Home » » Cinta Terdinding Angkara

Cinta Terdinding Angkara

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Juni 2014 | 23.37


            Terik mentari berada pada puncak panasnya. Arakan mega tak lagi terlihat melaju. Matahari terlihat gagah seolah menjadi penguasa segala arah. Udara seolah beringas. Angin berhembus panas. Dedaunan hijau layu mengering, berguguran diterpa angin. Burung-burung gereja enggan keluar dari sarang, mereka lebih senang bercengkrama dengan anak tersayang, hingga senja datang. Suasana begitu lenggang. Hanya hawa panas beriring debu, menari-nari di musim panas yang begitu menyengat kulit beralas baju. Sungai Nil terlihat agak menyurut, ikan-ikan seolah cemberut. “Oh, betapa panasnya hari ini. Sepanas ini kah neraka? Hemmm, aku rasa ini tak ada apa-apanya. Bagai sebutir debu, di tengah hamparan sahara yang tak berpenunggu.” gumam Muhammad Alfian dalam kesindirian di pesisir sungai Nil. Ia sudah tak peduli dengan yang namanya panas, suasana hatinya jauh lebih panas. Harapan yang dibina bertahun-tahun, tiba-tiba kandas oleh angkara. Impian yang dijalin bertahun-tahun, tiba-tiba putus terpotong ambisi. Ia mencoba memahami, ia berusaha mengerti, kira-kira kekhilafan apa yang pernah ia lakukan sehingga cintanya kepada  Kanieta harus gugur di tengah jalan. Ingin rasanya menangis, tapi dirinya mengharamkan diri menangis hanya karena gadis. Suasana yang begitu dilematis. Saat dimana cinta disalahpahami sedemikian rupa; saat dimana cinta terdinding angkara; saat dimana cinta tak lagi mendapat ruang dalam jiwa. Hatinya ditimpa gulana. Jiwanya terundung pilu. Hampir saja ia kehilangan kendali. Kalau bukan karena iman tinggi, mungkin ia sudah bunuh diri.
            Di pesisir sungai Nil, Alfian duduk termangu seorang diri. Membaca kembali sms yang ia dapat dari orang tua Kanieta. “Assalamu`alaikum....Nak Alfian, sebelumnya minta maaf, atas nama kepala keluarga, kami mohon kamu jangan memikirkan lagi Kanieta. Semoga kamu mendapat gadis yang lebih baik darinya” begitu bunyi sms yang ia dapat dari ayah Kanieta, Ahmad Choirul Umam. Sebenarnya ia sangat marah. Hatinya bergejolak derita. “Dulu sebelum berangkat ke Mesir, kenapa permohonanku untuk meminang Kanieta tak ditolak saja? Kenapa di saat cinta sudah tumbuh berkembang, sudah semakin tertanam menghunjam dalam relung hati, tiba-tiba diputus tanpa penjelesan yang memuaskan hati? Betapa sakitnya hati ini. Diangkat tinggi-tinggi kemudian dibiarkan jatuh hingga mati” begitulah suara Alfian meracau. Sangatlah wajar bila Alfian menjadi marah seperti itu. Al-kisah, dulu sebelum ia berangkat ke Mesir, hatinya tertaut oleh gadis jelita bernama Kanieta Ahla Jannah. Kanieta adalah satu-satunya gadis yang mampu meluluhkan hatinya. Kanieta merupakan santriwati pondok tahfidz Al-Qur`an Al-Hidayah di sebelah kampungnya. Sedangkan Muhammad Alfian bukanlah seorang santri. Ia hanya lulusan Madrasah Aliah Negeri, yang mempunyai semangat belajar ilmu agama begitu tinggi. Sejak kecil ia bermimpi untuk menimba ilmu di negeri kinanah, negeri para Nabi.
            Sebelum mengenal Kanieta, jauh-jauh hari Alfian sudah mempersiapkan diri untuk ikut tes menjadi mahasiswa Al-Azhar Mesir. Untuk memperbaiki dan menjaga hafalan surat Al-Baqarah, serta memperdalam bahasa Arab, setelah lulus sekolah, ia memutuskan untuk masuk beberapa bulan di pondok tahfidh Al-Hidayah, dengan harapan akan lulus tes ke Mesir. Di sela-sela belajarnya tak dinyana takdir cinta mempertemukannya dengan gadis jelita nan shalihah, Kanieta. Kanieta adalah santriwati yang paling disayang oleh Kh. Bashari, pengasuh pondok Al-Hidayah (Kh. Bashari merupakan kiai yang terpandang dan dihormati di desa Sumber Wangi. Kh. Bashari merupakan sahabat bapak Alfian. Alfian belajar langsung ke rumah Kh. Bashari dengan harapan mampu menggali ilmunya). Kanieta disayang bukan semata karena paras cantiknya, ia juga pintar dan berkepribadian luhur. Siapa saja yang pertama kali melihatnya, pasti akan terpana. Apalagi kalau setiap hari melihatnya, pasti jatuh cinta. Kanieta bagaikan mutiara indah yang tersimpan rapi di karang kehormatan. Pertemuan tak disengaja itu dimulai ketika Kanieta bersama keluarga memohon izin pada Kh. Bashari untuk pulang liburan. Waktu itu di ruang tamu, ia sedang membimbing Alfian memperbaiki bacaan dan hafalan Al-Qur`an. Di sela-sela itu lah, Alfian tak sengaja memandang keanggunan Kanieta. Tiba-tiba ia tepekur, hatinya berdegup tak beratur. Gadis yang ia lihat begitu luhur dan halus tutur. Kecantikannya melebihi Rani teman MAN-nya dulu yang menjadi bunga sekolah. Diam-diam ia jatuh hati dalam pandangan pertama.
            Selepas mempersilakan pulang Kanieta beserta keluarga, sebenarnya dari tadi beliau melihat gelagat Alfian yang seolah kagum dengan pribadi Kanieta. Kh. Bashari mencoba menggoda: “Alfian, kamu terpesona ya dengan gadis tadi? Namanya Kanieta, santriwati kesayanganku, yang disamping cantik, ia juga berbudi luhur. Ia sangat disukai oleh teman-temannya karena kebersahajaannya dalam bertutur, dan dia tak segan-segan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kalau kamu bisa menjadikannya istri, betapa bahagianya mahligai rumah tanggamu nanti”. Sambil senyum, Alfian menimpali: “Maaf pak yai, apalah artinya saya, saya hanyalah pemuda biasa yang baru lulus sekolah MA(Madrasah Aliah). Hafalan tak seberapa, kemampuan agama juga masih rata-rata, jadi mana mau dia sama pemuda seperti saya?”. “Alfian, jangan rendah diri seperti itu. Kamu memang sekarang tak sebanyak dia hafalannya, tak seperti dia pengetahuan agamanya, tapi sebagai laki-laki kau mempunya potensi besar. Kecerdasan, ketegasan, semangat, dan kejujuran ada pada dirimu. Aku yakin, kalau kamu serius, beberapa bulan saja kamu pasti bisa menghafal banyak ayat Al-Qur`an dan menguasai bahasa Arab. Firasatku berkata: kalau kamu menjadi suaminya, insyaallah akan menjadi kekuatan luarbiasa, untuk dikontribusikan dalam medan dakwah” komentar yai Bashari meyakinkannya. Alfian hanya tersenyum lembut. Ia tak berani menimpalinya apa-apa. Tapi ia membatin: “Aku bertekad. Jika nanti Allah ta`ala menakdirkanku lulus tes beasiswa di Al-Azhar Mesir, maka aku akan meminta Kanieta langsung ke rumahnya”.
            Hari berlalu begitu cepat. Tak membutuhkan waktu lama, Alfian bisa merampungkan hafalan surat Al-Baqarah dengan baik dan benar. Tak hanya itu, dia sudah lumayan memantapkan penguasaan bahasa Arabnya. Ia tidak merasa kesulitan karen di MAN dulu, ia sudah belajar bahasa Arab meski secara pasif. Dengan persiapan matang, usaha kencang, akrirnya ia siap mengikuti tes pada akhir bulan Juni. Al-hamdulillah, seperti yang ia harapkan sebelumnya, ia lulus tes dengan Nilai yang sangat bagus. Waktu itu yang mengikuti tes mencapai 1500 siswa-siswi seluruh indonesia, baik dari kalangan santri maupun non-santri. Nilai Alfian berada di urutan kelima. Ia sujud syukur. Berterimakasih kepada Allah yang selama ini menganugerahkan banyak nikmat yang tak terukur. Ia pergi sowan kepada Kh. Bashari, sembari meminta nasehat dan saran sebelum ia berangkat ke Mesir pada bulan November mendatang. Setelah nasihat sudah disampaikan, saran sudah dituturkan, tiba saatnya Alfian menanyakan alamat Kanieta: “Maaf sebelumnya yai. Kalau boleh saya tahu, dimana alamat rumah Kanieta? Maaf kalau terkesan lancang menanyakan itu”. “Emm, tidak apa-apa Alfian biasa saja. Aku dari dulu `kan sangat mendukung kamu mendapatkan Kanieta. Ini alamatnya: Ds. Anggrek Merah, gang: II, Rt. 9 Rw. 6, jangan lupa baca basmalah, semoga kamu berhasil” jawab yai. Alfian tak bisa bicara apa-apa, ia hanya bisa senyum dan menganggukkan kepala. Ia sangat kagum dengan yai Bashari, ia seolah sudah mengetahui isi hati Alfian. Setelah memohon restu, akhirnya Alfian pamit dari pondok Al-Hidayah, menuju rumah Kanieta.
            Sebenarnya ia agak canggung dan minder ke rumah Kanieta, tapi demi cinta, ia memberanikan diri untuk meminta Kanieta. Waktu itu keluarga Kanieta lengkap berada di rumah. Muhammad Alfian disambut dengan baik dan hangat. Bapak Kanieta, Ahmad Choirul Umam dan ibunya, Maya Nur Bayati, mempersilahkannya masuk. Pertama Alfian, tak bisa mengutarakan maksud kedatangannya, waktu satu jam ia gunakan untuk mengobrol dengan kedua orang tua Kanieta. Lama-lama habis juga bahan obrolan. Ia akhirnya dengan basmalah menyampaikan isi hatinya. Pertama kali mendengar, kedua orang tua Kanieta agak kaget. Anak muda berusia dua puluh tahun ini memiliki keberanian luar biasa untuk meminta anaknya. Alfian berkata: “Pak, mungkin saya terkesan naif, meminta anak bapak untuk dijadikan istri. Saya memang belum bekerja, dan saya masih belum berpengalaman, tapi saya akan selalu berusaha sebaik mungkin, saya yakin kalau anak bapak adalah anak shalihah yang patut diperjuangkan, yang nanti mampu menjadi istri yang menyejukkan hati. Saya meminta dari sekarang, karena khawatir nanti ia dilamar orang. Kalau bapak menerima saya, nanti setelah saya menyelaikan S-1 di Mesir, saya akan langsung menikahi Kanieta. Maaf sebelumnya, saya datang kesini sendiri karena saya tak punya orang tua dan sanak keluarga pak” begitu ia ungkap dengan sejujurnya. Dengan senang hati, setelah menanyakan persetujuan Kanieta, ayahnya menjawab: “Aku sudah bertanya langsung ke Kanieta. Ia mau kamu jadi imamnya. Tapi ia meminta, selama waktu menunggu tak ada komunikasi lewat apapun kecuali melalui perantara orang tua. Bapak dan ibu, tidak pilah-pilih, yang penting shalih dan bisa melindungi putri kami, insyaallah kami menyetujui”.
            Hati Alifian dipenuhi kegembiraan. Disamping mendapat kelulusan, ia juga mendapat kepastian. Kepastian cinta dari seorang gadis jelita yang ia idam diam-diam. Kuncup bunga cinta yang ia siram dengan air kesabaran, akhirnya mekar semerbak mewangi dengan harum kerinduan. Hatinya dipenuhi suka cita. Meski begitu ia masih bisa mengontrol diri, karena pada dasarnya kesusahan dan kesenangan adalah sama-sama ujian. Ia ingat betul hadits Rasulullah yang intinya bermakna: “Sungguh menakjubkan kondisi orang beriman. Segala kondisi yang dialami, semua menjadi kebaikan baginya. Jika mendapat kebaikan, ia bersyukur. Jika mendapat kejelekan, ia bersabar”. Kebahagaian yang ia alami ini jangan sampai membuatnya terlena sehingga lupa bahwa hakikat hidup penuh uji-coba. Kesepakatan antara Alfian dan kedua orang tua Kanieta pun terjalin. Mereka bersepakat menunggu Alfian sampai lulus dari kuliah di Mesir, baru setelah itu mereka dinikahkan. Kanieta pun terbius dalam lamunan cinta. Kalau benar apa yang dikatakan Kh. Bashari tentang diri Alfian, maka ia akan menjadi gadis paling bahagia di dunia ini. Gadis mana yang tak mau mendapat suami yang shalih tegas, penyayang, penuh semangat, pejuang, dan sangat rendah hati, apalagi memiliki fisik tampan.
            Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sudah dua tahun Alfian menuntut ilmu di bumi Kinanah. Sebagai mahasiswa, ia terhitung sebagai mahasiswa yang supel, peduli sosial, organisatoris dan aktif dalam orrganisasi-oraganisai di masisir(mahasiswa Mesir). Tak heran jika ia banyak dikenal di Mesir. Setahun setelah ia berada di Mesir, rupanya anak kiai Bashari (namanya Jihad Bashari) juga berhasil lulus untuk melanjutkan studi di Mesir, tepatnya di fakultas ushuludin, jurusan Ilmu Tafsir. Alfian sendiri masuk pada fakultas bahasa Arab, jurusan sejarah dan peradaban. Alfian sudah menganggap Jihad sebagai adiknya sendiri. Beberapa hari sebelum mendapat sms dari ayah Kanieta, ada peristiwa yang kelak diketahui oleh keluarga Kanieta, sehingga membuat Alfian dibenci. Secara singkat, ketika Alfian sedang berjalan menuju rumah kosnya, ada dua mahasiswi Indonesia  yang sedang meminta pertolongan. Ada temannya yang butuh pertolongan segera karena pingsan, dengan sangat terpaksa Alfian mengangkat gadis itu ke rumah sakit terdekat. Tanpa sepengetahuan Alfian, berita itu tersebar di keluarga Kanieta. Diisukan bahwa ketika di Mesir, Alfian suka bergaul dengan gadis-gadis yang bukan mahramnya. Bahkan tak sungkan mengangkat, berpegangan dengan seorang gadis.
            Biang masalah sebenarnya ialah pada Jihad Bashari. Diam-diam ia menaruh dendam pada diri Alfian. Pasalnya, gadis yang ia dambakan sejak dulu, ternyata sudah dipinang Alfian. Ia tidak pernah tahu, karena ia jarang di rumah. Waktu itu Jihad dipondokkan di luar kota. Sekembali di rumah, tahu-tahu ia dapat kabar bahwa Kanieta sudah dipinang Alfian. Benih-benih kebencian sudah menguasai hatinya, segala cara akan ditempuh walau harus berdusta. Sejak saat itu ia berazam untuk menyusul Alfian, berusaha membuat fitnah agar hubungan Alfian dan Kanieta kandas di tengah jalan. Di sisi lain, ayah Kanieta dari dulu lebih sreg kalau Kanieta dijodohkan dengan anak kiai Bashari, supaya bisa berbesanan dengan yai Bashari. Alfian memang baik, tapi tidak punya orang tua. Disamping itu juga berbeda dengan ibunya, ayah Kanieta cendrung materialistik. Yang namanya orang tua, pasti memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Berita yang dihembuskan oleh Jihad, lambat laun membuat ayah Kanieta ragu. Semakin hari, buruk sangka selalu menyelimuti raga. Kanieta sendiri sebenarnya tetap yakin bahwa Alfian adalah calon imam terbaiknya. Namun apa daya, ayahnya sudah dikuasai angkara. Ia hanya bisa pasrah, tanpa bisa berkata apa-apa. Sejauh yang ia bisa hanya berkata: “kalau memang jodoh, pasti Allah akan memudahkan jalan kita”.

            Sekarang Alfian terlihat lemas kuyu. Air mukanya tak sesumringah dulu. Aliran sungai Nil menjadi saksi bisu kesedihannya. Pikirannya berkecamuk, antara sedih, kecewa, dan lara. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Hatinya seolah terpecah-pecah. Sampai dia mendapat sms dan duduk di pinggiran sungai Nil, ia sama sekali belum tahu kalau Jihad adalah biang keladinya. “Kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik aku sadar. Apalah artinya Alfian, yang tidak terlalu memiliki keistimewaan, dibanding Kanieta yang bagaikan berlian. Orang tua pun aku tak punya, bagaimana aku bisa menjanjikan kasih sayang padanya. Aku tak mau menipu diri. Semakin aku berusaha melupakanmu, semakin dalam rasa sayangku padamu. Aku hanyalah lelaki biasa yang mendambakan cinta sucimu. Cintamu sudah bersemayam di hatiku. Aku tak bisa melepasnya. Kau adalah anugerah terindah yang mengisi ruang hatiku.  Apa salah jika orang biasa sepertiku mendapat gadis shalihah sepertimu? Apa naif kalau orang biasa sepertiku mendambakan gadis baik sepertimu?” demikian kata-kata Alfian. Ia tenggelam dalam lamunan semu. Ia masih kecewa. Perjuangannya selama ini untuk mendapatkan Kanieta, berakhir derita.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan