Home » » Sekuntum ’’Bunga Persahabatan”.

Sekuntum ’’Bunga Persahabatan”.

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 20.50

Sekuntum ’’Bunga Persahabatan”.
by Mahmud Budi Setiawan on Thursday, November 11, 2010 at 3:49am

Namaku Burhan Aji pangestu, biasa di panggil Han. Aku adalah orang biasa-biasa saja. Wajah bersahaja. Otak pas-pasan. Tidak pernah mencapai karya-karya akademis tertentu. Bahkan aku terancam di DO dari kampus kalau saja tahun ini aku tidak lulus lagi. Aku terlahir di sebuah kepulaun kecil yang tidak masyhur. Bahkan, dalam peta nusantara pun sulit di temukan. Meski demikian aku selalu bersyukur bisa lahir di kepulauan yang masih alami yang masih khas dengan suasana pedesaan. Di desa aku banyak menimba pelajaran-pelajaran berharga. Dari kerjasama sosial, kebersamaan, solidaritas, persatuan hingga kemajemukan. Pengalaman inilah barangkali yang memudahkan diriku bergaul dengan apa dan siapa saja.

Keterbetasan-keterbatasan yang aku miliki justru selalu menjadi tenaga untuk selalu mengoptimalisasi keterbatasan diri. Meski hanya anak seorang nelayan kepulauan yang buta huruf sekarang aku mampu melanjutkan studyku di Sorbon Prancis. Mungkin siapapun yang melihat atau membaca riwayat kehidupanku akan merasa tidak percaya. Bahwa orang kepulauan yang sangat sederhana yang memiliki kemampuan yang serba terbatas mampu melanjutkan studynya ke kota yang terkenal parfumnya itu. Logika akal sehat nampakknya tidak begitu memihakku. Tapi kepercayaan diri untuk bisa berubah itu selalu membuat keterbatasan-keterbatasanku menjadi hal luarbiasa dan tidak terduga-duga.

Dari SD hingga SMA bisa di bilang dari sekian banyak temanku akulah yang terbodoh. Dalam setiap kali menerima raport sekolah nilaiku selalu di urutan buncit bahkan tak jarang hampir berkali-kali terancam tidak lulus. Mungkin karena kebaikan perangai dan sopan satunlah yang bisa menyelamatkanku dari tidak lulus. Ya mungkin saja guru-guruku merasa iba sehingga tidak tega bila aku tidak naikkelas.

Di Prancis aku menyewa rumah kontrakan bersama dua teman dari indonesia yang ku kenal dari acara pesta HUT Ri yang di adakan di kedubes Indonesia di Prancis. Tak tahu kenapa dari perkenalan itu kami merasa cocok dan akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama. Ya itung-itung kalau bersama akan lebih memudahkanku untuk meringankan bayar sewa rumah yang lumayan agak mahal. Kedua temanku itu namanya Ayang Prasetyo dan Anjasmara Siaan Raharjo yang di panggil Aaang dan dan Aan. Mereka berdua adalah tergolong kaya. Makanya setiap kali aku telat bayar uang kontrakan merekalah yang selalu menutupinya.

Aku akui selama hidup dengan mereka aku tidak pernah merasa mendapatkan kesulitan finansial yang dalam hal ini mungkin dalam membayar sewa kontrakan. Namun, aku heran dengan sikap Ayang dan Aan. Setiap hari anak ini tidak pernah jemu mengusili dan menggodaku. Di mata mereka berdua mungkin aku hanyalah sosok anak kampung yang pantas direndahkan, dihina dan di jahili.  Mereka berdua adalah anak kolongmrat yang biasa hidup mewah dan suka bermanja ria. Sikapnya kekanak-kanakan dan sangat menjemukan. Namun, yang membuat aku heran selama ini perlakuan yang mereka tunjukkan padaku tidak juga membuatku marah atau bahkan memusuhi. Malah yang ada aku semakin bersabar dan enjoy. Prinsip kebersamaanlah barangkali yang membuatku merasa santai dan sabar menerima perlakuan mereka.

Sebagai anak desa aku sangat memahami tingkah laku mereka berdua. Secara karakter dan emosional mereka belum terbangun dengan baik Barangkali suasana kota dan latar belakang keluarga kaya raya yang membentuk sikap mereka. Aku selalu bersyukur telah dilahirkan di desa sehingga mempunyai kekayaan pengalaman dalam penyikapan berbagai macam watak orang sehingga membuatku tahan terhadap ejekan atau penghinaan apapun yang di tujukan padaku.

Ada salah satu teman akrabku yang bernama Rio. Dia sebenarnya amat geram dengan tingkah laku Ayang dan Aan terhadapku. Menurutnya, mereka berdua sudah keterlaluan memperlakukanku. Mereka dengan seenaknya menyuruh-nyuruh seolah telah di lantik menjadi bos paten. Hingga memperbudak diriku. Tapi aku selalu bilang kepada Rio:” Menurutku hanya butuh waktu saja, pengalaman akan mengajarkan mereka pelajaran berharga”. Kamu selalu bilang gitu, ya coba sekali-kali kamu memberi pelajaran berharga pada mereka, kalau hanya nunggu waktu kapan akan tercipta perubahan. Perubahan-perubahan yang pernah ada bukanlah di tunggu tapi di ciptakan.

Secara simbolik aku setuju dengan usul Rio. Suatu ketika aku keluar rumah kontrakan tanpa pamit selama seminggu. Diam-diam selama waktu itu aku menyuruh Rio untuk mengunjungi mereka. Melihat sikap apa yang bakal mereka berdua lakukan. Kesimpulan yang di dapat Rio ialah: Mereka berdua bengong, linglung, tidak tahu harus mengerjakan apa, tugas rumah yang biasa ku kerjakan terpaksa mereka kerjakan, mau nyuruh orang yang ada hanya mereka berdua yang sama-sama memiliki gengsi gede. Karena tidak tahu harus berbuat apa akhirnya dengan terpaksa mereka melakukan pekerjaan keseharianya dengan mandiri. Dari beli kebutuhan pribadi, bersih-bersih rumah hingga menyiram bunga mawar di depan rumah.

Lebih lanjut, Rio hanya menceritakan suasana demikian. Mungkin saja hati mereka berdua merasa geram dan menyesal atas kepergianmu tanpa pamit selama seminggu. Namun yang pasti aku sangat senang karena lambat laun mereka semakin sadar akan kemandirian dan nilai teman. Selama seminggu aku menginap di rumah Rio. Baru ketika hari raya iedul fitri tiba aku mengadakan reoni bersama teman-temanku. Tak disangka rupanya mereka berdua datang juga. Tanpa basa-basi ketika mereka melihatku, segera menghampiriku dan memeluk erat diriku sembari memukul dengan mesrah.

Kemana aja lo Han, pergi ga pamit-pamit. Tau gak sih, gue kayak orang gila aja kalo kaga ade lo. Asli gue minta maaf lah kalau perlakuan gue selama ini  terkesan menghina kamu dan memperbudakmu. Jujur itu gue lakukan bukan bermaksud menghinakan lo atau apa. gue hanya ingin menciptakan suasana keakraban dan kebersamaan yang selama ini tidak pernah gue dapat dalam lingkungan keluarga dan kotaku. Mungkin cara gue itu salah. Tapi hanya itu yang bisa gue lakukan. Gue harap lain kali jangan gitu dong Han. Kalo lo merasa perlakuan gue kurang berkenan di hati segera aja menegur biar gue ga ngulangi lagi. Jujur ni Han, ga ada elo rumah kayak kuburan, membosankan dan tersa sangat angker. Keberadaan lo selalu membawa aura optimis yang mampu memberi motivasi pada sekeliling.

Mendengar pengakuanya aku merasa terharu. Kalau saja waktu bisa kembali aku tidak akan melakukan itu. Di liuar dugaan, dibalik sikap pelecehan dan penghinaan yang mereka lakukan padaku ternyata tersimpan rasa persahabatan sejati, kecintaan dan keakraban yang tulus. Cuman barangkali ketidak pandaian dalam mengungkap rasa itu yang membuat niat baik itu tak terkira dan terjamah. Setelah peristiwa ini aku selalu berjanji kepada diriku untuk tidak bersikap tergesah-gesah dalam menyikapi tindakan teman yang pada dzhahirnya terlihat salah.

Mungkin saja itu adalah kemesraan yang tak terbungkus dengan baik. Keakraban yang terjalin dengan kesalah pahaman. Bunga cinta persahabatan yang belum mekar. Yang jelas dari persahabatan ini aku mendapatkan pelajaran berharga tentang arti kebersamaan, walau terkadang itu baru bisa terungkap melalui tindakan-tindakan yang membuahkan penyesalan. Tapi sekali lagi itu hanya proses waktu. Semoga seiring dengan berjalanya waktu aku semakin bisa bijak dan arif dalam bersikap.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan