Home » » 'My Name Is Husain & I`m Not Syi`ah' (Bag: I)

'My Name Is Husain & I`m Not Syi`ah' (Bag: I)

Written By Amoe Hirata on Rabu, 04 Juni 2014 | 00.15

             Namaku Husain. Biasanya orang-orang menganggilku, ‘Kusen’. Meskipun aku bernama Husain, jangan dikira aku turunan Imam Ali radhiyallahu `anhu, atau barangkali kamu menuduh aku syi`ah. Makanan apa tuh Syiah? Seumur-umur aku tidak mengerti mengenai pembagian-pembagian Islam yang absurd itu. Menurutku Islam ya Islam. Siapa saja yang mengaku Islam, ya ciri utamanya disamping secara formal bersyahadat, serta menegakkan rukun Islam yang lima, di sisi lain Ia juga harus bisa menjamin orang lain selamat, dari kejahatan lidah dan tangannya. 
                Lha yang membuat aku semakin bingung, kalau ada orang yang sampai mengkafir-kafirkan orang lain yang tak sepaham dengannya. Orang Islam yang kafir `kan dianggap murtad, lha yang murtad itu `kan halal darahnya, bisa bahaya tuh akibatnya jika salah tuduh. Makanya untuk masalah ini lebih baik aku diam saja. Semuanya tak serahkan pada Yang Kuasa. Lebih baik aku menceritakan kisah hidupku pada kalian. Barangkali nanti ada yang bisa kalian petik hikmahnya.
            Sejak kecil aku sudah ditinggal mati kedua orang tua. Sepeninggal orang tuaku, aku tinggal dengan paman dan bibiku. Karena aku ini bandel, paman dan bibiku akhirnya tak kuat mengurusku, hingga akhirnya aku dimasukkan ke panti asuhan anak yatim. Di panti asuhan, aku juga tidak bisa bertahan lama, karena aku sering melanggar peraturan panti. Aku suka menjahili teman, menerobos aturan-aturan, mengejek guru, dan lain sebagainya. Namun satu yang sejak kecil aku jaga, yaitu aku tidak pernah mencuri. Mencuri adalah pantangan bagiku. 
            Meskipun aku tergolong nakal, tapi aku berprinsip tak akan mencuri barang orang lain. Suatu saat dalam panti asuhan ada kasus pencurian, waktu itu anak-anak kebanyakan sedang keluar dari panti karena ada kegiatan sekolah. Yang ada di panti hanya 4 anak yaitu, Husain, Norman, Slamet dan Syamil. Jelas saja kami dintrogasi oleh pengurus panti, karena uang yang hilang tidaklah sedikit. Kesimpulan akhir mereka memutuskan jika aku adalah pencurinya. Pertimbangannya sangat sederhana, karena diantara ketiga anak itu hanya aku yang terlihat nakal. Ya namanya aku, jelas saja tak terima, dan langsung memberontak. Bolehlah aku dikata-katain sebagai anak nakal. Tapi kalau aku dituduh melakukan sesuatu yang sangat aku benci, aku tidak segan-segan membela harga diriku, apapun risikonya.
            Aku marah bukan main, aku maki-maki para pengurus dengan sejadi-jadinya. Tentu saja sudah bisa ditebak apa yang akan kuperoleh dari mereka. Ya, tamparan bertubi-tubi disemayamkan pada wajahku. Aku meradang, menerjang(kayak puisinya Chairil Anwar saja, hehehe). Fisikku memang kecil, tapi jangan dikira nyaliku kecil. Aku mengamuk dan merusak benda di sekitarnya yang bisa aku rusak, kemudian aku lari dan kabur selamanya dari panti asuhan terkutuk itu. Akhirnya aku hidup menggelandang dijalanan. 
                Tak kusangka di sana aku menemukan semacam dunia baru, yang aku anggap sebagai dunia yang ‘apa adanya’, jujur, dan tak dipenuhi ‘kamuflase relijius’. Di situ aku mulai belajar pada realita. Aku diajarkan betapa susah orang mempertahankan hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan dan kesusahan. Kami dianggap sampah oleh kebanyakan orang, bahkan tak jarang dituduh maling lantaran gaya dandanan yang compang-camping. Pada fase ini aku begitu menikmati hidup. Aku kerja serabutan. Ngamen, nyemir sepatu, jual koran, ‘ojek payung’, markir mobil dan lain sebagainya yang penting bukan mencuri. Hidup menggelandang memberikan pengalaman berharga bagiku, dan membuatku semakin kuat bertahan di tengah kemelaratan.
            Ketika aku sedang asyik markir mobil, dari kejauhan aku melihat ada seorang yang sedang kesulitan memperbaiki mobilnya. Aku dekati saja, siapa tahu orang itu butuh bantuan. Ternyata iya, Ia sedang butuh bantuan. Ketika pertama kali aku menatap wajahnya, hatiku cukup kaget karena orang yang mendapat kesulitan itu ialah Ustadz Ridho yang dahulu sewaktu di panti aku marah-marahin sejadinya karena dia telah menuduhku mencuri tanpa barang bukti, hanya karena aku terkenal nakal. Waktu itu hatiku berkecamuk, antara menolong dan tidak. Kita sudah berpisah sekitar 13 tahunan. Ia memang sudah lupa wajahku, tetapi aku mengingat betul wajahnya. 
             Akhirnya hati kecilku menghardikku sekuatnya: “Hai Kusen, kalau kamu masih menympan dendam dan tak mau membantu dia, lalu apa bedanya kamu dengan dia? Jangan kau hancurkan dirimu dengan dendam kusumat, yang malah membuatmu kumat”. Akhirnya aku putuskan untuk membantu dia. Setelah selesai, sambil senyum Ia mau memberiku uang. Seketika itu aku heran: kenapa dia tidak bersuara sama sekali. Ia hanya senyum, dan mengeluarkan suara layaknya orang bisu. Ketika aku masih bengong akhirnya dia mengeluarkan pulpen dan kertas kecil sambil menulis sesuatu, kemudian ia angkat mengarah pada arahku(sebagai tanda untuk aku baca): “ Mas, terima kasih atas bantuannya, ini uang seadanya sebagai ucapan terima kasih saya, maaf kalau saya tak bisa mengucapkan terima kasih dengan lisan, karena saya bisu”. Bagai disambar petir, ketika aku membaca tulisan itu. Orang yang dulu dengan lantang menuduhku, kini telah menjadi bisu. Hatiku berada diantara bayang-bayang senang sekaligus kasihan. Di sini aku baru merasakan, bahwa keadilan Tuhan memang benar-benar nyata adanya.
            Aku balas tawarannya dengan senyuman, sembari  berkata: “ maaf pak tak usah memberi saya uang, saya ikhlas membantu bapak”. Akhirnya dia menulis sesuatu: “ Terimakasih banyak mas, ini kartu nama saya, barangkali sampean mau shilaturahim dengan saya”. Tanpa ba bi bu, aku terima saja kartu namanya, di situ tertera nama Ahmad Shodiqin, Pengasuh Pondok Muhyiddin. Aku heran bukan main. Sewaktu aku tinggal dulu, lembaga Muhyiddin masih hanya sebagai Panti Asuhan, lha sekarang perkembangannya sedemikian pesat. Yang menjadikan aku semakin heran, ialah kenapa pimpinan pondok Muhyiddin adalah Ustadz. Ahmad Shadiqin? Katanya dia bisu? Lalu bgaimana orang bisu bisa memimpin pondok pesantren yang besar itu. 
              Jiwaku dibanjiri banyak rasa penasaran. Akhirnya dia pamit, sambil memberi isyarat tangan kanan sebagai tanda salam perpisahan. Aku balas saja dengan melambaikan tangan kananku sembari senyum. Aku tepekur heran. Tak kusangka orang yang dulu pernah kubenci menjadi bisu. Lama aku tak bergeming memikirkan perihal Ustadz Ahmad Shadiqin, sampai akhirnya pikiranku buyar ketika ada klakson mobil dibunyikan dengan keras sebagai tanda ada mobil yang mau diparkir. Dengan sigap aku memarkir mobil yang barusan datang, sembari memendam penasaran dan kerinduan untuk mengetahui lebih banyak tentang Ustadz Ahmad Shadiqin beserta Pondok Pesantren Muhyiddin. Aku berkata dalam hati: “Kalau ada waktu kosong. Akan aku sempatkan untuk shilaturrahim ke pondok Muhyiddin, mantan Panti Asuhanku dulu”.[Bersambung].


Jum`at, 21 Pebruari 2014, 21: 32.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan