Ketika usaha sudah terkerah, ikhtiar sudah
terlaksana, selain tawakkal ada satu lagi yang harus dilakukan oleh orang-orang
beriman yaitu, berdo`a. Tanpa do`a apalah artinya usaha dan tawakkal. Berdo`a
merupakan gambaran intim dan mesrah antara makhluk yang lemah dengan Khalik
yang Maha Kuat. Sehebat-hebatnya makhluk pastilah terbatas dan ada
kelemahannya. Ketika makhluk ingin usahanya terpenuhi, dan bisa menjadi kuat
dan mantab maka dia harus berdo`a kepada Sang Khaliq. Dalam Al-Qur`an Q.s Ghafir:
60 Allah berfirman: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan”. Demikian
juga dalam Q.s Al-Baqarah: 186: “Aku mengabulkan doa orang yang berdo`a jika
ia berdoa pada-Ku”. Pada ayat pertama merupakan perintah sedangkan ayat
kedua merupakan penegasan. Artinya, betapa berdoa merupakan hal yang inheren
bagi kehidupan orang-orang beriman. Jangankan orang beriman, orang atheis
sekalipun menurut paparan Al-Qur`an ketika sudah terpepet tertimpa masalah pada
akhirnya akan berdo`a juga pada Sang Khaliq, karena pada dasarnya fitrah
manusia secara keseluruhan ialah bertauhid dan sangat butuh kepada yang namanya
Tuhan.
Namun betapun
pentingnya berdo`a, maka berdo`a juga bukan merupakan hal yang asal-asalan dan
tak beretika. Banyak orang-orang yang do`anya tertolak lantaran tak disertai
etika dan seni berdo`a yang baik sesuai tuntunan. Diantara etika berdo`a ialah
taubat, tulus, tunduk, yakin, optimis, terhindar dari barang yang haram,
dilantunkan pada setiap waktu khususnya waktu mustajab dan lain sebagainya
sebagaimana yang dianjurkan Nabi. Ada satu lagi seni berdo`a yang diajarkan
Nabi yaitu: secara umum do`a-do`a beliau sering menggunakan kata plural atau
jama`. Ini artinya ketika berdo`a yang beliau dahulukan adalah kepentingan
orang banyak. Orang yang berdo`a untuk kepentingan orang banyak lebih
berpeluang diterima daripada orang yang berdo`a hanya untuk kepentingan
pribadi. Inilah salah satu hal yang membedakan antara do`a Nabi dan do`a
kebanyakan orang. Sehingga ketika kita menginginkan do`a terkabul, di samping
etika kita harus mengerti seni berdo`a.
Kala
perang Uhud berkecamuk, ada percakapan menarik yang diabadikan sejarah.
Percakapan ini menggambarkan dua sahabat yang sama-sama rindu surga, sama-sama
mengharapkan ridho Allah, sama-sama memperjuangkan nilai-nilai Islam. Namun ada
satu hal yang membedakan keduanya. Keduanya berbeda dalam masalah, ‘berdo`a’.
Berikut kisahnya: Tatkala perang Uhud berlangsung, Abdullah turut serta
berperang layaknya perang orang yang berambisi untuk syahid dan rindu padanya.
Ketika Ia melihat Sa`ad bin Abi Waqash, terjadilah dialog di antara keduanya.
Sa`ad menuturkan dalam suatu siwayat: Ketika pada perang Uhud, Abdullah bin
Jahsyin menemuiku seraya berkata, ‘Apakah kamu tak (ingin) berdoa pada Allah?’.
‘Ya’ kataku. Lalu kami pergi ke pinggir medan perang. Aku berdoa: “Wahai
Tuhanku jika aku bertemu musuh, maka pertemukan aku dengan orang laki-laki yang
sangat kuat, sangat emosional, aku memeranginya dan ia juga memerangiku,
kemudian anugerahkan padaku kemenangan atasnya, hingga aku membunuhnya dan
mengambil bajunya”. Kemudian Abdullah bin Jahsyin mengaminninya. Ssekarang
giliran Abdullah yang berdo`a: “Wahai Tuhanku, anugerahkan untukku orang lelaki
yang sangat emosional, sangat kuat, aku memeranginya karena-Mu ia juga
memerangiku, kemudian ia mengalahkanku lalu memotong hidung dan kupingku, dan
ketika aku bertemu dengan-Mu kelak(di akhirat)
Engkau bertanya: ‘Kenapa hidung dan kupingmu terpotong?’ maka aku jawab,
‘itu (kupersembahkan) untuk-Mu dan Rasul-Mu’ lalu Engkau menjawab: “Engkau
benar”. Sa`ad bin Abi Waqash berkomentar: “Do`a Abdullah bin Jahsyin lebih baik
dari doaku. Ketika aku melihat di akhir siang aku mendapatinya sudah terbunuh
dan termutilasi, kuping dan telinganya tergantung di atas pohon dengan benang”.
Coba bandingkan antara do`a Sa`ad bin Abi
Waqash dengan Abdullah bin Jahsyin. Keduanya punya persamaan sekaligus
perbedaan yang tajam. Kedua-duanya berjuang dengan tulus demi kepentingan
Islam, bukan kepentingan pribadi. Keduanya sama-sama berpartisipasi di medan jihad
dan ingin dipertemukan dengan musuh yang sangat kuat dan sangat emosional.
Namun perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya ialah kalau Sa`ad
menginginkan kemenangan dan ghanimah, sedangkan Abdullah bin Jahsyin
menyertakan ketulusan di sela-sela berdo`a kemudian yang aneh ialah ia meminta
dikalahkan oleh musuhnya dan yang lebih aneh lagi hidung dan kupingnya dalam
kondisi terputus, sebagai bukti di akhirat bahwa kelak kuping dan hidung ini
akan menjadi saksi bahwa ia benar-benar berjuang untuk Allah dan Rasulnya.
Akhirnya do`a yang dikabulkan lebih dahulu adalah do`a Abdullah bin Jahsyin.
Kenangan
bersama Abdullah dalam masalah do`a senantiasa tersimpan dalam lubuk hati Sa`ad
bin Abi Waqash dan senantiasa diceritakan pada sahabat-sahabatnya. Abdullah bin
Jahsyin sudah sangat rindu dengan Ridha Tuhan dan surga sehingga lebih memilih
mati dari pada hidup di dunia. Yang ia pilih ialah kehidupan yang hakiki.
Kehidupan yang tak terdinding oleh hiasan kepalsuan dan kefanaan. Kehidupan
yang mengantarkannya kepada keridhaan Tuhan dan surga-Nya. Abdullah bin Jahsyin
merupakan gambaran sahabat yang betul-betul paham seni berdo`a sehingga cepat
dikabulkan Tuhan. Banyak sekali kemuliaan yang ia peroleh semasa hidupnya.
Diantaranya: orang yang pertamakali disebut amirul mu`minin, ipar
Rasulullah, mendapat ganti rumah di surga lantaran ketika hijrah ke madinah,
rumahnya dijual oleh Abu Sufyan, berkesempatan turut serta hijrah ke Habasyah,
di merupakan panglima perang, mujahid pemberani, mempunyai ketaatan yang tinggi
sebagaimana tergambar ketika dia diutus Rasulullah mengepalai pasukan sarriyah
ke daerah Nakhlah, dan puncak keberhasilan terakhirnya ialah ketika ia meninggal
dalam kondisi syahid dan mati dalam kondisi seperti yang ia minta pada Allah subhanahu
wata`ala. Selamat tinggal wahai Abdullah bin Jahsyin. Semoga kami bisa
meneladanimu.
Sumengko, Selasa 12 November
2013, Pukul: 09: 21
By: Amoe Hirata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !