Home » » Si Madin Sang Pemulung Sampah Sukses

Si Madin Sang Pemulung Sampah Sukses

Written By Amoe Hirata on Jumat, 25 April 2014 | 04.52


               
             Mentari pagi terlihat ceria. Memancarkan cahaya tanpa iringan mega. Sayup-sayup desir angin menerpa telinga. Suasana pagi ini begitu menentram jiwa. Indah memesona. Nyaman, bahagia. Ada harapan, mimpi, asa dan cita. Semua benar-benar mengharmoni pada jiwa dan raga. Semua bisa dihadapi dengan penuh suka-cita. Seperti biasanya, Si Madin –yang nama lengkapnya Mahesa Alaudin-, menjalani rutinitasnya dengan penuh antusias. Ia berjalan dari ‘gubuk reot’-nya menuju tempat-tempat sampah di area-area kota. Kali ini, Ia sendiri. Tanpa iringan Ibunda tercinta. Ibunya -yang bernama Sumarnik-, sedang terkulai lemas di ‘gubuk reot’ lantaran sakit mendera. Seharusnya dengan kondisi ibunya yang sedang sakit,  Si Madin terlihat sedih, namun bila diamati dari raut wajahnya tidak terlihat sedikitpun aura kesedihan menimpa. Ia tetap berjalan, sambil membawa besi dan karung sampah untuk mengais rizki dengan penuh ceria. Aura wajahnya terlihat optimis penuh gelora, meski Ia bekerja sebagai Pemulung Sampah. Tak pernah Ia merasa malu, meski sering dicerca. Tak pernah Ia merasa gunda, meski banyak derita. Ia selalu percaya,  derita tak kan berlangsung lama. Tentu saja dengan usaha dan doa.
Setiap kali teman-temannya bertanya perihal kesulitan yang menimpa, selalu Ia jawab dengan kata: “SUKSES!”(Sambil mengangkat tingi-tinggi tangan kanannya). Ketika temannya heran, Ia selalu menjelaskan kata itu dengan ungkapan: “Kawan! ‘SUKSES’ adalah kata kunci keberhasilan yang selalu diajarkan mendiang Ayahku. Ayahku selalu bilang bahwa, “SUKSES, adalah singkatan dari: Syukur, Usaha, Komitmen, Sabar, Energik dan Senyum”. Seingatku, menurut penuturan Beliau: “Seberat apapun kesulitan melanda, maka hadapilah dengan syukur. Karena ‘ruang syukur’ selalu lebih luas daripada ‘ruang kesulitan’. Setiap kali Tuhan menguji manusia dengan kesulitan, bersamaan dengan itu sudah tersedia kemampuan ganda untuk menyelesaikan. Di balik uji pasti ada solusi. Dengan syukur ujian diracik menjadi kesuksesan. Namun syukur saja tak cukup. Perlu ada yang namanya, ‘USAHA’. Kalau syukur merupakan penyikapan jiwa, maka usaha adalah kata kunci menuju bahagia melalui raga. Syukur sejati selalu beriring usaha. Syukur dan usaha pun perlu didasari dengan KOMITMEN(Perjanjian/keterikatan-kemantapan jiwa- untuk melakukan sesuatu) yang kuat. Tentu saja hal ini memang berat, karena itu butuh SABAR. Sedangkan sabar selalu membutuhkan energi ekstra dan semangat tinggi, makanya harus ENERGIK. Kemudian yang terakhir ialah kesemuanya harus ditutup dengan senyum. Hidup sudah susah, maka jangan ditambah dengan wajah penuh amarah. Senyuman akan mengubah energi negatif dalam jiwa menjadi tenaga positif yang akan membimbing raga pada kerja-kerja positif”.
Dari semua singkatan kata, ‘SUKSES’ yang dihafal Si Madin dari mendiang ayahnya, hanya satu kata yang benar-benar bisa dia pahami dan diikuti, yaitu: SENYUM. Hari-harinya selalu Ia hadapi dengan senyum dan keceriaan, meski sebenarnya Ia sedang menghadapi kesulitan. Meskipun Ia belum mengerti sepenuhnya nasehat Ayahnya, tapi dari lakunya, kesemua singkatan sudah ia praktikkan meski ia belum menyadarinya. Ia adalah anak yang rajin bersyukur, selalu ber-usaha, memiliki komitmen yang kuat, selalu ber-sabar, energik penuh semangat menggebu-gebu dan selalu senyum –tentu saja bukan senyam-senyum seperti orang gila- bahagia. Itulah yang menjelaskan kenapa Ia terlihat ceria meski Ibunya sedang sakit. Justru karena Ibunya sakit, maka Ia tak boleh berleha-leha, Ia harus lebih meningkatkan usaha agar bisa membelikan obat untuk ibunya. Selama ini, Ibunya lah yang membesarkan dan merawatnya dengan baik. Ia ditinggal mati Ayahnya ketika berusia 6 tahun. Tepatnya, 3 tahun yang lalu.
Mulailah Ia berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah. Mencari sesuatu yang bisa dia ambil untuk dijual. Dari sampah plastik, besi, atau apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk dijual. Aktivitas ini sudah Ia jalani selama lima tahun. Setiap kali melewati sekolah dan melihat anak-anak sebayanya riang gembira, bermain, belajar di  sekolah, Ia hanya bisa melihat kagum pada mereka. Diam-diam dalam hatinya tersimpan keinginan besar untuk turut serta belajar bersama mereka. Ia sangan ingin sekali sekolah. Ia ingat betul ucapan Ayahnya: “Sekolahlah untuk menjadi orang yang bukan sekadar pintar, tapi juga benar dan bermoral!”. Namun apalah daya, selama lima tahun itu Ia hanya bisa menginginkan tanpa perna terkabulkan. Jangankan untuk sekolah, untuk membeli kebutuhan sehari-hari kadang-kadang masih kurang. Bahkan terlalu banyak duka lara yang Ia alami selama ini. Dari diusir orang, dituduh mencuri, dikejar SATPOL PP, diejek, dicerca sampai dipermalukan didepan umum juga pernah. Namun tak sedikit juga orang yang merasa iba dengan keadaannya. Anak sekecil itu sudah berjibaku dengan waktu, untuk berjuang mencari sesuap nasi.
Hari ini Si Madin bertekad untuk mendapat hasil yang banyak, mengingat Ibunya sedang sakit. Ia berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah yang berjumlah 104 dengan menempuh perjalanan puluhan kilo meter. Ia bekerja sangat keras. Istirahat hanya ketika waktu shalat tiba. Ia sudah merasa maksimal berusaha di hari ini, namun hasilnya masih di bawah kebiasaan. Ia dikejar target, tapi kenyataan hasil membuatnya kaget. Ia belum mencapai target untuk mendapat uang demi membelikan obat Ibunya. Ibunya mengidap penyakit kanker otak. Obatnya sangat mahal. Dengan penghasilan hanya 30 ribu, mana mungkin Ia bisa membeli obat yang begitu mahal itu. Meski hari ini Ia hanya mendapat seratus ribu, Ia tidak lantas terombang-ambing ragu. Ia bertekad untuk terus maju. Membantu Ibu tercinta yang sedang dirundung derita. Sesampainya di ‘gubuk reot’nya menjelang senja, Ia sapa Ibunya dengan senyum manisnya. Melihat anaknya yang seharian bekerja, Ibunya tak kuasa meneteskan air mata. Ia membatin: Ya Allah, anak sekecil itu sudah mengalami penderitaan yang luar biasa. Aku tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna untuknya. Membimbing serta menyekolahkan anak seperti orang tua pada umumnya. Ya Allah, jika Engkau beri kesempatan anakku hidup panjang, maka berilah Ia kesempatan untuk menjadi orang yang sukses!”.
Setelah mengucap salam, Si Madin mendatangi Ibunya sembari mencium tangannya. “Bu, apa sudah membaik kondisi Ibu?” tanya Si Madin. “Al-Hamdulillah, ibu merasa lebih baik Din” jawab Sumarnik. “Jangan bohong Bu, Si Madin tahu betul kalau Ibu sedang menahan rasa sakit. Meski sekarang Madin hanya mendapat uang 30 ribu, Madin akan tetap berusaha membeli obat untuk Ibu. Kesehatan Ibu merupakan hal utama bagi Madin. Madin tahu uangnya masih kurang, demi menutupinya, dengan ikhlas Madin akan memecah kaleng tabungan Madi selama ini” tanggap Madin. “Jangan Din, itu kan uang yang kamu kumpulkan untuk sekolah. Kalau itu kamu pecah demi membeli obat untuk Ibu, maka kamu nanti harus mengulang dari nol untuk mengumpulkan lagi. Benar kok, Ibu tidak apa-apa, dan kondisi Ibu semakin baik” komentar Ibu Sumarnik. “Tidak Bu, kesehatan Ibu adalah yang utama. Lebih baik Si Madin tak sekolah selamanya, daripada melihat ibu sakit sepanjang masa. Masalah uang masih bisa dicari, tapi sakit harus segera diobati” akhirnya Si Madin memecah kaleng tabungannya. Melihatnya bersikeras, Ibunya semakin iba dan semakin berkaca-kaca.
Setelah shalat Maghrib, Ia bergegas mencari apotik terdekat, untuk membeli resep yang selama ini dianjurkan dokter. Al-hamdulillah uang untuk beli obat masih ada sisa. Ia masih bisa menyisihkannya untuk membeli air mineral dan 2 bungkus nasi. Sesampainya di rumah, Ia segera mengajak Ibunya makan, lalu memintanya segera meminum obat yang sudah dibeli. Ibunya pun langsung meminumnya. Perih sekali batinnya merasakan kesengsaraan anaknya. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar menjadikan Madin anak yang sukses, sehingga tak mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Setiap kali Ia mengalami puncak kesedihan, hampir-hampir saja Ia pergi ke orang tuanya untuk meminta tolong dan rela kembali memeluk agama Kristen. Namun, selama ini Ia bisa tetap menjaga imannya. Si Madin selalu membuatnya tegar dan sabar. Si Madin selama ini tak tahu-menahu kalau ternyata Ibunya sebenarnya anak orang kaya. Ibunya diusir dan tak diakui oleh keluarganya ketika bersikeras menikah dengan orang yang tak seagama. Orang itu adalah Ayahnya sendiri, yang bernama Syahid. Sebenarnya kalau saja, Sumarnik mau kembali kepada agama lamanya, kemudian meminta baik-baik kepada orang tuanya, maka denga tidak segan-segan orang tuanya akan membantu. Tapi Ia tetap teguh pendirian. Ia ingat betul semboyan suaminya: “Menjadi mulia karena mempertahankan iman atau menjadi hina karena menggadaikan iman demi kepentingan fana? Iman adalah yang utama”.
Hari-hari berikutnya dilalui oleh Si Madin dengan penuh semangat seperti biasanya. Karena uang tabungannya selalu habis untuk membeli obat ibunya, Ia tak mau menyerah dengan kondisi yang menimpa. Ia mencari jalan keluar dengan iringan usaha dan do`a. Setiap kali Ia menemukan buku bekas, baik di tempat sampah atau pun di jalanan, selalu Ia ambil dan disimpan di rumah. Meski tak sekolah, Ia tetap bisa membaca dan menulis, karena setiap malam Ia diajari oleh Ibunya. Ia juga bisa mengaji. Ia mewarisi bakat suara indah Ayahnya. Ngajinya selalu terdengar syahdu. Buku-buku yang Ia peroleh dari tempat sampah atau kadang diberi teman atau orang karena iba, Ia baca ketika malam hari. Setiap hari Ia selalu meluangkan waktu untuk membaca. Waktunya tak pernah terbuang percuma. Ia dibesarkan dengan kondisi serba sulit. Ia menjadi dewasa lebih cepat dibanding anak-anak sebayanya. Ia belajar langsung kepada pengalaman hidup. Begitulah Si Madin menjalani hari-harinya sampai Ia berusia 18 tahun.
Meski secara ‘kemampuan akademis’-karena memang tak pernah sekolah-  terhitung biasa saja dan normal-normal saja, tetapi karena kebiasaan membaca dari berbagai buku, majalah, koran yang Ia dapatkan selama ini, maka keilmuan dan informasi yang diperoleh Si Madin begitu pesat dan luar biasa. Karakter berfikirnya sudah sedemikian terbentuk. Buku yang Ia dapatkan pun sangat variatif dan beraneka ragam. Makanya tak heran jika banyak sekali teman-temannya dari kalangan anak sekolah tak segan-segan meminta bantuan padanya, karena luasnya ilmu dan pengalamannya. Meski sampai pada usia 18 tahun Ia belum juga mendapatkan kesempatan untuk sekolah, tetapi kemampuannya dalam bidang akademis boleh diadu dengan kemampuan anak sekolah sebayanya. Meski hanya ‘Pemulung Sampah’, Ia tak pernah menyerah. Ia berjibaku dengan waktu untuk menaklukkan rintangan dan kesulitan. Ia memiliki banyak teman. Baik dari kalangan sesama pemulung maupun anak-anak sekolah. Bahkan Ia tergolong sebagai anak muda yang aktif dalam dunia pendidikan di kalangan sesama pemulung. Ia membuat semacam perkumpulan khusus bersama pemulung untuk memberantas ‘buta huruf’ dan menularkan pengalaman dan ilmu kepada mereka. Siapa yang tak bisa membaca –baik itu al-Qur`an atau baca tulis bahasa Indonesia-, pasti diajari olehnya. Ia tergolong pemuda yang aktif. Uniknya, tak sedikit teman-teman dari kalangan sekolah yang turut hadir dalam perkumpulan yang Ia buat bersama teman-teman pemulung.
Beberapa tahun masa-masa berat yang Si Madin alami selalu diisi dengan kegiatan-kegiatan bermartabat dan bermanfaat. Ia tak mau kalah dengan susah; tak mau menyerah pada payah. Ketika ada kesempatan mengikuti lomba menulis yang Ia dapatkan dari koran, pada saat itu juga Ia tak mau membuang kesempatan. Kali ini Ia sangat senang karena dalam persyaratan yang tertera dikoran tidak ada yang berkaitan dengan keharusan mendaji siswa resmi di sekolah tertentu. Pada lomba ini, siapa saja boleh ikut asal punya potensi. Waktu itu jenis lomba tulis yang dia ikuti meliputi penulisan puisi, novel, dan karya ilmiah. Tanpa dinyana Ia menjadi pemenang pada semua kategori yang diikuti. Karuan saja Ia bersyukur bahagia. Ia mendapatkan penghargaan piala dan uang beberapa juta dari salah satu media jurnalistik yang mengadakan perlombaan. Ketika diminta sambutan di depan khalayak umum, mereka terpanah dan terpesona dengan sambutan Si Madin. Mereka bertanya-tanya sekolah mana kiranya yang melahirkan anak sebrilian ini. Anaknya baik, sopan, pintar, bersuara merdu. Mereka semakin penasaran dengan Si Madin. Ketika Si Madin ditanya tentang riwayat pendidikan, atau sekolah yang Ia diami, Si Madin menjawab: “Saya belum pernah sekolah di sekolah formal. Selama ini saya mendapatkan ilmu dari sekolah non-formal”. Mendengar jawaban itu mereka menjadi semakin heran sekaligus tak percaya. Tapi mau tidak mau mereka akhirnya percaya juga karena memang itu kenyataannya.
Setelah kemenangan itu, Ia sadar bahwa Ia punya bakat dalam bidang kepenulisan. Ia mulai percaya diri mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Selama ini memang dia terbiasa menulis apa saja dan di mana saja. Bahkan kebiasaan menulis sudah Ia lakukan sejak Ia bisa menulis. Mengenai suka-dukanya pun selama Ia hidup terekam dengan baik dalam tulisan yang Ia torehkan pada kertas-kertas bekas yang Ia kumpulkan selama jadi pemulung. Pada akhirnya Ia mempunyai Ide untuk menuliskan pengalaman hidupnya pada sebuah jenis tulisan Novel. Ia sangat serius mengedit dan menulis ulang berkas-berkas yang pernah Ia tulis selama ini. Ketika selesai, Ia beri judul novel itu dengan: “Sang Pemulung Menjemput Untung”. Ia berdoa dan bekerja dengan sangat serius. Akhirnya dikirimlah novel itu ke penerbit. Novel yang Ia tulis langsung diterima, karena namanya sudah berkibar di kalangan media jurnalistik. Semua sudah cocok dan akan diterbitkan segera. Hanya satu yang diganti, yaitu judulnya. Judulnya menjadi: “KEARIFAN SANG PEMULUNG (Meski Pemulung Sampah, Tapi Untung Melimpah). Setelah ada persetujuan dari kedua belah pihak, maka diterbitkanlah buku tersebut. Tanpa dinyana ketika terbit, buku itu menjadi buku best seller, dan dicetak ulang sampai berulang kali. Sekarang hidupnya menjadi lebih baik. Ia menjadi penulis terkenal. Ia sudah bisa membelih rumah sendiri, untuk ibu tercintanya. Ibunya menangis haru bahagia. Ternyata doanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Menariknya, meski telah sukses, Si Madin tak menyombongkan diri. Ia tetap menjalin pergaulan simpati dengan rekan pemulung sampah dan teman-teman lainnya. Ia dibesarkan dengan kondisi sulit, tapi Ia tak pernah menyerah dan berkelit. Dengan perjuangan yang luar biasa, atas kehendak Tuhan akhirnya Ia menjumpai momentum ‘takdir kesuksesannya’, sebuah pembelajaran besar dan berharga bagi siapa saja yang diliputi keterbatasan tetapi tetap mempunyai ambisi besar untuk meraih kesuksesan. Tidak menyerah dengan keadaan, itulah kunci sukses Si Madin.

Sumengko, 1 Februari 2014, Jam 06: 40.
By: Amoe Hirata (Mahmud Budi Setiawan).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan