Dalam bahasa Indonesia, ada pribahasa yang berbunyi: “Ada udang di balik batu”. Artinya: Ada suatu maksud yang tersembunyi(baca: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1769). Entah berasal dari daerah mana pribahasa ini. Yang jelas, muatan kecurigaan, keraguan, ketidakpercayaan begitu kuat melatarinya. Apa yang dikatakan orang mengenai kebaikan; yang diperbuat terkait kabajikan, selalu dicurigai. Intinya jelas. Kata dan perbuatan hanya bentuk wadak yang mempunyai maksud tersembunyi. Bila pun di balik kata selalu ada makna; di balik perbuatan selalu terkandung maksud, namun pribahasa ini selalu dikonotasikan negatif.
Sarikhuluk pernah mendiskusikan pribahasa ini dengan teman-teman diskusinya. Hasil penelitian sementara, pribahasa ini sangat bertalian erat dengan nuansa politik. Kalau berbicara masalah politik, berarti urusan orang-orang elit yang punya atau bergelut dalam ranah kekuasaan. Dalam hal ini konteksnya adalah perpolitikan dalam dunia kerajaan(kalau yang dimaksud adalah masa pra-kemerdekaan) atau negara NKRI(kalau yang dimaksud adalah masa pasca-kemerdekaan). Dalam dunia politik, sikap saling mencurigai satu sama lain sangat biasa. Begitu dinamisnya dunia politik, sehingga kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi kawan dalam waktu yang singkat.
Iklim politik yang sedemikian abu-abu, membuat orang dihinggapi rasa su`udzan (red: buruk sangka)akut. Inilah saat kebaikan hanya dianggap pencitraan; saat kebajikan disebut sebagai murni kepentingan. Akibatnya jelas. Kemurnian dan ketulusan semakin terkikis, sikap saling percaya hilang di antara masyarakat, dan secara psikis orang akan merasa tidak tenang karena selalu curiga dengan perilaku dan perkataan orang. Pribahasa tersebut tidak akan muncul pada rakyat jelata(konteksnya ialah pada masa lalu. Bukan masa sekarang yang agak sulit dibedakan antara rakyat jelata dengan kaum elit, akibat adanya globalisasi dan perkembangan dahsyat informasi) yang hidupnya apa adanya. Sikap saling membantu dan percaya begitu terbangun kuat di antara mereka.
Parahnya, zaman sekarang pribahasa tersebut semakin menemukan eksistensinya. Di tengah kontelasi bangsa yang sedang carut-marut dan silang-sengkarut seperti sekarang ini, sangat susah mencari orang yang benar-benar tulus. Berjuang untuk rakyat, dianggap, ‘Ber-uang mumpung sempat’. Membela negara, dikira, ‘Membuat diri jadi kaya’. Ketidakpercayaan semakin merebak. Di tambah posisi media yang sedemikian serentak, memperkeruh suasana yang tidak-tidak. Menurut Sarikhuluk, sebenarnya secara subtansial, pribahasa tersebut tidak masalah bila diposisikan pada tempatnya dan digunakan secara proporsional. Masalahnya ialah ketika pribahasa tersebut menjadi semacam ‘sikap publik’ yang berkonsekuensi pada penafian ketulusan. Kalau orang baik selalu dicurigai, maka habislah negeri ini.
Ia mengingatkan teman-teman diskusinya: “Ingat sebelum kata ‘udang’, ada kata ‘batu’. Kalau orang pada umumnya suka mencari udang di balik batu, maka tugas kita ialah menjelaskan, bahkan meyakinkan bahwa batu adalah batu. Tidak selalu udang di balik batu. Artinya apa? Kebaikan adalah kebaikan, baik itu perkataan maupun perbuatan. Kebanyakan orang sudah apatis dengan yang namanya kebaikan karena sudah didasari dengan kecurigaan. Kalau pribahasa tersebut digunakan untuk orang yang memang layak dicurigai (karena kejahatan dan keburukannya), maka tidak menjadi masalah. Masalahnya ketika pribahasa ini menjadi kebudayaan. Nilai-nilai agama, kearifan lokal pun akan tidak begitu diperhatikan, karena selalu dicari udangnya, sedang batu dianggap tidak penting. Jadi, tugas kita adalah membuat keseimbangan bahwa: ‘Ada batu di depan udang’. Artinya: ketulusan dan keikhlasan masih ada dan bisa dibudayakan.” Pungkasnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !