Terik
mentari berada pada puncak panasnya. Arakan mega tak lagi terlihat melaju. Matahari
terlihat gagah seolah menjadi penguasa segala arah. Udara seolah beringas. Angin
berhembus panas. Dedaunan hijau layu mengering, berguguran diterpa angin.
Burung-burung gereja enggan keluar dari sarang, mereka lebih senang bercengkrama
dengan anak tersayang, hingga senja datang. Suasana begitu lenggang. Hanya hawa
panas beriring debu, menari-nari di musim panas yang begitu menyengat kulit
beralas baju. Sungai Nil terlihat agak menyurut, ikan-ikan seolah cemberut. “Oh,
betapa panasnya hari ini. Sepanas ini kah neraka? Hemmm, aku rasa ini tak ada
apa-apanya. Bagai sebutir debu, di tengah hamparan sahara yang tak berpenunggu.”
gumam Muhammad Alfian dalam kesindirian di pesisir sungai Nil. Ia sudah tak
peduli dengan yang namanya panas, suasana hatinya jauh lebih panas. Harapan
yang dibina bertahun-tahun, tiba-tiba kandas oleh angkara. Impian yang dijalin
bertahun-tahun, tiba-tiba putus terpotong ambisi. Ia mencoba memahami, ia berusaha
mengerti, kira-kira kekhilafan apa yang pernah ia lakukan sehingga cintanya
kepada Kanieta harus gugur di tengah
jalan. Ingin rasanya menangis, tapi dirinya mengharamkan diri menangis hanya
karena gadis. Suasana yang begitu dilematis. Saat dimana cinta disalahpahami
sedemikian rupa; saat dimana cinta terdinding angkara; saat dimana cinta tak
lagi mendapat ruang dalam jiwa. Hatinya ditimpa gulana. Jiwanya terundung pilu.
Hampir saja ia kehilangan kendali. Kalau bukan karena iman tinggi, mungkin ia
sudah bunuh diri.
Di
pesisir sungai Nil, Alfian duduk termangu seorang diri. Membaca kembali sms
yang ia dapat dari orang tua Kanieta. “Assalamu`alaikum....Nak Alfian,
sebelumnya minta maaf, atas nama kepala keluarga, kami mohon kamu jangan
memikirkan lagi Kanieta. Semoga kamu mendapat gadis yang lebih baik darinya”
begitu bunyi sms yang ia dapat dari ayah Kanieta, Ahmad Choirul Umam.
Sebenarnya ia sangat marah. Hatinya bergejolak derita. “Dulu sebelum berangkat
ke Mesir, kenapa permohonanku untuk meminang Kanieta tak ditolak saja? Kenapa di
saat cinta sudah tumbuh berkembang, sudah semakin tertanam menghunjam dalam
relung hati, tiba-tiba diputus tanpa penjelesan yang memuaskan hati? Betapa sakitnya
hati ini. Diangkat tinggi-tinggi kemudian dibiarkan jatuh hingga mati”
begitulah suara Alfian meracau. Sangatlah wajar bila Alfian menjadi marah
seperti itu. Al-kisah, dulu sebelum ia berangkat ke Mesir, hatinya tertaut oleh
gadis jelita bernama Kanieta Ahla Jannah. Kanieta adalah satu-satunya gadis
yang mampu meluluhkan hatinya. Kanieta merupakan santriwati pondok tahfidz
Al-Qur`an Al-Hidayah di sebelah kampungnya. Sedangkan Muhammad Alfian bukanlah
seorang santri. Ia hanya lulusan Madrasah Aliah Negeri, yang mempunyai semangat
belajar ilmu agama begitu tinggi. Sejak kecil ia bermimpi untuk menimba ilmu di
negeri kinanah, negeri para Nabi.
Sebelum
mengenal Kanieta, jauh-jauh hari Alfian sudah mempersiapkan diri untuk ikut tes
menjadi mahasiswa Al-Azhar Mesir. Untuk memperbaiki dan menjaga hafalan surat
Al-Baqarah, serta memperdalam bahasa Arab, setelah lulus sekolah, ia memutuskan
untuk masuk beberapa bulan di pondok tahfidh Al-Hidayah, dengan harapan akan
lulus tes ke Mesir. Di sela-sela belajarnya tak dinyana takdir cinta
mempertemukannya dengan gadis jelita nan shalihah, Kanieta. Kanieta adalah
santriwati yang paling disayang oleh Kh. Bashari, pengasuh pondok Al-Hidayah (Kh.
Bashari merupakan kiai yang terpandang dan dihormati di desa Sumber Wangi. Kh.
Bashari merupakan sahabat bapak Alfian. Alfian belajar langsung ke rumah Kh.
Bashari dengan harapan mampu menggali ilmunya). Kanieta disayang bukan semata
karena paras cantiknya, ia juga pintar dan berkepribadian luhur. Siapa saja
yang pertama kali melihatnya, pasti akan terpana. Apalagi kalau setiap hari
melihatnya, pasti jatuh cinta. Kanieta bagaikan mutiara indah yang tersimpan
rapi di karang kehormatan. Pertemuan tak disengaja itu dimulai ketika Kanieta
bersama keluarga memohon izin pada Kh. Bashari untuk pulang liburan. Waktu itu
di ruang tamu, ia sedang membimbing Alfian memperbaiki bacaan dan hafalan
Al-Qur`an. Di sela-sela itu lah, Alfian tak sengaja memandang keanggunan
Kanieta. Tiba-tiba ia tepekur, hatinya berdegup tak beratur. Gadis yang ia
lihat begitu luhur dan halus tutur. Kecantikannya melebihi Rani teman MAN-nya
dulu yang menjadi bunga sekolah. Diam-diam ia jatuh hati dalam pandangan
pertama.
Selepas
mempersilakan pulang Kanieta beserta keluarga, sebenarnya dari tadi beliau
melihat gelagat Alfian yang seolah kagum dengan pribadi Kanieta. Kh. Bashari
mencoba menggoda: “Alfian, kamu terpesona ya dengan gadis tadi? Namanya Kanieta,
santriwati kesayanganku, yang disamping cantik, ia juga berbudi luhur. Ia
sangat disukai oleh teman-temannya karena kebersahajaannya dalam bertutur, dan
dia tak segan-segan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kalau
kamu bisa menjadikannya istri, betapa bahagianya mahligai rumah tanggamu nanti”.
Sambil senyum, Alfian menimpali: “Maaf pak yai, apalah artinya saya, saya
hanyalah pemuda biasa yang baru lulus sekolah MA(Madrasah Aliah). Hafalan tak
seberapa, kemampuan agama juga masih rata-rata, jadi mana mau dia sama pemuda
seperti saya?”. “Alfian, jangan rendah diri seperti itu. Kamu memang sekarang
tak sebanyak dia hafalannya, tak seperti dia pengetahuan agamanya, tapi sebagai
laki-laki kau mempunya potensi besar. Kecerdasan, ketegasan, semangat, dan
kejujuran ada pada dirimu. Aku yakin, kalau kamu serius, beberapa bulan saja
kamu pasti bisa menghafal banyak ayat Al-Qur`an dan menguasai bahasa Arab.
Firasatku berkata: kalau kamu menjadi suaminya, insyaallah akan menjadi
kekuatan luarbiasa, untuk dikontribusikan dalam medan dakwah” komentar yai
Bashari meyakinkannya. Alfian hanya tersenyum lembut. Ia tak berani
menimpalinya apa-apa. Tapi ia membatin: “Aku bertekad. Jika nanti Allah ta`ala
menakdirkanku lulus tes beasiswa di Al-Azhar Mesir, maka aku akan meminta
Kanieta langsung ke rumahnya”.
Hari
berlalu begitu cepat. Tak membutuhkan waktu lama, Alfian bisa merampungkan hafalan
surat Al-Baqarah dengan baik dan benar. Tak hanya itu, dia sudah lumayan
memantapkan penguasaan bahasa Arabnya. Ia tidak merasa kesulitan karen di MAN
dulu, ia sudah belajar bahasa Arab meski secara pasif. Dengan persiapan matang,
usaha kencang, akrirnya ia siap mengikuti tes pada akhir bulan Juni.
Al-hamdulillah, seperti yang ia harapkan sebelumnya, ia lulus tes dengan Nilai
yang sangat bagus. Waktu itu yang mengikuti tes mencapai 1500 siswa-siswi
seluruh indonesia, baik dari kalangan santri maupun non-santri. Nilai Alfian
berada di urutan kelima. Ia sujud syukur. Berterimakasih kepada Allah yang
selama ini menganugerahkan banyak nikmat yang tak terukur. Ia pergi sowan
kepada Kh. Bashari, sembari meminta nasehat dan saran sebelum ia berangkat ke
Mesir pada bulan November mendatang. Setelah nasihat sudah disampaikan, saran
sudah dituturkan, tiba saatnya Alfian menanyakan alamat Kanieta: “Maaf
sebelumnya yai. Kalau boleh saya tahu, dimana alamat rumah Kanieta? Maaf kalau terkesan
lancang menanyakan itu”. “Emm, tidak apa-apa Alfian biasa saja. Aku dari dulu
`kan sangat mendukung kamu mendapatkan Kanieta. Ini alamatnya: Ds. Anggrek
Merah, gang: II, Rt. 9 Rw. 6, jangan lupa baca basmalah, semoga kamu berhasil”
jawab yai. Alfian tak bisa bicara apa-apa, ia hanya bisa senyum dan
menganggukkan kepala. Ia sangat kagum dengan yai Bashari, ia seolah sudah
mengetahui isi hati Alfian. Setelah memohon restu, akhirnya Alfian pamit dari
pondok Al-Hidayah, menuju rumah Kanieta.
Sebenarnya
ia agak canggung dan minder ke rumah Kanieta, tapi demi cinta, ia memberanikan
diri untuk meminta Kanieta. Waktu itu keluarga Kanieta lengkap berada di rumah.
Muhammad Alfian disambut dengan baik dan hangat. Bapak Kanieta, Ahmad Choirul
Umam dan ibunya, Maya Nur Bayati, mempersilahkannya masuk. Pertama Alfian, tak
bisa mengutarakan maksud kedatangannya, waktu satu jam ia gunakan untuk
mengobrol dengan kedua orang tua Kanieta. Lama-lama habis juga bahan obrolan.
Ia akhirnya dengan basmalah menyampaikan isi hatinya. Pertama kali mendengar,
kedua orang tua Kanieta agak kaget. Anak muda berusia dua puluh tahun ini memiliki
keberanian luar biasa untuk meminta anaknya. Alfian berkata: “Pak, mungkin saya
terkesan naif, meminta anak bapak untuk dijadikan istri. Saya memang belum
bekerja, dan saya masih belum berpengalaman, tapi saya akan selalu berusaha
sebaik mungkin, saya yakin kalau anak bapak adalah anak shalihah yang patut
diperjuangkan, yang nanti mampu menjadi istri yang menyejukkan hati. Saya
meminta dari sekarang, karena khawatir nanti ia dilamar orang. Kalau bapak
menerima saya, nanti setelah saya menyelaikan S-1 di Mesir, saya akan langsung
menikahi Kanieta. Maaf sebelumnya, saya datang kesini sendiri karena saya tak
punya orang tua dan sanak keluarga pak” begitu ia ungkap dengan sejujurnya.
Dengan senang hati, setelah menanyakan persetujuan Kanieta, ayahnya menjawab: “Aku
sudah bertanya langsung ke Kanieta. Ia mau kamu jadi imamnya. Tapi ia meminta,
selama waktu menunggu tak ada komunikasi lewat apapun kecuali melalui perantara
orang tua. Bapak dan ibu, tidak pilah-pilih, yang penting shalih dan bisa
melindungi putri kami, insyaallah kami menyetujui”.
Hati
Alifian dipenuhi kegembiraan. Disamping mendapat kelulusan, ia juga mendapat
kepastian. Kepastian cinta dari seorang gadis jelita yang ia idam diam-diam.
Kuncup bunga cinta yang ia siram dengan air kesabaran, akhirnya mekar semerbak
mewangi dengan harum kerinduan. Hatinya dipenuhi suka cita. Meski begitu ia
masih bisa mengontrol diri, karena pada dasarnya kesusahan dan kesenangan
adalah sama-sama ujian. Ia ingat betul hadits Rasulullah yang intinya bermakna:
“Sungguh menakjubkan kondisi orang beriman. Segala kondisi yang dialami, semua
menjadi kebaikan baginya. Jika mendapat kebaikan, ia bersyukur. Jika mendapat
kejelekan, ia bersabar”. Kebahagaian yang ia alami ini jangan sampai membuatnya
terlena sehingga lupa bahwa hakikat hidup penuh uji-coba. Kesepakatan antara
Alfian dan kedua orang tua Kanieta pun terjalin. Mereka bersepakat menunggu
Alfian sampai lulus dari kuliah di Mesir, baru setelah itu mereka dinikahkan.
Kanieta pun terbius dalam lamunan cinta. Kalau benar apa yang dikatakan Kh.
Bashari tentang diri Alfian, maka ia akan menjadi gadis paling bahagia di dunia
ini. Gadis mana yang tak mau mendapat suami yang shalih tegas, penyayang, penuh
semangat, pejuang, dan sangat rendah hati, apalagi memiliki fisik tampan.
Waktu
terus bergulir. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti
tahun. Sudah dua tahun Alfian menuntut ilmu di bumi Kinanah. Sebagai mahasiswa,
ia terhitung sebagai mahasiswa yang supel, peduli sosial, organisatoris dan
aktif dalam orrganisasi-oraganisai di masisir(mahasiswa Mesir). Tak heran jika
ia banyak dikenal di Mesir. Setahun setelah ia berada di Mesir, rupanya anak
kiai Bashari (namanya Jihad Bashari) juga berhasil lulus untuk melanjutkan
studi di Mesir, tepatnya di fakultas ushuludin, jurusan Ilmu Tafsir. Alfian
sendiri masuk pada fakultas bahasa Arab, jurusan sejarah dan peradaban. Alfian
sudah menganggap Jihad sebagai adiknya sendiri. Beberapa hari sebelum mendapat
sms dari ayah Kanieta, ada peristiwa yang kelak diketahui oleh keluarga
Kanieta, sehingga membuat Alfian dibenci. Secara singkat, ketika Alfian sedang
berjalan menuju rumah kosnya, ada dua mahasiswi Indonesia yang sedang meminta pertolongan. Ada temannya
yang butuh pertolongan segera karena pingsan, dengan sangat terpaksa Alfian
mengangkat gadis itu ke rumah sakit terdekat. Tanpa sepengetahuan Alfian,
berita itu tersebar di keluarga Kanieta. Diisukan bahwa ketika di Mesir, Alfian
suka bergaul dengan gadis-gadis yang bukan mahramnya. Bahkan tak sungkan
mengangkat, berpegangan dengan seorang gadis.
Biang
masalah sebenarnya ialah pada Jihad Bashari. Diam-diam ia menaruh dendam pada
diri Alfian. Pasalnya, gadis yang ia dambakan sejak dulu, ternyata sudah
dipinang Alfian. Ia tidak pernah tahu, karena ia jarang di rumah. Waktu itu
Jihad dipondokkan di luar kota. Sekembali di rumah, tahu-tahu ia dapat kabar
bahwa Kanieta sudah dipinang Alfian. Benih-benih kebencian sudah menguasai
hatinya, segala cara akan ditempuh walau harus berdusta. Sejak saat itu ia
berazam untuk menyusul Alfian, berusaha membuat fitnah agar hubungan Alfian dan
Kanieta kandas di tengah jalan. Di sisi lain, ayah Kanieta dari dulu lebih sreg
kalau Kanieta dijodohkan dengan anak kiai Bashari, supaya bisa berbesanan
dengan yai Bashari. Alfian memang baik, tapi tidak punya orang tua. Disamping
itu juga berbeda dengan ibunya, ayah Kanieta cendrung materialistik. Yang
namanya orang tua, pasti memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Berita yang
dihembuskan oleh Jihad, lambat laun membuat ayah Kanieta ragu. Semakin hari,
buruk sangka selalu menyelimuti raga. Kanieta sendiri sebenarnya tetap yakin
bahwa Alfian adalah calon imam terbaiknya. Namun apa daya, ayahnya sudah
dikuasai angkara. Ia hanya bisa pasrah, tanpa bisa berkata apa-apa. Sejauh yang
ia bisa hanya berkata: “kalau memang jodoh, pasti Allah akan memudahkan jalan
kita”.
Sekarang
Alfian terlihat lemas kuyu. Air mukanya tak sesumringah dulu. Aliran sungai Nil
menjadi saksi bisu kesedihannya. Pikirannya berkecamuk, antara sedih, kecewa,
dan lara. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Hatinya seolah terpecah-pecah.
Sampai dia mendapat sms dan duduk di pinggiran sungai Nil, ia sama sekali belum
tahu kalau Jihad adalah biang keladinya. “Kalau saja waktu bisa diputar, lebih
baik aku sadar. Apalah artinya Alfian, yang tidak terlalu memiliki
keistimewaan, dibanding Kanieta yang bagaikan berlian. Orang tua pun aku tak punya,
bagaimana aku bisa menjanjikan kasih sayang padanya. Aku tak mau menipu diri.
Semakin aku berusaha melupakanmu, semakin dalam rasa sayangku padamu. Aku
hanyalah lelaki biasa yang mendambakan cinta sucimu. Cintamu sudah bersemayam
di hatiku. Aku tak bisa melepasnya. Kau adalah anugerah terindah yang mengisi
ruang hatiku. Apa salah jika orang biasa
sepertiku mendapat gadis shalihah sepertimu? Apa naif kalau orang biasa sepertiku
mendambakan gadis baik sepertimu?” demikian kata-kata Alfian. Ia tenggelam
dalam lamunan semu. Ia masih kecewa. Perjuangannya selama ini untuk mendapatkan
Kanieta, berakhir derita.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !