Judul : Pluralisme Agama Telaah Kritis
Cendekiawan Muslim
Penulis :
Hamid Fahmi
Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Fahmi Salim, Malki Ahmad Nasir, Noor
Sakirah Mat Akhir, Sani Badron, Wan Azhar Wan Ahmad, Muhammad Azizan Sabjan
Penyunting : Adnin Armas
Penerbit : INSIST
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : 223
Harga : 65.000
Peresume : Mahmud Budi Setiawan
I
Pemikiran Schuon tentang
titik-temu agama-agama pada level esoteris secara konseptual masih bermasalah.
Sebab pada tingkatan esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam
dengan agama-agama lain. Pemikiran Schuon ini nampaknya di dorong oleh suatu
motif agar antar agama-agama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi
teorinya cenderung membenarkan semua agama.
Selain itu, titik-temu antar
agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena masing-masing agama
memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain pada level
esoteris. Pemikiran Schuon mengenai titik-temu agama-agama adalah merupakan
produk dari pengalamannya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama.
Oleh sebab itu, gagasan Schuon
tentang titik temu agama-agama pada level esoteris adalah ‘utopia’.
Level tersebut ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini
jelas bukan maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan
untuk elit tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk ummat Islam,
namun untuk seluruh umat manusia. (Hal: 19-21)
II
Ibn Arabi
bukanlah pluralis ataupun menyokong faham pluralisme agama seperti yang
dituduhkan oleh para orientalis, kalangan pluralis dan transedentalis. Jikapun
para pendukung pluralisme agama yang menyitir pernyataan Ibn Arabi yang nampak
mendukukng faham mereka, itu tidak lebih dari hasil kajian fragmentatif alias
tidak utuh. Padahal jelas sekali bahwa menurut Ibn Arabi hukum agama yang
dibawa oleh seorang nabi habis masa berlakunya ketika datang nabi yang lain.(Hal:
50)
III
Islam bersifat
ekslusif dan inklusif sekaligus. Ia ekslusif jika berkenaan dengan masalah
teologi dan metafisika. Tetapi di luar itu Islam sangat inklusif. The Encyclopaedia Britannica (1985), pada
masalah keragaman agama-agama dunia, menyebutkan bahwa Islam membaginya ke
dalam tiga kategori: (i) Benar sepenuhnya; (ii) Benar sebagian; (iii) Salah
sepenuhnya. Pada dasarnya kami
sependapat dengan pembagian itu dengan penambahan bahwa kategori kedua
seharusnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu (a) Ahlul kitab; dan (b) (Mirip) Quasi-Ahlul
kitab(Hal: 79-81).
IV
Kondisi Islam sama sekali berbeda
dengan Kristen. Dasar-dasar teologi
Islam sudah dirumuskan dan sudah sangat jelas, sejak awal Islam lahir, serta
tidak pernah diputuskan melalui satu ‘kongres’ atau ‘konsili’. Karena itu,
sejak awal kelahirannya, Islam memang sudah sempurna. Konsep teologi dan ibadah
dalam Islam sudah selesai dirumuskan. Bahkan, sebagai agama, nama ‘Islam’ pun
sudah diberikan oleh Allah. (QS al-MÉ’idah:3). Konsep Islam tentang Nabi Isa
a.s. pun sudah jelas sejak awal. Bahwa, Isa a.s. adalah manusia, Rasul, utusan
Allah, dan sama sekali bukan Tuhan atau putra Tuhan. Bahkan, sejak awal,
al-Quran telah mengkritik keras konsepsi teologis kaum Kristen tersebut.
Penyebutan Isa a.s. sebagai ‘Anak Allah’ disebut al-Qur’an sebagai kesalahan
serius. (QS Maryam:89-92, al-MÉ’idah 72-75)
Jika perbedaan konsepsi dan
sejarah antara teologi Kristen dengan Islam, benar-benar dikaji secara cermat,
seyogyanya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah menyebarkan paham
pluralisme agama. Biarlah Barat, dengan pengalaman traumatisnya terhadap konsep
dan praktik keagamaan, memeluk berbagai paham yang menghancurkan sendi-sendi
agamanya sendiri. Jika mereka “masuk ke lobang biawak”, mengapa kita harus
ikut? (KL, 1 Agustus 2004)(Hal: 104-105).
V
Post-modernisme membangun suatu
“teologi” berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi.
Dalam “teologi” ini Tuhan dimasukkan ke dalam sistem penjelasan rasional yang
tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam
pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat memahami hakekat Tuhan,
pikiran post-modern merobohkan jalan berfikir metafisis. Akibatnya,
post-modernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari dan
bertentangan dengan kepercayaan yang dianut para teolog. Konsep-konsep mereka
tentang Tuhan, religiusitas dan kebenaran agama tidak sesuai lagi dengan
doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya, seperti halnya modernisme,
post-modernisme dihadapkan secara vis a vis dengan agama dalam bentuk yang antagonistis
dan bahkan bentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang
bertanggung jawab dalam hal ini adalah keduanya.
Filsafat post-modern gagal
memahami konsep agama tentang Tuhan, tentang kebenaran dan tentang aktifitas
keagamaan. Agama, dalam hal ini Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam
bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga dapat dipertahankan dari
serangan filsafat apapun. David Harvey menunjukkan bahwa karena akal dalam
pikiran postmodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, maka krisis yang
terjadi pada zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab
itu, katanya, proyek teologis post-modernisme adalah menegaskan kembali
kebenaran Tuhan tanpa meninggalkan kekuatan akal. Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para
teolog dan para filosof adalah tugas yang perlu dikerjakan agar terhindar dari
malapetaka.(Hal: 125-126)
VI
Jika konsep dekonstruksi Arkoun
terhadap makna Ahl al-Kitāb
diterapkan tentu akan sangat merugikan Islam dan juga umat Islam sendiri. Sebab
dengan dekonstruksi itu pemahaman umat Islam terhadap teks al-Qur’an menjadi
semakin jauh dari makna aslinya, semakin dangkal dan boleh jadi meragukan.
Barat bukan medium yang tepat
untuk menjelaskan ajaran Agama Islam. Disini ide Arkoun yang dianggap brillian
oleh segelintir orang itu sepertinya tidak mengindikasikan adanya rasa tanggung
jawab terhadap kemungkinan timbulnya ekses negatif dari diterapkannya konsep
dekonstruksinya itu. Nampaknya pemikiran Arkoun lebih layak dikatakan sebagai
wacana for the sake of ‘knowledge’, ketimbang for the sake of Islam(Hal:
145).
VII
Kita telah mendiskusikan sekilas
tentang masalah Islam, Yahudi dan Kristen. Menjadi jelas kiranya bahwa agama
senantiasa satu dan selalu sama. Dalam kata lain, seluruh nabi-nabi Allah
terdahulu telah menyampaikan satu agama samawi yang dikenal dengan nama Dīn al-Fiṫrah (the Ever True-Religion). Dengan
kedatangan Nabi MuÍammad SAW, agama ini kemudian disebut dengan nama Islam. Hal:
167).
VIII
Nabi bersabda "Sesungguhnya perumpamaanku dan para
Nabi yang diutus Allah sebelumku adalah seperti seorang yang membangun rumah
kemudian ia perindah dan sempurnakannya kecuali ada satu tempat batu-bata
sehingga orang-orang mengelilinginya dan bergumam "Aduhai indahnya
seandainya saja batu bata ini disempurnakan!". Maka Rasul Allah berkata:
"Aku lah batu bata terakhir itu, dan aku lah penutup para Nabi"
Komentar Imam Ibnu al-'Arabi,
seperti dikutip oleh Ibnu Hajar al-'Asqallani (773-852 H), bahwasanya letak
batu bata itu adalah di fondasi/dasar rumah itu. Jika konstruksi bangunan itu
tidak disempurnakan oleh batu tersebut, niscaya bangunan rumah itu akan roboh.
Ibnu Hajar kemudian mengakhiri komentar atas hadis tersebut dengan menyatakan:
"Hadis ini membuat perumpamaan yang jelas dan dapat mudah difahami. Ia
juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad saw. di antara Nabi-nabi lain dan
bahwasanya Allah swt. telah menutup silsilah para Rasul serta menyempurnakan
syari'at-syari'at agama dengan tampilnya Nabi Muhammad saw."
Oleh karena itu, sungguh maha
benar firman Allah yang menyatakan: "Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu."(Hal: 190-191).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !