“Atas nama toleransi maka pemeluk
agama-agama tidak boleh merasa benar sendiri”. “Atas nama toleransi fanatisme
harus dihilangkan”. “Atas nama toleransi segala bentuk kekerasan yang bertopeng
agama harus dilenyapkan”. “Atas nama toleransi, kebenaran harus berbagi. Tidak
ada yang paling benar. Semua ada porsi kebenaran sendiri-sendiri”. Demikianlah
dengungan-dengungan orang mengenai toleransi toleransi ketika berada di era
globalisasi. Karena manusia mempunyai latar belakang yang berbeda, baik adat,
budaya, agama, piliran dan sosial, maka toleransi adalah keniscayaan.
Masalahnya, toleransi dalam pengertian seperti apa yang harus diberlakukan
dalam era globalisasi. Tentu saja, karena yang menghegemoni dunia saat ini berasal
dari Barat, maka otomatis toleransi yang dimaksud adalah toleransi ala Barat.
Kita ambil satu contoh saja misalkan
dalam bidang keragamaan agama. Agama di sepanjang sejarah selalu menjadi sumber
penggerak sekaligus tak jarang dijadikan sarana yang melahirkan konflik. Khusus
berkaitan dengan konflik, biasanya terkait dengan ajaran-ajaran atau
doktrin-doktrin keagamaan yang saling bertentangan satu sama lain. Perbedaan
yang sangat tajam ini pada gilirannya selalu memicu konflik-konflik dan
pertentangan-pertentangan yang tak jarang menimbulkan tindak anarkis. Supaya
tercipta perdamaian antarpemeluk agama dalam era globalisasi, maka sikap
toleransi harus digalakkan. Toleransi dalam pengertian, menghargai,
menghormati, keyakinan serta paham agama lain yang bertentangan, sembari tidak
merasa benar sendiri. Dengan semangat toleransi seperti ini, maka kerukunan
akan tercipta dengan sendirinya. Toleransi demikian dinamakan toleransi
berbasis pluralisme agama.
Benarkah toleransi berbasis
pluralisme agama menjadi satu-satunya solusi untuk mengatasi konflik antarumat
beragama dan mewujudkan perdamaian
antarumat beragama di era globalisasi yang begitu plural. Untuk mengetahui
jawabannya, kita perlu menguji sejauh mana kebenaran statement tersebut
sembari mengambil salah satu sampel dari salah satu agama untuk
dikonfrontasikan dengan pengertian toleransi ala Barat yang sedang menghegemoni
di era globalisasi. Karena penulis beragama Islam, maka yang akan dijadikan
sampel pada tulisan ini adalah agama Islam. Yang dimaksud dengan agama Islam di
sini ialah mengenai keseluruhan ajaran agamanya terkait masalah toleransi.
Apakah atas nama toleransi, pada sepanjang sejarahnya, nilai-nilai yang
terkandung didalamnya harus dimaknai ulang atas nama pluralisme agama, atau
ternyata Islam punya konsep tersendiri mengenai toleransi, sehingga justru
kalau pluralisme agama jika diterapkan malah akan merusak agama Islam.
Untuk mengetahui kebenaran
pernyataan toleransi berbasis agama bila dikonfrotirkan dengan agama Islam maka
akan kita uji dengan Islam secara komprehensif. Namun dalam tulisan kali ini
kita menggunakan metode “menerima sekaligus mempertanyakan” dengan fakta
historis serta ajaran-ajaran yang terkandung dalam Islam. Pertama: Katakanlah
kita memang membutuhkan yang namanya toleransi, dalam artian bahwa tiap-tiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim agamanya paling benar, karena kebenaran
tiap-tiap agama adalah relatif, dan masing-masing mempunyai kadar kebenarannya
sendiri-sendiri. Namun di sepanjang sejarah kehidupan Nabi Muhammad, kita akan
menemukan kejanggalan, kalau itu dibenarkan. Kalau atas nama toleransi
tiap-tiap agama tidak boleh merasa paling benar, atau semua agama sama-sama
benar, lalu kenapa nabi capek-capek berdakwah selama dua puluh tiga tahun
menyebarkan agama Islam. Kenapa juga Nabi mengirim utusan pada tahun ketujuh untuk
menyampaikan surat agar masuk Islam, yang bunyinya: aslim taslam(masuk
Islamlah, kamu akan selamat)?. Kalau semua agama dianggap benar lantaran
toleransi, lalu kenapa Nabi tidak mau menerima tawaran orang kafir Qurays yang
mengajak beragama secara bergantian, yang kemudian turun surat al-Kafirun? Dari
sini saja sudah sangat nampak kerancuan dan ketidakbenaran pernyataan tadi
terkat kebenaran semua agama.
Kemudian kalau kita terima
bahwasannya dengan toleransi dalam pengertian mengakui kebenaran agama-agama
akan terjalin perdamaian dan kerukunan antarumat beragama, maka akan timbul
pertanyaan: di sepanjang sejarah ketika umat Islam menjadi mayoritas, mereka
tetap bisa menjalankan toleransi dan perdamaian tanpa harus mengorbankan
kepercayaan dan keyakinan, bahkan pernah terjadi pemandangan yang indah dan
damai ketika peradaban Islam menjadi penguasa. Umat beragama lain seperti,
Yahudi, Nasrani bisa menjalankan peribadatannya dengan damai dan aman. Lain
halnya ketika umat Islam menjadi minoritas, maka selalu akan ditindas
sebagaimana di negeri-negeri Barat, negeri-negeri asia seperti Tailand,
Vietnam, umat Islam justru ditindas dan diperlakukan tidak adil. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa tidak tepat jika toleransi atas nama pluralisme agama bila
dipraktikkan akan menimbulkan kedamaian. Yang ada justru sebaliknya, karena
perbedaan keyakinan bukan untuk tidak diakui atas nama toleransi. Dalam Islam
sangat jelas, mengenai keyakinan, tidak boleh toleransi, sedangkan masalah
sosial yang tidak bertentangan dengan agama, maka boleh toleransi dan
bekerjasama. Orang Islam diperkenankan –bahkan harus- menghormati agama lain,
namun tentu saja bukan dengan mengorbankan keyakinannya.
Toleransi berbasis pluralisme agama
ini begitu digembor-gemborkan melalui berbagai media. Janji dan semangatnya
sangat indah, padahal sangat utopis. Pengusung ide ini menyuruh orang lain
untuk toleran, saling menghormati, menghargai pendapat orang lain, sementara
mereaka tidak sadar bahwa mereka memaksakan pendapatnya sendiri kepada orang
lain. Kalau mau jujur mereka menegakkan toleransi, kenapa mereka bersikeras
untuk memaksakan pendapatnya, sedangkan tidak semua orang setuju dengan
pendapatnya terkait toleransi berbasis pluralisme agama? Bahkan mereka tidak
segan-segan menjuluki orang yang tidak setuju dengan istilah fundamentalis,
radikal, puritan, ekslusif, intoleran, kasar, konserfatif dan stigma negatif
lainnya. Sangat ironis. Menyuruh orang toleransi, sedangkan diri sendiri tak mau
toleransi dan memaksakan pendapat. Demikianlah toleransi berbasis pluralisme
agama, kelihatannya begitu menarik dan menjajikan kerukunan, padahal sejatinya
sangat naif bahkan merusak kerukunan dan perdamaian.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !