“Mama ..... Papa ..... Mama .....
Papa ..... Kembali kesini Ma ..... Pa ..... aku butuh kalian ..... Kenapa
kalian pergi secepat ini?”. Demikian teriak Pandu Gumelang ketika puncak
kekesalan mengelamkan jiwanya. Waktu itu Ia sedang berada di atas jembatan.
Hampir saja ia bunuh diri kalau saja tak diselamatkan oleh orang yang sedang
lewat di jembatan. Ia sudah kehilangan akal sehat. Dirinya dipenuhi penyesalan
dan kekesalan sedemikian dalam, meratapi nasibnya yang semakin parah dan
terperi. Seminggu yang lalu Ia adalah anak orang kaya raya dan masih bisa
berfoya-foya mentraktir temannya. Kenikmatan yang ia sia-siakan itu sontak
berhenti seketika ketika kedua orang tuanya meninggal lantaran kecelakaan
pesawat terbang. Parahnya tanpai diketahui, orang tuanya mempunyai hutang yang
sedemikian banyak di bank sehingga untuk melunasinya mau tak mau rumah harus
dijual. Setelah dijual, ternyata belum juga menutupi kekurangannya sehingga
aset-aset lain turut disita. Praktis di hari duka itu tepatnya hari Rabu malam,
Pandu merasa hatinya tersayat. Air matanya meleleh sedemikian rupa. Ia tak
kuasa menahan tangis yang semakin menjadi-jadi lantaran kemarin Ia melihat
kedua orang tuanya sehat-sahat saja, kemudian secara tak terduga ia mendapat
kabar yang begitu menyesakkan hati. Orang yang selama ini Ia sayangi pergi
meninggalkan Ia untuk selama-lamanya.
Sepeninggal orang tuanya, ia sama
sekali tak mendapat warisan apapun karena sudah habis untuk bayar hutang. Ia
akhirnya diajak tinggal bersama pamannya yang sangat bersahaja bahkan bisa
dibilang kurang mampu bila memakai standar kehidupan orang pada umumnya. Bibi
iparnya tergolong sebagai bibi yang sangat cerewet bila terjadi ketidak beresan
dalam rumah tangganya. Profesi paman Pandu ketika itu ialah menjadi badut
keliling untuk mengais rizki. Saat pertama kali sampai di rumah pamannya –
belum hilang rasa kesedihan dan penyesalannya – bibinya langsung bilang: “Pak
..... besok ajak saja Pandu mbadut nyari uang! Ia sekarang bukan Ia yang
dulu yang bisa foya-foya seenaknya. Kita ini orang ga punya kalau ga kerja ya
ga bisa makan. Mencari duit itu ga gampang”. Mendengar kata-kata bibinya yang
agak sinis itu Pandu semakin sedih dan tak kuasa membendung air mata. Pamannya
yang bernama Prayitno, mencoba membesarkan hatinya: “Lhe kamu jangan
gampang kecil hati gitu, jangan terlalu diambil hati ucapan bibimu tadi, kamu
kan tahu kalau karakter bicaranya memang seperti itu, yang jelas Ia
menginginkan kebaikan untuk dirimu”. Pandu tak berkomentar sedikitpun. Yang ada
di benaknya sekarang ialah kesedihan demi kesedihan yang menguras air matanya.
Malam itu ia larut dalam kesedihannya. Ia sama sekali tak bisa tidur.
Keesokan harinya, mau tak mau ia
harus ikut pamannya kerja menjadi tukang badut. Ia diberi pilihan oleh
pamannya, mau mbadut sendiri apa bersama paman. Pandu memilih untuk mabdut
sendiri. Dalam hatinya perkara mbadut mungkin dikira sangat gampang.
Mulailah ia memakai kostum badutnya sembari berjalan kaki puluhan kilo meter di
rumah warga-warga yang berada di luar kota. Tak seperti yang ia duga
sebelumnya, selama ia melakukan tarian-tarian aneh sambil membawa tip musik, ia
hanya mendapat uang sangat sedikit, padahal ia sudah berjalan berkilo-kilo.
Waktu sudah sedemikian senja. Malangnya, sudah mendapat uang sedikit, setiap
kali mbadut ia sering mendapat komentar sinis dari warga. Hati Pandu
serasa diiris-iris. Bahkan yang membuatnya naik pitam, ketika ia sudah
capek-capek menghibur dengan gaya tarian seadanya, bukan malah dikasih uang,
yang ada malah mendapat ejekan yang sangat menyedihkan hati. Dari ratusan rumah
yang ia datangi bukan hanya mendapat cibiran dan ejekan bahkan beberapa ruma
atau secara khusus blog perumahan tertentu dengan sengaja mengusirnya dengan
paksa. Hari sudah sedemikian senja, yang Ia dapat hanya beberapa uang receh dan
kekesalan yang luar biasa. Ia tak pernah memperkirakan semua ini terjadi.
Kehidupannya berubah drastis menjadi 180 derajat. Hari itu merupakan hari yang
sangat menyedihkan baginya. Kesedihannya yang sedemikian dahsyat lantaran
kehilangan orang tua dan harta, sekarang malah ditambah mendapat perlakuan
orang yang sangat memilukan hati.
Ia berjalan terus sambil merasakan
kesedian yang luar biasa. Sampai pada akhirnya ia berjalan di atas jembatan.
Matanya sudah gelap dan tak bisa berpikir jernih. Hatinya membatin: “apa
gunanya hidup kalau ternyata aku semakin hina dan dihinakan”. Sontak setelah
itu Ia letakkan baju badut dan tip musiknya di atas jembatan, kemudian Ia
bertekad untuk bunuh diri. Ketika sudah siap loncat dari jembatan dari tak jauh
dari posisinya berdiri, ada penjual bakso lewat yang dengan sigap menariknya
dengan paksa sampai akhirnya Pandu terjatuh dipelataran jembatan. Untung saja
penjual bakso itu datang pada waktu yang pas. Kalau seandainya terlambat satu
detik saja, maka Pandu sudah menjadi bangkai, atau minimal akan menjadi orang
cacat seumur hidup kalaupun bisa hidup. Penjual bakso itu segara menyadarkan:
“Mas ada apa mas kok sampai mau bunuh diri, istighfar mas...istighfar....kamu
lho masih sangat muda, kenapa harus mengakhiri hidup sedini ini. Emang kalau
dah meninggal enak gitu? Dah bebas? Ndak mas, yang ada malah kamu dapat siksaan
dari Tuhan. Orang mati bunuh diri itu sangat menyedihkan, lari dari masalah
dunia menuju masalah akhirat, lha ketika di akhirat kan disiksa lantaran
ingin mendahului kuasa Tuhan, mati ga usah disegerakan seperti itu nanti juga
datang sendiri”. Pandu akhirnya bercerita dengan panjang lebar mengenai
kondisinya saat ini. Sampai pada akhirnya penjual bakso menasihatinya dengan
nasihat berikut: “yang sudah berlalu ndak usah dipikir lagi, entar saya bantu
kamu nyari kerja, semakin berat ujian dan cobaan sejatinya orang itu
dikehendaki mendapat kebaikan jika mau sadar dan mengambil hikmah darinya”.
Sejak saat itu Pandu melalui hari-harinya dengan semangat baru, ia mendapatkan
hikmah begitu besar berupa: “Jangan sekali-kali menyia-nyiakan nikmat dari
Allah, karena kenikmatan yang tak beriring syukur akan menjadi bencana bagi
kehidupan. Banyak sekali orang sukses ketika diuji dengan kesusahan, tapi sangat
jarang orang sukses ketika diuji dengan kenikmatan berupa keberlimpahan harta”.
Beberapa tahun kemudian Ia sudah alih profesi menjadi penjual bakso yang
sukses, dan Alhamdulillah dikaruniai istri shalihah dan dua orang anak
laki-laki dan perempuan. Ia menjadi sukses karena ditempa seemikian rupa pada
realitas kehidupan. Kematian kedua orang tuanya serta lenyapnya harta di satu
sisi membawa hikmah tersendiri baginya. Ia mendapat pelajaran yang begitu
berharga dari semua peristiwa yang telah Ia alami. Ia menjadi mengerti bahwa
ujian seberat apapun dari Tuhan, jangan pernah disikapi dengan keputusasaan.
Keputusasaan hanya akan mengantarkan orang pada kesedihan yang berlipat-lipat.
Orang yang gampanga putus asa dan mengahadapi hidup dengan putus asa dan pesimis,
akan dijauhkan dari rahmat Tuhan. Bukankah salah satu karakter mendasar orang
kafir ialah putus asa terhadap rahmat Tuhan. Kenikmatan atau kesusahan pada
dasarnya merupakan sama-sama ujian dari Tuhan. Namun pada umumnya orang menilai
bahwa ujian hanya berisi sesuatu yang tak enak dan menyusahkan. Mereka tak
sadar bahwa apa saja yang dialami dan dimiliki berupa kesenangan dan kesusahan
semua merupakan ujian hidup. Mungkin sangat banyak pemuda mengalami nasib
seperti Pandu, kehilangan sesuatu yang sangat berharga ketika masa mudanya.
Namun sangat sedikit yang mampu menaladinya untuk tetap bangkit dan optimis
menjemput rahmat Tuhan yang begitu tak terbatas. Benar memang antara yang
dikata jauh dengan yang di realita, namun dengan keyakinan penuh akan rahmat
Tuhan, kemudian disertai dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh, maka Tuhan tidak
akan menyia-nyiakan usaha hamba-hambanya. Innallah la yudhi`u `amala
`aamilin minkum(sesungguhnya Allah tak akan menyia-nyiakan amalan orang
yang beramal di antara kalian).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !