Home » » Garuda Panca 'SELET'

Garuda Panca 'SELET'

Written By Amoe Hirata on Jumat, 22 Mei 2015 | 04.06


          SENJA HARI, Sarikhuluk berdiam diri di kaki bukit. Ia perhatikan dengan saksama, setiap gejala yang ada di sekitarnya. Dalam pada itu, ia teringat nyanyian masa kecil yang merupakan plesetan dari lagu: Garuda Pancasila. Redaksi lagunya, seperti berikut:

Garuda Panca Selet
Garuda panca selet
Duwek ku ilang sak rengget
Ketemu arek ngaret
Tak kejar sampek keceret

          Batin Sarikhuluk penasaran, ‘Siapa yang pertama kali membuat lagu plesetan ini? Apakah ada relevansinya dengan semangat zaman dan kondisi yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat, bahkan bangsanya sendiri?’. Sejenak, ia tepekur. Berusaha menggali dan mengikat makna dengan kondisi nyata, yang ia rasa sangat beraroma: satire.
            ‘Plesetan lagu “Garuda Pancasila” tersebut, dipikir-pikir memang sangat pas dengan kondisi saat ini. Ada beberapa analisis Sarikhuluk yang bisa dijelaskan secara riil dan logis. Pertama, “Garuda panca selet”(Garuda yang memiliki lima dubur. Red: Java). Ini adalah sebuah kondisi di mana hakikat garuda sudah direduksi sedemikian rupa. Bayangkan, dalam cakrawala keilmuan selama ini –baik mikro maupun makro kosmos- mana ada garuda berdubur lima. Ini sebagai tanda nyata ketika orang sudah tidak mengenal hakikat garuda. Dubur empat, juga menggambarkan garuda telah kehilangan jati dirinya. Semestinya dia mempunyai ciri khas terbang, tetapi dia hanya berdiam makan. Kalau duburnya empat(lantas perutnya berapa?), berarti urusan perut sangat intensif sehingga membutuhkan alat pembuangan (selet) yang banyak. Ini persis seperti yang terjadi sekarang ini. Idealisme garuda sudah menjadi sekadar teori. Meskipun sampai berbusa-busa ‘seakan memperjuangkan’ nasib rakyat(sebagaimana prinsip panca sila), eh ternyata hanya untuk perut.  Kalau dubur yang banyak, maka kualitasnya sekarang sudah seperti –maaf sebelumnya-: TAI.
            Kedua, “duwekku ilang sak rengget”(duitku hilang satu ringgit. Red: Java). Bait ini semakin menguatkan asumsi pertama. Bahwa masalah yang terjadi diakibatkan oleh kepentingan: duit(uang), yang kalau dirunut nanti juga berujung ke perut. Tidak ada kesadaran nilai hakiki. Yang ada hanya nilai egoisme, atau kepentingan pribadi. Duit satu ringgit sebenarnya bernilai sedikit. Dan sebenarnya, uangnya masih banyak. Namun karena “ke-AKU-an” dan “kekikiran” yang dinomorsatukan, maka nilai seringgit setara dengan satu bukit. Coba kita lihat orang-orang masa kini. Mereka lebih memenangkan ego dibandingkan dengan rasio dan roso ruh spiritual. Egoisme melanda, kikir meraja lela. Ketika melihat orang yang tak punya, maka selalu dilihat dengan ‘kaca mata kecurigaan’. Padahal, sifat anāniyah(egois), loba dan kikir ini merupakan ‘racun sosial’. Jika dalam suatu komunitas, sifat-sifat tersbut berkembang pesat, maka komunikasi tidak akan sehat. Hidup resah. Energi jiwa habis karena mempertahankan kepentingan pribadi. Masyarakat yang seharusnya memiliki watak “madaniun bi al-ob`i”(berjiwa sosial), dengan adanya sifat negatif tersebut, maka hubungan sosial akan keruh. Tidak akan bisa lagi diharapkan pergaulan yang sungguh-sungguh.

Ketiga, “ketemu arek ngaret”(ditemukan oleh orang yang sedang menyabit rumput). Duit (uang) yang bergitu disayang, meski bernilai kecil (lantaran egois dan kikir), kemudian ditemukan oleh orang yang sedang menyabit rumput. Yang namanya orang menemukan barang berharga-meski kecil-, biasanya pasti diambil. Kebetulan waktu itu, orang yang nyabit rumput secara ekonomi sangat memprihatinkan, jadi wajar kalau menemukan uang, langsung diambil. Tapi yang menjadi pertanyaan besar ialah: “Apakah dia mengambil untuk dimiliki sendiri atau mau dikembalikan kepada yang berhak?”. Namun sungguh malang, ‘orang kecil’(seperti tukang sabit sumput. Bisa juga orang-orang yang termarginalkan[musta`afīn] dalam sikond saat ini) memang selalu dicurigai. Mereka selalu dijadikan ‘obyek penderita’, tidak pernah ‘subyek pelaku’. Mereka selalu disalahkan dan dikecilkan.
Perhatikan lanjutan lagu! Keempat, “tak kejar sampek keceret”(aku kejar (saking takutnya) sampai keluar tai. Sungguh ironis. Belum sempat diklarifikasi, tabayyun, check and recheck, langsung di-gebyah uyah, digeneralisir. Sukanya main tuduh, Main vonis. Main kejar. Sekarang lihat di negeri tercinta ini. Orang-orang yang diamanahi rakyat, kadang-kadang (bahkan sering) main sak karep udelnya(semaunya) sendiri. Padahal hanya sebatas tuduhan. Itu pun, uang yang ditemukan tidak begitu besar, tapi karena sudah egois, tidak memiliki rasa kepercayaan pada orang lain, akhirnya ia main kejar, sampai merugikan orang yang tak bersalah. Padahal kalau mau klarifikasi, persoalan akan selesai. Begitulah isyarat zaman, yang digambarkan lagu plesetan: Garuda Panca Selet. Sebuah lagu bernada satire, yang kritiknya masih terasa sampai saat ini. Lagu ini tercipta di saat Indonesia menggunakan uang ringgit. Lalu bagaimana sekarang?Ternyata yang terjadi lebih parah dari itu. Wallahu a`lam bi al-shawab.

Setelah bermenung, bersamaan dengan tenggelamnya mata hari di ufuk barat, Sarikhuluk beranjak pergi menuju rumah, untuk persiapan shalat maghrib. Dalam hati kecilnya, ia berujar: “Semoga analisisku SALAH”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan