Home » » Islam dan Negara Sekular

Islam dan Negara Sekular

Written By Amoe Hirata on Rabu, 22 Oktober 2014 | 03.43

Resume: Islam dan Negara Sekular Menegoisasikan Masa Depan Syariah
(Abdullahi Ahmed An-Na`im)

v  Pendahuluan: Masa Depan Syari`ah: Sekularisme dalam Perspektif Islam?
-          Asumsi dasar: Umat Islam dituntut menjalankan syari`ah Islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya. Tuntutan ini bisa diwujudkan ketika negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syari`ah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara.
-          Tujuan utama buku ini: mempromosikan masa depan syari`ah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat, tapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. [Hal: 17].
-          Pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat diperlukan agar syari`ah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam[Hal: 18].
-          Netralitas negara atas agama merupakan syarat mutlak untuk pemenuhan ajaran-ajaran Islam  dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau perundang-undangan yang bersumber dari agama  atau keyakinannya, mereka harus mendukung usulan itu dengan “nalar publik”(public reason)[Hal: 22].
-          Nalar Publik: Alasan, maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang di dalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad(22).
-          Islam tidak hanya syari`ah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syari`ah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam(hal: 27).
-          Pemahaman atas syari`ah seperti apa pun selalu merupakan produk ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur`an dan Sunnah Nabi(31).
-          Generasi-generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah sebagaimana yang kemudian diterima oleh mayoritas Muslim hingga saat ini(Hal: 33).
-          Meskipun al-Qur`an dan Sunnah merupakan sumber-sumber suci Islam sesuai dengan keyakinan umat Islam, makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari selalu merupakan produk interpretasi dan tindakan manusia dalam konteks sejarah yang spesifik(39).
-          Pemisahan Islam dan negara bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijakan publik, perundang-undangan, atau kehidupan publik secara umum. Namun, peran itu harus didukung oleh “nalar publik” dan perisai-perisai kontitusional(hal: 41).
-          Tujuan dan teori hubungan antara Islam, negara dan masyarakat, adalah memastikan pemisahan institusional, antara Islam dan negara betapa pun tidak dapat dielakkannya hubungan Islam dengan politik(hal: 56).
-          Sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masayarakat Islam daripada dengan ide pasca-kolonial mengenai negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan negara yang koersif(memaksa)[Hal: 79).
v  Islam, Negara, dan Politik dalam Perspektif Historis
-          Sejarah yang dikemukakan di buku ini adalah sejarah umat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah wilayah. Islam di sini bukan Islam ideal yang abstrak, tapi Islam yang dipahami dan dipraktikkan umatnya(hal: 81).
-          Penyatuan ideal (antara Islam dan negara) tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusia pun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan kagamaan yang sama dengannya(hal: 89).
-          Cara pandang penulis terhadap sejarah masyarakat Islam : Ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah(hal: 92).
-          Model hubungan antara otoritas agama dan negara “sangat beragam, dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi keagamaan yang dikelola secara terpusat lalu hubungan yang lebih independen tapi kooperatif, hingga otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara[berdasarkan kisah Abu Bakar(keputusan perang Riddah) pada awal kepemimpinannya, Muawiyah, Abbasiyah, Mihnah, Bani Buwaih]”(hal: 110).
-          Pengalaman sejarah(Dinasti Fathimiyah dan Mamalik Bahri) merupakan contoh pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai negoisasi konstan antara institusi negara dan politik(hal: 135).
-          Penulis setuju dengan pendapat Ira Lapidus tentang adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam(hal: 135).
v  Kontitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan
-          Pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara.  Namun pengajuan harus didukung oleh “public reason”. “Public reason” ini membutuhkan jaring pengaman berupa prinsip-prinsip kontitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan.
v  Pengalaman Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif
-          Hubungan antara agama dan negara merefleksikan sebuah paradoks yang permanen hingga memisahkan keduanya jelas diperlukan meskipun dengan tetap mengakui hubungan organik antara agama dan politik(hal: 278).
v  India: Sekularisme Negara dan Kekerasan Komunal
-          Kebutuhan untuk mengklarifikasi hubungan antara agama, negara, dan politk lebih besar daripada sekadar kebutuhan akan pengakuan adanya sekularisme dan prinsip netralitas(hal: 333).
-          Penulis percaya bahwa sekularisme India, dengan segala kekurangannya, bisa menyediakan ruang dan fleksibilitas bagi terbentuknya komitmen negara terhadap sekularisme(hal: 336).
v  Turki: Kontradiksi-kontradiksi Sekularisme Otoriter
-          Peran Islam dan diskursus politik Turki, meskipun sangat terbatas, memungkinkan negara sekular dan masyarakat Turki yang sangat sekular untuk menyadari bahwa ada ruang dalam masyarakat sekular bagi berbagai jenis pendapat, termasuk pendapat yang diilhami oleh keyakinan agama(hal: 389-390).
v  Indonesia: Realitas Keragaman dan Prospek Pluralisme
-          Debat seputar hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat di Indonesia cendrung memunculkan dikotomo yang keliru dan dilema yang tak perlu(hal: 436).
-          Bila sekularisme dipahami sebagai tradisi koeksistensi, toleransi, dan pluralisme, realitas masyarakat Indonesia sebetulnya telah sesuai dengan sekularisme yang didefinisikan dalam buku ini.



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan