Sholeh,
Fajar, Salman, dan Ja`far pagi ini sedang asyik berdialog dengan Sarikhuluk
perihal Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. Sebagai orang yang dituakan,
Sarikhuluk berusaha memandu diskusi dengan baik, serta berusaha membantu
beberapa informasi, ilmu, pengalaman yang ia ketahui. Baginya, menemani diskusi kaum muda merupakan
kebahagian tersendiri. Pemuda merupan potensi besar yang perlu dibina,
diarahkan, dan dikawal hingga mampu berkontribusi besar terhadap lingkungan
keluarga, masyarakat hingga bangsanya. Apalagi yang menjadi catatan menarik
Sarikhuluk, saat ini Indonesia diuntungkan dengan faktor demografis
(melambungnya jumlah penduduk) yang rata-rata usia yang mendominasi penduduk
ialah antara delapan belas tahun sampai empat puluh tahun, ini bisa dikatakan
sebagai usia produktif. Ia bersyukur melihat potensi besar ini, sehingga ia tak
pernah bosan untuk menemani, membina, mengasuh, setiap pemuda yang ingin
berdiskusi dengan fasilitas ala kadarnya, yaitu diantaranya pendopo Al-Ikhlas
yang terletak di samping rumahnya. Di pendopo Al-Ikhlas ini lah, meskipun
sederhana, Sarikhuluk banyak berdiskusi dengan manusia dari segenap lapisannya.
Petani, pedagang, penganguran, pejabat, guru dan lain sebagainya seringkali
berdiskusi dengan Sarikhuluk di pendopo Al-Ikhlas ini. Uniknya, Sarikhuluk
tetaplah Sarikhuluk. Ia bukan siapa-siapa dan tak bergelar apa-apa namun bisa
bermanfaat dengan seluas-luasnya. Karena itulah, Sholeh, Fajar, Salman dan
Ja`far merasa sangat beruntung bisa berdialog dengan Sarikhuluk.
“Cak, sebentar lagi kan Ramadhan
akan tiba. Kira-kira menurut sampean apa tema diskusi yang pas untuk membahas
Ramadhan?” tanya Fajar memulai. “Usahakan di setiap diskusi jangan merasa
tergantung dengan saya, karena saya tidak mau kalian tergantung. Ketergantungan
pada yang selain Allah adalah kelemahan. Baru setelah kalian mencoba dan
tetap tak bisa, maka baru tugas saya untuk mencairkannya kembali” jawab
Sarikhuluk dengan senyum khasnya. “Baik, gimana kalau tema kita sekarang ialah:
‘menyambut kedatangan Ramadhan dengan persiapan matang?. Mengapa Ramadhan perlu
disambut? Ramadhan disambut karena diibaratkan sebagai tamu agung yang harus
dimuliakan. Layaknya tamu agung, maka penyambutannya harus dipersiapkan
sedimikian rupa agar tidak kecewa dan mengecewakan. Tuan rumah yang baik adalah
tuan rumah yang menyambut tamunya dengan baik, dan sebaik-baik tamu yang perlu
disambut ialah Ramadhan. Para ulama salaf, enam bulan sebelum Ramadhan sudah
menyiapkannya dengan baik. Adapun yang perlu dipersiapkan untuk menyambutnya,
menurut saya paling tidak ada empat hal: fisik, ilmu, iman, dan amal. Fisik
prima akan membuat ibadah di bulan Ramadhan menjadi lancar; ilmu yang matang
akan membuat terarah; iman yang kuat akan membuat hati mantap; sedangkan amal
yang berkesinambungan membuat jiwa dan raga terbiasa sehingga bisa menyambutnya
dengan seoptimal mungkin” pendapat Salman dengan mantap.
“Saya
pikir, tema yang pas untuk diskusi kali ini ialah: ‘menanamkan kesadaran
Ramadhan di setiap kondisi’. Maksudnya, Ramadhan harus menjadi kesadaran serius
bagi kita semua dimanapun dan kapanpun saja. Kata kunci dari Ramadhan
sebenarnya semangat, amal, dan pengendalian diri. Semangat menggambarkan
stimulus yang perlu dimiliki oleh siapa saja yang menjalankan ibadah di bulan
Ramadhan; amal sebagai gambaran produktifitas; sedangkan pengendalian diri
adalah representasi dari ibadah puasa. Intinya, dengan makna seperti itu,
mestinya Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi setiap muslim. Ramadhan
tidak hanya dimaknai secara kuantitatif(berdasarkan waktu dan jumlah ibadah
yang dilakukan), yang merupakan bulan terletak pada waktu tertentu yang datang
dan pergi, tapi dimaknai secara kualitatif(berdasarkan kualitas dan semangat
inti yang dimaksudkan di dalamnya). Jadi, kita harus menjadikan Ramadhan
sebagai ‘kesadaran kualitatif’ yang membuat kita semangat di sepanjang waktu;
membuat kita beramal secara kontinyu di sepanjang mampu; dan selalu
mengendalikan diri dari apa dan siapapun. Pada akhirnya, kesadaran Ramadhan,
akan membuat orang muslim sadar pada kapan dan dimanapun, jadi tak harus
menunggu Ramadhan untuk semangat, beramal dan mengendalikan diri, karena
kesadaran itu sudah jauh-jauh hari tertanam dalam hatinya” pendapat Ja`far
meyakinkan
“Menurut
hemat saya, mbok Ramadhan itu dianggap dan diperlakukan sebagai diri
kita sendiri. Artinya: kita memperlakukannya sebagaimana kita memperlakukan
diri sendiri. Kita kan sangat perhatian pada diri sendiri. Kita pasti menyukai
yang terbaik untuk diri kita sendiri. Bisaanya juga, kalau kita menginginkan
sesuatu untuk diri sendiri, kita akan berusaha sekeras mungkin untuk
mendapatkannya. Begitu juga Ramadhan, kita rawat nilai-nilai, subtansi ajaran
yang terkandung di dalamnya, dan semangat inti yang melingkupinya agar kita
tetap dekat dan selalu online dengan Allah subhȃnahu wata`ȃla di
manapun dan kapanpun kita berada. Jadi menurutku, judul yang tepat untuk kita
bahas pada kesempetan kali ini ialah: ‘Ramadhan adalah diri kita sendiri’,”
pendapat Sholeh singkat. “Oke, sekarang giliranku yang terakhir sebelum kita
serahkan ke Cak Sarikhuluk. Aku pikir, judul yang pas ialah, ‘Ramadhan sebagai
kekasih’. Mengapa Ramadhan dianalogikan sebagai ‘kekasih’? Sederhananya, bila
seseorang memiliki kekasih, maka ia akan selalu mengingatnya, akan selalu
merindukanya, ia tidak akan merasa penat dan payah demi kekasihnya. Coba
bayangkan! Jika kalian mempunyai kekasih, yang sangat kalian cintai, kalian
pasti akan mengingat, menjaga, melindungi, dan tidak mau sedetikpun ditinggal
olehnya lantaran cinta. Kalau kita bisa memosisikan Ramadhan sebagai kekasih,
maka kita akan selalu menjaganya, menyayanginya, memeliharanya, dan tak mau
sedikitpun ditinggal olehnya. Artinya nilai-nilai dalam Ramadhan bisa kita
praktikkan bukan hanya dalam bulan Ramadhan, tetapi juga pada bulan yang lain”
pendapat Fajar.
“Baik.
Aku sudah mendengar pendapat masing-masing dari kalian. Semuanya bagus dan
patut diapresiasi. Hanya saja, sebagai penutup aku akan mengelaborasi dan
mengritisi sedikit pendapat-pendapat yang kalian kemukakan. Pertama: Kalau
Ramadhan diibaratkan sebagai tamu, itu bagus dan memang kita wajib memuliakan
dan menghormati tamu. Sehingga kita mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk
menyambutnya. Tapi yang luput dari pendapat ini ialah: ada jarak yang menganga
antara Ramadhan dan diri manusia. Karena diibaratkan sebagai tamu, maka kita
akan menyambutnya jika ia datang, kalau tidak kita akan melupakannya. Padahal
nilai-nilai yang terkandung dalam Ramadhan `kan tak dimaksudkan untuk momen Ramadhan saja, tapi agar manusia tetap
terlatih di bulan-bulan setelahnya hingga datang lagi Ramadhan. Kedua: Sangat
bagus juga pendapat kedua. Menjadikan Ramadhan sebagai kesadaran. Kesadaran
yang tak terdingding oleh tempat dan waktu. Namun yang belum dijelaskan ialah
bagaimana agar kita senantiasa sadar. Ketiga: Ramadahan sebagai diri kita
sendiri. Ini sangat baik dan ideal, karena jarak antara manusia dan Ramadhan
sudah teranggap tiada, sehingga, Ramadhan menjadi kesadaran dirinya secara
utuh. Ia tidak lagi perlu menyambut Ramadhan, karena Ramadhan sudah menjadi
dirinya sendiri yang selalu dirawat dan dijaga dimanapun dan kapanpun. Namun
yang ketiga ini juga perlu dijelaskan cara pencapaiannya. Yang Keempat:
Ramadhan sebagai kekasih. Ini juga sangat bagus dan menarik. Ada nilai
romantisme antara Ramadhan dan manusia sehingga menciptakan kondisi penuh cinta
di antara keduanya. Energi cinta ini, pada gilarannya akan melahirkan sikap dan
usaha untuk senantiasa menjaga dan memelihara nilai-nilai Ramadahan dimanapun
dan kapanpun ada” ungkap Sarikhuluk yang kemudian berhenti sejenak sambil minum
kopi.
“Kalau
kita urut, maka yang paling rendah ialah ketika Ramadhan diperlakukan sebagai
tamu. Kemudian di atasnya, Ramadhan sebagai kekasasih. Kemudian Ramadhan
sebagai kesadaran diri; dan yang paling atas ialah Ramadhan sebagai diri kita
sendiri. Kesemuanya menyatu dalam satu simpul yaitu: bagaimana nilai-nilai
Ramadhan tetap terjaga baik di luar maupun di dalam Ramadhan. Apa yang kalian
kemukakan berkaitan dengan Ramadhan, sudah sangat bagus dan perlu diacungi
jempol, tinggal kemudian kita cari bagaimana caranya kita bisa tetap
meningkatkannya ke level yang setinggi-tinginya. Hal ini dilakukan supaya kita
tidak mengapitalisasikan Ramadhan seperti kebanyakan orang. Ramadhan memang
merupakan momen berharga, dan sarat nilai-nilai kebaikan. Ibadah di dalamnya
pun akan dilipatgandakan sedemikian rupa. Tapi merupakan pandangan yang salah
kaprah jika, Ramadhan hanya dijadikan kesempatan ‘aji mumpung’ untuk
meraup pahala sebanyak-banyaknya, untuk taubat sesungguh-sungguhnya, dan untuk berbuat
baik sebanyak-banyaknya, tapi ketika keluar dari Ramadhan, akan kembali seperti
sedia kala. Hali itu lah yang kita khawatirkan. Makanya, tujuan diskusi kita
kali ini ialah mewujudkan kesadaran prima untuk mendajikan nilai-nilai Ramadhan
tetap membekas dan kita pertahankan sepanjang kita hidup di dunia. Bila kita
bisa mewujudkannya, maka kita bukan saja lulus sebagai manusia yang mampu tetap
semangat, berbuat baik, dan mengontrol diri, tapi kita juga lulus sebagai
orang-orang yang bertakwa” pungkas Sarikhuluk sambil mengakhiri
diskusinya. Diskusi kali ini memang
sangat singkat karena Sarikhuluk mau menggarap sawahnya.
Camplong,
Selasa 10 Juni 2014/12:38
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !