Home » » Patah Hati Karena Tahajud

Patah Hati Karena Tahajud

Written By Amoe Hirata on Minggu, 08 Juni 2014 | 15.42


             Apa yang akan anda lakukan jika kehilangan sesuatu yang sangat berharga? Apa yang akan anda rasakan jika kehilangan sesuatu yang sangat  disayang? Pastinya, jika sesuatu yang hilang itu bisa ditebus, maka akan ditebus dengan cara apapun. Jika tak bisa ditebus, hanya penyesalan dan kesedihan lah yang akan memilukan jiwa. Hati kalut, muka cemberut; jiwa merana, muka bermuram durja. Tapi pada umumnya, orang hanya merasa kehilangan jika kehilangan materi. Kehilangan pekerjaan, kehilangan jabatan, kehilangan kekayaan, kehilangan pasangan dan kehilangan lainnya yang bersifat materil. Namun, lain halnya dengan orang beriman; orang beriman mempunyai pandangan berbeda dengan orang pada umumnya, kehilangan yang ia rasakan ialah jika kehilangan sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah subhânahu wata`âla yaitu: ibadah. Ada banyak kisah menarik untuk dijadikan pelajaran dari kisah ulama terdahulu berkaitan dengan masalah tersebut. Maka tidak berlebihan jika ada ungkapan yang menggambarkan kegigihan mereka dalam beribadah. Ada ungkapan: ruhbânul lail wa fursânun nahâr(menjadi seperti rahib -yang ahli ibadah- di malam hari, dan menjadi ksatria di siang hari). Karena itu sangat wajar jika salah seorang dari mereka sangat 'kehilangan ibadah' yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah subhânahu wata`âla jika tidak bisa menunaikannya.
            Salah satu cerita ‘kehilangan ibadah’ yang membuat sedih ulama ialah ketika kehilangan kesempatan shalat tahajud lantaran tertidur. Seorang ulama salafus shâlih (ulama salaf), `Athâ` al-Khurasâni berkata: Diriwayatkan, ‘Shalat malam itu dapat menghidupkan badan, menjadi cahaya bagi hati, menjadi lentera bagi mata, menjadi kekuatan bagi anggota badan. Sesungguhnya orang bangun malam menunaikan shalat Tahajud maka ia mendapat kegembiraan dalam hatinya lantaran bisa menunaikannya. Sedangkan ketika matanya mengantuk hingga tertidur dan tak bisa menunaikan Tahajud, maka ketika (bangun) shubuh ia merasa sedih, merasa patah hati(merasa kalut) seakan-akan ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya’(disadur dari kitab: Mukhtashar Qiyâmul Lail, karya: Muhammad bin Nashar Al-Mawarzi, Juz: 1, Hal: 54). Perhatikan riwayat yang bergaris bawah tadi! Yang menjadi ukuran ulama salaf dalam hal `merasa kehilangan` sesuatu yang berharga, diantaranya ialah ketika tidak bisa menunaikan shalat Tahajud, karena tertidur. Mereka sangat bersedih dan merasa patah hati. Dalam perkara kehilangan ibadah sunnah saja, seperti Tahajjud mereka sangat merasa kehilangan, apalagi dalam perkara ibadah wajib? Anda bisa bayangkan. Sungguh semangat mereka dalam beribadah patut dijadikan contoh.
            Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitabnya yang berjudul: Al-Tahajjudu Wa Qiyâmu Al-Laili, meriwayatkan perkataan salah satu ulama salaf yang bernama: Syuraih bin Hani. Syuraih berkata, ‘Orang (salaf) lebih mudah kehilangan (kesempatan tidur) (untuk menunaikan shalat malam)'. Ketika Abu As-Sya`tsâ akan meninggal, beliau menangis; lalu ada yang bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” lalu ia menjawab: "aku (merasa) belum puas menunaikan shalat malam"(Mausu`atul buhuts wal maqâlât ilmiyah , hal: 3). Dalam hadits dijelaskan, ketika Rasulullah luput tidak menunaikan Tahajud maka belia menggantikannya dengan shalat Dhuha 12 rakaat, sebagaimana hadits berikut: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam punya kebiasaan ketika tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau yang lainnya, beliau shalat di siang harinya sebanyak 12 rakaat.” (HR. Muslim 746). Ini artinya, Rasul pun merasa kehilangan jika tak bisa menunaikannya, sehingga menggantinya dengan shalat Dhuha 12 rakaat.
               Kita mungkin akan bertanya-tanya, apa kiranya yang bisa menjawab perasaan kehilangan mereka yang begitu besar ketika tertinggal Tahajud lantaran tertidur. Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskannya secara abstrak ialah: mereka telah merasakan, ‘halâwatul imân(manisnya iman).Tentu saja, bagi yang mau merasakan halâwatul imâan, harus membiasakan diri beribadah kepada Allah, untuk memperoleh ridhanya. Satu-satunya jawaban konkrit ialah dengan membuat keputusan cepat, untuk segera membiasakan diri menunaikan shalat Tahajud. Setelah saya merenung, mencoba, dan membiasakannya, hari ini (ketika semalam saya tidak bisa menunaikan Tahajud karena tertidur sampai shubuh) saya benar-benar merasakan kehilangan. Seakan patah hati? Mungkin terkesan berlebihan. Tapi sekarang, anda kalau tidak percaya, silahkan mencoba! tentunya, dengan keikhlasan hati. Selamat mencoba.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan