Di
saat Mekah menjadi pusat kegiatan –atau kalau istilah sekarang menjadi kota
metropolitan- bagi orang Arab di masa jahiliyah, sebenarnya Nabi Muhammad shallallâhu
`alaihi wasallam sangat berpeluang untuk berkarir, baik dalam bidang bisnis,
politik, sosial, atau bidang-bidang lain yang notabene menjadi kegiatan penting
penduduk kota Mekah kala itu. Pengalaman beliau sebagai penduduk Mekah sangat
banyak sekali, diantaranya: pengalaman politik, pengalaman bekerja sebagai penggembala,
pengalaman berbisnis, pengalaman militer (ketika berpartisipasi bersama
paman-pamannya dalam perang Fijar), pengalaman diplomasi dalam perjanjian hilfu
fudhul (perjanjian damai antara beberpa suku Qurays yang sedang bertikai di
masa jahiliyah) dan lain sebagainya. Disamping sangat berpengalaman, beliau
juga diuntungkan dengan faktor kebangsawanan keluarganya. Keluarga Nabi berasal
dari keluarga terpandang. Suku terbaik ketika itu ialah suku Qurays, dan Nabi
berasal dari suku itu. Anehnya, segenap peluang yang dimiliki tidak membuatnya
tertarik bahkan sama sekali tak mau berambisi untuk menempuh karir gemilang, ia
malah lebih suka menyendiri, berpikir, membuat jarak dari masyarakat, untuk
mencari kesejatian hidup. Ia merasa ada sesuatu yang hilang di tengah
riuh-rendahnya kegiatan kota di masa itu. Masyarakat terkukung dalam kubangan
nafsu, sedang nilai-nilai akhlak dari agama semakin dianggap tabu.
Pertanyaan
yang mendasar dan menarik untuk diajukan ialah: bagaimana Rasulullah bisa
menjaga nilai-nilai akhlak di pusat kota besar seperti itu, padahal waktu itu
beliau belum menjadi Nabi dan Rasul, sedangkan orang yang berakhlak –dalam arti
secara keseluruhan- seperti Rasul kala itu sangatlah sedikit, misalnya Abu
Bakar. Ditambah lagi faktor lingkungan Mekah yang kurang mendukung dari
berbagai sisinya yang cendrung berorientasi keduniaan. Kita ambil misalkan dari
sekian banyak akhlak beliau sebelum menjadi Rasulullah ialah keikhlasan yang
tak tertandingi. Mengapa keikhlasan? Karena keikhlasan adalah energi yang mampu
membuat orang tetap survive (mampu bertahan) di tengah situasi sesulit
apapun. Bagaimana beliau bisa menjaga agar kualitas keikhlasan tetap terjaga di
tengah kota Mekah yang waktu itu –kalau kita ibaratkan seperti zaman sekarang-
sebagai kota metropolitan? Kalu kita mau jeli menelaah kembali kehidupan
Rasulullah sebelum menjadi Nabi, maka ada suatu peristiwa sejarah yang dapat
menjelaskan bagaimana Nabi mampu menjaga keikhlasan di zaman kejahilaan; mengapa
Nabi mampu memelihara keikhlasan di ‘kota metropolitan’, Mekah yang
orientasinya pada materi begitu tinggi?. Kisah yang akan diketengahkan pada
pembaca pada kesempatan kali ini, paling tidak akan menginspirasi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tadi.
Ketika
Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam khawatir Allah subhânahu wat`âla
akan mencueki dan menghinakannya pasca menerima wahyu pertama di gua Hira,
Khadijah sebagai istri shalihah mampu menyejukkan hatinya dengan kata-kata yang
mendamaikan hati. Khadijah menenangkannya dengan peristiwa sejarah: ‘Janganlah
begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tak akan menghinakanmu,
selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali
persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka mengusahakan
sesuatu yang tak ada, menjamu tamu dan sentiasa
membela faktor-faktor kebenaran’(Hr. Bukhari dan Muslim) . Kata-kata dari
Khadijah baru saja, minimal membuka pikiran kita bagaimana beliau mampu tetap
menjaga keikhlasan di tengah ‘kota metropolitan’, Mekah. Faktor-faktor itu
ialah sebagai berikut: Pertama: Menyambung silaturahim; Kedua: Berbicara jujur;
Ketiga; Memikul beban orang lain; Keempat: Suka mengusahakan sesuatu yang tak
ada(maksudnya memberi bantuan terbaik untuk orang); Kelima: Menjamu tamu; dan yang terakhir ialah:
Senantiasa membela faktor-faktor kebenaran. Sederhananya, keenam point tadi
kata kuncinya terletak pada: jiwa sosial yang tinggi, bicara benar serta
membela kebenaran.
Jiwa
sosial yang tinggi menuntut keikhlasan yang luar biasa. Untuk mampu
melakukannya, manusia harus mampu melampau ego pribadinya. Berbicara jujur,
benar dan membela kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang luar biasa. Yang
bisa melakukannya hanya orang yang memiliki stok keikhlasan yang besar. Bagi
siapa saja yang mau mengamati, merenungkan, menelaah secara mendalam kisah
Rasulullah sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka berjiwa sosial, berkata benar,
dan membela kebenaran adalah salah satu faktor di antara sekian banyak faktor
yang membuat beliau mampu menjaga keikhlasan di tengah ‘kota metropolitan’,
Mekah. Keikhlasan terbina dengan baik jika kita peduli sosial. Dengan memedulikan
kepentingan sosial, maka keikhlasan akan terjaga. Dengan konsisten berkata
jujur, benar dan membela kebanaran, keikhlasan senantiasa terpelihara.
Keikhlasan akan senantiasa terjaga, bila manusia mampu melampau kepentingan
pribadi menuju kepentingan orang banyak. Keikhlasan akan selalu terpelihara,
jika kujujuran menjadi komitmen pribadi dalam berinteraksi dengan manusia, dan
membela kebenaran. Keikhlasan bukanlah kata-kata indah yang mampu diucapkan
tapi tak mampu dilakukan. Karena itu, menanamkan kesadaran sosial yang tinggi
sembari tetap menjaga kejujuran, kebenaran dan membela kebenaran, akan menjaga
keikhlasan kita dan akan menjadi energi positif baik untuk pribadi maupun
sosial.
Sumengko, Sabtu 07 Juni 2014.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !