Home » , » Politisasi Sejarah Islam

Politisasi Sejarah Islam

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Juni 2014 | 10.35


Kalau sejarah islam kita ibaratkan sebagai jasad yang memiliki anggota badan utuh, maka akan didapati bahwa kebanyakan sejarah islam selama ini yang disajikan oleh sejarawan -baik muslim maupun non muslim- berkesan  tidak utuh. Sisi politik dan konflik-konflik internal-horisontal selalu menjadi hidangan inti dalam meracik sejarah islam. Kalau politik kita analogikan sebagai kepala dan sisi-sisi yang lain merupakan anggota tubuh maka kebanyakan sejarah islam yang tercatat diredusir sedemikian rupa sehingga menjadi momok yang menakutkan. Bayangkan saja, kalau kita melihat jasad manusia tidak utuh, yang ada hanya kepala saja, orang akan merasa takut, histeris dan mungkin segera lari karena bertemu dengan penggalan kepala.
Coba sesekali luangkan waktu membaca sejarah Islam dari sirah nabi Muhammad hingga zaman modern, bau politik lebih menyengat daripada bau-bau yang lain. Sejarah Nabi Muhammad yang berada di Makkah selama 13 tahun diredusir sedemikian rupa oleh orang-orang sosialis-komunis sebagai upaya memperjuangkan kepentingan kaum proletar. Kaum kapitalis tak kalah saing dengan mengatakan bahwa sebenarnya konflik yang terjadi antara Muhammad dan orang kafir Qurays lainnya tak lain hanya masalah persaingan kapital(uang, kedudukan dan bisnis) mewarisi persaingan lama yang terjadi diantara suku Qurays terutama antara bani Abdul Muthallib, bani Abdis Syams dan bani Makhzum sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dibawa Muhammad bukanlah Islam, Islam hanya sebagai polesan saja untuk menyukseskan tujuan inti berupa meraup harta dan menjaga wibawa dan eksistensi kekuasaan bani Abdul Muthallib di bumi Makkah. Kemudian sepuluh tahun di Madinah dianggap sebagai kegiatan murni politik(mencari kekusaan) yang untuk menyukseskannya dibuatlah konsep jihad, qitaal(perang), muaakhaat(pemersaudaraan), dan berbagai macam konsep lain guna memuluskan obsesi politiknya. Dalil yang digunakan untuk mengaffirmasi statemen ini dengan menghitung secara kuantitatif angka perang yang terjadi selama berada di Madinah, hampir tiap tiga bulan ada peperangan.
Bau politik semakin semerbak ketika kematian Rasulullah terjadi. Dikatakan bahwa para sahabat membiarkan jenazah Nabi Muhammad tidak terkuburkan selama tiga hari gara-gara sibuk berkumpul di balai kota bani Saidah membahas siapa yang akan menjadi pengganti Rasulullah. Sampai akhirnya masuk pada era yang biasa disebut khulafa ar-rasyidin. Sejarah Abu Bakar digambarkan lebih bernuansa politik, kisah yang disebutkan biasanya tentang perang melawan orang-orang murtad dan enggan membayar zakat, bahkan ide pengkodifikasian al-Qur`an dianggap lahir dari atmosfir politik terbunuhnya para penghafal al-Quran di Yamamah. Kisah Umar tidak kalah nuansa politiknya, sosok Umar lebih banyak digambarkan sebagai kepala negara dan politikus sukses dengan indikator kesuksesan berupa menang perang, ekspansi militer, keadilan sosilal dan lain sebagainya. Memasuki era Utsman, bau-bau politik semakin digambar secara dominan. Sebagai pemimpin Utsman dianggap nepotisme, royal, borjuis dan terkesan kurang tegas. Bahkan kematian Utsman yang dibunuh oleh komplotan pemberontak secara tragis, lagi-lagi tak lepas dari muatan politis. Pada era Ali bin Abi Thalib anasir politik lebih banyak disorot. Pasalya, embrio, cikal-bakal konflik yang lahir kemudian digambarkan bermuara pada era ini. Di era Ali ada konflik internal muslim yang melahirkan perang Shifin, jamal dan konflik-konflik lain. Dan akibat konflik politik ini pula lahir pula gerakan-gerakan politik macam syi`ah dan Khawarij.
Demikian pula sejarah bani Umayyah digambarkan lahir dari adanya konflik politik antara Hasan bin Ali dan Muawiyyah selaku Gubernur Damaskus kala itu. Bahkan rezim bani Umayyah menjadi bulan-bulanan kritikan sejarawan, dikatakan bahwa mereka haus kekuasaan, hobi perang dan sangat benci pada ahlul bait. Sampai akhirnya tumbang karena faktor politik yang direncanakan secara strategis dan matang oleh dinasti Abbasiyah. Demikian pula pada Dinasti Abbasiyah, digambar dengan nuansa politik yang dibalut pencapaian-pencapain ilmiah yang meskipun pada akhirnya jatuh oleh pasukan Mongol karena lemahnya kekuatan politik. Belum lagi tentang perpecahan yang terjadi pada tubuh dinasti Abbasiyah yang demikian dahsyat yang ujungnya juga karena politik. Untuk seterusnya, sejarah Islam tak lepas juga dari angle politik. Sebut saja misalkan, Mughal, Safawiah sampai dinasti Utsmaniah juga sarat akan nuansa politik. Bahkan kalau kita tarik dari sejak tumbangnya rezim Utsmaniah tahun 1923 hingga konflik yang terjadi di negara-negara Arab sekarang juga digambarkan kental dengan politik.
Karena yang disajikan dan disorot lebih menonjol hanyalah pada angle politik, maka jangan heran ketika banyak terjadi pendiskreditan ajaran Islam. Islam digambarkan sebagai sosok seram, suka kekerasan, haus kekuasaan, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dari gambaran tersebut mestinya sejarawan Islam tidak ikut latah, meraka harus berusaha lebih kritis dalam  menggambarkan sejarah Islam. Perlu adanya revisi penulisan sejarah islam yang lebih obyektif dan utuh. Bila tidak maka jangan ngersulo jika roman sejarah Islam selamanya akan dinilai negatif oleh masyarakat dunia. Ini memang pekerjaan berat dan perlu kerja kolektif. Namun bukan hal yang mustahil jika ada niat dari para pakar sejarah Islam.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan