Home » » Baju Berbelah, Hatipun Pasrah

Baju Berbelah, Hatipun Pasrah

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 20.21

               Menjadi kaya raya dan serba kecukupan adalah impian banyak manusia.  Asal bisa kaya, langkah apapun jua akan ditempuh walau dengan susah payah. Apalagi, di zaman yang serba materialistik seperti saat ini, kekayaan materi adalah ukuran yang menjadi parameter bagi ketinggian posisi dan citra di mata manusia. Orang kaya lebih dihormati daripada orang papa; orang kaya lebih didengar omongannya daripada orang tak punya. Begitulah kebanyakan manusia mengira. Bahkan orang kaya materi – seperti yang dikisahkan Al-Qur`an pada surat al-Kahfi- memiliki kecendrungan untuk penuh gengsi  dan percaya diri bahwa dengan materi ia merasa mempunyai kedudukan tinggi baik di dunia hingga di akhirat nanti.
            Agama Islam tidak pernah melarang pemeluknya menjadi kaya, asal diraih dengan cara yang benar sesuai syari`ah. Namun, kekayaan yang tinggi adalah kekayaan yang melampaui materi. Kekayaan materi hanya bentuk wadag yang menutupi kekayaan yang lebih tinggi dan berarti, yaitu kaya hati. Demikian kita menemukan ajaran sunyi yang terdapat pada lembaran sejarah emas Nabi beserta sahabat-sahabatnya. Sunyi karena langkah mereka sangat tak wajar bila dipandang dari sudut pandang mata kebanyakan orang yang berupaya dengan sekuat tenaga mengumpulkan banyak harta. Kebanyakan orang mengumpulkan banyak harta, namun mereka menghabiskan harta di jalan Allah.
Secara materi mereka beragam dan berbeda, namun kekayaan hati tak pernah berpisah dari jasadnya. Rasulullah pernah bersabda: Kaya itu bukan karena banyak harta, tapi kaya hati. Bahkan diantara mereka yang terkenal kaya, seperti: Abu Bakar, Utsman, Abdur Rahman bin `Auf, sampai Nabipun sendiri lebih memilih kaya hati yang disimbolkan dengan kata, “zuhud” yang oleh Imam Ghazali diistilahkan sebagai orang yang melampaui dunia, bukan dilampaui dunia; orang yang meninggalkan dunia, bukan ditinggal dunia; orang yang pasca dunia, bukan pra dunia. Alipun pernah mewantikan: Jadikan dunia dalam genggaman tanganmu, dan jangan jadikan dunia dalam hatimu.
            Dari sejarah emas para sahabat kita menemukan banyak keteladanan yang patut diteladani. Salah satunya yang berkaitan dengan judul tulisan di atas ialah kisah sahabat yang bernama Abdullah Dzul Bajaadain. Ia terlahir yatim dan miskin. Bapaknya telah tiada sejak dia belia, dan tidak mewariskan harta. Hingga pamannya yang kaya mengasuh dirinya. Kondisipun mulai membaik. Kesulitan materi sudah teratasi bekan kebaikan pamannya. Ia sudah merasa lapang materi. Namun apakah ia sudah merasa kaya hati? Di tengah masyarakat jahiliyah yang mendewakan materi dan berhala. Ternyata kelapangan materi tidak berbanding lurus dengan kelapangan hati. Ini terbukti ketika hatinya tertarik pada agama baru yang dibawa oleh orang yang mulia dan kaya hati, Muhammad Sang Nabi. Cahaya keimanan masuk pada relung hatinya, mengisi kegalaun yang selama ini menggelayuti hati. Ajaran yang dibawa Muhammad sungguh menawan hatinya. Hatinya serasa lapang tak terhingga.
            Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, ia tak turut serta, dengan alasan ingin mengajak pamannya masuk agama Islam yang benar-benar membuat hatinya lapang. Ia tak mau petunjuk yang ia dapatkan hanya dinikmati sendiri. Namun hati pamannya tak bisa menerima, sebagaimana pembesar-pembesar kafir lainnya. Keputusan Abdullah mengajak pamannya ini berujung pada ancaman yang benar-benar serius. Pamannya berkata: “Kalau kamu tetap bersikeras mengikuti Muhammad, maka aku akan mencabut semua fasilitas yang aku berikan padamu bahkan sepasang baju yang sedang kamu pakai sekalipun”. Apa Dzulbajadain gentar dengan ancaman pamannya tersebut? Ternyata tidak, kelapangan hati dan kekayaan hati yang ia dapatkan dari ajaran Islam malah membuatnya semakin  teguh pendirian. Ia menimpali pamannya: “Baik, akan aku serahkan semua fasilitas yang kau beri, hingga baju yang aku pakai saat ini”. Dengan kondisi demikian ia mendatangi ibunya, kemudian diberi baju yang kasar untuk menutupi tubuh Dzul Bajadain. Dibelahlah baju kasar itu menjadi dua untuk menutupi bagian bawah dan atas jasadnya. Dari sinilah sejarah emasnya dimulai. Sampai nanti menjulukinya sebagai Dzulbajadain, yang mempunyai baju berbelah dua.

            Ia lebih memilih kepapaan materi daripada kepapaan hati; lebih memilih kelapangan hati daripada kelapangan materi. Keputusan yang sangat berani dan sangat tidak lazim menurut masyarakat pada masanya ia tempuh demi meraih kekayaan yang lebih hakiki dan sejati menuju ridha ilahi. Ia lebih memilih baju kasar berbelah dan pasrah pada ketetapan ilahi daripada baju bagus dan nyaman tetapi malah menjauhkan diri dari Tuhan. Pada waktu yang ia lalui keimanan benar-benar teruji. Rasulpun mensifatinya dengan, “Awwah”(yang banyak berdzikir dan mengadu pada Allah); dan yang lebih mulia dari itu ialah di akhir hayatnya pada perang Tabuk, ia mendapat kemulyaan yang sungguh tak terkira berupa dikubur langsung oleh Rasulullah Abu Bakar, dan Umar shallallahu `alaihi wasallam. Setelah mengubur Beliau berdoa: “Ya Allah pada sore ini aku meridhainya, maka ridhailah dia”. Inilah buah dari pribadi yang lebih memilih kaya hati meski miskin materi. Akhir hayatnya ditutup dengan penuh keindahan berupa ridha Allah dan Nabi.  Sangatlah wajar jika sahabat kawakan seperti ibnu Mas`ud berkata: “Andai aku yang dikubur oleh Rasulullah sebagaimana Dzul Bajadain”. Semoga Allah senantiasa meridhai dan merahmatinya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan