Home » » "Kelana Cinta Sabrina" Bag: I.

"Kelana Cinta Sabrina" Bag: I.

Written By Amoe Hirata on Jumat, 25 April 2014 | 18.11

Senyum manis Sabrina terburai lepas tanpa beban. Wajahnya terlihat sumrigah bahagia. Sama gembiranya dengan sekawanan burung merpati yang sedang terbang bebas di udara. Sama senangnya dengan sekelompok ikan emas yang sedang menari-nari di air dengan sirip indahnya. Sama bahagianya dengan sekumpulan belalang yang yang melompat-lompat dengan kaki lentiknya. Senyum kebahagiaan benar-benar menyelimuti jiwa dan raganya. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah baginya dan teman-temannya. Pasalnya, setelah enam tahun lamanya nyantri di pondok  As-Syifa`, akhirnya tiba saatnya hari kelulusan. Tepat hari ini, hari Jum`at, diselenggarakan acara perpisahan ma`had. Ia benar-benar bergembira sekaligus sedih. Gembira karena telah lulus dengan prestasi yang memuaskan, sedih karena ia akan berpisah dengan pondok dan teman-teman tercintanya. 
Sabrina selama ini dikenal sebagai anak yang pintar, cerdas, baik, supel, sangat menjaga kesucian diri serta hafal Al-Qur`an. Dalam dasar sanubarinya ke depan ia bercita-cita menjadi dokter muslimah teladan yang mampu berkontribusi luas untuk semua manusia khususnya muslim. Ia terobsesi menjadi dokter lantaran berangkat dari rasa keprihatinan tentang sedikitnya dokter muslim yang benar-benar mengerti tentang agama sehingga pada praktiknya nilai-nilai agama cendrung dinomerduakan. Fakta di lapangan juga membuatnya prihatin, betapa banyak sekali pasien-pasien wanita yang ditangani oleh dokter pria yang sama sekali bukan mahramnya. Karena itulah dia sengat bersemangat untuk menjadi dokter, di samping untuk menebarkan rahmat bagi sekalian alam ia juga mempunyai misi suci berupa da`i.
          Sabrina telah mengikuti beberapa seleksi di Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur seperti UNAIR(Universitas Air Langga),dan lain sebagainya. Dengan kecerdasan dan kepintaran yang dimilikinya sekaligus doa yang tiada henti pada akhirnya keinginannya untuk masuk di fakultas kedokteran, akhirnya terkabul. Ia bisa lulus seleksi di UNAIR dengan nilai yang lumayan bagus. Ia sujud syukur bahagia. Ia merasa nikmat Allah sungguh sangat luas dan tanpa batas. Dalam hati ia berjanji akan senantiasa mensyukuri nikmat Allah dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga batasan-batasan yang teah ditetapkan dalam agama. Ia menyadari betul bahwa lingkungan yang dia hadapi saat ini sama sekali berbeda dengan lingkungan pondok yang ia singgahi selama ini. Ke depan akan banyak ujian dan cobaan yang siap menimpanya. 
         Ternyata terbukti, setelah satu bulan menjalani kuliah banyak sekali godaan yang ia alami. Dari pakaian yang dianggap ketinggalan jaman, ga gaul, sampai banyak sekali yang mengajaknya berpacaran. Teman-teman cewek sekuliahnya, yang berjilbab hanya lima orang, hanya dia yang benar-benar memenuhi setandar jilbab syar`i, sedangkan yang lain, lebih layak disebut kerudung gaul yang lagi nge-trand saat ini. Di tambah lagi tidak semua teman-temannya yang beragama Islam, dan gaya hidupnya pun sangat banyak yang hedonis dan foya-foya, sehingga untuk bertahan dilingkungan seperti ini dibutuhkan  ketangguhan iman yang mumpuni. Bila tidak maka akan terlibas oleh arus lingkungan yang sama sekali kontras dengan lingkungan yang selama ini ia tempati.
          Hari demi hari ia lalui kuliah dengan penuh tekanan dan beban. Ia merasa asing, aneh dan jemu. Hampir-hampir saja ia memutuskan untuk keluar dari kampus karena tak betah melihat lingkungan yang sama sekali berbeda dengan yang ia tempati selama ini. Kalau dulu semasa di pondok, ia bisa menjaga diri dan disiplin karena lingkungan yang mendukung, banyak yang mengingatkan serta aturan yang super ketat, maka sekarang kesadaran itu harus benar-benar tumbuh dari dalam jiwa. Tiada lagi yang namanya aturan, dukungan teman dan sistem yang ketat untuk mengendalikan diri, selain berpegangteguh dengan nilai-nilai agama yang selama ini diimani. Di setiap penghujung malam setelah selesai menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu menangis, memohon, mengadukan kelemahannya keharibaan Tuhannya. Ia sadar bahwa tiada satupun di alam ini yang mampu menolongnya kecuali Allah shubhanahu wata`ala. Dalam munajatnya ia mengadu: “wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada(ajaran) agamamu “.
          Esok hari, tepatnya hari Senin ketika ia kuliah ada sesuatu yang lain menurut dia dibanding dengan hari-hari yang lain. Di kampus ada sosok mahasiswa yang asing. Selama kuliah ia belum pernah menjumpai sosok mahasiswa baru itu. Setelah ditelisik akhirnya ia tahu juga bahwa nama mahasiswa itu aialah Arman Panji Nagara. Merupakan salah satu mahasiswa baru juga di fakultas kedokteran, yang baru bisa masuk sebulan kemudian lantaran harus menemani ayahnya yang sedang mengalami sakit kritis – kanker hati- di Singapura. 
              Pada hari Senin ini akhirnya ia bisa bergabung bersama teman-teman sekampusnya. Profil dari Arman ialah sosok mahasiswa alim, berjenggot, tampan, berkulit putih, berambut ikal, dan terkenal sebagai aktifis dakwah. Meskipun ia adalah anak baru di kampus, namun namanya sudah jauh –jauh hari terkenal di kampus-kampus karena kepiawaiannya dalam berdakwah. Ia masuk kedokteran karena amanah dari mendiang ibunya yang kebetulan juga seorang dokter terkenal. Pertama kali melihat Arman, Sabrina merasa seolah ada keteduhan dan kesejukan di dalam hatinya. Ia merasa tidak sendirian lagi, ia merasa tidak asing lagi, karena ada sosok ikhwan yang sefikroh dan sejalan dengannya. Minimal dengan adanya Arman ia bisa sharing dan tukar pengalaman, tentu saja dengan tetap menjaga aturan-aturan agama yang dipegang erat olehnya.
          Beberapa bulan kemudian, keduanya sudah saling mengenal dan akrab. Tanpa disadari keakraban yang terjalin semakin lama semakin membuat keduanya tak sadar bahwa banyak prinsip-prinsip nilai agama yang dilanggar. Kalau dulu Si Sabrina sangat menjaga pandangan, sekarang sudah tak ada lagi rasa sungkan atau risih untuk melihat Arman, sudah menjadi hal biasa canda-tawa dan pandang memandang. Kalau dulu Sabrina rajin shalat Tahajud, kini sudah sangat jarang bahkan pada akhir-akhir bulan ini hanya mengerjakan satu kali selama sebulan, itupun karena diajak -melalui sms- oleh Arman. Kalau dulu ia rajin membaca dan mentadabburi Al-Qur`an, sekarang semakin jarang bahkan mentadaburi saja tidak. Meski sangat akrab dengan Arman, Sabrina sama sekali tak ada rasa cinta dengan Arman. Ia merasa bahwa Arman adalah teman sefikroh dan dianggap sebagai kakaknya sendir. Melalui Arman, Ia akhirnya banyak dikenalkan dengan aktifis-aktifis perempuan dakwah kampus, sehingga akses dan pergaulannya semakin lebar. Di samping itu ia juga bisa menyalurkan keilmuan yang ia dapat dari pesantren berikut mengajarkan tahfidz pada teman-temannya.         
          Hari selasa, ketika Sabrina pulang bersama Arman, ia melewati taman yang di situ ada satu mahasiswa fakultas sejarah yang sedang asik membaca buku. Namanya Rino, Sang penggemar studi sejarah. Berambut panjang ikal sebahu, berkulit sawo matang, dan berpenampilan acak-acakan layaknya mahasiswa yang notabene dianggap nakal di kampus. Ketika melintasi taman itu, dalam hati Sabrina sedikit tumbuh benih-benih kesombongan dan peremehan terhadap Rino. Dalam hati ia berujar: “ Alah anak semacam ini aku yakin anak yang sangat nakal, sudah dandanannya acak-acakan, rambutnya pandajang, pakek sok intelek mbaca buku lagi. Ah ya Allah jangan sampai Engkau jodohkan aku dengan orang semacam ini. Na`udzubillah min dzalik(kita berlindung pada Allah dari yang demikian itu)”. Dari kejauhan selintas Rino juga sempat memandang ke arah Sabrina. Sorot matanya begitu tajam ke arah Sabrina. Rina merasa cewek idaman yang selama ini ia idam-idamkan seolah dikirim oleh Malaikat untuk melintas dihadapannya. Begitu sejuk sekali hatinya. Melihat cewek yang berjilbab, cantik dan sangat menjaga diri. Namun yang membuat Rino bertanya-tanya ialah kenapa ia berjalan dengan cowok?. “Ah mungkin suaminya” celetuknya. “Tapi kalau suaminya kenapa mesti jaga jarak seperti itu”. Rino semakin penasaran dengan cewek yang lewat didepannya itu. Beberapa hari kemudian setelah Rino mencari informasi dari sahabatnya yang beragama Kristen yaitu Amel, akhirnya ia tahu bahwa cewek yang melintas di depannya bernama Sabrina, yang merupakan cewek yang alim, berhijab, cerdas dan berprestasi. Sedangkan yang sering jalan dengannya bukanlah suaminya, tapi sekadar teman akrab yang sama-sama bergerak dalam bidang dakwah. Mendengar penuturan sahabatnya mengenai Sabrina, Si Rino tambah bersemangat untuk mengetahui lebih banyak tentang Sabrina.

*********
            Sore hari, Amel bersama Bagus pergi mengunjungi Rino di kos-kosannya.  Sesampainya di sana, rupanya Rino sedang asyik melamun bertemankan sebuah pulpen dan buku diary-nya. Karuan aja Amel sama Bagus langsung mengagetkannya. “Hayoooo...... Lagi nglamun apa.........? Sabrina ya.....? heeee” ditepuklah pundak Rino oleh Amel dan Bagus secara bersamaan. Dengan mimik yang terlihat kaget Rino langsung menyahuti mereka berdua, “Ooo .... Si Ratu Kecantikan dan Raja Katak rupanya hehehe, hampir saja jantungku copot gara-gara  ulah kalian. Apa kabar bro .... tumben hari Sabtu ke sini? Bukannya kalian berdua ada kegiatan sosial?” tanya Rino pada Amel dan Bagus. “ Ooo kami lagi free bro. Kami kangen banget sama kamu. Kan lama kita ga ngumpul bareng kayak gini. Rino, ini kos-kosan atau toko buku, kok kamar kos 75% isinya buku?” tanya amel keheranan. “Hee ... biasa Mel, sudah terlanjur cinta. Bagiku, buku merupakan kekasih nomer duaku setelah kekasih idamanku” jawab Rino. “Cie cie cie ....emang kamu dah punya pacar? Gayamu No, wong sama cewek ga berani aja, hehehe” celetuk Bagus.
            “Tunggu di sini dulu ya bro, aku mau pesen kopi kental dan kopi jahe kesukaan kita di warung bu Jumariyah. Sekalian nanti tak beli gorengan ketela dan pisang” lanjut Rini. “Oke bos, tak tunggu, ga pake lama lho ya .... hehehe” sahut Amel. Di sela-sela menunggu Rino, terjadilah percakapan di antara Amel dan Bagus: “ Gus gila ni anak. Benar-benar kutu buku. Kamu bayangin aja buku segini banyaknya sudah dilahab habis, bahkan ia sampai hafal poin-poin penting yang sudah dibaca sekaligus hafal letaknya” ucap Amel memuji Rino. “ Iya Mel, menurutku Dia bukan sekadar kutu buku, Dia itu lebih cocok disebut kuman buku, hahahaha .....” celetuk Bagus sekenanya. “ Tap kasihan ya Gus, sampai saat ini dia masih belum punya pacar, padahal banyak lho cewek-cewek yang nanyain dia ke aku. Cuman dia mungkin perfeksionis kali ya. Makanya sampai sekarang dia masih IJO hehehe” Tanggap Amel. “Apa tuh IJO Mel?” tanya Bagus. “ IJO tuh singkatan dari, ‘Ikatan Jomblo Orisinil’ hehehe...” jawab Amel. “Hehehe ..... setuju-setuju aku Mel, diantara temen kita, yang paling suci tuh dia, ga pernah pacaran, ga pernah goda-goda cewek, kayak malaikat aja hehehe” lanjut Bagus.
            “Hayooo.......” suara keras Rino mengagetkan. “Haduh .... kamu balas dendam ya No?” tanya Amel. “Heheh ..... gimana rasanya dikagetin? Hehehe, ngomong-ngomong kalian ngrumpiin aku ya, hayooo ngaku kalian!” tanggap Rino. “ Ah ndak kok, kami cuman lagi ngomongin Si Sabrina” awur Amel. “ Oh iya, ni diminum dulu. Ah kamu pasti ngarang kan Mel, ngibur saya aja kan. Kamu ini sukanya ngerjain aku. Tapi ga papa kamu dan Bagas kan sahabat terbaikku, hehehe. Emang kamu ada kabar apa tentang Amel? Tanya Rino. “Eiiit, wani piro hehehehe. Ada informasi tambahan buat kamu. Tadi sahabatku, Lita yang sekosan dengan Sabrina bilang, bahwa Si Sabrina itu memang benar sangat akrab dengan Arman, tabi menurut penuturan Sabrina sendiri ia menganggap Arman hanya sebagai teman akrab saja, ia memandang sosok Arman seperti Kakaknya sendiri. Nah menurutku No, kam punya kesempatan besar untuk menaklukkan hati Sabrina, hehehehe. Itu informasi baiknya” cerita Amel. “ Lho kok pake info baik segala, emang ada yang buruk apa?” tanya Rino. “ Ada Rino, salah satunya dia illfill katanya lihat anak bergaya acak-acakan, dan berambut panjang, sampai-sampai dia ngomong na`udzubillah mindzalik gitu deh ga tau apa artinya pokoknya nganggep negatif” jawab Bagus menambahkan. “Ooo .... pantesan Mel, pas pertama kali aku melihatnya di taman, dari kejauhan matanya terlihat sinis ketika memandangku. Jadi gitu ya. Ah aku tak akan menyerah Mel, dia belum tahu saja makanya meremehkanku sedemikian rupa” ucap Rino dengan penuh semangat 45.
            “Rino ngomong-ngomong tadi kamu lagi nglamun apa dan sedang nulis apa?” tanya Bagus. Aku tadi sebelum nglamun, sedang baca kisah istri Nabi Muhammad yang bernama Aisyah. Aku begitu kagum membaca ceritanya. Makanya aku membayangkan andai saja Sabrina itu adalah Aisyahku. Betapa bahagianya aku mendapat cewek idaman seperti dia. Makanya sambil nglamun, sebenarnya aku juga sedang membuat puisi, judulnya; ‘Aisyahku’ kalian mau tau ga isinya?” tawar Rino. “ Mau-mau, kami kan penggemar berat puisimu .... hahahah” celetuk Amel dan Bagus. “Aku ga mau bacain ke kalian, suaraku lagi serak, kalian baca sendiri aja ya di diary-ku!” ucap Rino menawarkan. “Oke bos, mana-mana diarymu” pinta Amel. Dibacalah puisi itu oleh Amel. Amel terlihat khusyu`  membaca bait demi bait puisi Rino. Isi puisinya sebagai berikut:
Aisyahku
Kubaca alur ceritamu...
Yang kutemu...
selalu keindahan...

Kutela`ah larik kisahmu
Yang kutahu...
Selalu kebaikan....

Kucoba menyerupamu....
Dengan satu...
perhiasan....

Namun tak secukup itu...
Dirimu kan salalu ...
Wakili sekalian...

Kau adalah permata...
Yang amat mempesona...
Membuat raga makin bahagia...

Kau adalah berlian...
Yang amat menakjubkan...
Membuat jiwa makin terkesan...

Kau adalah mutiara...
Yang amat berharga...
Membuat sukma makin gembira...

Kau adalah intan...
Yang amat mengagumkan...
Membuat kalbu membuncah tak karuan...

Kau adalah emas....
Yang amat menggemas...
Mambuat hati berdentum keras...

Kau adalah perak...
Yang amat mendecak...
Membuat jantung kencang berdetak...

Bahkan ketika tak da lagi perhiasan...
Yang mewakilmu...
Kau kan tetap indah berkesan...

Dalam nyata...
Kau tak hanya...
Wanita shalihah...

Kau juga cantik...
Cerdas ...
Pintar...
Dan penuh talenta...

Karenanya...
Tak heran bila ternyata...
Kau adalah yang paling tercinta...
Diantara istri tercinta...

Dalam kesunyian ini
Aku hanya bisa
Berharap bahwa
Aisyaku
Adalah Sabrina

Setelah membaca Puisi tersebut, Amel merasa terharu dan memberi suport kepada Rino. Ia tau betul bagaimana baiknya Rino. Rino tak pernah mempermainkan wanita. Tapi sekali ia mencintai, dia merupakan tipikal cowok setia. Sebenarnya dalam hati Amel sejak dulu tumbuh rasa cinta pada Rino, tetapi setiap kali rasa itu hadir, selalu dia hilangkan. Karena Amel sadar bahwa dinding agama akan selalu menghalangi cinta. Kalaupun bisa diatasi, belum tentu juga Rino cinta kepada Amel.
***********


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan