Home » » Manajemen Bakul Klepon

Manajemen Bakul Klepon

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 21 Juni 2014 | 10.33


            Sepulang dari acara diskusi yang membahas tentang, ‘peluang dakwah di jagad media’, Sarikhuluk mendapatkan oleh-oleh menarik yang bisa diceritakan kepada teman-teman kampungnya di rumah. Ia sampai rumah ba`da Isya` dan langsung bergabung dengan Paijo, Paimen, Parman dan Paidi. “Arek-arek, tadi pas aku di seminar tentang ‘peluang dakwah di jagad media’ ada pernyataan menarik yang perlu aku bagikan pada kalian. Syukur-syukur nanti bisa dielaborasi dengan kondisi riil di kampung kita” dengan mantap Sarikhuluk memulai pembicaraan. “emang apa pernyataan menariknya?” tanya Paijo penasaran. “Di sela-sela pembicaraan, narasumber –wartawan senior Gatra( Harry Muhammad)- menyatakan tentang: Manajemen Bakul Klepon” jawab Sarikhuluk. “Kalau kata ‘manajemen’ aku mengerti, kata ‘klepon’ pun aku juga mengerti. Tapi apa Luk maksud dari ‘manajemen bakul klepon’” tanya Paimen keheranan. “Manajemen Bakul Klepon, adalah istilah yang didapat oleh narasumber dari salah satu bakul klepon yang ia kenal. Bakul klepon mempunyai manajemen seperti ini: bangun dini hari, kerja sendiri, kalau sudah jadi nanti dijual sendiri. Menjualnya harus sampai habis dan cepat, karena klepon merupakan kue yang ada taburan kelapa yang membuat tak tahan lama. Jika sampai malam tidak laku-laku, maka klepon akan mambu(busuk) tak layak dikonsumsi. Ini artinya: rugi waktu, rugi tenaga, dan rugi usaha. Suatu gambaran manajemen yang dikerjakan secara perorangan tanpa melibatkan orang lain. Manfaatnya kalaupun ada sangat terbatas tak sampai meluas, tapi resikonya kalau gagal dijual, pasti rugi waktu, tenaga dan usaha. Jadi, istilah ‘manajemen bakul klepon’ adalah manajemen yang dilakukan oleh individu tanpa melibatkan peran orang lain, sekup manfaatnya sangat terbatas dan kecil, dengan risiko kerugian yang tak kecil. Begitu kira-kira inti dari ‘manajemen bakul klepon’.
            “Lha kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’ apa Luk?” tanya Paidi. “O iya sampai lupa. Istilah itu diangkat oleh narasumber untuk menganalogikan orang-orang yang suka menulis di blogg internet. Ia nulis sendiri, dibaca sendiri, diamati sendiri, manfaatnya sangat sedikit, terbatas hanya untuk diri sendiri dan orang tertentu saja yang tahu bloggnya. Ia merasa puas dengan sekadar menulis dan menikmatinya sendiri. Sehingga manfaat tulisan yang ia buat tidak meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Karena tulisannya hanya dinikmati sendiri, lama-lama tulisan pun akan dilupakan dan tak bisa dimanfaatkan ibarat klepon yang mambu(sudah busuk). Penulis semacam ini  sangat menyia-nyiakan bakat, dan manfaat. Seharusnya bakatnya bisa dipertajam dengan menulis di media-media cetak untuk berdakwah yang sekaligus bernilai manfaat sosial, tetapi malah merasa cukup dengan hanya menulis di blogg saja. Demikian kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’” jawab Sarikhuluk. “Ealah Luk, gitu toh maksudnya. Kalau aku boleh mengelaborasi, istilah itu sebenarnya juga sangat relevan dengan kondisi kepala desa di kampung kita” sahut Paimen. “Maksudmu apa Men?” tanya Paijo. “Apa kamu tidak melihat gaya kepemimpinan Kepala Desa kita, Satuman? Dia itu sudah bertahun-tahun jadi kepala desa, tapi manfaat untuk masyarakat desa sangat kecil. Memang dia secara formal menjadi Kepala Desa, tetapi ia samasekali tak mempunyai kemampuan leadership yang cakap. Sehingga apa-apa dikerjakan sendiri, diatur sendiri, digagalkan sendiri. Siapa saja pengurus yang tak nurut pasti akan dipecat. Akhirnya para pengurus desa membiarkannya melakukan tindakan semaunya sendiri, yang penting tidak merusak kepentingan mereka. Dia semakin kaya, tapi masyarakat semakin sengsara. Merupakan gaya kepemimpinan semi-otoriter yang kadar manfaatnya sangat sedikit. Diri merasa hebat, padahal masyarakan tambah melarat.” Sahut Parman menjelaskan.
            “Kalau itu yang dimaksud ya bukan saja mencakup masalah dunia kepenulisan dan kepala desa saja. Secara subtansi, makna dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ bisa merambat ke ranah manajemen apapun. Bisa manajemen pendidikan, kesehatan, sosial, instansi agama, perusahaan, media massa dan apapun saja yang membutuhkan manajemen. Contoh konkrit misalkan dalam dunia pendidikan; betapa banyak Kepala Sekolah yang menjadi kepala sekolah yang individualis. Dia memimpin dengan gaya semaunya sendiri. Semua dikerjakan sendiri, Bila ada yang protes pasti akan dimarah-marahin. Demikian dalam ranah kesehatan. Dokter dengan semena-mena mengharuskan pasien untuk mengonsumsi obat dengan kemauannya sendiri tak melihat pada dosis-dosis yang seharusnya. Demikian juga dalam ranah perusahaan dimana manajer memberlakukan manajemen yang egoistis, sehingga membuat para pekerja sengsara dengan pekerjaannya. Media massa pun bisa terkena istilah tersebut ketika media massa yang harus netral menjadi tidak netral. Media massa dijadikan alat untuk meluluskan kepentingan pihat tertentu, tanpa mempertimbangakan manfaat sosial dan normo-hukum. Yang menguntungkan diri –meski salah- terus didukung, sedang yang merugikan diri –meski benar- pasti dipasung. Sekarang ini adalah masa dimana ‘manajeman bakul klepon’ menggejala di mana-mana. Kebanyakan orang sudah menjadi individualistik, egoistik dan memperjuangankan kepentingan golongan tertentu. Meskipun secara normatif-sosial, slogan-slogan yang disampaikan untuk kepentingan orang banyak, tapi pada kenyataannya hak sosial diinjak-injak. Berjuang untuk diri sendiri, mencari bahan-bahan untuk perjuangan diri, yang ditujukan untuk kepentingan sendiri. Aduh kalau yang semacam ini memang sudah banyak kita jumpai di negara kita.” Tambah Paijo.
            “Oke sekarang gini, kata kunci dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ `kan tadi sudah dielaborasi dengan realita yang ada. Nah sekarang yang penting kita pikirkan ialah apakah kita sebagai individu sudah steril dengan istilah itu? Jangan sampai kita itu hanya pandai mengungkap dan mengkritisi masalah, sedangkan diri sendiri melakukannya dan tak bisa mencari solusi. Diantara istilah berikut sebenarnya kita masuk yang mana: problem spiker(pembicara masalah), problem maker(pembuat masalah), atau problem solver(pemecah masalah)? Setelah kita diskusi nanti harus ada tindaklanjutnya atau followup-nya. Mungkin di desa kita banyak sekali fenomena seperti itu, tapi yang terlebih penting ialah kita introspeksi diri dulu, apakah kita masuk kategori itu apa tidak. Kalau memang sudah bersih, tentunya harus disikapi dengan sikap sebaik-baiknya. Banyak sekali orang tak mau berubah dari kesalahannya gara-gara disikapi dengan cara yang salah. Orang bersalah itu sebenarnya tak membutuhkan banyak petuah, tapi teladan yang bisa menarik hatinya. Ia sendiri sebenarnya tahu kalau salah, tetapi ia juga memerlukan dorongan keteladanan dari luar dirinya agar bisa bangkit dari kesalahannya. Forum diskusi di pendopo Al-Ikhlas ini sebenarnya aku buat untuk mangatalisatori perubahan-perubahan sosial dengan cara sebaik-baiknya melalui diskusi yang bebas, mencerahkan dan mencerdaskan. Kita juga bukan saja berhenti pada ranah diskusi saja, tetapi juga bergerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan. Aku berusaha memfasilitasi –meski dengan fasilitas skadarnya- setiap apa saja dan siapa saja yang mau berubah menjadi lebih baik dan mau bermanfaat dengan manfaat seluas-luasnya. Berkaca pada semangat islam yang ‘rahmatan lil `âlamin(rahmat bagi sekalian alam)’, maka seharusnya kita berusaha selalu di garda depan dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya” demikian Sarikhuluk memuncaki diskusi.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan