Home » » Toleransi Berbasis Pluralisme Agama

Toleransi Berbasis Pluralisme Agama

Written By Amoe Hirata on Selasa, 14 Oktober 2014 | 22.58


            “Atas nama toleransi maka pemeluk agama-agama tidak boleh merasa benar sendiri”. “Atas nama toleransi fanatisme harus dihilangkan”. “Atas nama toleransi segala bentuk kekerasan yang bertopeng agama harus dilenyapkan”. “Atas nama toleransi, kebenaran harus berbagi. Tidak ada yang paling benar. Semua ada porsi kebenaran sendiri-sendiri”. Demikianlah dengungan-dengungan orang mengenai toleransi toleransi ketika berada di era globalisasi. Karena manusia mempunyai latar belakang yang berbeda, baik adat, budaya, agama, piliran dan sosial, maka toleransi adalah keniscayaan. Masalahnya, toleransi dalam pengertian seperti apa yang harus diberlakukan dalam era globalisasi. Tentu saja, karena yang menghegemoni dunia saat ini berasal dari Barat, maka otomatis toleransi yang dimaksud adalah toleransi ala Barat.
            Kita ambil satu contoh saja misalkan dalam bidang keragamaan agama. Agama di sepanjang sejarah selalu menjadi sumber penggerak sekaligus tak jarang dijadikan sarana yang melahirkan konflik. Khusus berkaitan dengan konflik, biasanya terkait dengan ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin keagamaan yang saling bertentangan satu sama lain. Perbedaan yang sangat tajam ini pada gilirannya selalu memicu konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan yang tak jarang menimbulkan tindak anarkis. Supaya tercipta perdamaian antarpemeluk agama dalam era globalisasi, maka sikap toleransi harus digalakkan. Toleransi dalam pengertian, menghargai, menghormati, keyakinan serta paham agama lain yang bertentangan, sembari tidak merasa benar sendiri. Dengan semangat toleransi seperti ini, maka kerukunan akan tercipta dengan sendirinya. Toleransi demikian dinamakan toleransi berbasis pluralisme agama.
            Benarkah toleransi berbasis pluralisme agama menjadi satu-satunya solusi untuk mengatasi konflik antarumat beragama dan mewujudkan  perdamaian antarumat beragama di era globalisasi yang begitu plural. Untuk mengetahui jawabannya, kita perlu menguji sejauh mana kebenaran statement tersebut sembari mengambil salah satu sampel dari salah satu agama untuk dikonfrontasikan dengan pengertian toleransi ala Barat yang sedang menghegemoni di era globalisasi. Karena penulis beragama Islam, maka yang akan dijadikan sampel pada tulisan ini adalah agama Islam. Yang dimaksud dengan agama Islam di sini ialah mengenai keseluruhan ajaran agamanya terkait masalah toleransi. Apakah atas nama toleransi, pada sepanjang sejarahnya, nilai-nilai yang terkandung didalamnya harus dimaknai ulang atas nama pluralisme agama, atau ternyata Islam punya konsep tersendiri mengenai toleransi, sehingga justru kalau pluralisme agama jika diterapkan malah akan merusak agama Islam.
            Untuk mengetahui kebenaran pernyataan toleransi berbasis agama bila dikonfrotirkan dengan agama Islam maka akan kita uji dengan Islam secara komprehensif. Namun dalam tulisan kali ini kita menggunakan metode “menerima sekaligus mempertanyakan” dengan fakta historis serta ajaran-ajaran yang terkandung dalam Islam. Pertama: Katakanlah kita memang membutuhkan yang namanya toleransi, dalam artian bahwa tiap-tiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim agamanya paling benar, karena kebenaran tiap-tiap agama adalah relatif, dan masing-masing mempunyai kadar kebenarannya sendiri-sendiri. Namun di sepanjang sejarah kehidupan Nabi Muhammad, kita akan menemukan kejanggalan, kalau itu dibenarkan. Kalau atas nama toleransi tiap-tiap agama tidak boleh merasa paling benar, atau semua agama sama-sama benar, lalu kenapa nabi capek-capek berdakwah selama dua puluh tiga tahun menyebarkan agama Islam. Kenapa juga Nabi mengirim utusan pada tahun ketujuh untuk menyampaikan surat agar masuk Islam, yang bunyinya: aslim taslam(masuk Islamlah, kamu akan selamat)?. Kalau semua agama dianggap benar lantaran toleransi, lalu kenapa Nabi tidak mau menerima tawaran orang kafir Qurays yang mengajak beragama secara bergantian, yang kemudian turun surat al-Kafirun? Dari sini saja sudah sangat nampak kerancuan dan ketidakbenaran pernyataan tadi terkat kebenaran semua agama.
            Kemudian kalau kita terima bahwasannya dengan toleransi dalam pengertian mengakui kebenaran agama-agama akan terjalin perdamaian dan kerukunan antarumat beragama, maka akan timbul pertanyaan: di sepanjang sejarah ketika umat Islam menjadi mayoritas, mereka tetap bisa menjalankan toleransi dan perdamaian tanpa harus mengorbankan kepercayaan dan keyakinan, bahkan pernah terjadi pemandangan yang indah dan damai ketika peradaban Islam menjadi penguasa. Umat beragama lain seperti, Yahudi, Nasrani bisa menjalankan peribadatannya dengan damai dan aman. Lain halnya ketika umat Islam menjadi minoritas, maka selalu akan ditindas sebagaimana di negeri-negeri Barat, negeri-negeri asia seperti Tailand, Vietnam, umat Islam justru ditindas dan diperlakukan tidak adil. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak tepat jika toleransi atas nama pluralisme agama bila dipraktikkan akan menimbulkan kedamaian. Yang ada justru sebaliknya, karena perbedaan keyakinan bukan untuk tidak diakui atas nama toleransi. Dalam Islam sangat jelas, mengenai keyakinan, tidak boleh toleransi, sedangkan masalah sosial yang tidak bertentangan dengan agama, maka boleh toleransi dan bekerjasama. Orang Islam diperkenankan –bahkan harus- menghormati agama lain, namun tentu saja bukan dengan mengorbankan keyakinannya.

            Toleransi berbasis pluralisme agama ini begitu digembor-gemborkan melalui berbagai media. Janji dan semangatnya sangat indah, padahal sangat utopis. Pengusung ide ini menyuruh orang lain untuk toleran, saling menghormati, menghargai pendapat orang lain, sementara mereaka tidak sadar bahwa mereka memaksakan pendapatnya sendiri kepada orang lain. Kalau mau jujur mereka menegakkan toleransi, kenapa mereka bersikeras untuk memaksakan pendapatnya, sedangkan tidak semua orang setuju dengan pendapatnya terkait toleransi berbasis pluralisme agama? Bahkan mereka tidak segan-segan menjuluki orang yang tidak setuju dengan istilah fundamentalis, radikal, puritan, ekslusif, intoleran, kasar, konserfatif dan stigma negatif lainnya. Sangat ironis. Menyuruh orang toleransi, sedangkan diri sendiri tak mau toleransi dan memaksakan pendapat. Demikianlah toleransi berbasis pluralisme agama, kelihatannya begitu menarik dan menjajikan kerukunan, padahal sejatinya sangat naif bahkan merusak kerukunan dan perdamaian.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan