Home » » Menjaga Keikhlasan di Tengah Kota Metropolitan

Menjaga Keikhlasan di Tengah Kota Metropolitan

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 07 Juni 2014 | 05.29


            Di saat Mekah menjadi pusat kegiatan –atau kalau istilah sekarang menjadi kota metropolitan- bagi orang Arab di masa jahiliyah, sebenarnya Nabi Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam sangat berpeluang untuk berkarir, baik dalam bidang bisnis, politik, sosial, atau bidang-bidang lain yang notabene menjadi kegiatan penting penduduk kota Mekah kala itu. Pengalaman beliau sebagai penduduk Mekah sangat banyak sekali, diantaranya: pengalaman politik, pengalaman bekerja sebagai penggembala, pengalaman berbisnis, pengalaman militer (ketika berpartisipasi bersama paman-pamannya dalam perang Fijar), pengalaman diplomasi dalam perjanjian hilfu fudhul (perjanjian damai antara beberpa suku Qurays yang sedang bertikai di masa jahiliyah) dan lain sebagainya. Disamping sangat berpengalaman, beliau juga diuntungkan dengan faktor kebangsawanan keluarganya. Keluarga Nabi berasal dari keluarga terpandang. Suku terbaik ketika itu ialah suku Qurays, dan Nabi berasal dari suku itu. Anehnya, segenap peluang yang dimiliki tidak membuatnya tertarik bahkan sama sekali tak mau berambisi untuk menempuh karir gemilang, ia malah lebih suka menyendiri, berpikir, membuat jarak dari masyarakat, untuk mencari kesejatian hidup. Ia merasa ada sesuatu yang hilang di tengah riuh-rendahnya kegiatan kota di masa itu. Masyarakat terkukung dalam kubangan nafsu, sedang nilai-nilai akhlak dari agama semakin dianggap tabu.
            Pertanyaan yang mendasar dan menarik untuk diajukan ialah: bagaimana Rasulullah bisa menjaga nilai-nilai akhlak di pusat kota besar seperti itu, padahal waktu itu beliau belum menjadi Nabi dan Rasul, sedangkan orang yang berakhlak –dalam arti secara keseluruhan- seperti Rasul kala itu sangatlah sedikit, misalnya Abu Bakar. Ditambah lagi faktor lingkungan Mekah yang kurang mendukung dari berbagai sisinya yang cendrung berorientasi keduniaan. Kita ambil misalkan dari sekian banyak akhlak beliau sebelum menjadi Rasulullah ialah keikhlasan yang tak tertandingi. Mengapa keikhlasan? Karena keikhlasan adalah energi yang mampu membuat orang tetap survive (mampu bertahan) di tengah situasi sesulit apapun. Bagaimana beliau bisa menjaga agar kualitas keikhlasan tetap terjaga di tengah kota Mekah yang waktu itu –kalau kita ibaratkan seperti zaman sekarang- sebagai kota metropolitan? Kalu kita mau jeli menelaah kembali kehidupan Rasulullah sebelum menjadi Nabi, maka ada suatu peristiwa sejarah yang dapat menjelaskan bagaimana Nabi mampu menjaga keikhlasan di zaman kejahilaan; mengapa Nabi mampu memelihara keikhlasan di ‘kota metropolitan’, Mekah yang orientasinya pada materi begitu tinggi?. Kisah yang akan diketengahkan pada pembaca pada kesempatan kali ini, paling tidak akan menginspirasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
            Ketika Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam khawatir Allah subhânahu wat`âla akan mencueki dan menghinakannya pasca menerima wahyu pertama di gua Hira, Khadijah sebagai istri shalihah mampu menyejukkan hatinya dengan kata-kata yang mendamaikan hati. Khadijah menenangkannya dengan peristiwa sejarah: ‘Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka mengusahakan sesuatu yang tak ada, menjamu tamu dan  sentiasa membela faktor-faktor kebenaran’(Hr. Bukhari dan Muslim) . Kata-kata dari Khadijah baru saja, minimal membuka pikiran kita bagaimana beliau mampu tetap menjaga keikhlasan di tengah ‘kota metropolitan’, Mekah. Faktor-faktor itu ialah sebagai berikut: Pertama: Menyambung silaturahim; Kedua: Berbicara jujur; Ketiga; Memikul beban orang lain; Keempat: Suka mengusahakan sesuatu yang tak ada(maksudnya memberi bantuan terbaik untuk orang);  Kelima: Menjamu tamu; dan yang terakhir ialah: Senantiasa membela faktor-faktor kebenaran. Sederhananya, keenam point tadi kata kuncinya terletak pada: jiwa sosial yang tinggi, bicara benar serta membela kebenaran.
            Jiwa sosial yang tinggi menuntut keikhlasan yang luar biasa. Untuk mampu melakukannya, manusia harus mampu melampau ego pribadinya. Berbicara jujur, benar dan membela kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang luar biasa. Yang bisa melakukannya hanya orang yang memiliki stok keikhlasan yang besar. Bagi siapa saja yang mau mengamati, merenungkan, menelaah secara mendalam kisah Rasulullah sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka berjiwa sosial, berkata benar, dan membela kebenaran adalah salah satu faktor di antara sekian banyak faktor yang membuat beliau mampu menjaga keikhlasan di tengah ‘kota metropolitan’, Mekah. Keikhlasan terbina dengan baik jika kita peduli sosial. Dengan memedulikan kepentingan sosial, maka keikhlasan akan terjaga. Dengan konsisten berkata jujur, benar dan membela kebanaran, keikhlasan senantiasa terpelihara. Keikhlasan akan senantiasa terjaga, bila manusia mampu melampau kepentingan pribadi menuju kepentingan orang banyak. Keikhlasan akan selalu terpelihara, jika kujujuran menjadi komitmen pribadi dalam berinteraksi dengan manusia, dan membela kebenaran. Keikhlasan bukanlah kata-kata indah yang mampu diucapkan tapi tak mampu dilakukan. Karena itu, menanamkan kesadaran sosial yang tinggi sembari tetap menjaga kejujuran, kebenaran dan membela kebenaran, akan menjaga keikhlasan kita dan akan menjadi energi positif baik untuk pribadi maupun sosial.

Sumengko, Sabtu 07 Juni 2014.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan