Masa
muda adalah masa emas. Masa di mana semangat begitu menggelora; masa di mana
jiwa dipenuhi oleh rasa penasaran yang begitu besar; masa di mana keinginan dan
obsesi begitu tinggi; masa di mana manusia gampang dipengaruhi; masa di mana
manusia mencari jati diri. Dengan demikian masa muda adalah masa potensial
untuk melakukan perubahan-perubahan, kerja-kerja yang lekas dan produktif meski
untuk menstabilkannya masih perlu kebijaksanaan orang tua. Masa emas ini sangat
potensial, baik digunakan untuk hal yang positif maupun negatif. Pepatah Arab
mengatakan mengenai potensialitas waktu: belajar di waktu muda bagaikan
mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu tua bagaikan mengukir di atas
air. Bandingkan jarak yang sedemikian membentang antara masa muda dan masa
tua. Karena masa muda sedemikian potensial dan amat berharga, maka tak heranlah
Nabi begitu mewanti-wanti umatnya untuk menjaganya. Suatu saat beliau bersabda:
Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara .........(diantaranya)
masa muda sebelum masa tua......Dan ketika diakhirat nanti salah satu hal
yang ditanyakan oleh Allah ialah masa muda dihabiskan untuk apa.
Perubahan-perubahan
besar biasanya dimotori oleh para pemuda. Anda tahu ashabu al-Kahfi?
Mereka itu disebut al-Qur`an sebagai pemuda. Isma`il bin Ibrahim ketika mau
disembelih juga terhitung muda. Yahya bin Zakariya, Isa bin Maryam juga masih
terhitung muda. Yang menakjubkan lagi ialah kenyataan sejarah para sahabat
bahwa kebanyakan di antara mereka yang masuk Islam pertama adalah para pemuda.
Kita mengenal, Ali bin Abi Thalib(10 tahun), Sa`ad bin Abi Waqash(17 tahun),
Zubair bin Al-Awwaam(15 tahun), Thalha bin Ubaidillah(16 tahun). Kita juga
mendengar sahabat yang bernama Mu`adz bin `Amru bin al-Jamuh sewaktu di perang
Badar mencari Abu Jahal, usianya baru 13 tahun, sedangkan Mu`awwidz bin
al-`Afraa` berusia 14 tahun, ada lagi misalkan ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, ibnu
Abbas dan lain sebagainya yang masih tergolong muda.
Kalau
kita perhatikan dalam sirah nabawiyah kita akan menemukan kenyataan
penting bahwa fokus Nabi Muhammad pada dakwah pertamanya di Makkah ialah pada
pemuda. Mengapa demikian? Karena masa muda adalah masa di mana usia masih segar
dan tidak terkontaminasi dengan pemikiran dan idiologi yang mengakar; karena
pemuda biasanya penasaran dan suka terhadap hal yang baru; karena masa muda
dipenuhi semangat yang sedemikian tinggi hingga tak kenal kata mustahil; karena
tenaganya masih terhitung kuat dan tak kenal lelah; karena pemuda lebih gesit
dan cekatan. Dengan demikian kita mengetahui betapa penting dan berharganya
masa muda. Siapa saja yang mampu mengendalikan dan menguasai pemuda maka dia
akan mampu menciptakan perubahan-perubahan yang luar biasa. Anda tentu tahu
pahlawan-pahlawan di negeri Indonesia. Mereka para pejuang seperti: Soekarno,
Hatta, Natsir, Wahid Hasyim dan lain sebagainya terhitung masih muda ketika
berjuang mewujudkan kemerdekaan. Kita tentu ingat pula tentang statemen
Soekarno berupa: "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru
dari akarnya ...Beri aku 10 pemuda,niscaya akan kuguncangkan dunia".
Lihat betapa dahsyat potensi yang dimiliki oleh pemuda.
Meski
masa muda adalah masa yang amat potensial, namun di sisi lain juga masa yang
rawan. Ia rawan terjerembab pada jurang kenistaan jika tak diarahkan pada yang
positif. Karena pemuda gampang dipengaruhi, kurang bijak, dan cendrung
mengedepankan emosi dari pada akal budi. Karena itu kita akan kesusahan
mendapatkan pemuda yang alim, brilian dan bijak sekaligus. Sebagaimana ungkapan
Nabi ketika menyebutkan 7 golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari
kiamat diantaranya ialah: ...pemuda yang tumbuh berkembang dalam bingkai ibadah
kepada Allah. Maka dari itu pengarahan terhadap generasi muda sangat niscaya
untuk diperhatikan. Aset yang begitu besar ini jika disia-siakan maka masa
depan yang cerah akan sirna. Karena itu juga, kerusakan suatu bangsa ditandai
dengan rusaknya pemuda. Jika pemuda rusak, maka generasi penerus perjuangan
bangsa akan musnah. Kemusnahan pemuda berarti kematian suatu bangsa. Kematian
bangsa berarti kematian suatu peradaban.
Dalam sejarah
emas sahabat kita tentu tahu nama Abdullah bin Abbas. Ia adalah sahabat yang
sangat muda yang mendapat keberuntungan besar berupa doa Nabi yang berbunyi: Ya
Allah pahamkan ia dalam agama dan ajarilah ia ta`wil(tafsir). Ia enerjik,
semangat, penuh gelora, lebih dari itu semua ia juga alim dan brilian.
Bayangkan ketika Nabi meninggal ia baru berusia 13 tahun, namun ilmunya begitu
luas dan dalam. Sampai-sampai ia dijuluki sebagai habru al-Ummah(orang
alim umat ini), dan imamu al-mufassirin(imamnya para penafsir).
Kebrilianan dan kealimannya dalam bidang tafsir sungguh teruji. Ketika turun
surat an-Nashr, Umar bin Khathab bertanya tafsirannya kepada sahabat-sahabat
besar, waktu itu beliau mengikutsertakan Abdullah bin Abbas, para sahabat
besarpun keheranan, mengapa anak sekecil itu disandingkan dengan
sahabat-sahabat besar. Ketika sahabat ditanya tafsiran surat an-Nashr, mereka
hanya menjawab sebagaimana alur ayat yaitu jika datang pertolongan dan
kemenangan maka maka harus bertasbih memuji dan minta ampun pada-Nya. Lalu Umar
bertanya pada ibnu Abbas, tentang tafsirannya. Ibnu Abbas mengatakan ayat ini
menandakan dekatnya ajal Nabi. Umar terkagum-kagum mendengar jawabannya karena
di samping sesuai dengan pendapatnya, tafsiran ini terhitung sangat langkah dan
tidak didapati dari sahabat-sahabat besar sekalipun. Setelah itu mereka
mengakui dan percaya betapa anak yang begitu muda ini memang betul-betul alim,
cerdas dan brilian. Coba kita bermimpi sejenak, merencanakan, mengusahakan
sedemikian rupa untuk mengkader generasi-generasi macam ibnu Abbas. Bukan hanya
muda, tapi juga alim dan brilian; bukan hanya muda tetapi taat dan bijak.
Dengan pemuda kita merancang masa depan cerah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !