Iman sebagaimana yang didefinisikan
oleh para pakar akidah Islam berarti: Membenarkan dalam hati, mengikrarkan
dengan lisan, serta mengamalkan dengan anggota badan. Dengan pengertian seperti
ini, keimanan berarti unsur mendasar yang mengharmonikan segenap potensi
manusia baik secara internal maupun eksternal. Potensi internal berupa ruh,
akal, hati dikawinkan dengan potensi eksternal berupa anggota tubuh sehingga
menghasilkan integritas transendental menuju keiamanan sejati kepada Allah,
Tuhan semesta Alam. Keimanan dalam definisi demikian betul-betul memposisikan
manusia secara proporsional. Manusia terdiri dari jasad dan ruh, setiap usaha
yang mengarah pada pengawinan antara keduanya adalah usaha yang sangat bagus dan
perlu dipertahankan. Kesalahan paham-paham aliran isme-isme pada umumnya ialah
selalu menuju orientasi dikotomis ketika menilai manusia sebagai eksistensi.
Ada yang menilai manusia terfokus pada bentuk materilnya, sehingga sama sekali
melupakan unsur internalnya. Demikian juga sebaliknya, ada yang terlalu sibuk
dan fokus pada penilaian internalnya sehingga mengabaikan unsur kesternalnya.
Meskipun keduanya harus diupayakan menyatu dan harmonis, namun secara skala
prioritas memang unsur internal berupa hati merupakan sumber inti dari
terciptanya hubungan yang baik dan sinergis dengan anggota badan. Rasulullah
pernah menyatakan: Ketahuilah bahwa dalam jasad (manusia) ada segumpal
daging, jika (segumpal daging ini) baik, maka seluruh jasad akan menjadi baik,
jika (segumpal daging ini) rusak maka rusak pulalah seluruh jasad, ketahuilah
(segumpal daging ini) ialah hati[H.r : Bukhari dan Muslim]. Dengan demikian
setiap usaha yang dilancarkan untuk mendikotomi manusia dari unsur jasad dan
hatinya maka sama seja merusak eksistensi manusia sebagai mahluk yang terdiri
dari ruh dan jasad. Sedangkan keimanan meemadukan dan mengawinkan keduanya
dengan sangat cantik dan indah.
Keimanan dengan pengertian demikian
memang tidaklah gampang untuk ditindaklanjuti. Karena saking sukarnya,
balasan bagi yang mampu mempetahankanya
hingga mengharuskan dirinya mati ialah ‘medali syahid’. Kalau kita mau membaca
lembaran sejarah emas para sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam, maka akan kita dapati manusia-manusia yang mampu menindaklanjuti
keimanan dengan definisi seperti tadi hingga meraih takdir syahidnya. Secara
global mungkin yang banyak diketahui ialah mereka para lelaki. Namun perlu
diketahui bahwa: dari kalangan wanita ada juga yang mendapatkan kemuliaan
syahid lantaran kejujuran dan konsistensinya dalam menerapkan keimanan dengan
sebenar-benarnya. Bahkan ia merupakan wanita yang pertama kali syahid dalam
Islam. Siapakah dia gerangan? Ia adalah: Sumayyah binti Khabath, ibu kandung
dari Ammar, yang merupakan Istri Yasir. Ia merupakan maula (budak)
Hudzaifah bin Al-Mughirah (yang telah dibebaskan). Ia merupakan orang yang
ketujuh di antara pertama kali yang masuk Islam. Yasir sendiri merukapan sekutu
Hudzaifah bin Al-Mughirah. Dinikahkanlah Yasir dengan Sumayyah hingga
melahirkan anak yang bernama Ammar. Setelah itu dimerdekakan. Ketika Sumayyah
mendengar tentang Islam dari anaknya, hatinya tak kuasa untuk segera menerima
agama baru yang baru ia dengar. Ia merasakan bahwa yang disampaikan anaknya
merupakan keselamatan bagi keluarganya. Tumbuhlah keimanan di hatinya. Semakin
hari keimanan itu semakin kuat bagaikan pohon yang akarnya menembus ke dalam
bumi dan batangnya menjulang ke langit. Ketika keimanan sudah merasuk ke dalam
hatinya, ia betul-betul menindaklanjutinya dengan pembenaran, pengikraran
segaligus pengamalan.
Semudah itu kah? Tentu saja tidak.
Untuk mempertahankan keimanan model demikian, ia harus tabah dan tegar ketika
keimanannya diuji walau harus kehilangan nyawa. Al-Qur`an sendiri menyatakan: Apakah
manusia mengira dibiarkan mengatakan: kami telah beriman, sedang mereka belum
diuji[Al-`Ankabut: 2]. Keimanannya benar-benar teruji ketika ia beserta
suaminya, Yasir tetap tegar dan sabar sewaktu disiksa dengan sedemikian
kejamnya oleh Abu Jahal(Amru bin Hisyam). Keimanan yang tumbuh dari dalam
hatinya benar-benar bukan saja diikrarkan tapi juga dikawinkan dengan anggota
tubuhnya. Sampai pada akhirnya, Abu Jahal menikam kemaluannya dengan tombak,
hingga ia meninggal meraih ‘medali syahid’ wanita muslim pertama. Sewaktu
Rasulullah melihat keluarga Yasir disiksa sedemikian rupa Rasulullah
berkomentar: kesabaran untuk keluarga Yasir, sesungguhnya kalian dijanjikan
surga. Ya Allaah...Ketegaran dan kesabarannya menjadikannya sebagai wanita
yang pertama kali syahid. Bukan sekadar mendapatkan kemuliaan sebagai wanita
yang termasuk pertama kali masuk Islam, ia juga menjadi wanita yang pertama
kali syahi berjuang di jalan Allah. Mungkin ia tak berambisi mencari itu.
Keikhlasan dan ketulusan imanlah yang membuatnya dianugerahkan kenikmatan yang
begitu besar itu berupa kesyahidan. Pernahkah anda membayangkan wahai kaum
hawa, ketika nanti pertama kali dibangkitkan pada hari kiamat anda mendapatkan
kemulian sebagai wanita yang syahid? Kalau jawabannya iya, maka sejauh mana aktualisasi
keimanan yang dibuktikan kepada Allah. Kalau jawabannya tidak, maka pastikan
bahwa keimanan anda tidak begitu tumbuh subur atau sama sekali kering kerontang
laksana tetumbuhan kekurang air. Iman yang benar membuat empunya semakin tumbuh
subur dengan senantiasa mengejawantahkan keimanannya dengan amalan nyata.
Keimanan bukanlah sekadar kata-kata indah yang menghiasi bibir, akan tetapi
merupakan tindak lanjut dari komitmen hati, lisan yang diaktualisasikan dengan
perbuatan. Pantaslah jika Sumayyah mendapat kemuliaan sebesar ini. Siapakah
diantara kita yang mau meneladaninya? .
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !