Home » » Analisis Sejarah Paradigma Al-Qur`an [Bagian: I]

Analisis Sejarah Paradigma Al-Qur`an [Bagian: I]

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 30 Mei 2015 | 06.31


          Sejarah senantiasa menjadi perbincangan menarik di sepanjang kehidupan manusia. Menarik karena pada dasarnya sejarah merupakan cermin dari peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi. Namun jika dilihat dari realita yang ada, sejarah bisa menjadi tidak menarik lantaran disajikan dengan metode yang menjemukan dan tidak edukatif. Sejarah menjemukan karena dipandang hanya berisi rekaman peristiwa masa lalu, yang dipenuhi deretan nama, angka, tahun dan misteri-misteri yang tak pernah terjawab. Tidak edukatif karena sejarah hanya dijadikan hiburan dan rekaman sunyi orang-orang yang telah tiada sehingga tak berimbas sedikitpun pada  kehidupan nyata dan tak bernilai mendidik.
            Melihat realita demikian, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan mengaji sejarah melalui “kisah al-Qur`an”. Melalui “kisah al-Qur`an” karena kisah al-Qur`an memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan kisah-kisah yang lain. Diantara keistimewaannya ialah bahwa kisah yang disajikan adalah kisah nyata, sarat akan pelajaran, sekaligus tak menafikan estetika. Jadi, kisah al-Qur`an disamping bernilai fakta, sekaligus bernilai pelajaran dan estetika. Berangkat dari pemahaman tersebut, sekali lagi penulis merasa perlu untuk menggunakan paradigma al-Qur`an dalam menganalisa sejarah.
            Untuk mengungkap cerita, al-Qur`an menggunakan istilah, ‘Qisshoh/Qhoshos’ yang secara bahasa berarti: tatabbu`ul atsar(mengikuti jejak, menapaktilas). Jadi dari pemilihan kata saja kita bisa mengambil makna bahwa sejatinya apa yang diceritakan al-Qur`an itu bukan utuk sekadar dijadikan bacaan, hiburan tetapi untuk ditapaktilasi. Dengan mengetahui jejak-jejak kisah itu kita bisa mengambil pelajaran, hikmah dan pencerahan. Demikian juga ketika kita mau membaca sejarah pada umumnya, kita membacanya bukan untuk sekadar memenuhi hobi atau menghibur diri saja tapi berusaha menapaktilas jejak-jejak orang yang berhasil dan yang gagal, sehingga bacaan kita lebih bermanfaat dan bermakna.
            Analogi “mengikuti jejak” bisa kita kembangkan pada analisa yang lebih jauh dan rinci. Ada beberapa unsur yang perlu diurai. Pertama ada yang namanya jejak. Kedua ada yang namanya pembuat jejak. Ketiga ada yang namanya pengikut jejak. Keempat ada yang namanya arah jejak. Kelima: ada yang namanya tujuan mengikuti jejak. Kalau kita mengkaji sejara melalui perspektif al-Qur`an, maka kita harus memiliki kelima unsur tadi. Jejak atau peristiwaya beserta pembuat jejaknya benar-benar ada(ini berkaitan dengan faktualitas sejarah); arah jejaknya sudah pasti ke depan(jadi belajar sejarah untuk mengantisipasi masa depan); pengikut jejaknya ialah pembaca sejarah; tujuan mengikuti jejak ialah untuk menggali pelajaran-pelajaran berharga dari pembuat jejak untuk diaplikasan sebagai upaya antisipatif menghadapi masa kini dan masa depan. Dengan melibatkan lima unsur ini, maka bacaan kita terhadap sejarah akan lebih bermanfaat dan mencerahkan.
            Kisah dalam al-Qur`an selalu mengandung `ibrah(pelajaran) sebagaimana yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 111. Jadi dalam membaca sejarah harus didasari dengan kesadaran untuk mengambil pelajaran dari sejarah yang sedang dibaca. “Pelajaran” adalah kata kunci untuk membaca sejarah. Kata, ‘ibrah’ sendiri secara bahasa memiliki arti melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jadi dengan membaca sejarah seolah-olah kita sedang melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat lain membaca realitas sejarah untuk kemudian diambil pelajaran-pelajaran darinya. Secara ringkas bisa diungkapkan dengan kata: mempelajari realitas untuk melahirkan produk abstrak berupa pelajaran.
Menurut al-Qur`an, yang bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah ialah hanya orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah ulil albab(orang-orang yang punya akal). Karena itulah di ayat yang lain ditegaskan bahwa kisah merupakan media untuk berfikir(Qs. Al-A`raf: 176). Tanpa dipikirkan, tanpa direnungi, hingga mendapat pelajaran dari kisah maka membaca sejarah hanya sia-sia belaka. Di sini kita menemukan benang merahnya kenapa sepertiga al-Qur`an isinya ialah kisah-kisah, ini menggambarkan tentang urgensi kisah. Karana itulah, hanya orang-orang yang mau mengaktifkan dan mendayagunakan akal-pikirannya yang mampu mengupas pelajaran-pelajaran berharga darinya. Orang yang belajar sejarah tanpa mengambil pelajaran darinya bagaikan pohon yang tak berbuah. (Bersambung).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan