Home » » Revitalisasi Ramadhan

Revitalisasi Ramadhan

Written By Amoe Hirata on Selasa, 10 Juni 2014 | 12.45


            Sholeh, Fajar, Salman, dan Ja`far pagi ini sedang asyik berdialog dengan Sarikhuluk perihal Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. Sebagai orang yang dituakan, Sarikhuluk berusaha memandu diskusi dengan baik, serta berusaha membantu beberapa informasi, ilmu, pengalaman yang ia ketahui.  Baginya, menemani diskusi kaum muda merupakan kebahagian tersendiri. Pemuda merupan potensi besar yang perlu dibina, diarahkan, dan dikawal hingga mampu berkontribusi besar terhadap lingkungan keluarga, masyarakat hingga bangsanya. Apalagi yang menjadi catatan menarik Sarikhuluk, saat ini Indonesia diuntungkan dengan faktor demografis (melambungnya jumlah penduduk) yang rata-rata usia yang mendominasi penduduk ialah antara delapan belas tahun sampai empat puluh tahun, ini bisa dikatakan sebagai usia produktif. Ia bersyukur melihat potensi besar ini, sehingga ia tak pernah bosan untuk menemani, membina, mengasuh, setiap pemuda yang ingin berdiskusi dengan fasilitas ala kadarnya, yaitu diantaranya pendopo Al-Ikhlas yang terletak di samping rumahnya. Di pendopo Al-Ikhlas ini lah, meskipun sederhana, Sarikhuluk banyak berdiskusi dengan manusia dari segenap lapisannya. Petani, pedagang, penganguran, pejabat, guru dan lain sebagainya seringkali berdiskusi dengan Sarikhuluk di pendopo Al-Ikhlas ini. Uniknya, Sarikhuluk tetaplah Sarikhuluk. Ia bukan siapa-siapa dan tak bergelar apa-apa namun bisa bermanfaat dengan seluas-luasnya. Karena itulah, Sholeh, Fajar, Salman dan Ja`far merasa sangat beruntung bisa berdialog dengan Sarikhuluk.
            “Cak, sebentar lagi kan Ramadhan akan tiba. Kira-kira menurut sampean apa tema diskusi yang pas untuk membahas Ramadhan?” tanya Fajar memulai. “Usahakan di setiap diskusi jangan merasa tergantung dengan saya, karena saya tidak mau kalian tergantung. Ketergantungan pada yang selain Allah adalah kelemahan. Baru setelah kalian mencoba dan tetap tak bisa, maka baru tugas saya untuk mencairkannya kembali” jawab Sarikhuluk dengan senyum khasnya. “Baik, gimana kalau tema kita sekarang ialah: ‘menyambut kedatangan Ramadhan dengan persiapan matang?. Mengapa Ramadhan perlu disambut? Ramadhan disambut karena diibaratkan sebagai tamu agung yang harus dimuliakan. Layaknya tamu agung, maka penyambutannya harus dipersiapkan sedimikian rupa agar tidak kecewa dan mengecewakan. Tuan rumah yang baik adalah tuan rumah yang menyambut tamunya dengan baik, dan sebaik-baik tamu yang perlu disambut ialah Ramadhan. Para ulama salaf, enam bulan sebelum Ramadhan sudah menyiapkannya dengan baik. Adapun yang perlu dipersiapkan untuk menyambutnya, menurut saya paling tidak ada empat hal: fisik, ilmu, iman, dan amal. Fisik prima akan membuat ibadah di bulan Ramadhan menjadi lancar; ilmu yang matang akan membuat terarah; iman yang kuat akan membuat hati mantap; sedangkan amal yang berkesinambungan membuat jiwa dan raga terbiasa sehingga bisa menyambutnya dengan seoptimal mungkin” pendapat Salman dengan mantap.
            “Saya pikir, tema yang pas untuk diskusi kali ini ialah: ‘menanamkan kesadaran Ramadhan di setiap kondisi’. Maksudnya, Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi kita semua dimanapun dan kapanpun saja. Kata kunci dari Ramadhan sebenarnya semangat, amal, dan pengendalian diri. Semangat menggambarkan stimulus yang perlu dimiliki oleh siapa saja yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan; amal sebagai gambaran produktifitas; sedangkan pengendalian diri adalah representasi dari ibadah puasa. Intinya, dengan makna seperti itu, mestinya Ramadhan harus menjadi kesadaran serius bagi setiap muslim. Ramadhan tidak hanya dimaknai secara kuantitatif(berdasarkan waktu dan jumlah ibadah yang dilakukan), yang merupakan bulan terletak pada waktu tertentu yang datang dan pergi, tapi dimaknai secara kualitatif(berdasarkan kualitas dan semangat inti yang dimaksudkan di dalamnya). Jadi, kita harus menjadikan Ramadhan sebagai ‘kesadaran kualitatif’ yang membuat kita semangat di sepanjang waktu; membuat kita beramal secara kontinyu di sepanjang mampu; dan selalu mengendalikan diri dari apa dan siapapun. Pada akhirnya, kesadaran Ramadhan, akan membuat orang muslim sadar pada kapan dan dimanapun, jadi tak harus menunggu Ramadhan untuk semangat, beramal dan mengendalikan diri, karena kesadaran itu sudah jauh-jauh hari tertanam dalam hatinya” pendapat Ja`far meyakinkan
“Menurut hemat saya, mbok Ramadhan itu dianggap dan diperlakukan sebagai diri kita sendiri. Artinya: kita memperlakukannya sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Kita kan sangat perhatian pada diri sendiri. Kita pasti menyukai yang terbaik untuk diri kita sendiri. Bisaanya juga, kalau kita menginginkan sesuatu untuk diri sendiri, kita akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya. Begitu juga Ramadhan, kita rawat nilai-nilai, subtansi ajaran yang terkandung di dalamnya, dan semangat inti yang melingkupinya agar kita tetap dekat dan selalu online dengan Allah subhȃnahu wata`ȃla di manapun dan kapanpun kita berada. Jadi menurutku, judul yang tepat untuk kita bahas pada kesempetan kali ini ialah: ‘Ramadhan adalah diri kita sendiri’,” pendapat Sholeh singkat. “Oke, sekarang giliranku yang terakhir sebelum kita serahkan ke Cak Sarikhuluk. Aku pikir, judul yang pas ialah, ‘Ramadhan sebagai kekasih’. Mengapa Ramadhan dianalogikan sebagai ‘kekasih’? Sederhananya, bila seseorang memiliki kekasih, maka ia akan selalu mengingatnya, akan selalu merindukanya, ia tidak akan merasa penat dan payah demi kekasihnya. Coba bayangkan! Jika kalian mempunyai kekasih, yang sangat kalian cintai, kalian pasti akan mengingat, menjaga, melindungi, dan tidak mau sedetikpun ditinggal olehnya lantaran cinta. Kalau kita bisa memosisikan Ramadhan sebagai kekasih, maka kita akan selalu menjaganya, menyayanginya, memeliharanya, dan tak mau sedikitpun ditinggal olehnya. Artinya nilai-nilai dalam Ramadhan bisa kita praktikkan bukan hanya dalam bulan Ramadhan, tetapi juga pada bulan yang lain” pendapat Fajar.
“Baik. Aku sudah mendengar pendapat masing-masing dari kalian. Semuanya bagus dan patut diapresiasi. Hanya saja, sebagai penutup aku akan mengelaborasi dan mengritisi sedikit pendapat-pendapat yang kalian kemukakan. Pertama: Kalau Ramadhan diibaratkan sebagai tamu, itu bagus dan memang kita wajib memuliakan dan menghormati tamu. Sehingga kita mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk menyambutnya. Tapi yang luput dari pendapat ini ialah: ada jarak yang menganga antara Ramadhan dan diri manusia. Karena diibaratkan sebagai tamu, maka kita akan menyambutnya jika ia datang, kalau tidak kita akan melupakannya. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam Ramadhan `kan tak dimaksudkan untuk  momen Ramadhan saja, tapi agar manusia tetap terlatih di bulan-bulan setelahnya hingga datang lagi Ramadhan. Kedua: Sangat bagus juga pendapat kedua. Menjadikan Ramadhan sebagai kesadaran. Kesadaran yang tak terdingding oleh tempat dan waktu. Namun yang belum dijelaskan ialah bagaimana agar kita senantiasa sadar. Ketiga: Ramadahan sebagai diri kita sendiri. Ini sangat baik dan ideal, karena jarak antara manusia dan Ramadhan sudah teranggap tiada, sehingga, Ramadhan menjadi kesadaran dirinya secara utuh. Ia tidak lagi perlu menyambut Ramadhan, karena Ramadhan sudah menjadi dirinya sendiri yang selalu dirawat dan dijaga dimanapun dan kapanpun. Namun yang ketiga ini juga perlu dijelaskan cara pencapaiannya. Yang Keempat: Ramadhan sebagai kekasih. Ini juga sangat bagus dan menarik. Ada nilai romantisme antara Ramadhan dan manusia sehingga menciptakan kondisi penuh cinta di antara keduanya. Energi cinta ini, pada gilarannya akan melahirkan sikap dan usaha untuk senantiasa menjaga dan memelihara nilai-nilai Ramadahan dimanapun dan kapanpun ada” ungkap Sarikhuluk yang kemudian berhenti sejenak sambil minum kopi.
“Kalau kita urut, maka yang paling rendah ialah ketika Ramadhan diperlakukan sebagai tamu. Kemudian di atasnya, Ramadhan sebagai kekasasih. Kemudian Ramadhan sebagai kesadaran diri; dan yang paling atas ialah Ramadhan sebagai diri kita sendiri. Kesemuanya menyatu dalam satu simpul yaitu: bagaimana nilai-nilai Ramadhan tetap terjaga baik di luar maupun di dalam Ramadhan. Apa yang kalian kemukakan berkaitan dengan Ramadhan, sudah sangat bagus dan perlu diacungi jempol, tinggal kemudian kita cari bagaimana caranya kita bisa tetap meningkatkannya ke level yang setinggi-tinginya. Hal ini dilakukan supaya kita tidak mengapitalisasikan Ramadhan seperti kebanyakan orang. Ramadhan memang merupakan momen berharga, dan sarat nilai-nilai kebaikan. Ibadah di dalamnya pun akan dilipatgandakan sedemikian rupa. Tapi merupakan pandangan yang salah kaprah jika, Ramadhan hanya dijadikan kesempatan ‘aji mumpung’ untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya, untuk taubat sesungguh-sungguhnya, dan untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, tapi ketika keluar dari Ramadhan, akan kembali seperti sedia kala. Hali itu lah yang kita khawatirkan. Makanya, tujuan diskusi kita kali ini ialah mewujudkan kesadaran prima untuk mendajikan nilai-nilai Ramadhan tetap membekas dan kita pertahankan sepanjang kita hidup di dunia. Bila kita bisa mewujudkannya, maka kita bukan saja lulus sebagai manusia yang mampu tetap semangat, berbuat baik, dan mengontrol diri, tapi kita juga lulus sebagai orang-orang yang bertakwa” pungkas Sarikhuluk sambil mengakhiri diskusinya.  Diskusi kali ini memang sangat singkat karena Sarikhuluk mau menggarap sawahnya.

Camplong, Selasa 10 Juni 2014/12:38
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan