Resume: Islam dan Negara Sekular Menegoisasikan Masa
Depan Syariah
(Abdullahi Ahmed An-Na`im)
v
Pendahuluan: Masa
Depan Syari`ah: Sekularisme dalam Perspektif Islam?
-
Asumsi dasar: Umat Islam
dituntut menjalankan syari`ah Islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya.
Tuntutan ini bisa diwujudkan ketika negara bersikap netral terhadap semua
doktrin keagamaan dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syari`ah
sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara.
-
Tujuan utama buku ini:
mempromosikan masa depan syari`ah sebagai sistem normatif Islam di kalangan
umat, tapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh
kekuatan negara. [Hal: 17].
-
Pemisahan Islam dan negara
secara kelembagaan sangat diperlukan agar syari`ah bisa berperan positif dan mencerahkan
bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam[Hal: 18].
-
Netralitas negara atas
agama merupakan syarat mutlak untuk pemenuhan ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban
keagamaan bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan
kebijakan atau perundang-undangan yang bersumber dari agama atau keyakinannya, mereka harus mendukung
usulan itu dengan “nalar publik”(public reason)[Hal: 22].
-
Nalar Publik: Alasan,
maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan
pada pemikiran yang di dalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak,
dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir
atau murtad(22).
-
Islam tidak hanya syari`ah,
meskipun mengetahui dan mengamalkan syari`ah adalah cara untuk mewujudkan Islam
sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam(hal: 27).
-
Pemahaman atas syari`ah
seperti apa pun selalu merupakan produk ijtihad dalam artian pemikiran
dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur`an dan
Sunnah Nabi(31).
-
Generasi-generasi awal
tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah sebagaimana yang kemudian diterima
oleh mayoritas Muslim hingga saat ini(Hal: 33).
-
Meskipun al-Qur`an dan
Sunnah merupakan sumber-sumber suci Islam sesuai dengan keyakinan umat Islam,
makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari selalu merupakan
produk interpretasi dan tindakan manusia dalam konteks sejarah yang
spesifik(39).
-
Pemisahan Islam dan negara
bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijakan publik,
perundang-undangan, atau kehidupan publik secara umum. Namun, peran itu harus
didukung oleh “nalar publik” dan perisai-perisai kontitusional(hal: 41).
-
Tujuan dan teori hubungan
antara Islam, negara dan masyarakat, adalah memastikan pemisahan institusional,
antara Islam dan negara betapa pun tidak dapat dielakkannya hubungan Islam
dengan politik(hal: 56).
-
Sekularisme yang
didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan
tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah
masayarakat Islam daripada dengan ide pasca-kolonial mengenai negara Islam yang
bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan negara yang koersif(memaksa)[Hal: 79).
v
Islam, Negara, dan
Politik dalam Perspektif Historis
-
Sejarah yang dikemukakan di
buku ini adalah sejarah umat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah wilayah.
Islam di sini bukan Islam ideal yang abstrak, tapi Islam yang dipahami dan
dipraktikkan umatnya(hal: 81).
-
Penyatuan ideal (antara Islam
dan negara) tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada
seorang manusia pun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan kagamaan
yang sama dengannya(hal: 89).
-
Cara pandang penulis
terhadap sejarah masyarakat Islam : Ada pemisahan yang jelas antara otoritas
agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah
pertama negara Madinah(hal: 92).
-
Model hubungan antara
otoritas agama dan negara “sangat beragam, dari tingginya kontrol negara
terhadap institusi-institusi keagamaan yang dikelola secara terpusat lalu
hubungan yang lebih independen tapi kooperatif, hingga otonomi penuh bahkan
oposisi terbuka terhadap kebijakan negara[berdasarkan kisah Abu Bakar(keputusan
perang Riddah) pada awal kepemimpinannya, Muawiyah, Abbasiyah, Mihnah,
Bani Buwaih]”(hal: 110).
-
Pengalaman sejarah(Dinasti
Fathimiyah dan Mamalik Bahri) merupakan contoh pendekatan Islam terhadap
sekularisme sebagai negoisasi konstan antara institusi negara dan politik(hal:
135).
-
Penulis setuju dengan pendapat
Ira Lapidus tentang adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam
sejarah masyarakat Islam(hal: 135).
v
Kontitusionalisme, HAM,
dan Kewarganegaraan
-
Pemisahan antara negara dan
Islam tidak berarti bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena
prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara
menjadi kebijakan atau undang-undang negara.
Namun pengajuan harus didukung oleh “public reason”. “Public
reason” ini membutuhkan jaring pengaman berupa prinsip-prinsip
kontitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan.
v
Pengalaman Kontekstual
Sekularisme dalam Perspektif Komparatif
-
Hubungan antara agama dan
negara merefleksikan sebuah paradoks yang permanen hingga memisahkan keduanya
jelas diperlukan meskipun dengan tetap mengakui hubungan organik antara agama
dan politik(hal: 278).
v
India: Sekularisme
Negara dan Kekerasan Komunal
-
Kebutuhan untuk
mengklarifikasi hubungan antara agama, negara, dan politk lebih besar daripada
sekadar kebutuhan akan pengakuan adanya sekularisme dan prinsip netralitas(hal:
333).
-
Penulis percaya bahwa
sekularisme India, dengan segala kekurangannya, bisa menyediakan ruang dan
fleksibilitas bagi terbentuknya komitmen negara terhadap sekularisme(hal: 336).
v
Turki:
Kontradiksi-kontradiksi Sekularisme Otoriter
-
Peran Islam dan diskursus
politik Turki, meskipun sangat terbatas, memungkinkan negara sekular dan
masyarakat Turki yang sangat sekular untuk menyadari bahwa ada ruang dalam
masyarakat sekular bagi berbagai jenis pendapat, termasuk pendapat yang diilhami
oleh keyakinan agama(hal: 389-390).
v
Indonesia: Realitas
Keragaman dan Prospek Pluralisme
-
Debat seputar hubungan
antara Islam, negara, dan masyarakat di Indonesia cendrung memunculkan dikotomo
yang keliru dan dilema yang tak perlu(hal: 436).
-
Bila sekularisme dipahami
sebagai tradisi koeksistensi, toleransi, dan pluralisme, realitas masyarakat
Indonesia sebetulnya telah sesuai dengan sekularisme yang didefinisikan dalam
buku ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !