Sepulang
dari acara diskusi yang membahas tentang, ‘peluang dakwah di jagad media’,
Sarikhuluk mendapatkan oleh-oleh menarik yang bisa diceritakan kepada
teman-teman kampungnya di rumah. Ia sampai rumah ba`da Isya` dan langsung
bergabung dengan Paijo, Paimen, Parman dan Paidi. “Arek-arek, tadi pas aku di
seminar tentang ‘peluang dakwah di jagad media’ ada pernyataan menarik yang
perlu aku bagikan pada kalian. Syukur-syukur nanti bisa dielaborasi dengan
kondisi riil di kampung kita” dengan mantap Sarikhuluk memulai pembicaraan. “emang
apa pernyataan menariknya?” tanya Paijo penasaran. “Di sela-sela pembicaraan,
narasumber –wartawan senior Gatra( Harry Muhammad)- menyatakan tentang: Manajemen
Bakul Klepon” jawab Sarikhuluk. “Kalau kata ‘manajemen’ aku mengerti, kata ‘klepon’
pun aku juga mengerti. Tapi apa Luk maksud dari ‘manajemen bakul klepon’” tanya
Paimen keheranan. “Manajemen Bakul Klepon, adalah istilah yang didapat oleh
narasumber dari salah satu bakul klepon yang ia kenal. Bakul klepon mempunyai
manajemen seperti ini: bangun dini hari, kerja sendiri, kalau sudah jadi nanti
dijual sendiri. Menjualnya harus sampai habis dan cepat, karena klepon merupakan
kue yang ada taburan kelapa yang membuat tak tahan lama. Jika sampai malam
tidak laku-laku, maka klepon akan mambu(busuk) tak layak dikonsumsi. Ini
artinya: rugi waktu, rugi tenaga, dan rugi usaha. Suatu gambaran manajemen yang
dikerjakan secara perorangan tanpa melibatkan orang lain. Manfaatnya kalaupun
ada sangat terbatas tak sampai meluas, tapi resikonya kalau gagal dijual, pasti
rugi waktu, tenaga dan usaha. Jadi, istilah ‘manajemen bakul klepon’ adalah
manajemen yang dilakukan oleh individu tanpa melibatkan peran orang lain, sekup
manfaatnya sangat terbatas dan kecil, dengan risiko kerugian yang tak kecil.
Begitu kira-kira inti dari ‘manajemen bakul klepon’.
“Lha
kaitannya dengan ‘peluang dakwah di jagad media’ apa Luk?” tanya Paidi. “O iya
sampai lupa. Istilah itu diangkat oleh narasumber untuk menganalogikan
orang-orang yang suka menulis di blogg internet. Ia nulis sendiri, dibaca
sendiri, diamati sendiri, manfaatnya sangat sedikit, terbatas hanya untuk diri
sendiri dan orang tertentu saja yang tahu bloggnya. Ia merasa puas dengan
sekadar menulis dan menikmatinya sendiri. Sehingga manfaat tulisan yang ia buat
tidak meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Karena tulisannya hanya dinikmati
sendiri, lama-lama tulisan pun akan dilupakan dan tak bisa dimanfaatkan ibarat
klepon yang mambu(sudah busuk). Penulis semacam ini sangat menyia-nyiakan bakat, dan manfaat.
Seharusnya bakatnya bisa dipertajam dengan menulis di media-media cetak untuk
berdakwah yang sekaligus bernilai manfaat sosial, tetapi malah merasa cukup
dengan hanya menulis di blogg saja. Demikian kaitannya dengan ‘peluang dakwah
di jagad media’” jawab Sarikhuluk. “Ealah Luk, gitu toh maksudnya. Kalau aku
boleh mengelaborasi, istilah itu sebenarnya juga sangat relevan dengan kondisi
kepala desa di kampung kita” sahut Paimen. “Maksudmu apa Men?” tanya Paijo. “Apa
kamu tidak melihat gaya kepemimpinan Kepala Desa kita, Satuman? Dia itu sudah
bertahun-tahun jadi kepala desa, tapi manfaat untuk masyarakat desa sangat
kecil. Memang dia secara formal menjadi Kepala Desa, tetapi ia samasekali tak
mempunyai kemampuan leadership yang cakap. Sehingga apa-apa dikerjakan
sendiri, diatur sendiri, digagalkan sendiri. Siapa saja pengurus yang tak nurut
pasti akan dipecat. Akhirnya para pengurus desa membiarkannya melakukan tindakan
semaunya sendiri, yang penting tidak merusak kepentingan mereka. Dia semakin
kaya, tapi masyarakat semakin sengsara. Merupakan gaya kepemimpinan
semi-otoriter yang kadar manfaatnya sangat sedikit. Diri merasa hebat, padahal
masyarakan tambah melarat.” Sahut Parman menjelaskan.
“Kalau
itu yang dimaksud ya bukan saja mencakup masalah dunia kepenulisan dan kepala
desa saja. Secara subtansi, makna dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ bisa
merambat ke ranah manajemen apapun. Bisa manajemen pendidikan, kesehatan,
sosial, instansi agama, perusahaan, media massa dan apapun saja yang
membutuhkan manajemen. Contoh konkrit misalkan dalam dunia pendidikan; betapa
banyak Kepala Sekolah yang menjadi kepala sekolah yang individualis. Dia
memimpin dengan gaya semaunya sendiri. Semua dikerjakan sendiri, Bila ada yang
protes pasti akan dimarah-marahin. Demikian dalam ranah kesehatan. Dokter
dengan semena-mena mengharuskan pasien untuk mengonsumsi obat dengan kemauannya
sendiri tak melihat pada dosis-dosis yang seharusnya. Demikian juga dalam ranah
perusahaan dimana manajer memberlakukan manajemen yang egoistis, sehingga
membuat para pekerja sengsara dengan pekerjaannya. Media massa pun bisa terkena
istilah tersebut ketika media massa yang harus netral menjadi tidak netral.
Media massa dijadikan alat untuk meluluskan kepentingan pihat tertentu, tanpa
mempertimbangakan manfaat sosial dan normo-hukum. Yang menguntungkan diri –meski
salah- terus didukung, sedang yang merugikan diri –meski benar- pasti dipasung.
Sekarang ini adalah masa dimana ‘manajeman bakul klepon’ menggejala di
mana-mana. Kebanyakan orang sudah menjadi individualistik, egoistik dan memperjuangankan
kepentingan golongan tertentu. Meskipun secara normatif-sosial, slogan-slogan
yang disampaikan untuk kepentingan orang banyak, tapi pada kenyataannya hak
sosial diinjak-injak. Berjuang untuk diri sendiri, mencari bahan-bahan untuk
perjuangan diri, yang ditujukan untuk kepentingan sendiri. Aduh kalau yang
semacam ini memang sudah banyak kita jumpai di negara kita.” Tambah Paijo.
“Oke
sekarang gini, kata kunci dari istilah ‘manajemen bakul klepon’ `kan tadi sudah
dielaborasi dengan realita yang ada. Nah sekarang yang penting kita pikirkan
ialah apakah kita sebagai individu sudah steril dengan istilah itu? Jangan sampai
kita itu hanya pandai mengungkap dan mengkritisi masalah, sedangkan diri sendiri
melakukannya dan tak bisa mencari solusi. Diantara istilah berikut sebenarnya
kita masuk yang mana: problem spiker(pembicara masalah), problem
maker(pembuat masalah), atau problem solver(pemecah masalah)? Setelah
kita diskusi nanti harus ada tindaklanjutnya atau followup-nya. Mungkin
di desa kita banyak sekali fenomena seperti itu, tapi yang terlebih penting
ialah kita introspeksi diri dulu, apakah kita masuk kategori itu apa tidak.
Kalau memang sudah bersih, tentunya harus disikapi dengan sikap sebaik-baiknya.
Banyak sekali orang tak mau berubah dari kesalahannya gara-gara disikapi dengan
cara yang salah. Orang bersalah itu sebenarnya tak membutuhkan banyak petuah,
tapi teladan yang bisa menarik hatinya. Ia sendiri sebenarnya tahu kalau salah,
tetapi ia juga memerlukan dorongan keteladanan dari luar dirinya agar bisa
bangkit dari kesalahannya. Forum diskusi di pendopo Al-Ikhlas ini sebenarnya
aku buat untuk mangatalisatori perubahan-perubahan sosial dengan cara
sebaik-baiknya melalui diskusi yang bebas, mencerahkan dan mencerdaskan. Kita
juga bukan saja berhenti pada ranah diskusi saja, tetapi juga bergerak dalam
bidang sosial-kemasyarakatan. Aku berusaha memfasilitasi –meski dengan
fasilitas skadarnya- setiap apa saja dan siapa saja yang mau berubah menjadi
lebih baik dan mau bermanfaat dengan manfaat seluas-luasnya. Berkaca pada
semangat islam yang ‘rahmatan lil `âlamin(rahmat bagi sekalian alam)’,
maka seharusnya kita berusaha selalu di garda depan dalam mengaplikasikan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya” demikian Sarikhuluk memuncaki diskusi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !