Home » » Timbang Nilai

Timbang Nilai

Written By Amoe Hirata on Senin, 25 Mei 2015 | 23.55

Tidak seperti biasanya, cuaca pagi ini dipenuhi kabut tebal. Hawa begitu dingin. Burung-burung camar yang biasa kompak berkicau, suaranya terdengar pelan dan sumbang seakan sedang merintih kedinginan. Embun pagi terlihat menyelimuti pepohonan dan taman-taman sekitar. Halimun yang begitu tebal menghalangi sorot indah mentari pagi yang biasa dinikmati. Suasana begitu hening. Hanya semilir angin dan gemericik air kran otomatis yang dipakai menyiram taman  menemani keheningan. Panorama indah yang biasa dilihat pun seakan tersipu malu menampakkan aura wajahnya.

Demikianlah suasana yang aku alami pagi ini. Jujur aku kurang suka dengan cuaca demikian. Namun, rasa ketidaksukaanku itu selalu lebur oleh kesadaran bahwa pada dasarnya ia sedang berdzikir menaati titah Tuhannya. Makanya, dalam suasana apapun aku selalu berusaha untuk bisa mensiasati diri untuk selalu bergembira dan tidak mengeluh. Bahkan, diam-diam suasana yang beranekaragam itu selalu menyajikan gagasan-gagasan brilian yang biasanya aku abadikan dalam bentuk puisi.

Dengan riang dan gembira aku segera memasuki kamar asramahku. Ketika aku memasukinya, rupanya di depan mataku telah tersaji sebuah fenomena yang tidak kalah dengan suasana pagi ini. Kamarku terlihat acak-acakan. Terbeber putung rokok dan asbak yang berserakan. Gelas-gelas bekas bikin kopi terjejer kotor. Lantai begitu kotor, bekas-bekas  bungkusan makanan berceceran di mana-mana. Terlihat dua sosok yang lagi asyik tidur mendengkur. Tergeletak dengan sungging senyuman yang merekah seolah sedang mimpi didatangi bidadari surga.

Sebenarnya kalau aku mau menuruti kata hati, aku akan marah-marah dan memaki-maki ke dua temanku ini. Tapi, lagi-lagi aku tak bisa meluapkannya karena dalam jiwaku ada sebuah timbangan nilai yang selalu aku pegang setiap kali aku melonjak marah. Timbangan itu ialah tentang kadar keburukan dan kebaikan seseorang. Bila kebaikan seseorang itu lebih berat maka aku berusaha memaklumi dan toleran. Bila keburukan yang lebih banyak maka dengan cara yang sangat halus dan bijak aku akan menasehati orang itu.

Pelajaran Timbangan Nilai ini aku dapat dari seorang tua yang tidak sengaja aku temui di trotoar jalan raya. Waktu itu ia sedang duduk termangu seorang diri. Aku tergerak untuk mendekati dan bertanya padanya. "Kek, maaf mungkin ada yang bisa saya bantu?" Kakek itu hanya tersenyum riang menampakkan persahabatan. Aku juga membalas senyumanya sembari memohon: “ Kek, boleh saya duduk bersama anda?”. Kakek itu lagi-lagi tidak bersuara dia hanya menganggukkan kepala dan menjulurkan tangan sebagai tanda mempersilahkan. 

Ketika aku duduk, dengan segera kakek itu memberiku buku tebal yang berisi cerita-cerita tentang kebaikan dan keburukan teman-temannya. Dalam hati aku bertanya-tanya:” Untuk apa kakek ini menulis kebaikan dan keburukan temanya dengan begitu rinci?”. Langsung saja aku tanyakan itu kepada kakek tua itu. Nah, baru kali itu dia mau menjawab pertanyanku. Ia menjawab:” Data-data dalam buku itu sengaja aku tulis untuk membantuku dalam bergaul dengan teman-temanku, buku itu ialah Timbangan Nilai untuk meluruskan sikapku agar selalu bijaksana. Namun amat disayangkan nak! Buku itu baru tertulis ketika usiaku sudah mulai lanjut. Kesadaran itu timbul ketika aku sudah menua. Ketika aku jatuh miskin. Ketika aku sedang bangkrut. Ketika teman-temanku menjauhiku. Ini karena aku pemarah dan tidak gampang memaafkan teman. Sebenarnya buku ini dari tadi sudah mau aku buang.Tetapi melihat kamu datang harapan-harapan untuk berubah lebih baik itu ada meskipun hanya sebentar. Paling tidak aku bisa memberikan nasehat berharga kepadamu agar tidak jatuh sepertiku. Itulah barang kali harapan kebaikan yang tersisa.

Akan ku nasehatkan padamu nak! Setiap kali kamu melihat kesalahan yang dilakukan oleh teman-temanmu jangan sekali-kali dijadikan alasan untuk membenci dan tidak memaafkanya. Kamu harus memiliki 'Timbangan Nilai' agar kamu dapat bersikap bijak. Jika tidak maka sikapmu malah akan menghancurkan hubungan pertemanan yang sudah terjalin”. Setelah ngomong demikian kakek itu tiba-tiba pamit dan berjalan membawa tas rangsel dengan wajah penuh senyum dan penuh harapan. Akhir perjuampaan ia berkata:”Semoga nasehatku ini bermanfaat bagimu nak, mudah-mudahan kamu sukses”.

Mengingat hal itu, aku dapat meredam amarahku. Dengan tenang aku menaruh tas di atas meja belajar kemudian segera merapikan kamar dan membersihkannya. Aku sadar bahwa kedua temanku itu kebaikannya lebih banyak dibanding keburukannya. Makanya aku tidak boleh gegabah dan memarah-marahinya, mungkin nanti kalau ada waktu yang tepat aku akan memberikan nasehat yang baik kepadanya.

Dalam waktu yang bersamaan aku juga ingat nasehat ibuku :“Nak, dimanapun engkau berada selalu berbuat baiklah pada siapa dan apa saja meski itu pada orang yang kau benci. Karena, kebaikan yang kau tebar dengan ketulusan pasti akan membuahkan kebaikan. Dengan demikian engkau turut membantu menciptakan kedamaian yang selama ini terenggut oleh ambisi manusia. Bila kebaikan yang  kau lakukan tidak membuahkan hasil maka bersabarlah dan segera memperbaikinya, jangan-jangan engkau tidak ikhlas”.

Nasehat ibu dan kakek tua itu sangat ampuh untuk mendinginkan amarahku yang sempat bergejolak. Selepas bersih-bersih, aku pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Dhuha. Ba`da shalat aku menulis puisi pada secarik kertas yang sengaja aku bawa sejak aku berangkat tadi. Puisi itu berbunyi demikian:

Panorama pagi terlihat sayu tak bersahabat…..
Memancing dengus jiwa yang bergejolak….
Meluap amarah yang menyelinap….
Pada relung hati yang gulana merasa suasana…

Namun, jiwa ini tersadar bahwa….
Mereka hanya menjalan titah Tuhanya…
Berdzikir dengan khusyuk mematuhi-Nya….
Mengapa aku mesti marah….


Fenomena kamar pagi membuat diri tersakiti….
Terasa pedih hingga serasa darah meninggi..
Dalam hening ku tersadar….
Akan petuah kakek misterius yang pernah ku jumpa…. 

Timbangan Nilai katanya….
Sebagai bekal baik bergaul….
Mengingat itu….
Mengapa aku mesti marah…..

Ibuku juga selalu mewejangkan….
Agar berbuat baik pada apa dan siapa…
Dengan penuh ikhlas tanpa pamrih….
Mengapa aku mesti marah…. 

Setelah menulis puisi itu aku membaca al-Qur`an dan siap-siap pergi kuliah. Aku hanya berharap pada Allah semoga Dia menganugrahkan keberkahan kepada setiap kebaikan yang ku lakukan.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan