Menjadi
kaya raya dan serba kecukupan adalah impian banyak manusia. Asal bisa kaya, langkah apapun jua akan
ditempuh walau dengan susah payah. Apalagi, di zaman yang serba materialistik
seperti saat ini, kekayaan materi adalah ukuran yang menjadi parameter bagi
ketinggian posisi dan citra di mata manusia. Orang kaya lebih dihormati
daripada orang papa; orang kaya lebih didengar omongannya daripada orang tak
punya. Begitulah kebanyakan manusia mengira. Bahkan orang kaya materi – seperti
yang dikisahkan Al-Qur`an pada surat al-Kahfi- memiliki kecendrungan untuk penuh
gengsi dan percaya diri bahwa dengan
materi ia merasa mempunyai kedudukan tinggi baik di dunia hingga di akhirat
nanti.
Agama
Islam tidak pernah melarang pemeluknya menjadi kaya, asal diraih dengan cara
yang benar sesuai syari`ah. Namun, kekayaan yang tinggi adalah kekayaan yang melampaui
materi. Kekayaan materi hanya bentuk wadag yang menutupi kekayaan yang lebih
tinggi dan berarti, yaitu kaya hati. Demikian kita menemukan ajaran sunyi yang
terdapat pada lembaran sejarah emas Nabi beserta sahabat-sahabatnya. Sunyi
karena langkah mereka sangat tak wajar bila dipandang dari sudut pandang mata
kebanyakan orang yang berupaya dengan sekuat tenaga mengumpulkan banyak harta.
Kebanyakan orang mengumpulkan banyak harta, namun mereka menghabiskan harta di
jalan Allah.
Secara materi
mereka beragam dan berbeda, namun kekayaan hati tak pernah berpisah dari
jasadnya. Rasulullah pernah bersabda: Kaya itu bukan karena banyak harta,
tapi kaya hati. Bahkan diantara mereka yang terkenal kaya, seperti: Abu
Bakar, Utsman, Abdur Rahman bin `Auf, sampai Nabipun sendiri lebih memilih kaya
hati yang disimbolkan dengan kata, “zuhud” yang oleh Imam Ghazali diistilahkan
sebagai orang yang melampaui dunia, bukan dilampaui dunia; orang yang
meninggalkan dunia, bukan ditinggal dunia; orang yang pasca dunia, bukan pra
dunia. Alipun pernah mewantikan: Jadikan dunia dalam genggaman tanganmu, dan
jangan jadikan dunia dalam hatimu.
Dari
sejarah emas para sahabat kita menemukan banyak keteladanan yang patut
diteladani. Salah satunya yang berkaitan dengan judul tulisan di atas ialah
kisah sahabat yang bernama Abdullah Dzul Bajaadain. Ia terlahir yatim dan
miskin. Bapaknya telah tiada sejak dia belia, dan tidak mewariskan harta.
Hingga pamannya yang kaya mengasuh dirinya. Kondisipun mulai membaik. Kesulitan
materi sudah teratasi bekan kebaikan pamannya. Ia sudah merasa lapang materi.
Namun apakah ia sudah merasa kaya hati? Di tengah masyarakat jahiliyah yang
mendewakan materi dan berhala. Ternyata kelapangan materi tidak berbanding
lurus dengan kelapangan hati. Ini terbukti ketika hatinya tertarik pada agama
baru yang dibawa oleh orang yang mulia dan kaya hati, Muhammad Sang Nabi.
Cahaya keimanan masuk pada relung hatinya, mengisi kegalaun yang selama ini
menggelayuti hati. Ajaran yang dibawa Muhammad sungguh menawan hatinya. Hatinya
serasa lapang tak terhingga.
Ketika
kaum muslimin hijrah ke Madinah, ia tak turut serta, dengan alasan ingin
mengajak pamannya masuk agama Islam yang benar-benar membuat hatinya lapang. Ia
tak mau petunjuk yang ia dapatkan hanya dinikmati sendiri. Namun hati pamannya
tak bisa menerima, sebagaimana pembesar-pembesar kafir lainnya. Keputusan
Abdullah mengajak pamannya ini berujung pada ancaman yang benar-benar serius.
Pamannya berkata: “Kalau kamu tetap bersikeras mengikuti Muhammad, maka aku
akan mencabut semua fasilitas yang aku berikan padamu bahkan sepasang baju yang
sedang kamu pakai sekalipun”. Apa Dzulbajadain gentar dengan ancaman pamannya
tersebut? Ternyata tidak, kelapangan hati dan kekayaan hati yang ia dapatkan
dari ajaran Islam malah membuatnya semakin
teguh pendirian. Ia menimpali pamannya: “Baik, akan aku serahkan semua
fasilitas yang kau beri, hingga baju yang aku pakai saat ini”. Dengan kondisi
demikian ia mendatangi ibunya, kemudian diberi baju yang kasar untuk menutupi
tubuh Dzul Bajadain. Dibelahlah baju kasar itu menjadi dua untuk menutupi
bagian bawah dan atas jasadnya. Dari sinilah sejarah emasnya dimulai. Sampai
nanti menjulukinya sebagai Dzulbajadain, yang mempunyai baju berbelah dua.
Ia
lebih memilih kepapaan materi daripada kepapaan hati; lebih memilih kelapangan
hati daripada kelapangan materi. Keputusan yang sangat berani dan sangat tidak
lazim menurut masyarakat pada masanya ia tempuh demi meraih kekayaan yang lebih
hakiki dan sejati menuju ridha ilahi. Ia lebih memilih baju kasar berbelah dan
pasrah pada ketetapan ilahi daripada baju bagus dan nyaman tetapi malah
menjauhkan diri dari Tuhan. Pada waktu yang ia lalui keimanan benar-benar
teruji. Rasulpun mensifatinya dengan, “Awwah”(yang banyak berdzikir dan
mengadu pada Allah); dan yang lebih mulia dari itu ialah di akhir hayatnya pada
perang Tabuk, ia mendapat kemulyaan yang sungguh tak terkira berupa dikubur
langsung oleh Rasulullah Abu Bakar, dan Umar shallallahu `alaihi wasallam.
Setelah mengubur Beliau berdoa: “Ya Allah pada sore ini aku meridhainya,
maka ridhailah dia”. Inilah buah dari pribadi yang lebih memilih kaya hati
meski miskin materi. Akhir hayatnya ditutup dengan penuh keindahan berupa ridha
Allah dan Nabi. Sangatlah wajar jika
sahabat kawakan seperti ibnu Mas`ud berkata: “Andai aku yang dikubur oleh
Rasulullah sebagaimana Dzul Bajadain”. Semoga Allah senantiasa meridhai dan
merahmatinya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !