Kalau sejarah
islam kita ibaratkan sebagai jasad yang memiliki anggota badan utuh, maka akan
didapati bahwa kebanyakan sejarah islam selama ini yang disajikan oleh
sejarawan -baik muslim maupun non muslim- berkesan tidak utuh. Sisi politik dan konflik-konflik
internal-horisontal selalu menjadi hidangan inti dalam meracik sejarah islam.
Kalau politik kita analogikan sebagai kepala dan sisi-sisi yang lain merupakan
anggota tubuh maka kebanyakan sejarah islam yang tercatat diredusir sedemikian
rupa sehingga menjadi momok yang menakutkan. Bayangkan saja, kalau kita melihat
jasad manusia tidak utuh, yang ada hanya kepala saja, orang akan merasa takut,
histeris dan mungkin segera lari karena bertemu dengan penggalan kepala.
Coba sesekali
luangkan waktu membaca sejarah Islam dari sirah nabi Muhammad hingga zaman modern, bau politik lebih menyengat daripada bau-bau yang lain. Sejarah
Nabi Muhammad yang berada di Makkah selama 13 tahun diredusir sedemikian rupa
oleh orang-orang sosialis-komunis sebagai upaya memperjuangkan kepentingan kaum
proletar. Kaum kapitalis tak kalah saing dengan mengatakan bahwa sebenarnya
konflik yang terjadi antara Muhammad dan orang kafir Qurays lainnya tak lain
hanya masalah persaingan kapital(uang, kedudukan dan bisnis) mewarisi
persaingan lama yang terjadi diantara suku Qurays terutama antara bani Abdul
Muthallib, bani Abdis Syams dan bani Makhzum sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dibawa Muhammad bukanlah Islam, Islam hanya sebagai
polesan saja untuk menyukseskan tujuan inti berupa meraup harta dan menjaga
wibawa dan eksistensi kekuasaan bani Abdul Muthallib di bumi Makkah. Kemudian
sepuluh tahun di Madinah dianggap sebagai kegiatan murni politik(mencari
kekusaan) yang untuk menyukseskannya dibuatlah konsep jihad, qitaal(perang),
muaakhaat(pemersaudaraan), dan berbagai macam konsep lain guna memuluskan
obsesi politiknya. Dalil yang digunakan untuk mengaffirmasi statemen ini dengan
menghitung secara kuantitatif angka perang yang terjadi selama berada di
Madinah, hampir tiap tiga bulan ada peperangan.
Bau politik
semakin semerbak ketika kematian Rasulullah terjadi. Dikatakan bahwa para
sahabat membiarkan jenazah Nabi Muhammad tidak terkuburkan selama tiga hari
gara-gara sibuk berkumpul di balai kota bani Saidah membahas siapa yang akan
menjadi pengganti Rasulullah. Sampai akhirnya masuk pada era yang biasa disebut
khulafa ar-rasyidin. Sejarah Abu Bakar digambarkan lebih bernuansa
politik, kisah yang disebutkan biasanya tentang perang melawan orang-orang
murtad dan enggan membayar zakat, bahkan ide pengkodifikasian al-Qur`an
dianggap lahir dari atmosfir politik terbunuhnya para penghafal al-Quran di
Yamamah. Kisah Umar tidak kalah nuansa politiknya, sosok Umar lebih banyak
digambarkan sebagai kepala negara dan politikus sukses dengan indikator
kesuksesan berupa menang perang, ekspansi militer, keadilan sosilal dan lain
sebagainya. Memasuki era Utsman, bau-bau politik semakin digambar secara
dominan. Sebagai pemimpin Utsman dianggap nepotisme, royal, borjuis dan
terkesan kurang tegas. Bahkan kematian Utsman yang dibunuh oleh komplotan
pemberontak secara tragis, lagi-lagi tak lepas dari muatan politis. Pada era Ali
bin Abi Thalib anasir politik lebih banyak disorot. Pasalya, embrio,
cikal-bakal konflik yang lahir kemudian digambarkan bermuara pada era ini. Di
era Ali ada konflik internal muslim yang melahirkan perang Shifin, jamal
dan konflik-konflik lain. Dan akibat konflik politik ini pula lahir pula
gerakan-gerakan politik macam syi`ah dan Khawarij.
Demikian pula
sejarah bani Umayyah digambarkan lahir dari adanya konflik politik antara Hasan
bin Ali dan Muawiyyah selaku Gubernur Damaskus kala itu. Bahkan rezim bani
Umayyah menjadi bulan-bulanan kritikan sejarawan, dikatakan bahwa mereka haus
kekuasaan, hobi perang dan sangat benci pada ahlul bait. Sampai akhirnya
tumbang karena faktor politik yang direncanakan secara strategis dan matang
oleh dinasti Abbasiyah. Demikian pula pada Dinasti Abbasiyah, digambar dengan
nuansa politik yang dibalut pencapaian-pencapain ilmiah yang meskipun pada
akhirnya jatuh oleh pasukan Mongol karena lemahnya kekuatan politik. Belum lagi
tentang perpecahan yang terjadi pada tubuh dinasti Abbasiyah yang demikian
dahsyat yang ujungnya juga karena politik. Untuk seterusnya, sejarah Islam tak
lepas juga dari angle politik. Sebut saja misalkan, Mughal, Safawiah
sampai dinasti Utsmaniah juga sarat akan nuansa politik. Bahkan kalau kita
tarik dari sejak tumbangnya rezim Utsmaniah tahun 1923 hingga konflik yang
terjadi di negara-negara Arab sekarang juga digambarkan kental dengan politik.
Karena yang
disajikan dan disorot lebih menonjol hanyalah pada angle politik, maka
jangan heran ketika banyak terjadi pendiskreditan ajaran Islam. Islam
digambarkan sebagai sosok seram, suka kekerasan, haus kekuasaan, kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Dari gambaran tersebut mestinya sejarawan Islam tidak
ikut latah, meraka harus berusaha lebih kritis dalam menggambarkan sejarah Islam. Perlu adanya
revisi penulisan sejarah islam yang lebih obyektif dan utuh. Bila tidak maka
jangan ngersulo jika roman sejarah Islam selamanya akan dinilai negatif
oleh masyarakat dunia. Ini memang pekerjaan berat dan perlu kerja kolektif.
Namun bukan hal yang mustahil jika ada niat dari para pakar sejarah Islam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !