Mentari pagi terlihat ceria.
Memancarkan cahaya tanpa iringan mega. Sayup-sayup desir angin menerpa telinga.
Suasana pagi ini begitu menentram jiwa. Indah memesona. Nyaman, bahagia. Ada
harapan, mimpi, asa dan cita. Semua benar-benar mengharmoni pada jiwa dan raga.
Semua bisa dihadapi dengan penuh suka-cita. Seperti biasanya, Si Madin –yang
nama lengkapnya Mahesa Alaudin-, menjalani rutinitasnya dengan penuh antusias.
Ia berjalan dari ‘gubuk reot’-nya menuju tempat-tempat sampah di area-area
kota. Kali ini, Ia sendiri. Tanpa iringan Ibunda tercinta. Ibunya -yang bernama
Sumarnik-, sedang terkulai lemas di ‘gubuk reot’ lantaran sakit mendera.
Seharusnya dengan kondisi ibunya yang sedang sakit, Si Madin terlihat sedih, namun bila diamati
dari raut wajahnya tidak terlihat sedikitpun aura kesedihan menimpa. Ia tetap
berjalan, sambil membawa besi dan karung sampah untuk mengais rizki dengan
penuh ceria. Aura wajahnya terlihat optimis penuh gelora, meski Ia bekerja
sebagai Pemulung Sampah. Tak pernah Ia merasa malu, meski sering dicerca. Tak
pernah Ia merasa gunda, meski banyak derita. Ia selalu percaya, derita tak kan berlangsung lama. Tentu saja
dengan usaha dan doa.
Setiap kali teman-temannya bertanya perihal kesulitan yang menimpa,
selalu Ia jawab dengan kata: “SUKSES!”(Sambil mengangkat tingi-tinggi tangan
kanannya). Ketika temannya heran, Ia selalu menjelaskan kata itu dengan
ungkapan: “Kawan! ‘SUKSES’ adalah kata kunci keberhasilan yang selalu diajarkan
mendiang Ayahku. Ayahku selalu bilang bahwa, “SUKSES, adalah singkatan dari: Syukur,
Usaha, Komitmen, Sabar, Energik dan Senyum”. Seingatku, menurut penuturan Beliau:
“Seberat apapun kesulitan melanda, maka hadapilah dengan syukur. Karena ‘ruang
syukur’ selalu lebih luas daripada ‘ruang kesulitan’. Setiap kali Tuhan menguji
manusia dengan kesulitan, bersamaan dengan itu sudah tersedia kemampuan ganda untuk
menyelesaikan. Di balik uji pasti ada solusi. Dengan syukur ujian diracik
menjadi kesuksesan. Namun syukur saja tak cukup. Perlu ada yang namanya,
‘USAHA’. Kalau syukur merupakan penyikapan jiwa, maka usaha adalah kata kunci
menuju bahagia melalui raga. Syukur sejati selalu beriring usaha. Syukur dan
usaha pun perlu didasari dengan KOMITMEN(Perjanjian/keterikatan-kemantapan
jiwa- untuk melakukan sesuatu) yang kuat. Tentu saja hal ini memang berat,
karena itu butuh SABAR. Sedangkan sabar selalu membutuhkan energi ekstra dan
semangat tinggi, makanya harus ENERGIK. Kemudian yang terakhir ialah kesemuanya
harus ditutup dengan senyum. Hidup sudah susah, maka jangan ditambah dengan wajah
penuh amarah. Senyuman akan mengubah energi negatif dalam jiwa menjadi tenaga
positif yang akan membimbing raga pada kerja-kerja positif”.
Dari semua singkatan kata, ‘SUKSES’ yang dihafal Si Madin dari mendiang
ayahnya, hanya satu kata yang benar-benar bisa dia pahami dan diikuti, yaitu:
SENYUM. Hari-harinya selalu Ia hadapi dengan senyum dan keceriaan, meski
sebenarnya Ia sedang menghadapi kesulitan. Meskipun Ia belum mengerti sepenuhnya
nasehat Ayahnya, tapi dari lakunya, kesemua singkatan sudah ia praktikkan meski
ia belum menyadarinya. Ia adalah anak yang rajin bersyukur, selalu ber-usaha,
memiliki komitmen yang kuat, selalu ber-sabar, energik penuh semangat
menggebu-gebu dan selalu senyum –tentu saja bukan senyam-senyum seperti orang
gila- bahagia. Itulah yang menjelaskan kenapa Ia terlihat ceria meski Ibunya
sedang sakit. Justru karena Ibunya sakit, maka Ia tak boleh berleha-leha, Ia
harus lebih meningkatkan usaha agar bisa membelikan obat untuk ibunya. Selama
ini, Ibunya lah yang membesarkan dan merawatnya dengan baik. Ia ditinggal mati
Ayahnya ketika berusia 6 tahun. Tepatnya, 3 tahun yang lalu.
Mulailah Ia berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah. Mencari
sesuatu yang bisa dia ambil untuk dijual. Dari sampah plastik, besi, atau apa
saja yang bisa dimanfaatkan untuk dijual. Aktivitas ini sudah Ia jalani selama
lima tahun. Setiap kali melewati sekolah dan melihat anak-anak sebayanya riang
gembira, bermain, belajar di sekolah, Ia
hanya bisa melihat kagum pada mereka. Diam-diam dalam hatinya tersimpan
keinginan besar untuk turut serta belajar bersama mereka. Ia sangan ingin
sekali sekolah. Ia ingat betul ucapan Ayahnya: “Sekolahlah untuk menjadi orang
yang bukan sekadar pintar, tapi juga benar dan bermoral!”. Namun apalah daya,
selama lima tahun itu Ia hanya bisa menginginkan tanpa perna terkabulkan.
Jangankan untuk sekolah, untuk membeli kebutuhan sehari-hari kadang-kadang
masih kurang. Bahkan terlalu banyak duka lara yang Ia alami selama ini. Dari
diusir orang, dituduh mencuri, dikejar SATPOL PP, diejek, dicerca sampai
dipermalukan didepan umum juga pernah. Namun tak sedikit juga orang yang merasa
iba dengan keadaannya. Anak sekecil itu sudah berjibaku dengan waktu, untuk berjuang
mencari sesuap nasi.
Hari ini Si Madin bertekad untuk mendapat hasil yang banyak, mengingat
Ibunya sedang sakit. Ia berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah
yang berjumlah 104 dengan menempuh perjalanan puluhan kilo meter. Ia bekerja sangat
keras. Istirahat hanya ketika waktu shalat tiba. Ia sudah merasa maksimal
berusaha di hari ini, namun hasilnya masih di bawah kebiasaan. Ia dikejar
target, tapi kenyataan hasil membuatnya kaget. Ia belum mencapai target untuk
mendapat uang demi membelikan obat Ibunya. Ibunya mengidap penyakit kanker
otak. Obatnya sangat mahal. Dengan penghasilan hanya 30 ribu, mana mungkin Ia
bisa membeli obat yang begitu mahal itu. Meski hari ini Ia hanya mendapat
seratus ribu, Ia tidak lantas terombang-ambing ragu. Ia bertekad untuk terus
maju. Membantu Ibu tercinta yang sedang dirundung derita. Sesampainya di ‘gubuk
reot’nya menjelang senja, Ia sapa Ibunya dengan senyum manisnya. Melihat
anaknya yang seharian bekerja, Ibunya tak kuasa meneteskan air mata. Ia membatin:
Ya Allah, anak sekecil itu sudah mengalami penderitaan yang luar biasa. Aku
tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna untuknya. Membimbing serta
menyekolahkan anak seperti orang tua pada umumnya. Ya Allah, jika Engkau beri
kesempatan anakku hidup panjang, maka berilah Ia kesempatan untuk menjadi orang
yang sukses!”.
Setelah mengucap salam, Si Madin mendatangi Ibunya sembari mencium
tangannya. “Bu, apa sudah membaik kondisi Ibu?” tanya Si Madin. “Al-Hamdulillah,
ibu merasa lebih baik Din” jawab Sumarnik. “Jangan bohong Bu, Si Madin tahu
betul kalau Ibu sedang menahan rasa sakit. Meski sekarang Madin hanya mendapat
uang 30 ribu, Madin akan tetap berusaha membeli obat untuk Ibu. Kesehatan Ibu
merupakan hal utama bagi Madin. Madin tahu uangnya masih kurang, demi
menutupinya, dengan ikhlas Madin akan memecah kaleng tabungan Madi selama ini”
tanggap Madin. “Jangan Din, itu kan uang yang kamu kumpulkan untuk sekolah.
Kalau itu kamu pecah demi membeli obat untuk Ibu, maka kamu nanti harus
mengulang dari nol untuk mengumpulkan lagi. Benar kok, Ibu tidak apa-apa, dan
kondisi Ibu semakin baik” komentar Ibu Sumarnik. “Tidak Bu, kesehatan Ibu
adalah yang utama. Lebih baik Si Madin tak sekolah selamanya, daripada melihat
ibu sakit sepanjang masa. Masalah uang masih bisa dicari, tapi sakit harus
segera diobati” akhirnya Si Madin memecah kaleng tabungannya. Melihatnya
bersikeras, Ibunya semakin iba dan semakin berkaca-kaca.
Setelah shalat Maghrib, Ia bergegas mencari apotik terdekat, untuk
membeli resep yang selama ini dianjurkan dokter. Al-hamdulillah uang
untuk beli obat masih ada sisa. Ia masih bisa menyisihkannya untuk membeli air
mineral dan 2 bungkus nasi. Sesampainya di rumah, Ia segera mengajak Ibunya
makan, lalu memintanya segera meminum obat yang sudah dibeli. Ibunya pun
langsung meminumnya. Perih sekali batinnya merasakan kesengsaraan anaknya. Ia
selalu berdoa kepada Tuhan agar menjadikan Madin anak yang sukses, sehingga tak
mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Setiap kali Ia mengalami puncak
kesedihan, hampir-hampir saja Ia pergi ke orang tuanya untuk meminta tolong dan
rela kembali memeluk agama Kristen. Namun, selama ini Ia bisa tetap menjaga
imannya. Si Madin selalu membuatnya tegar dan sabar. Si Madin selama ini tak
tahu-menahu kalau ternyata Ibunya sebenarnya anak orang kaya. Ibunya diusir dan
tak diakui oleh keluarganya ketika bersikeras menikah dengan orang yang tak
seagama. Orang itu adalah Ayahnya sendiri, yang bernama Syahid. Sebenarnya
kalau saja, Sumarnik mau kembali kepada agama lamanya, kemudian meminta
baik-baik kepada orang tuanya, maka denga tidak segan-segan orang tuanya akan
membantu. Tapi Ia tetap teguh pendirian. Ia ingat betul semboyan suaminya:
“Menjadi mulia karena mempertahankan iman atau menjadi hina karena menggadaikan
iman demi kepentingan fana? Iman adalah yang utama”.
Hari-hari berikutnya dilalui oleh Si Madin dengan penuh semangat seperti
biasanya. Karena uang tabungannya selalu habis untuk membeli obat ibunya, Ia
tak mau menyerah dengan kondisi yang menimpa. Ia mencari jalan keluar dengan
iringan usaha dan do`a. Setiap kali Ia menemukan buku bekas, baik di tempat
sampah atau pun di jalanan, selalu Ia ambil dan disimpan di rumah. Meski tak
sekolah, Ia tetap bisa membaca dan menulis, karena setiap malam Ia diajari oleh
Ibunya. Ia juga bisa mengaji. Ia mewarisi bakat suara indah Ayahnya. Ngajinya
selalu terdengar syahdu. Buku-buku yang Ia peroleh dari tempat sampah atau
kadang diberi teman atau orang karena iba, Ia baca ketika malam hari. Setiap
hari Ia selalu meluangkan waktu untuk membaca. Waktunya tak pernah terbuang
percuma. Ia dibesarkan dengan kondisi serba sulit. Ia menjadi dewasa lebih
cepat dibanding anak-anak sebayanya. Ia belajar langsung kepada pengalaman
hidup. Begitulah Si Madin menjalani hari-harinya sampai Ia berusia 18 tahun.
Meski secara ‘kemampuan akademis’-karena memang tak pernah sekolah- terhitung biasa saja dan normal-normal saja,
tetapi karena kebiasaan membaca dari berbagai buku, majalah, koran yang Ia
dapatkan selama ini, maka keilmuan dan informasi yang diperoleh Si Madin begitu
pesat dan luar biasa. Karakter berfikirnya sudah sedemikian terbentuk. Buku
yang Ia dapatkan pun sangat variatif dan beraneka ragam. Makanya tak heran jika
banyak sekali teman-temannya dari kalangan anak sekolah tak segan-segan meminta
bantuan padanya, karena luasnya ilmu dan pengalamannya. Meski sampai pada usia
18 tahun Ia belum juga mendapatkan kesempatan untuk sekolah, tetapi
kemampuannya dalam bidang akademis boleh diadu dengan kemampuan anak sekolah
sebayanya. Meski hanya ‘Pemulung Sampah’, Ia tak pernah menyerah. Ia berjibaku
dengan waktu untuk menaklukkan rintangan dan kesulitan. Ia memiliki banyak
teman. Baik dari kalangan sesama pemulung maupun anak-anak sekolah. Bahkan Ia
tergolong sebagai anak muda yang aktif dalam dunia pendidikan di kalangan
sesama pemulung. Ia membuat semacam perkumpulan khusus bersama pemulung untuk
memberantas ‘buta huruf’ dan menularkan pengalaman dan ilmu kepada mereka.
Siapa yang tak bisa membaca –baik itu al-Qur`an atau baca tulis bahasa
Indonesia-, pasti diajari olehnya. Ia tergolong pemuda yang aktif. Uniknya, tak
sedikit teman-teman dari kalangan sekolah yang turut hadir dalam perkumpulan
yang Ia buat bersama teman-teman pemulung.
Beberapa tahun masa-masa berat yang Si Madin alami selalu diisi dengan
kegiatan-kegiatan bermartabat dan bermanfaat. Ia tak mau kalah dengan susah;
tak mau menyerah pada payah. Ketika ada kesempatan mengikuti lomba menulis yang
Ia dapatkan dari koran, pada saat itu juga Ia tak mau membuang kesempatan. Kali
ini Ia sangat senang karena dalam persyaratan yang tertera dikoran tidak ada
yang berkaitan dengan keharusan mendaji siswa resmi di sekolah tertentu. Pada
lomba ini, siapa saja boleh ikut asal punya potensi. Waktu itu jenis lomba
tulis yang dia ikuti meliputi penulisan puisi, novel, dan karya ilmiah. Tanpa
dinyana Ia menjadi pemenang pada semua kategori yang diikuti. Karuan saja Ia
bersyukur bahagia. Ia mendapatkan penghargaan piala dan uang beberapa juta dari
salah satu media jurnalistik yang mengadakan perlombaan. Ketika diminta
sambutan di depan khalayak umum, mereka terpanah dan terpesona dengan sambutan
Si Madin. Mereka bertanya-tanya sekolah mana kiranya yang melahirkan anak
sebrilian ini. Anaknya baik, sopan, pintar, bersuara merdu. Mereka semakin
penasaran dengan Si Madin. Ketika Si Madin ditanya tentang riwayat pendidikan,
atau sekolah yang Ia diami, Si Madin menjawab: “Saya belum pernah sekolah di
sekolah formal. Selama ini saya mendapatkan ilmu dari sekolah non-formal”.
Mendengar jawaban itu mereka menjadi semakin heran sekaligus tak percaya. Tapi
mau tidak mau mereka akhirnya percaya juga karena memang itu kenyataannya.
Setelah kemenangan itu, Ia sadar bahwa Ia punya bakat dalam bidang
kepenulisan. Ia mulai percaya diri mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai
media. Selama ini memang dia terbiasa menulis apa saja dan di mana saja. Bahkan
kebiasaan menulis sudah Ia lakukan sejak Ia bisa menulis. Mengenai suka-dukanya
pun selama Ia hidup terekam dengan baik dalam tulisan yang Ia torehkan pada
kertas-kertas bekas yang Ia kumpulkan selama jadi pemulung. Pada akhirnya Ia
mempunyai Ide untuk menuliskan pengalaman hidupnya pada sebuah jenis tulisan
Novel. Ia sangat serius mengedit dan menulis ulang berkas-berkas yang pernah Ia
tulis selama ini. Ketika selesai, Ia beri judul novel itu dengan: “Sang
Pemulung Menjemput Untung”. Ia berdoa dan bekerja dengan sangat serius.
Akhirnya dikirimlah novel itu ke penerbit. Novel yang Ia tulis langsung
diterima, karena namanya sudah berkibar di kalangan media jurnalistik. Semua
sudah cocok dan akan diterbitkan segera. Hanya satu yang diganti, yaitu
judulnya. Judulnya menjadi: “KEARIFAN SANG PEMULUNG (Meski Pemulung Sampah,
Tapi Untung Melimpah). Setelah ada persetujuan dari kedua belah pihak, maka
diterbitkanlah buku tersebut. Tanpa dinyana ketika terbit, buku itu menjadi
buku best seller, dan dicetak ulang sampai berulang kali. Sekarang
hidupnya menjadi lebih baik. Ia menjadi penulis terkenal. Ia sudah bisa
membelih rumah sendiri, untuk ibu tercintanya. Ibunya menangis haru bahagia.
Ternyata doanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Menariknya, meski telah
sukses, Si Madin tak menyombongkan diri. Ia tetap menjalin pergaulan simpati
dengan rekan pemulung sampah dan teman-teman lainnya. Ia dibesarkan dengan
kondisi sulit, tapi Ia tak pernah menyerah dan berkelit. Dengan perjuangan yang
luar biasa, atas kehendak Tuhan akhirnya Ia menjumpai momentum ‘takdir
kesuksesannya’, sebuah pembelajaran besar dan berharga bagi siapa saja yang
diliputi keterbatasan tetapi tetap mempunyai ambisi besar untuk meraih
kesuksesan. Tidak menyerah dengan keadaan, itulah kunci sukses Si Madin.
Sumengko, 1
Februari 2014, Jam 06: 40.
By: Amoe
Hirata (Mahmud Budi Setiawan).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !