Hati Sarikhuluk benar-benar dirundung pilu. Setiap kali melihat kondisi masyarakat di sekitarnya yang suka berdebat, suka adu unggul, suka mencari-cari kesalahan, suka menyalah-nyalahkan, semakin membuat pikiran dan hatinya mengharubiru. Apalagi ketika menonton acara-acara di televisi, kebanyakan isinya semakin membuatnya tak bisa tidur, alih-alih malah membuatnya semakin melantur. Di sisi lain ‘pesta demokrasi’ rakyat sebentar lagi akan digelar; keraguan dan kepiluan di hatinya semakin menjalar.
Kebanyakan orang pada saat-saat yang ‘dianggap penting’ ini, mempromosikan kebenaran sendiri-sendiri, yang benar adalah diri sendiri, sedang yang lain kebenarannya menjadi basi. Yang sayang rakyat ialah partainya sendiri, sedang partai lain dianggap ‘pengeruk harta rakyat’ untuk kepentingan pribadi. Perdebatan ini sudah bukan lagi masalah individu, bahkan sudah menjadi karakter bangsa yang tak kunjung maju. Perdebatan ini sudah menggejala di tiap dimensi kehidupan, bahkan para jin dan setan pun mungkin ikut berpartisipasi menyemarakkan perdebatan yang semakin subur. Negara diperdebatkan, agama diperdebatkan, kesehatan diperdebatkan, pendidikan diperdebatkan, lembaga sosial diperdebatkan. Seolah-olah yang eksis ialah perdebatan itu sendiri, sedang kebenaran sejati disembunyikan pada ‘semak-semak belukar zaman’. Perdebatan semakin subur, kebenaran menjadi kabur.
Kebanyakan orang pada saat-saat yang ‘dianggap penting’ ini, mempromosikan kebenaran sendiri-sendiri, yang benar adalah diri sendiri, sedang yang lain kebenarannya menjadi basi. Yang sayang rakyat ialah partainya sendiri, sedang partai lain dianggap ‘pengeruk harta rakyat’ untuk kepentingan pribadi. Perdebatan ini sudah bukan lagi masalah individu, bahkan sudah menjadi karakter bangsa yang tak kunjung maju. Perdebatan ini sudah menggejala di tiap dimensi kehidupan, bahkan para jin dan setan pun mungkin ikut berpartisipasi menyemarakkan perdebatan yang semakin subur. Negara diperdebatkan, agama diperdebatkan, kesehatan diperdebatkan, pendidikan diperdebatkan, lembaga sosial diperdebatkan. Seolah-olah yang eksis ialah perdebatan itu sendiri, sedang kebenaran sejati disembunyikan pada ‘semak-semak belukar zaman’. Perdebatan semakin subur, kebenaran menjadi kabur.
Di
saat imajinasi Sarikhuluk terbang menembus ruang dan waktu, tiba-tiba ia
dikagetkan dengan suara pengamen yang sedang bernyanyi dengan suara paraunya.
Ia langsung tersadar dari imajinasinya, kemudian menyimak dengan baik lagu yang
dinyanyikannya. Barangkali dengan mendengar lagu dari pengamen tersebut,
hatinya akan menjadi lembut, syukur-syukur hatinya menjadi terhibur. Teks
nyanyian pengamen yang kemudian namanya dikenal sebagai, ‘Sarwono’ itu sebagai
berikut:
Indonesia negara kaya
Kaya alam, kaya orang dan
budaya
Namun sayang
Oh sungguh sayang
Alam kaya
Kesejahteraan tak merata
Kebanyakan pemimpin merasa
hebat
Kerjaannya suka berdebat
Janji-janji selalu diumbar
Kenyataan banyak rakyat yang
lapar
Belum
lagi Sarwono menyelesaikan lagunya, tiba-tiba Sarikhuluk memintanya berhenti:
“Sudah-sudah mas lagunya, maaf ini uangnya!”. Pengamen tersebut, sambil
senyum-senyum menyatakan, “suwon(terima kasih) pak” langsung pergi.
Kepiluan Sarikhuluk semakin bertambah parah. Ternyata apa yang dialaminya sudah
menjadi rahasia umum, bahkan menjadi nyanyian para pengamen jalanan. Maunya
mendengar supaya terhibur, malah hati serasa disambar guntur. Akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sawah, bercengkrama dengan alam. Yang ia rasakan dari
alam selalu ketenangan. Setiap kali melihat alam, hatinya selalu sejuk. Alam
selalu mengingatkan padanya tentang Tuhan. Alam selalu menginspirasi dirinya untuk
tidak merasa susah dengan segala masalah yang menimpa.
Alam mengajarkan padanya: “bahwa manusia lebih besar dari masalah, maka jangan sampai manusia kalah dengan masalah. Masalah itu untuk dikhalifahi, bukan untuk diperdebatkan. Belajarlah pada kesitiaan Alam terhadap titah Tuhan, titah Tuhan bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dipatuhi dan diamalkan”. Seketika itu juga Sarikhuluk jadi ingat ayat ketika ngaji di surau dulu: Wa kâna al-Insânu aktsara syain jadala (dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah)Q.s. Al-Kahfi: 54. Bacaan itu akhirnya menjadi dzikirnya seharian penuh. Biar hatinya tidak pilu lagi. Biar dia tidak sedih dengan orang yang banyak debat. Karena memang sudah menjadi watak. Yang penting jangan sampai ia terpengaruh. Daripada membuat debat semakin subur, kemudian kebenaran menjadi kabur, lebih baik beramal dan berbuat jujur, kemudian kebenaran pun akan menjadi jelas dan teranjur. Ketika kebenaran dijunjung tinggi, dan tak berhenti pada debat, maka Tuhan pun tak ‘segan’ mencurahkan rahmat.
Alam mengajarkan padanya: “bahwa manusia lebih besar dari masalah, maka jangan sampai manusia kalah dengan masalah. Masalah itu untuk dikhalifahi, bukan untuk diperdebatkan. Belajarlah pada kesitiaan Alam terhadap titah Tuhan, titah Tuhan bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dipatuhi dan diamalkan”. Seketika itu juga Sarikhuluk jadi ingat ayat ketika ngaji di surau dulu: Wa kâna al-Insânu aktsara syain jadala (dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah)Q.s. Al-Kahfi: 54. Bacaan itu akhirnya menjadi dzikirnya seharian penuh. Biar hatinya tidak pilu lagi. Biar dia tidak sedih dengan orang yang banyak debat. Karena memang sudah menjadi watak. Yang penting jangan sampai ia terpengaruh. Daripada membuat debat semakin subur, kemudian kebenaran menjadi kabur, lebih baik beramal dan berbuat jujur, kemudian kebenaran pun akan menjadi jelas dan teranjur. Ketika kebenaran dijunjung tinggi, dan tak berhenti pada debat, maka Tuhan pun tak ‘segan’ mencurahkan rahmat.
Sumengko, 11 Maret 2014, 11: 25
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusgoodness
BalasHapus