauh dan rinci.
Ada beberapa unsur yang perlu diurai. Pertama ada yang namanya jejak. Kedua ada
yang namanya pembuat jejak. Ketiga ada yang namanya pengikut jejak. Keempat ada
yang namanya arah jejak. Kelima: ada yang namanya tujuan mengikuti jejak. Kalau
kita mengkaji sejara melalui perspektif al-Qur`an, maka kita harus memiliki
kelima unsur tadi. Jejak atau peristiwaya beserta pembuat jejaknya benar-benar
ada(ini berkaitan dengan faktualitas sejarah); arah jejaknya sudah pasti ke
depan(jadi belajar sejarah untuk mengantisipasi masa depan); pengikut jejaknya
ialah pembaca sejarah; tujuan mengikuti jejak ialah untuk menggali
pelajaran-pelajaran berharga dari pembuat jejak untuk diaplikasan sebagai upaya
antisipatif menghadapi masa kini dan masa depan. Dengan melibatkan lima unsur
ini, maka bacaan kita terhadap sejarah akan lebih bermanfaat dan mencerahkan.
Kisah dalam
al-Qur`an selalu mengandung `ibrah(pelajaran) sebagaimana yang tercantum
dalam surat Yusuf ayat 111. Jadi dalam membaca sejarah harus didasari dengan
kesadaran untuk mengambil pelajaran dari sejarah yang sedang dibaca. “Pelajaran”
adalah kata kunci untuk membaca sejarah. Kata, ‘ibrah’ sendiri secara
bahasa memiliki arti melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Jadi dengan membaca sejarah seolah-olah kita sedang
melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat
lain membaca realitas sejarah untuk kemudian diambil pelajaran-pelajaran darinya.
Secara ringkas bisa diungkapkan dengan kata: mempelajari realitas untuk
melahirkan produk abstrak berupa pelajaran.
Menurut al-Qur`an, yang bisa mengambil
pelajaran dari kisah-kisah ialah hanya orang-orang yang mau menggunakan akal
pikirannya. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah ulil albab(orang-orang
yang punya akal). Karena itulah di ayat yang lain ditegaskan bahwa kisah
merupakan media untuk berfikir(Qs. Al-A`raf: 176). Tanpa dipikirkan, tanpa
direnungi, hingga mendapat pelajaran dari kisah maka membaca sejarah hanya
sia-sia belaka. Di sini kita menemukan benang merahnya kenapa sepertiga
al-Qur`an isinya ialah kisah-kisah, ini menggambarkan tentang urgensi kisah.
Karana itulah, hanya orang-orang yang mau mengaktifkan dan mendayagunakan
akal-pikirannya yang mampu mengupas pelajaran-pelajaran berharga darinya. Orang
yang belajar sejarah tanpa mengambil pelajaran darinya bagaikan pohon yang tak
berbuah. (Bersambung).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !